Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEPEMILIKAN DALAM EKONOMI SYARIAH

DOSEN

Heri Natoil, S.Ag., M.M.

DISUSUN OLEH

1. Azis Muzaeni (1602010752)


2. Rahmat Gilang R. (1602010805)
3. Sofa Balianty (1602010807)
4. Dina Helly R. (1602010818)

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Semarang

(STIE Semarang)
LATAR BELAKANG

Masalah kepemilikan sekarang ini masih menjadi perselisihan. Ada yang


menganggap milik nasional dan masyarakat harus mengakui bahwa pemerintah lah yang
memiliki semua sumber. Ada juga yang memperlakukan sebagai milik perorangan,
sehingga setiap orang bisa menikmati kebebasan hak memiliki.

Kepemilikan sebagai persoalan ekonomi mendapat perhatiaan yang cukup besar


dalam islam. Pada dasarnya, kepemilikan merupakan pokok persoalan dalam aktivitas
ekonomi manusia. Secara teologis, kepemilikan yang hakiki berada di tangan Allah.
Manusia hanya di beri kesempatan untuk menjalankan dalam bentuk amanat. Islam
menggariskanbahwa kepemilikan senantiasa dipahami dalam dunia dimensi, kepemilikan
umum, dan khusus. Kepemilikan umum berkaitan dengan karakter manusia sebagai
makhluk sosial, sedangkan kepemilikan khusus merupakan pengejawantahan sebagai
makhluk individu. Manusia harus diberikan ruang yang sama untuk mengakses sumber
kekayaan umum. Tidak ada pembedaan hirarkhis mengingat manusia mempunyai
kedudukan sama dihadapan Tuhan. Hanya ketakwaan, dan kepatuhan terhadap demarkasi
ketetapan Tuhan yaqng membedakan manusia. Dalam hal ini, kreativitas dan kapasitas
personal memiliki peran penentu dalam mewujudkan kesejahteraan dari usaha pemanfaatan
kekayaan alam yang telah disediakan oleh Tuhan.

Karakter makhluk sosial bukanlah hal dominan yang berkembang dalam diri
manusia. Pada saat tertentu, manusia menunjukkan sisi lainnya yaitu sikap egois dan tidak
memperdulikan orang lain yang merupakan pengejawantahan sisi sebagai makhluk hidup.
Bahkan dalam batas-batas tertentu, manusia dapat saling menjatuhkan dan menyingkirkan
orang lain. Sebagai perimbangan, harus ada institusi sosial yang mengatur dan memberikan
regulasi dalam relasi sosial.
PEMBAHASAN

Teori Kepemilikan

Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan
syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap
harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah
sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.
Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat
dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.

Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan
kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh,
kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak
atasnya dan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya
selama tidak ada halangan syara'.

Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara', maka ia
memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat
atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti
gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk
memanfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan
syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.

Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang
dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasiliyas umum) seperti jalan
umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta
ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset
publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh
publik, maka harta tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki oleh
individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan oleh syara'.
Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-
belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada
penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan)
boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut. Begitu juga dengan
aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh diperjualbelikan
(privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatarbelakangi adanya darurat atau
kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh
ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga
harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas.

Harta Dalam Sudut Pandang Islam

Harta dalam literatur Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits) dikenal dengan sebutan al-mal, kata
jamaknya al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut 24 kali kata mal atau al-mal, satu kali kata
maliyah dan 61 kata amwal dalam puluhan surat dan puluhan ayat.

Secara harfiah, kata al-mal berasal dari kata mala-yamilu-maylan-wa-mayalanan-wa-


maylulatan-wa-mamilan, artinya miring, condong, cenderung, suka, senang dan simpati.
Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa, kapan dan dimanapun pada
dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada harta khususnya uang. Al-Qur’an
surah Al-Fajr ayat 20 melukiskan kegemaran manusia terhadap harta di antaranya :

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”

Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini harus mendapatkan bimbingan wahyu
yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah tujuan hidup ini akan tetapi hanya sebagai
wasilah belaka yang nanti di hari kiamat harus dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang
dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga
digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling
menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah
dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses
pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.

Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada
sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman,
konsumsi dan hibah atau pemberian. Maka seluruh apapun yang digunakan oleh manusia
dalam kehidupan dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan,
perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanan-kelautan dan pakaian termasuk
dalam kategori al-amwal atau harta kekayaan.

Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena harta
merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai
kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.

Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut
sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan
hidup manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan
manusia, karena harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia
(al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.

Kepemilikan Harta Dalam Islam

Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta yang dikukuhkan
dan dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku digunakan untuk menunjukkan
arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan “Hadza milkii,” yang artinya ini adalah sesuatu
milikku baik berupa barang atau kemanfaatan.

Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah
adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan
manusia dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.

Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak atas pemilikan hak
milik sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga
agen kehidupan ini tidak boleh menjadikannya sebagai sumber konflik antara ketiganya.
Hak milik menurutnya adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk
menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan
jenisnya.

Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik
pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
1. Kepemilikan Individu (private property)

Kepemilikan individu ( Private Property ) adalah hukum syara’ yang ditentukan pada zat
ataupun kegunaan (ntilty) tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk
memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya
diambil kegunaan (ntilty)-nya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi
untuk dihapuskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.

Dengan demikian jelaslah, bahwa makna kepemilikan individu ( Private Property ) itu
adalah mewujudkan kekuasaan pada seseorang terhadap kekayaan yang dimilikinya dengan
menggunakan mekanisme tertentu, sehingga menjadikan kepemilikan tersebut sebagai hak
syara’ yang diberikan kepada seseorang. Dimana, undang-undang telah menjadikan
pemeliharaan hak milik individu tersebut sebagai kewajiban Negara. Hak milik tersebut
juga harus dihormati, dijaga, serta tidak boleh dicederai. Oleh karena itu dibuatlah sanksi-
sanksi hukum yang bersifat preventif yang diberlakukan kepada siapa saja yang menciderai
hak tersebut baik karena mencuri, merampok, atau karena cara-cara lain yang tidak
dibenarkan oleh syara’.

2. Kepemilikan Umum (collective property)

Kepemilkan umum adalah izin al-syari’ kepada suatu komonitas untuk bersama-sama
menfaatkan benda atau barang, dan tidak boleh hanya dikuasai satu orang saja. Karena
milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya, namun dilarang untuk
memilikinya

Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-
benda yang telah dinyatakan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahi
Alaihi Wasallam bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana
mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini,
hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang saja.

Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok ;

A. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum


Bentuk fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia
secara umum. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menjelaskan dalam
sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. lbnu Majah juga
meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallalahu Alaihi Wassalam
bersabda : “Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun)
yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Anas r.a meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan :
Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk
diperjualbelikan.

B. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar


Bahan tambang dapat boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang
tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus
dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta
(hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu,
maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak
boleh dimiliki secara pribadi.

C. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu


secara perorangan.
Benda yang dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum yaitu jalan raya,
sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari merupakan
fasilitas umum dan hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun
benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, tetapi berbeda dari segi sifatnya,
bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil
dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air,
mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh
suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan
jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh
individu.
3. Kepemilikan Negara (state property)

Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum
muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara
dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk
mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.

Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara,
namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik
umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat
membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda
dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada
individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa Ta’ala. Sedangkan manusia
adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan
membangunnya dengan menggunakan harta Allah Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu
adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama
orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Allah Subhana Wa Ta’ala
berfirman,

“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”

Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi sosial yang tujuannya adalah
menyejahterakan masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-
kemaslahatannya. Jadi dengan begitu, kepemilikan individu di dalam pandangan Islam
merupakan sebuah fungsi sosial. Syaikh Abu Zahrah berpandangan, bahwa tidak ada
halangan untuk mengatakan bahwa kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus
diketahui bahwa itu harus berdasarkan ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim,
karena mereka tidaklah selalu orang-orang yang adil.

Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta ( mal ) adalah apa saja yang bisa menjadi kekayaa, terlepas dari apapun bentuknya.
Sedangakan yang dimaksud dengan sebab kepemilikan harta adlah sebab yang menjadikan
seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnyatidak menjadi hak miliknya. Syara’
telah menjelaskan masing-masing kepemilikan dan pengembaangan kepemilikan tersebut
dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah masing-masing.

Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta
tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima
sebab sebagai berikut :

1. Bekerja

Mengamati salah satu bentuk kekayaan yang ada, baik adanya secara alami, semisal jamur,
ataupun ada karena di usahakan manusia, seperti roti dan mobil, maka nampak jelaslah
bahwauntuk memperolehnya membutuhkan kerja ( usaha )tertentu. Kata kerja itu sanagtlah
luas wujudnya, jenisnya bermacam-macam, bentuknya pun beragam, serta hasilnya
berbeda-beda, maka Alla SWT, tidak membiarka kata “ kerja “ tersebut dalam bentuk
secara umum. Dengan itu maka telah ditetapkan oelh Allah dengan jelas makna kerja
tersebut yang layak dijadikan sebab kepemilikan adalah sebagai berikut :

A. Menghidupkan tanah mati,


B. Menggali kandungan mati,
C. Berburu
D. Makelar ( samsarah )
E. Perseroan antara harta dan tenaga
F. Mengairi harta pertanian
G. Kontrak tenaga kerja

2. Waris

Waris juga termasuk kedalam sebab-sebab kepemilikan harta, harta diwarisi dari pada
orang yang telah mati melalui dua cara yaitu pewarisan dan wasiat. Pemilikan harta melalui
pewarisan harta bersifat milk al-tam yaitu milik penuh dan penguasaanya adalah mutlak.
Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekayaan. Hanya masalahnya,
membagikan warisan tersebut bukan marupakan illat, bagi waris tersebut, akan tetapi,
sarana tersebut hanya marupakan penjelas tentang fakta waris itu sendiri.

3. Kebutuahan akan harta untuk menyambung hidup

Di antara sebab-sebab kepemilikan yang lain adalah kebutuhan akan harta untuk
menyambung hidup, juga termasuk kedalam sebab kepemilikan, sebab hidup merupakan
hak setiap orang. Sehinggan dia wajib untuk mendapatkan kehidupan ini sebagai haknya,
bukan sebagai hadiah, maupun belas kasihan. Salah satu seba yang bisa menjamin warga
negara atau manusia untuk mendapatkan kekuatan, adalah dengan bekerja. Apabila tidak
mampu bekerja, maka negara wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya. Karena
negara adalah “pengembala” atas rakyat, serta bertanggung jawab atas terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya.

4. Pemberian harta negara kepda rakyat

Yang juga termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah pepmberian negara kepada
rakyatnya yang di ambil dari harta baitumal, dalam rangka memenuhi hajat hidup, atau
memamfaatkan pemilikan mereka. Mengenai memenuhi hajat hidup mereka, adalah
semisal memberi mereka harta untuk menggarab tanah mereka.

5. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta dan tenaga

Yang juga termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu, sebagian
mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu dengan tanpa kompensasi harta
tau tenag apa pun, dalam hal mencakup lima hal :

A. Hubungan pribadi, antar sebagian orang dengan sebagain yang lainnya, baik harta
yang diperoleh karena hubungan ketika masih hidup, seperti hibbah atau hadiah,
ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat.
B. Pemilikan harta sebagai ganti rugi ( kompensasi ) dari kemudharatan yang menimpa
seseorang, semisal diyat orang yang terbunuh dan diyat luka karena di lukai orang.
C. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah.
D. Luqathah ( barang temuan ).
E. Santunan yang diberikan kepda khalifah dan orang-orang yang di samakan
tugasnya, yaitu sama—sama melakukan tugas-tugas pemerintahan.

Macam-Macam Kepemilikan

Macam-macam kepemilikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : milik sempurna,
dan milik tidak sempurna. Yang dimakasud milik sempurna adalah memiliki atas zad
benda ( raqadah ) dan mamfaatnya adalah milik sempurna, sedangkan milik tidak sempurna
adalah milik atas salah satu zat benda atau mamfaatnya saja.

1. Milik sempurna

Milik sempurna tidak berbatas waktu, artinya sesuatu bendamilik seseorang selama zat dan
mamfaatnya masih ada, tetap menjadi miliknya, selagi belum dipindahkan kepada orang
lain. Pemilik sempurna bebas bertindak terhadap benda miliknya. Secara teori, sepintas lalu
tampak pada kita bahwa hukum islam memandang milik sempurna itu adalah milik mutlak
yang harus di jamin keselamatannya dan kebebasan pemiliknya melakukan tindakan-
tindakan terhadap milik itu. Namun, apabila kita pelajari lebih dalam, serta dihubungkan
dengan segi-segi ajaran islam tentang fungsi hak milik. Kebebasan pemilik benda bertindak
terhadap benda-benda miliknya itu tidak mutlak.

2. Milik tidak sempurna

Milik tidak sempurna dibedakan menjadi tiga bagian di antaranya adalah:

A. Milik atas zat benda saja


Milik seperti ini terjadi apabila zat sesuatu benda adalah milik seseorang, sedang
mamfaatnya adalah milik orang lain. Milik seperti ini dalam praktik terjadi dalam
bentuk penyerahan mamfaat benda oleh pemilik sempurna kepada orang lain, baik
berupa imbalan materiil maupun tidak.
B. Milik atas mamfaat benda saja
Dalam hal ini pemilik mamfaat benda bersifat perorangan karena yang menjadi titik
berat tujuannya adalah orang yang berkepentingan, bukan benda yang diambil
mamfaatnya. Dalam perikatan sewa menyewa, yang menjadi titk berat adalah orang
tertentu yang menyewa, bukan barang yang sewaan yang menghasilkan
pembayaran sewa, tanpa memperhatinkan siapa penyewanya. Oleh karenanya,
penyewa rumah tidak dibenarkan menyerahkan mamfaat rumah itu kepada orang
lain tanpa izin pemiliknya.
C. Hak-hak kebendaan
Milik atas mamfaat benda dalam sifat kebendaanya, atau hak-hak kebendaan itu
menitikberatkan pada sifat kebendaannya, tanpa memperhatinkan faktor orangnya.
Siapapun orangnya, ia memiliki hak tersebut, selagi ada hubungan kepentingan
dengan benda bersangkutan. Dengan kata lain, hak kebendaan itu melekat pada
benda yang diambil mamfaatnya, bukan pada keadaan orang yang berhak atas
mamfaat benda itu

Cara Memperoleh Kepemilikan

Cara yang sah memperoleh milik kepemilikan sempurna ada empat macam, yaitu :

1. Menguasai Benda Mati

Benda mubah adalah benda bebas yang belum pernah dimiliki seseorang. Menguasai benda
mubah dapat terjadi dengan :

A. Menghimpun tanah mati


Tanah mati adalah tanah yang belum pernah diolah dan belum pernah dimiliki
seseorang pun. Misalnya, hutan belukar, tanah di pegunungan dan sembagainya.
B. Berburu
Berburu binatang laut dan darat dibolehkan bagi semua orang. Siapa yang lebih
dulu memperoleh, dia jugalah yang memiliki hasil buruannya. Seseorang dipandang
telah memiliki binantang buruan apabila benar-benar telah menangkapnya, atau
dengan alat yang dipergunakan, binatang tidak dapat melepaskan diri lagi.
C. Menguasai tambang dan harta karun
Yang dimaksud tambang-tambang ialah benda-benda yang terjadi secara alami di
dalam tanah, dan dimaksud dengan harta karun ialah benda-benda yang tertanam
dalam tanah atas perbuatan orang padda masa lampau, ataukarena bencana alam
yang mangakibatkan tertimbunnya suatu kota.

2. Akad ( Perikatan ) Pemindahan Milik

Cara memperoleh milik sempurna dapat terjadi pula dengan akad pemindahan milik dari
seseorang kepda orang lain. Cara ini amat banyak macamnya, seperti jual beli, hibah (
pemberian ), wasiat, damai ( shuluh ), perkawinan dengan maskawin berupa benda dan
sebagainya.

3. Penggantian Milik dari Orang yang Telah Meninggal ( Warisan )

Hukum islam menentukan bahwa apabila seseorang meninggal duni, benda meiliknya
menjadi harta peninggalan yang dengan kekuatan hukum pindah menjadi milik ahli
warisnnya. Untuk memperoleh waarisan, tidak diperlukan adapernyataan menerima dari
ahli waris. Sebaliknya, seseroang tidak dapat menghalang-halangi ahli waris dari haknya
atas harta warisan. Hukum waris adalah ketentuan yang datang dari Allah, manusia tidak
berhak untuk merubah ketentuan-ketentuan dalam Hukum Waris Islam.

4. Syuf’ah

Fikih Islam mengenai sistem persekutuan yang antar lain berupa persekutuan antara dua
orang atau lebih untuk memiliki suatu benda, yang disebut syirkah milik. Para anggota
persekutuan berhak atas benda persekutuan itu sebesar sahamnya. Kecuali itu, mereka pun
berhak mempertahankan keanggotaan persekutuan agar tidak dimasuki orang lain hingga
benda milik persekutuan itu tidak akan jatuh ke tangan yang itdak mereka inginkan.

Oleh karena itu dalam syirkah milik terhadap ketentuan bahwa pabila ada anggota
persekutan yang akan memindahkan hartanya kepada orang lain, bukan anggota
persekutuan, harus mendapat izin dari anggota lainnya.
Kesimpulan

Dari beberapa penjelas di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai isi makalah
yang kami buat.

1. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang


kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk
tujuan pribadi.
2. Kepemilikin yang bisa dijadikan alat untuk mempertahankan berlangsungnya
kehidupa suatu masyarakat meiliki beberpa sebab kepmilikan, di antaranya
bekerrja, warisan, kebutuhan harta untuk menyambung hidup, pemberian negara
kepada rakyatnya, dan harta yang diperoleh tanpa ada kompensasi atau tenaga.
3. Adapun kepemilikan yang sah di dalam ilmu muamalah ada dua macam, yaitu :
milik sempurna, dan milik tidak sempurna. Yang dimakasud milik sempurna adalah
memiliki atas zad benda ( raqadah ) dan mamfaatnya adalah milik sempurna,
sedangkan milik tidak sempurna adalah milik atas salah satu zat benda atau
mamfaatnya saja.
4. Sedangkan dalam memperoleh harta agar bisa menjadi kepemilikan dan bisa
digunakan oleh pemilikmnya ada beberarap cara, yaitu : menguassai benda mubah,
akad pemindahan milik, penggantian milik dari orang yang telah meninggal. Dan
syuf’ah.

Anda mungkin juga menyukai