DOSEN
DISUSUN OLEH
(STIE Semarang)
LATAR BELAKANG
Karakter makhluk sosial bukanlah hal dominan yang berkembang dalam diri
manusia. Pada saat tertentu, manusia menunjukkan sisi lainnya yaitu sikap egois dan tidak
memperdulikan orang lain yang merupakan pengejawantahan sisi sebagai makhluk hidup.
Bahkan dalam batas-batas tertentu, manusia dapat saling menjatuhkan dan menyingkirkan
orang lain. Sebagai perimbangan, harus ada institusi sosial yang mengatur dan memberikan
regulasi dalam relasi sosial.
PEMBAHASAN
Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan
syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap
harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah
sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.
Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat
dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan
kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh,
kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak
atasnya dan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya
selama tidak ada halangan syara'.
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara', maka ia
memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat
atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti
gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk
memanfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan
syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang
dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasiliyas umum) seperti jalan
umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta
ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset
publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh
publik, maka harta tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki oleh
individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan oleh syara'.
Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-
belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada
penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan)
boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut. Begitu juga dengan
aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh diperjualbelikan
(privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatarbelakangi adanya darurat atau
kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh
ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga
harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas.
Harta dalam literatur Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits) dikenal dengan sebutan al-mal, kata
jamaknya al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut 24 kali kata mal atau al-mal, satu kali kata
maliyah dan 61 kata amwal dalam puluhan surat dan puluhan ayat.
Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini harus mendapatkan bimbingan wahyu
yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah tujuan hidup ini akan tetapi hanya sebagai
wasilah belaka yang nanti di hari kiamat harus dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang
dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga
digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling
menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah
dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses
pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada
sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman,
konsumsi dan hibah atau pemberian. Maka seluruh apapun yang digunakan oleh manusia
dalam kehidupan dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan,
perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanan-kelautan dan pakaian termasuk
dalam kategori al-amwal atau harta kekayaan.
Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena harta
merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai
kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.
Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut
sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan
hidup manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan
manusia, karena harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia
(al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.
Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta yang dikukuhkan
dan dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku digunakan untuk menunjukkan
arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan “Hadza milkii,” yang artinya ini adalah sesuatu
milikku baik berupa barang atau kemanfaatan.
Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah
adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan
manusia dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak atas pemilikan hak
milik sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga
agen kehidupan ini tidak boleh menjadikannya sebagai sumber konflik antara ketiganya.
Hak milik menurutnya adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk
menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan
jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik
pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
1. Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu ( Private Property ) adalah hukum syara’ yang ditentukan pada zat
ataupun kegunaan (ntilty) tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk
memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya
diambil kegunaan (ntilty)-nya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi
untuk dihapuskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.
Dengan demikian jelaslah, bahwa makna kepemilikan individu ( Private Property ) itu
adalah mewujudkan kekuasaan pada seseorang terhadap kekayaan yang dimilikinya dengan
menggunakan mekanisme tertentu, sehingga menjadikan kepemilikan tersebut sebagai hak
syara’ yang diberikan kepada seseorang. Dimana, undang-undang telah menjadikan
pemeliharaan hak milik individu tersebut sebagai kewajiban Negara. Hak milik tersebut
juga harus dihormati, dijaga, serta tidak boleh dicederai. Oleh karena itu dibuatlah sanksi-
sanksi hukum yang bersifat preventif yang diberlakukan kepada siapa saja yang menciderai
hak tersebut baik karena mencuri, merampok, atau karena cara-cara lain yang tidak
dibenarkan oleh syara’.
Kepemilkan umum adalah izin al-syari’ kepada suatu komonitas untuk bersama-sama
menfaatkan benda atau barang, dan tidak boleh hanya dikuasai satu orang saja. Karena
milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya, namun dilarang untuk
memilikinya
Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-
benda yang telah dinyatakan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahi
Alaihi Wasallam bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana
mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini,
hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang saja.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok ;
Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum
muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara
dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk
mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara,
namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik
umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat
membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda
dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada
individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa Ta’ala. Sedangkan manusia
adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan
membangunnya dengan menggunakan harta Allah Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu
adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama
orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Allah Subhana Wa Ta’ala
berfirman,
“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi sosial yang tujuannya adalah
menyejahterakan masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-
kemaslahatannya. Jadi dengan begitu, kepemilikan individu di dalam pandangan Islam
merupakan sebuah fungsi sosial. Syaikh Abu Zahrah berpandangan, bahwa tidak ada
halangan untuk mengatakan bahwa kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus
diketahui bahwa itu harus berdasarkan ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim,
karena mereka tidaklah selalu orang-orang yang adil.
Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta ( mal ) adalah apa saja yang bisa menjadi kekayaa, terlepas dari apapun bentuknya.
Sedangakan yang dimaksud dengan sebab kepemilikan harta adlah sebab yang menjadikan
seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnyatidak menjadi hak miliknya. Syara’
telah menjelaskan masing-masing kepemilikan dan pengembaangan kepemilikan tersebut
dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah masing-masing.
Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta
tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima
sebab sebagai berikut :
1. Bekerja
Mengamati salah satu bentuk kekayaan yang ada, baik adanya secara alami, semisal jamur,
ataupun ada karena di usahakan manusia, seperti roti dan mobil, maka nampak jelaslah
bahwauntuk memperolehnya membutuhkan kerja ( usaha )tertentu. Kata kerja itu sanagtlah
luas wujudnya, jenisnya bermacam-macam, bentuknya pun beragam, serta hasilnya
berbeda-beda, maka Alla SWT, tidak membiarka kata “ kerja “ tersebut dalam bentuk
secara umum. Dengan itu maka telah ditetapkan oelh Allah dengan jelas makna kerja
tersebut yang layak dijadikan sebab kepemilikan adalah sebagai berikut :
2. Waris
Waris juga termasuk kedalam sebab-sebab kepemilikan harta, harta diwarisi dari pada
orang yang telah mati melalui dua cara yaitu pewarisan dan wasiat. Pemilikan harta melalui
pewarisan harta bersifat milk al-tam yaitu milik penuh dan penguasaanya adalah mutlak.
Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekayaan. Hanya masalahnya,
membagikan warisan tersebut bukan marupakan illat, bagi waris tersebut, akan tetapi,
sarana tersebut hanya marupakan penjelas tentang fakta waris itu sendiri.
Di antara sebab-sebab kepemilikan yang lain adalah kebutuhan akan harta untuk
menyambung hidup, juga termasuk kedalam sebab kepemilikan, sebab hidup merupakan
hak setiap orang. Sehinggan dia wajib untuk mendapatkan kehidupan ini sebagai haknya,
bukan sebagai hadiah, maupun belas kasihan. Salah satu seba yang bisa menjamin warga
negara atau manusia untuk mendapatkan kekuatan, adalah dengan bekerja. Apabila tidak
mampu bekerja, maka negara wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya. Karena
negara adalah “pengembala” atas rakyat, serta bertanggung jawab atas terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya.
Yang juga termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah pepmberian negara kepada
rakyatnya yang di ambil dari harta baitumal, dalam rangka memenuhi hajat hidup, atau
memamfaatkan pemilikan mereka. Mengenai memenuhi hajat hidup mereka, adalah
semisal memberi mereka harta untuk menggarab tanah mereka.
Yang juga termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu, sebagian
mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu dengan tanpa kompensasi harta
tau tenag apa pun, dalam hal mencakup lima hal :
A. Hubungan pribadi, antar sebagian orang dengan sebagain yang lainnya, baik harta
yang diperoleh karena hubungan ketika masih hidup, seperti hibbah atau hadiah,
ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat.
B. Pemilikan harta sebagai ganti rugi ( kompensasi ) dari kemudharatan yang menimpa
seseorang, semisal diyat orang yang terbunuh dan diyat luka karena di lukai orang.
C. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah.
D. Luqathah ( barang temuan ).
E. Santunan yang diberikan kepda khalifah dan orang-orang yang di samakan
tugasnya, yaitu sama—sama melakukan tugas-tugas pemerintahan.
Macam-Macam Kepemilikan
Macam-macam kepemilikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : milik sempurna,
dan milik tidak sempurna. Yang dimakasud milik sempurna adalah memiliki atas zad
benda ( raqadah ) dan mamfaatnya adalah milik sempurna, sedangkan milik tidak sempurna
adalah milik atas salah satu zat benda atau mamfaatnya saja.
1. Milik sempurna
Milik sempurna tidak berbatas waktu, artinya sesuatu bendamilik seseorang selama zat dan
mamfaatnya masih ada, tetap menjadi miliknya, selagi belum dipindahkan kepada orang
lain. Pemilik sempurna bebas bertindak terhadap benda miliknya. Secara teori, sepintas lalu
tampak pada kita bahwa hukum islam memandang milik sempurna itu adalah milik mutlak
yang harus di jamin keselamatannya dan kebebasan pemiliknya melakukan tindakan-
tindakan terhadap milik itu. Namun, apabila kita pelajari lebih dalam, serta dihubungkan
dengan segi-segi ajaran islam tentang fungsi hak milik. Kebebasan pemilik benda bertindak
terhadap benda-benda miliknya itu tidak mutlak.
Cara yang sah memperoleh milik kepemilikan sempurna ada empat macam, yaitu :
Benda mubah adalah benda bebas yang belum pernah dimiliki seseorang. Menguasai benda
mubah dapat terjadi dengan :
Cara memperoleh milik sempurna dapat terjadi pula dengan akad pemindahan milik dari
seseorang kepda orang lain. Cara ini amat banyak macamnya, seperti jual beli, hibah (
pemberian ), wasiat, damai ( shuluh ), perkawinan dengan maskawin berupa benda dan
sebagainya.
Hukum islam menentukan bahwa apabila seseorang meninggal duni, benda meiliknya
menjadi harta peninggalan yang dengan kekuatan hukum pindah menjadi milik ahli
warisnnya. Untuk memperoleh waarisan, tidak diperlukan adapernyataan menerima dari
ahli waris. Sebaliknya, seseroang tidak dapat menghalang-halangi ahli waris dari haknya
atas harta warisan. Hukum waris adalah ketentuan yang datang dari Allah, manusia tidak
berhak untuk merubah ketentuan-ketentuan dalam Hukum Waris Islam.
4. Syuf’ah
Fikih Islam mengenai sistem persekutuan yang antar lain berupa persekutuan antara dua
orang atau lebih untuk memiliki suatu benda, yang disebut syirkah milik. Para anggota
persekutuan berhak atas benda persekutuan itu sebesar sahamnya. Kecuali itu, mereka pun
berhak mempertahankan keanggotaan persekutuan agar tidak dimasuki orang lain hingga
benda milik persekutuan itu tidak akan jatuh ke tangan yang itdak mereka inginkan.
Oleh karena itu dalam syirkah milik terhadap ketentuan bahwa pabila ada anggota
persekutan yang akan memindahkan hartanya kepada orang lain, bukan anggota
persekutuan, harus mendapat izin dari anggota lainnya.
Kesimpulan
Dari beberapa penjelas di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai isi makalah
yang kami buat.