Anda di halaman 1dari 13

Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam Hukum Humaniter

Internasional

Abstrak

Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan kumpulan rumusan yang mengatur


keselematan manusia serta seluruh etika dalam perang. HHI dirumuskan dengan tujuan
mengurangi dan mencegah penderitaan manusia pada saat terjadi konflik bersenjata. Tulisan ini
ditulis berdasarkan analisis masalah yang menyebutkan masih banyaknya pelanggaran dalam
HHI terutama dalam konflik bersenjata dan perlindungan korban perang. Maka dengan
menggunakan metode pendekatan normatif, tulisan ini akan membahas konflik bersenjata dan
perlindungan korban perang dalam HHI.

Kata Kunci: Konflik Bersenjata, Perlindungan Korban Perang, Hukum Humaniter Internasional

Pembahasan

Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional

Konflik bersenjata yang terjadi sebagaimana terganbar dalam perang saudara di Suriah
hanyalah sekelumit kisah suram di berbagai belahan dunia. Konflik bersenjata pada akhirnya
akan merugikan keselamatan dan keamanan penduduk sipil negara konflik. Pada posisi yang
demikian, masyarakat internasional sebenarnya telah mengatur tata cara berperang melalui
berbagai konvensi internasional. Pengaturan hukum perang atau yang sekarang dikenal dengan
hukum humaniter internasional ditujukan untuk meminimalisir dampak atau kerugian akibat
perang terutama terhadap penduduk sipil. Salah satu prinsip utama dalam penggunaan senjata
sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah bahwa selama perang nilai-nilai
kemanusiaan harus dihormati. Tujuan hukum humaniter bukan untuk menolak hak negara untuk
melakukan perang atau menggunakan kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-
defence), melainkan untuk membatasi penggunaan senjata oleh suatu negara dalam
menggunakan hak berperang tersebut untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang
berlebihan dan yang tidak sesuai dengan tujuan militer.

Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu
sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non-internasional. Pada

1|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


perkembangan, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun
1977 yang juga memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan
pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain dari
sengketa bersengkata internasional. Perang adalah sebuah aksi fisik dan non-fisik (dalam arti
sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara
purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern ini, perang lebih mengarah pada
superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti
“barang siapa yang menguasai teknologi maka menguasai dunia”. Namun, kata perang tidak lagi
berperan sebagai kata kerja, tetapi telah bergeser pada kata sifat. Yang mempopulerkan hal ini
adalah para jurnalis, sehingga lambat laun, pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara
umum perang berarti “pertentangan” (Henckaerts, Maret 2005).

Pengertian Konflik Bersenjata identik dengan pengertian perang yang merupakan


perkembangan dari pengertian perang di dalam masyarakat internasional dan secara teknis
intensitasnya sama dengan perang. Menurut seorang ahli Edward Kossoy, bahwa dilihat dari segi
hukum, penggantian adalah more justified and logical. Dapat dijelaskan bahwa tidak dapat
ditemukan definisi resmi dari “armed conflict” oleh karena itu perlu dicari jalan lain untuk dapat
menjelaskan apa yang dimaksud dengan armed conflict. Haryomataram membedakan antara
sengketa bersenjata internasional (international armed conflict) dengan sengketa bersenjata non-
internasional (non international armed conflict), dan secara garis besar, hanya ada dua bentuk
konflik bersenjata yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan
mengkaji Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 (Mahfud).

Pengertian konflik bersenjata internasional terjadi apabila melibatkan dua negara atau
lebih. Selanjutnya sengketa bersenjata internasional dinyatakan dalam ketentuan Pasal 2
Konvensi Jenewa 1949 sebagai sengketa bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, baik
sebagai perang yang diumumkan apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu
dari mereka. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas
dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 menetapkan jenis situasi sengketa bersenjata
internasional atau situasi yang disamakan dengan sengketa bersenjata internasional. Dalam hal
ini, dimana peoples (suku bangsa) sedang bertempur melawan dominasi kolonial dan

2|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


pendudukan asing dan melawan sistem pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya
untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam international armed conflict, kedua pihak memiliki
status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara. Sedangkan dalam non-international
armed conflict, status kedua pihak tidak sama, dikarenakan pihak yang satu ialah negara dan
pihak yang lainnya adalah satuan bukan negara (non-state entity) (Henckaerts, Maret 2005).

Adapun jenis-jenis senjata yang dilarang dalam HHI adalah: racun atau senjata beracun,
senjata biologi, senjata kimia, zat-zat kendali huruhara sebagai cara berperang, herbisida sebagai
cara berperang, peluru yang mengembang atau merata dengan mudah di dalam tubuh manusia,
penggunaan peluru yang meledak di dalam tubuh manusia sebagai senjata anti-personil, senjata-
senjata yang dampak utamanya ialah melukai dengan cara pecah menjadi serpihan-serpihan yang
tak terdeteksi oleh sinar-X di dalam tubuh manusia, booby-trap yang dilekatkan atau
dihubungkan dengan cara apapun pada benda atau orang yang berhak memperoleh perlindungan
khusus berdasarkan HHI atau pada benda yang berpotensi memikat orang sipil untuk mendekat,
dan senjata laser yang dirancang sedemikian rupa sehingga satu-satunya fungsi tempurnya atau
salah satu fungsi tempurnya ialah menimbulkan kebutaan permanen hingga kerusakan
penglihatan (Henckaerts, Maret 2005).

Sebagian senjata yang tidak dilarang oleh HHI pun tetap diberikan pembatasan-
pembatasan tertentu. Senjata-senjata tersebut antara lain adalah ranjau darat dan senjata bakar.
Kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk memperkecil dampak membabi buta ranjau darat.
Kehati-hatian khusus ini mencakup, antara lain, pelaksanaan prinsip bahwa pihak terlibat konflik
yang menggunakan ranjau darat harus membuat catatan selengkap mungkin tentang di mana saja
mereka telah menempatkan ranjau-ranjau darat. Selain itu, seusai permusuhan aktif, pihak
terlibat konflik yang telah menggunakan ranjau darat harus memindahkan ranjauranjau darat
tersebut atau membuat ranjau-ranjau darat tersebut tidak berbahaya bagi orang sipil atau harus
memfasilitasi proses pemindahan ranjau-ranjau darat tersebut (Henckaerts, Maret 2005).

Karena lebih dari 140 Negara telah meratifikasi Konvensi Ottawa dan sejumlah Negara
lagi sedang dalam proses meratifikasinya, maka sebagian besar Negara dewasa ini terikat pada
kewajiban untuk tidak lagi menggunakan, memproduksi, menimbun, atau mengirimkan ranjau
darat antipersonil. Walaupun larangan tersebut pada saat ini belum menjadi bagian HHI, hampir
semua Negara, termasuk yang bukan peserta Konvensi Ottawa dan tidak akan menyetujui

3|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


larangan tersebut dalam waktu dekat, telah mengakui perlunya bekerja ke arah pemusnahan
ranjau darat antipersonil. Penggunaan senjata bakar untuk tujuan antipersonil adalah dilarang,
kecuali jika tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk membuat orang menjadi hors de
combat dengan menggunakan senjata lain yang tidak begitu mencelakakan dibandingkan dengan
senjata bakar. Di samping itu, bilamana senjata bakar digunakan, kehati-hatian khusus harus
dilakukan untuk menghindari, dan setidak-tidaknya untuk memperkecil, timbulnya kerugian
ikutan di kalangan penduduk sipil, korban luka sipil, dan kerusakan benda sipil (Mahfud).

Perlindungan Korban Perang dalam Hukum Humaniter Internasional

Dalam protokol tambahan I tahun 1997 pasal 8 (a) yang dimaksud dengan “Korban
Cidera” dan “Korban Sakit” adalah: “Orang-orang baik militer (kombatan) maupun sipil yang
karena trauma atau gangguan mental atau ketidakmampuan jasmani, memerlukan bantuan atau
perawatan kesehatan dan mereka menjauhkan diri dari bentuk-bentuk aksi
permusuhan/perlawanan. Kedua, mencakup kondisi-kondisi para wanita yang melahirkan, bayi
yang baru lahir dan orang-orang yang mungkin memerlukan bantuan atau perawatan kesehatan
segera, seperti orang yang cacat dan ibu-ibu mengandung dan mereka menjauhkan diri dari
perlawanan dan permusuhan” (Mahmud, 2008).

Sedangkan yang dimaksud dengan “Korban Karam” menurut Protokol Tambahan I tahun
1997, pasal 8 (b) yaitu: “Orang-orang baik militer (kombatan) maupun sipil-yang hidupnya
berada dalam bahaya di laut maupun diperairan lainnya sebagai akibat dari musibah yang
menimpa mereka atau oleh kapal atau sarana angkutan udara yang mengangkut mereka dan
mereka tidak melakukan aksi permusuhan dan perlawanan” (Mahmud, 2008).

Dari kutipan tersebut menjadi jelas bahwa Hukum Humaniter Internasional (HHI) telah
memberikan jaminan perlindungan terhadap korban Cidera, Sakit dan Korban Karam baik
mereka yang termasuk kombatan maupun penduduk sipil dengan syarat mereka tidak melakukan
aksi perlawanan dan permusuhan dalam bentuk apapun. Konvesi Jenewa yang sudah menjadi
kaidah umum, adalah kewajiban semua pihak untuk “Menghormati dan melindungi mereka yang
cedera, sakit dan menjadi korban karam itu dari pihak manapun mereka berafiliasi. Dalam
kondisi bagaimanapun, mereka harus menerima perlakuan yang sesuai dengan perikemanusiaan
dan mendapatkan perawatan medis yang mereka butuhkan, sebaik dan secepat mungkin. Dalam

4|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


hal ini mereka tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan kriteria apapun kecuali
dengan alasan medis.”

Dengan demikian, mereka harus diperhatikan dan dirawat tanpa memandang ras, agama
dan asal kebangsaan mereka. Pihak yang menguasai medan pertempuran harus bertanggung
jawab atas perlindungan mereka dari setiap serangan dan perlakuan buruk. Mereka tidak boleh
dibunuh, disiksa dan dijadikan temeng (perisai), atau diperlakukan dalam dalam suatu praktek
medis. Secara khusus mereka dilarang pula melakukan terhadap korban-korban tersebut tindakan
mutilasi anggota tubuh, pengambilan dan pemindahan jaringan syaraf atau organ tubuh mereka
untuk tujuan transplantasi atau untuk tujuan eksperimen kedokteran dan sains meskipun dengan
persetujuan mereka. Selain itu dilarang menelantarkan para korban tersebut tanpa diagnose dan
pertolongan medis sehingga terancam penyakit dan wabah menular.

Selain itu jaminan yang diberikan lainnya adalah perlindungan yang di berikan HHI adalah:

1. Perlindungan terhadap anggota-anggota dinas keagamaan (mencakup ustadz, kyai,


pendeta dan tokoh-tokoh keagamaan lainnya) yang menyertai pasukan kombatan
baik dinas sipil dan militer, untuk tugas tetap maupun sementara.
2. Perlindungan terhadap objek-objek medis yang dapat dimanfaatkan oleh mereka
yang menjadi korban yaitu: “Semua instalasi dan unit-unit medis baik militer maupun
sipil yang didirikan untuk tujuan-tujuan kesehatan” seperti rumah sakit dan instalasi-
instalasi darurat, pusat transfuse darah, pusat-pusat dan lembaga pengobatan
pencegahan, depot dan gudang medis dan apotek-apotek yang menjadi kebutuhan
unit-unit medis tersebut.
3. Perlindungan terhadap transportasi medis yang disiapkan untuk mengangkut korban
cidera, sakit dan korban karam. Maka dari itu HHI melarang menyerang merusak
atau menyabotase semua alat transportasi darat, laut maupun udara yang digunakan
untuk menyelamatkan korban.

Perlindungan Korban Perang dalam Hukum Islam

Dalam hukum islam sendiri, para korban cedera, sakit dan karam akan mendapatkan
perlindungan apabila mereka memeluk Islam, karena Islam melarang membunuh musuh yang
telah menyatakan Islam, baik yang dinyatakan diwaktu perang maupun di waktu damai. Namun

5|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


didalam kondisi tidak menyatakan Islam, tetapi ia menerima kesepakatan untuk membayar
jizyah atau upeti kepada kaum muslimin sebagai jaminan terhadap mereka. Maka kaum
muslimin dilarang memerangi dan membunuh mereka, bahkan harus memberikan perlindungan
terhadap mereka.

Oleh karenanya ada batasan-batasan dalam perang yang pada dasarnya bersifat darurat,
maka islam melarang membunuh kaum wanita, anak-anak atau siapa saja yang tidak ikut
berperang. Islam juga mengecam keras pelanggaran terhadap perjanjian dengan pihak musuh,
belaku sadis terhadap musuh yang tidak berdaya, atau menyiksa orang sakit dan cedera. Oleh
karena itu tindakan semacam itu merupakan tindakan yang tidak kesatria bahkan dianggap
sebagai perbuatan merusak di muka bumi yang dikecam oleh Islam sebagaimana difirmankan
oleh Allah dalam surat Al-Baqarah: 60: “dan janganlah kamu berkeliaran dimuka bumi dengan
berbuat kerusakan”

Diantara bukti yang menunjukan bahwa Islam melarang membunuh orang yang cedera
dan sakit yang sudah tidak mampu leagi melakukan perlawanan adalah sikap dari Rasulullah
SAW terhadap penduduk Mekkah pada saat kota itu dibebaskan oleh kaum Muslimin. Beliau
sama sekali tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji terhadap penduduk Mekkah, baik
berkenaan dengan jiwa maupun harta benda mereka.

a. Perlindungan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan


Hukum Islam

Tawanan perang bukanlah tawanan perorangan atau satuan militer yang menahannya
namun ia adalah tawanan dari negara musuh yang berhasil menahannya. Negara yang melakukan
penahanan ini berkewajiban menghormati tawanan perang yang tunduk dibawah kekuasaanya
dengan memberikan mereka jaminan perlindungan dan kekuasaan manusiawi. Hal tersebut
karena penahanan tawanan perang tidak boleh dianggap sebagai tindakan balas dendam, akan
tetapi digunakan hanya sebatas cara untuk mencegah pihak yang ditawan berada disutu tempat
yang memungkinkannya untuk melakukan ancaman.

Konvensi Jenewa III tahun 1949 yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan
perang telah menyatakan subtansi diatas, dimana konvensi tersebut memberikan jaminan
perlindungan terhadap tawanan perang sejak mereka jatuh sebagai tawanan sampai kemudian

6|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


dibebaskan dan dipulangkan kekampung halaman dan tanah air mereka. Dalam Hukum
Humaniter Internasional ada dua kelompok yang masuk dalam kategori tawanan perang:

1. Tentara Reguler dan Kombatan Sejenis. Menurut Konvesi Jenewa III tahun 1949
memberikan label tawanan perang terhadap: Anggota-anggota milisi serta anggota
barisan sukarela lainnya yang beroperasi di dalam atau di luar wilayahnnya sendiri,
sekalipun wilayah itu diduduki, selama mereka memenuhi syarat yang terdapat dalam
piagam Den Haag tahun 1907, yaitu:
o Prajurit tersebut berada dibawah komando seseorang yang bertanggung jawab
terhadap bawahannya.
o Mereka memiliki tanda pembedaan (pengenal) yang tetap dan dapat dikenal
dari kejauhan.
o Dalam melaksanakan operasi militer patuh terhadap hukum-hukum dan
kebiasaan perang.
2. Kelompok lain yang dikategorikan sebagai Tawanan Perang
Istilah lain tawanan perang juga berlaku bagi kelompok lain yang tidak dianggap sebagai
prajurit regular (Kombatan) yaitu:
a. Orang-orang sipil yang menyertai angkatan perang yang mencakup: para pemasok
perbekalan (logostik perang), anggota-anggota unit kerja yang bertanggung jawab
atas kesejahteraan dan kenyamanan angkatan perang, orang sipil yang menjadi awak
pesawat terbang militer, wartawan atau koresponden perang, dengan syarat dibekali
dengan surat-surat pengesahan dan identitas pribadi oleh angkatan perang. (Konvesi
Jenewa III tahun 1949)
b. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda, pemandu laut dan mereka
yang membantu dalam kapal tersebut. Kemudian para taruna kapal dan awak pesawat
terbang sipil yang bersangketa.

Tawanan Perang dalam Perspektif Hukum Islam

Yang dimaksud dengan tawanan perang dalam Hukum Islam adalah kombatan dari
kalangan Non-Muslim yang berhasil ditangkap hidup-hidup oleh kaum Muslimin. Mereka yang
berjenis kelamin laki-laki yang mampu melakukan peperangan dan ikut serta dalam aksi
perlawanan dan permusuhan terhadap negara muslim. Sedangkan orang-orang yang tidak

7|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


melakukan peperangan mereka tidak termasuk dengan tawanan perang baik itu wanita anak-anak
dan tokoh-tokoh agama yang tidak berada dalam medan pertempuran. Secara umum, orang orang
yang tidak ikut serta dalam peperangan tersebut diperlakukan selayaknya warga sipil dan tidak
termasuk dengan tawanan perang.

Perbandingan antara hukum Islam maupun hukum humaniter internasional sebenarnya


tidak ada perbedaan dalam persoalan tawanan perang yang terlibat dalam aksi peperangan,
dimana mereka harus mendapatkan perlindungan yang semestinya. Entah perperangan yang
terjadi antar negara dua negara atau satu negara dengan negara lain, selama mereka melakukan
perang dengan tujuan menentukan nasib sendiri.

Perlindungan Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter Internasional

Jaminan terhadap tawanan perang dapat dibagi menjadi hal-hal berikut ini:

a. Perlindungan tawanan perang saat pertama kali ditahan. Tawanan perang yang telah
meletakan senjata dan menyerahkan dirinya kepada pihak musuh, dilarang untuk disakiti
atau dibunuh. Negara penahan berkewajiban membekali para tawanan perang dengan
dokumentitas identitas diri. Tanda pangkat atau kewarganegaraan tidak boleh diambil
begitu pula barang milik pribadi. Selain itu negara penahan wajib mengevakuasi para
tawanan sesegera mungkin ke kamp-kamp tawanan. Proses evakuasi ini harus dilakukan
secara manusiawi dengan tetap memperhatikan aspek keselamatan mereka dari bahaya-
bahaya pertempuran.
b. Interogasi Tawanan Perang. Para tawanan berkewajiban untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tertentu yang ditunjukan kepadanya apapun jabatan dan pangkatnya.
Pertanyaan tersebut berkaitan dengan nama, pangkalan militer, tanggal lahir, nomor
tentara, resimen dll. Jika tidak mau menjawab maka akan dikenakan dengan pembatasan
hak-hak istimewa yang diberikannya berdasarkan pangkatnya. Dalam hal ini negara
penahan dilarang menggunakan kekerasan dan penganiayaan yang bersifat fisik maupun
psikis.
c. Perlindungan Tawanan Perang pada Masa Tahanan
 Hak mendapatkan perlakuan manusiawi. Hal tersebut telah tertulis pada Konvesi
Jenewa III pasal 13 yang menyebutkan tentang kewajiban memperlakukan

8|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


tawanan perang dengan perlakuan yang manusiawi dan melarang melakukan hal
yang mengakibatkan kematian atau membahayakan kesehatan, seperti praktek
mutilasi tubuh.
 Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri. Mereka berhak mendapatkan hak-hak
sipil dalam kondisi apapun saat mereka tertangkap sebagai tawanan, yang mana
harus disesuaikan dengan hukum-hukum yang berlaku di negara asal mereka
bukan berasal dari hukum negara penahan. Mengenai tawanan wanita, mereka
harus diperlakukan dengan baik dan terhormat dan dalam segala hal sebaik yang
diberikan terhadap tawanan laki-laki. Perasaan mereka tidak boleh dinodai, dan
ditempatkan khusus bagi mereka harus disiapkan.
 Hak Perawatan Medis. Mewajibkan bagi negara yang melakukan penahanan
untuk memenuhi perawatan medis yang menjadi kondisi kebutuhan kesehatan
para tawanan. Mereka harus dijamin mendapatkan prosedur kesehatan yang
diperlukan untuk menjamin kebersihan, kesehatan, sanitasi kamp-kamp tawanan
perang, serta untuk mencegah tersebarnya wabah penyakit yang menular. Para
tawanan perang juga harus diberikan prasarana kesehatan yang layak dan
memenuhi syarat.
 Hak memperoleh perlakuan yang adil. Sesuai dengan pasal 16 dalam Konvensi
Jenewa III tahun 1949, negara yang memperlakukan penahanan wajib
memperlakukan tawanan perang dengan cara yang adil tanpa pembedaan
berdasarkan diskriminasi ras, kebangsaan, kepercayaan, agama, ideologi-ideologi
politik dan dikriminasi-diskriminasi lain yang serupa.
 Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan. Negara yang melakukan penahanan agar
memberikan kebebasan penuh kepada para tawanan perang untuk melakukan
kewajiban ibadah ritual keagamaan. Selain itu tokoh-tokoh agama yang jatuh
sebagai tawanan negara musuh, di perkenankan untuk membantu dan
membimbing para tawanan perang dalam melaksanakan ritual keagamaan
mereka.
 Hak aktivitas mental dan fisik. Sesuai dengan pasal 38 Konvensi Jenewa 1949,
negara yang melakukan penahanan berkewajiban memberikan dorongan dan

9|Konflik Bersenjata dan Perlindungan Korban Perang dalam HHI


motivasi bagi para tawanan untuk melakukan aktivitas intelektual, pendidikan,
kebudayaan dan olahraga, permainan-permainan dan perlombaan antar tawanan.
 Hak-hak mendapatkan kebutuhan primer seperti tempat tinggal, pangan dan
sandang.
 Hak berkomunikasi dengan Dunia Luar. Hal ini para tawanan perang harus dapat
mengkonfirmasi kepada keluarga dan kerabat dekat mereka tentang proses
penahanan, alamat kamp tawanan dan kondisi kesehatan mereka. Para tawanan
juga harus diizinkan untuk menerima paket-paket kiriman berupa makanan, obat-
obatan, brosur keagamaan dan pendidikan.
c. Perlindungan Orang Hilang dan Korban Tewas Dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam

Perlindungan Korban Hilang

Setiap pihak dalam konflik bersenjata diharuskan mencari orang orang hilang yang
diumumkan hilang oleh pihak lawannya begitu memungkinkan. Masing-masing diharuskan
untuk mengumumkan korban hilang tersebut kepada negara asal mereka secara langsung atau
melalui biro pusat pencarian orang hilang yang berada dibawah lemabaga nasional Komite
Palang Merah Internasional atau lembaga nasional atau badan Bulan Sabit Merah.

Perlindungan Korban Tewas

Hukum Humaniter Internasional menetapkan kewajiban dan menghormati korban tewas


yang bukan warga negara dimana mereka tinggal sebagai akibat dari pertikaian akibat korban
konflik bersenjata. Penghormatan yang sama juga harus dilakukan kepada jenazah oleh sebab-
sebab karena ia meninggal ketika menjadi tawanan atau dalam operasi militer. Upacara
pemakaman juga harus dilakukan sesuai dengan agama yang dianut oleh korban. Jenazah harus
dimakamkan ditempat pemakaman yang terhormat dan jika memungkinkan dikumpulkan oleh
satu lokasi pemakaman yang sesuai dengan kewarganegaraannya dan diatas batu nisannya harus
diberi tanda pengenal.

Selain itu dalam peperangan laut apabila akan dilakukan pemakaman jenazah korban
maka harus dilakukan secara perorangan sejauh keadaan yang memungkinkan dan apabila akan
didaratkan maka harus dilakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Dalam setiap kondisi

10 | K o n f l i k B e r s e n j a t a d a n P e r l i n d u n g a n K o r b a n P e r a n g d a l a m H H I
maka setiap pihak yang bertikai berkewajiban untuk mengidentifikasi korban dan sedapat
mungkin membuat laporan.

Pelindungan Korban Hilang dan Tewas dalam Hukum Islam

Dalam hukum islam mengharamkan segala bentuk penodaan terhadap kehormatan musuh
yang musuh yang tewas dalam peperangan. Dengan demikian masalah masalah yang berkaitan
dengan prosedur pemakaman jenazah korban yang hilang dalam pertempuran, perpulangannya
ke negara asal dan kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi negara dan keluarga dari korban
yang tewas sebagai mana ditetapkan oleh hukum humaniter internasional, semua itu tidaklah
bertentangan dengan Hukum Islam, selama pihak terkait sepakat melakukan hal yang sama.

d. Perlindungan Penduduk Sipil dan Objek-Objek Sipil dalam Hukum Humaniter


Internasional dan Hukum Islam

Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk


membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Hal tersebut tertulis dalam Protokol
tambahan Konvensi Jenewa Protokol Tambahan I tahun 1977, Pasal 48. Istilah penduduk sipil
mencakup semua orang yang berstatus sipil yang berdomisili didaerah-daerah yang sedang
pendudukan. Berdasarkan hal tersebut yang dimaksud adalah setiap orang yang tidak ikut
berperang. Perlindungan ini termasuk dengan orang sebagai penolong, wartawan dan personel
organisasi pertahanan sipil.

Penduduk sipil tidak boleh menjadi target serangan dan harus menerima perlindungan
umum dari berbagai resiko yang ditimbulkan oleh serangan militer yang bersifat defensif
maupun ofensif di wilayah terjadinya peperangan. Orang orang sipil harus diperlakukan secara
manusiawi tanpa perbedaan diskriminatif yang berdasarkan warna, jenis kelamin, pandangan
politik, agama atau kepercayaan dan lain-lain. Orang-orang sipil harus menerima perlindungan
berkaitan dengan kehormatan, kemuliaan, hak-hak keluarga, ideologi dan pelaksanaan ritual
keagamaan serta adat istiadat dan tradisi.

Negara harus menyediakan segala kebutuhan primer penduduk sipil yang berdomisili
diwilayah kependudukan seperti tempat tinggal, makanan, pakaian, tempat tidur, obat-obatan dan

11 | K o n f l i k B e r s e n j a t a d a n P e r l i n d u n g a n K o r b a n P e r a n g d a l a m H H I
kebutuhan-kebutuhan yang ada. Demikian pula pihak berwajib menjamin perawatan medis bagi
penduduk sipil yang mengalami cedera, sakit, orang-orang yang lemah, wanita hamil, bayi-bayi
yang baru lahir dan orang-orang cacat.

Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam

Hukum Islam melarang membunuh kaum wanita, orang tua renta, tokoh-tokoh agama,
para pekerja dan lain-lain yang ikut andil dalam hukum militer. Islam juga memelihara hak-hak
penduduk sipil yang sakit cedera dan lebih-lebih kepada mereka yang cacat. Islam juga
memelihara kemulian kaum wanita dan memberi perhatian khusus yang dapat menjamin
kebutuhan anak-anak dan kaum ibu. Demikian pula dalam pandangan islam, keutuhan keluarga
merupakan hal yang penting, sehingga Islam melarang memisahkan anak kecil dari kedua orang
tuanya dan saudara-saudaranya.

Perlindungan Objek Sipil dan Objek Budaya dalam Hukum Humaniter Internasional

Yang dimaksud dengan objek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran militer adalah “
semua objek yang tidak memiliki sumbangan yang efektif bagi aksi-asi militer, dan apabila
dihancurkan secara total atau sebagian, direbut atau dinetralisasi tidak akan memberikan
keuntungan militer yang pasti”. Penghancuran sentra-sentra penghasil panen, ternak, bahan
pangan, dan lain lain yang menjadi kebutuhan pokok penduduk sipil.

HHI sangat memperhatikan objek-objek budaya dan tempat peribadatan seperti wahana
spiritual bagi penduduk sipil. Setelah memperhatikan bahwa objek budaya ini rusak oleh tentara
NAZI pada Perang Dunia II, maka UNESCO berupaya mengusulkan untuk melindungi objek-
objek budaya dan kemudian ditetapkan oleh Konferensi Den Haag pada tanggal 14 Mei 1954.
Konferensi jenewa tentang HHI telah menyerukan negara-negara untuk bergabung dalam
kesepakatan tersebut.

Hukum Humaniter internasional dan Hukum Islam sama-sama sepakat dalam masalah
tersebut, karena pentingnya objek-objek tersebut untuk melindungi penduduk sipil. Lebih dari itu
perlindungan objek-objek sipil juga mencakup perlindungan terhadap kepentingan umum dan,
kekayaan, khazanah kemanusiaan, tradisi keagamaan dan spiritual suatu bangsa.

12 | K o n f l i k B e r s e n j a t a d a n P e r l i n d u n g a n K o r b a n P e r a n g d a l a m H H I
Penutup

Kesimpulan

Hukum Internasional memandang korban konflik bersenjata dari sudut pandang


kemanusiaan dengan memberikan jaminan perlindungan, memelihara hak-hak dan kebebasan
mereka, karena mereka tidak lagi dinggap sebagai ancaman pihak lawan, sehingga melanggar
hak-hak dan kebebasan mereka. Maka sesungguhnya Hukum Islam juga memandang para
korban konflik bersenjata itu dengan pandangan yang sama, dan memberikan jaminan dan
perlindungan yang sama. Teks-teks hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah dan hasil Ijtihad
para pakar hukum islam telah memberikan jaminann perlindungan bagi konflik korban
bersenjata. Hal tersebut telah di terapkan oleh Rasullulah dan empat khalifah setelahnya. Oleh
karena itu, jika didapati penyimpangan dari kaedah-kaedah Hukum Islam mengenai
perlindungan korban perang, maka kesalahan harus ditujukan kepada oknum-oknum yang telah
melanggar hak-hak dan jaminan perlindungan korban konflik bersenjata yang telah ditetapkan
Islam, suatu jaminan perlindungan yang sebenarnya lebih unggul daripada Hukum Humaniter
Internasional dewasa ini.

Daftar Pustaka
Henckaerts, J.-M. (Maret 2005). Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional
Kebiasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan terhadap tertib
hukum dalam konflik bersenjata. International Review of The Red Cross.

Mahfud, S. M. (t.thn.). Pengaturan Humaniter tentang Persenjataan Perang yang Diperkenankan


Untuk Dapat Digunakan oleh Para Pihak yang Terlibat dalam Konflik Bersenjata.

Mahmud, P. D. (2008). Prlinduungan Korban Konflik Bersenjata dalam Perspektif Hukum


Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Jakarta: International Committee of the Red
Cross (ICRC) Indonesia.

13 | K o n f l i k B e r s e n j a t a d a n P e r l i n d u n g a n K o r b a n P e r a n g d a l a m H H I

Anda mungkin juga menyukai