Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disadari bahwa manusia tidak mungkin hidup di dunia sendirian dan tanpa
berhubungan dengan manusia lain. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial semacam ini
merupakan fitrah yang ditetapkan oleh Allah SWT. Itu sebabnya, salah satu hal yang
mendasar dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah adanya interaksi sosial dengan
manusia lain.
Interaksi sosial individu erat hubungan muamalahnya dengan individu yang lain.
Masing-masing berusaha dengan berbagai upaya, untuk menciptakan suatu kondisi yang
memudahkan keberlangsungan hidupnya. Tentu didalamnya tidak lepas dari hubungan timbal
balik, tolong menolong diantara sesama, lebih khusus lagi dalam hal pinjam-meminjam
barang. Sehingga manusia sangat mudah mendapatkan barang kebutuhannya tanpa harus
membelinya. Karena islam mengajarkan umat manusia untuk berbuat baik dan tolong
menolong diantaranya dalam masalah pinjam-meminjam barang.
Dalam kaitannya dengan hal muamalah, Islam datang memberikan dasar-dasar
dan prinsip-prinsip yang mengatur secara baik persoalan-persoalan muamalah yang dijalani
setiap manusia dalam kehidupan sosialnya. Hal tersebut mengantisipasi kalangan yang ingin
memanfaatkan kesempatan ditengah-tengah kesempitan orang lain.
Dengan demikian kami berusaha memaparkan bagaimana konsep ariyah (pinjammeminjam), baik dari segi pengertian, landasan, maupun ketentuan-ketentuan lain dalam
pinjam-meminjam.
B. Rumusan Masalah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Apa pengertian ariyah ?


Apa dasar hukum ariyah ?
Apa saja rukun ariyah ?
Apa saja syarat ariyah ?
Apa hukum ariyah ?
Bagaimana status aqad ariyah ?
Bagaimana sifat aqadariyah ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ARIYAH
Pinjam-meminjam adalah memberikan sesuatu yang halal kepada orang lain untuk
diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, agar dapat dikembalikan zat barang itu
(Sulaiman Rasyid, 1990: 301).1
Ariyah atau dalam istilah Wahbah Zuhaili, Iarah berasal dari akar kata : aara,
seperti dalam kalimat: sinonimnya : , artinya memberi
pinjaman.Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa lafad ariyah adalah nama bagi sesuatu
yang dipinjam. Imam Jauhari yang dikutip oleh wahbah Zuhaili mengatakan bahwa kata
ariyah dinisbatkan kepada lafadz ara(malu), karena sesungguhnya dalam mencari pinjaman
tersebut ada rasa malu dan aib.
Menurut istilah, definisi ariyah dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
a.

Ulama Hanafiah memberikan definisi ariyah sebagai berikut.



Menurut Syara ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan
imbalan.

b. Malikiyah memberikan definisi ariyah sebagai berikut.



Sesungguhnya ariyah kepelikan atas manfaat yang bersifat sementara tanpa disertai
dengan imbalan.
c.

Syafiiyah memberikan definisi ariyah sebagai berikut.



Hakikat ariyah menurut syara adalah dibolehkannya mengambil manfaat dari orang
yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang
dibolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh. Untuk kemudian dikembalikan kepada
orang yang memberikannya.

d. Hanabilah memberikan definisi ariyah sebagai berikut.



Iarah adalah kebolehan memanfatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang
memberi pinjaman atau lainnya.

1 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2000), h.126.

Dari definisi yang dikemukakan oleh ulama madzhab tersebut dapat dipahami
bahwa pada dasarnya para ulama tersebut pendapatnya hampir sama, bahwa ariyah atau
iarah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang diterimanya dari orang lain
tampa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Dalam dua definisi tersebut terdapat dua versi. Versi pertama Hanafiah dan
Malikiyah mendefinisikan ariyah dengan tamlik al-manfaat (kepemilikan atas
manfaat). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa manfaat dari benda yang dipinjam
dimiliki oleh si peminjam sehingga ia boleh meminjamkan kepada orang lain. Sedangkan
versi kedua, Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikan ariyah dengan ibahah al-intifa
(kebolehan mengambil manfaat). Dari definisi yang kedua dapat dipahami bahwa barang
yang dipinjam hanya boleh dimanfaatkan oleh peminjam, tetapi tidak boleh dipinjamkan
kepada orang lain.
B. Landasan Hukum Ariyah
Ariyah atau iarah merupakan perbuatan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) dan
dianjurkan berdasarkan Al-quran dan sunnah. Dalil dari Alquran sebagai berikut:
a.

Surat Al-Maidah (5) ayat (2) :2


Artinya : Dan tolong menolonglah dalam kebajikan dan taqwa
b. Surat Al-Maun (107) ayat (7) :
Artinya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.
Dalam ayat pertama, Allah memerintahkan umat Islam untuk saling tolong
menolong dalam mengerjakan kebaikan dan melarang untuk tolong menolong dalam
keburukan. Salah satu perbuatan yang baik itu adalah ariyah yakni meminjamkan kepada
orang lain barang yang dibutuhkan olehnya. Sedangkan dalam ayat yang kedua, Allah
menjelaskan bahwa salah satu cirri orang yang mendustakan agama adalah enggan menolong
orang lain. Syaikh Abdur-Rahman as-Sadi menafsirkan ayat (7) dari surat Al-Maun yakni
mereka tidak mau meminjamkan sesuatu yang tidak membahayakan jika dipinjam, seperti
wadah, kapak, dan lain sebagainya yang menurut kebiasaan barang-barang itu memang biasa
dipinjamkan.
Disamping Al-Quran, dasar hokum ariyah juga terdapat dalam sunnah Rasulullah
SAW, antara lain:

2 Q.S. Al-Maidah(5) ayat 2


3

1. Hadits Shafwan bin Umayyah :


: :
:
Dari Shafwah bin Umayyah bahwa Nabi SAW meminjam darinya pada saat perang hunain beberapa baju
perang, maka berkata Shafwan : Aapakah Anda merampas hai Muhammad? Nabi bersabda : Bukan,
melainkan pinjaman yang ditanggugkan, berkata Shafwan : Sebagian dari baju perang tersebut
hilang,maka Nabi menyodorkan kepadanya untuk menggantinya. Maka Shafwan berkata: Saya pada hari ini
lebih senang kepada Islam. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

2. Hadits Anas bin Malik


: :
.
Dari Anas bin Malik ia berkata: telah terjadi rasa ketakutan(atas serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi
meminjam seekor kuda dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau mengendarainya. Setelah
beliau kembali beliau bersabda : Kami tidak melihat apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan. (HR.
Muttafaq alaihi)

Dasar dari ijma adalah bahwa Fuqaha sepakat disyariatkannya ariyah


disunnahkan berdasarkan Ijma kaum muslimin. Ibnu Hubairah berkata : Ulama sepakat
bahwa ariyah hukumnya boleh sebagai ibadah yang disunnahkan sehingga orang yang
meminjamkan mendapat pahala. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa ariyah wajib bagi
orang kaya yang memiliki barang yang dapat dipinjamkan.
Selain mandub, hukum ariyah bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi.
Suatu ketika bisa wajib ketika meminjamkan baju untuk menahan panas atau dingin yang luar
biasa. Dan kadang-kadang bisa haram, seperti meminjamkan hamba sahaya perempuan
kepada orang lain. Disamping itu ariyah kadang-kadang bisa juga makruh, seperti seorang
muslim meminjamkan barang kepada orang kafir.
Dari ayat Al-quran dan hadits tersebut jelaslah bahwa ariyah merupakan salah satu
akad yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam. Oleh karena itu, dilihat dari sisi
orang yang meminjamkan ariyah merupakan perbuatan ibadah yang diberi pahala oleh Allah
SWT.
C. Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun al-ariyah itu hanya satu, yaitu ijab
(pernyataan meminjamkan) dari pihak yang meminjamkan. Adapun qabul (pernyataan
menerima dari pihak peminjam), menurut mereka, tidak menjadi rukun. Apabila seseorang
mengatakan kepada orang lain, saya pinjamkan sepeda ini kepada engkau, maka menurut
ulama Hanafiyah aqad itu sudah sah dan tidak perlu disambut dengan qabul, karena
aqad al-ariyah aqad yang mengikat salah satu pihak. Akan tetapi menurut Zufar bin
Huzail(728-774M), pakar fiqih Hanafi, dalam aqad al-ariyah diperlukan qabul.

Adapun rukun al-ariyah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :


a. Orang yang meminjamkan (muir)
b. Orang yang meminjam (mustair)
c. Barang yang dipinjam (muar)
d. Dan lafal peminjaman.
Bagi ulama Hanafiyah, orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, dan barang
yang dipinjam, termasuk kedalam syarat, bukan rukun.3
D. Syarat-syarat Ariyah
a. Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang yang meminjamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan
peminjaman.
1. Baligh. ariyah tidak sah dari anak yang masih dibawa umur, tetapi ulama
Hanafiah tidak memasukkan baligh sebagai syarat ariyah melainkan cukup
mumayyiz.
2. Berakal.
3. Tidak mahjur alaih karena boros atau pailit. Maka tidak sah ariyah yang
dilakukan oleh orang yang mahjur alaih, yakni orang yang dihalangi tasarrufnya.
4. Orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat barang yang akan
dipinjamkan.
b. Syarat orang yang meminjam
1. Orang yang meminjam harus jelas
2. Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada.
Dengan
demikian, meminjamkan barang kepada anak dibawah umur , dan gila
hukumnya tidak sah. Akan tetapi, apabilah peminjam boros, maka menurut qaul
yang rajih dalam madzhab syafii, ia diperbolehkan menerima sendiri ariyah tanpa
persetujuan wali.
c.

Syarat barang yang dipinjam.


1. Bisa diambil manfaatnya. Termasuk dalam kategori ini sesuatu yang bermanfaat
bagi peminjam dan tidak merugikan orang yang meminjamkannya. Pemilik tidak
boleh menolak untuk meminjamkannya. Jika dia menolak untuk
meminjamkannya, maka hakim boleh memaksakannya untuk membei pinjaman.
2. Harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk
diambil manfaatnya oleh syara.
3. Barang yang dipinjam apabila dimanfaatkan barangnya tetap utuh.

d. Syarat shighat
Shighat ariyah disyaratkan harus menggunakan lafal yang berisi pemberian izin
kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh orang yang
3 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2000),
h.127.
5

meminjamkan, baik lafal tersebut timbul dari peminjam maupun orang yang
meminjamkan.
E. Hukum Ariyah
Hukum ariyah adalah sunnah berdasarkan firman Allah Taala dalam surat Al Maidah
ayat 2, akan tetapi bisa jadi ariyah itu hukumnya menjadi wajib, misalnya meminjamkan
pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Dan hukumnya bisa haram apabila
barang yang dipinjam itu digunakan untuk sesuatu yang haram atau dilarang oleh agama.
Diantara hukum-hukum ariyah adalah sebagai berikut:
1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah(diperbolehkan)
Jadi seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk
digauli atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang
kafir atau meminjamkan parfum haram atau pakaian yang diharamkan, karena Allah
Taala berfirman :
Dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
(Al Maidah:2)
2. Jika muir (pihak yang meminjamkan) mengisyaratkan bahwa :
mustair (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika dia merusak
barang yang dipinjam, maka mustair wajib menggantinya, karena Rosulullah SAW
bersabda :
Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.
(riwayat Abu Daud dan Al Hakim)
Jika muir tidak mengisyaratkan, kemudian barang pinjaman rusak bukan karena
kesalahan mustair atau tidak karena disengaja, maka mustair tidak wajib mengganti,
hanya saja dia disunnahkan untuk menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda
kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah Satu tempat makanan.
makanan dengan makanan dan tempat dengan tempat.
(diriwayatkan Al Bukhari).
Namun jika kerusakannya hanya sedikit disebabkan karena dipakai dengan izin
tidaklah patut diganti, karena terjadinya sebab pemakaian yang diizinkan.(ridlo
kepada sesuatu berarti ridlo pula kepada akibatnya). Jika barang pinjaman mengalami
kerusakan karena kesalahan dan disengaja oleh mustair, dia wajib menggantinya
dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut,
karena Rasulullah SAW bersabda :
Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.
(Diriwayatkan Abu Daud, At Tirmidzi dan Al Hakim yang men-shahih-kannya)
6

3. Mustair (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika


ia mengembalikannya kepada muir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut
kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi. Rosulullah bersabda :
Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.
(diriwayatkan Abu Daud, At Tarmidzi dan Al Hakim)
4. Mustain tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun
meminjamkannya kepada orang lain dibolehkan, dengan syarat muin merelakannya.
5. Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam ataupun yang meminjamkan boleh memutuskan
aqad asal tidak merugikan kepada salah seorang di antara keduanya. Jika seseorang
meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian
kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan
sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga
tanaman yang ditanam diatas sawah tersebut telah dipanen, karena menimbulkan
mudharat kepada seorang muslim itu haram.
6. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, dia disunahkan tidak
meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.

F. Status Aqad Ariyah


Apabila aqad al-ariyah telah memenuhi rukun dan syaratnya, bagaimana status hukum
aqad itu ? apakah boleh aqad itu dibatalkan secara sepihak oleh pemilik barang ? dalam
persoalan ini terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ulama Hanafiyah, Syafi;iyah dan
Hanabilah, berpendapat bahwa aqad al-ariyah itu sifatnya tida mengikat bagi kedua belah
pihak. Artinya, pihak pemilik barnag boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau,
dan pihak peminjam juga boleh mengembalikan barang itu kapan saja ia kehendaki tanpa
membedakan apakah peminjam itu bersifat mutlak atau bersifat terbatas, kecuali jika
pembatalan aqad itu membawa madharat bagi peminjam, seperti tanah yang dipinjam untuk
menguburkan mayat. Dalam hal ini pemilik barang tidak dapat menuntut pemulangan tanah
itu dengan membongkar mayat dan memindahkannya ke tempat lain. Satu-satunya jalan
keluar yang boleh ditempuh dalam kasus seperti itu, menurut mereka, adalah menunggu
sampai mayat itu habis ditelan tanah, baulah pemilik tanah dapat memanfaatkan tanah
miliknya itu.
Menurut Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat
mengambil barangnya itu sebelum dimanfaatkan oleh peminjamnya. Apabila
aqad al-ariyah itu memiliki batas waktu pemanfaatan, maka pemilik barang itu tidak dapat
meminta kembali barangya itu sebelum tenggang waktu peminjaman jatuh tempo. Akan
tetapi, dikalangan Ulama Malikiyah sendiri ada pendapat yang membolehkan pemiik barang
mengambil barangnya kembali, jika aqad al-ariyah dilakukan secara mutlak tanpa syarat.

G. Sifat Aqad Ariyah


Disepakati oleh para ulama fiqih bahwa aqad al-ariyah itu bersifat tolong menolong,
akan tetapi mengenai masalah apakah aqad al-ariyah itu bersifat amanah ditangn peminjam
sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi setelah barang itu rusak, terdapat perbedaan
pendapat diantara mereka.
a.

Menurut ulama Hanafiyah al-ariyah ditangan peminjam bersifat amanah. Menurut


mereka , peminjam tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan barang yang bukan
disebabkan perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang itu. Akan tetapi,
apabila kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian peminjam dalam memelihara
amanah itu, maka ia dikenakan ganti rugi.
Aqad al-ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi aqad yang
dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Barang itu sengaja dirusak atau dimusnahkan.
2. Barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali.
3. Pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku atau
tidak sesuai syarat yang disepakati pada berlangsungnya aqad.
4. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang
ditentukan saat aqad.

b.

Menurut Hanabilah berpendapat bahwa al-ariyah adalah aqad yang mempunyai resiko
ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam atau disebabkan hal-hal lain.

c.

Menurut ulama Malikiyah menyatakn apabila barang yang dipinjamkan itu dapat
disembunyikan seperti pakaian, cincin emas, dan kalung mutiara, lalu peminjam
mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan ia tidak dapat
membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang itu rusak
ketika dimanfaatkan, tapi barang itu tidak bisa disembunyikan, seperti rumah dan tanah,
maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.

d.

Menurut ulama Syafiiyah apabila kerusakan itu disebabkan pemanfaatan yang tidak
disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya
oleh peminjam maupun oleh orang lain.

BAB III
PENUTUP
1.

Kesimpulan

Aqad Ariyah, yang sering kita sebut dengan pinjam-meminjam telah muncul sejak
adanya kehidupan. Mustahil jika suatu kehidupan di masyarakat tanpa terjadi ariyah, karena
pada dasarnya manusia hidup dengan kemampuan ekonomi yang berbeda. Suatu aqad pinjam
meminjam bernilai ibadah di sisi Rabb jika memenuhi aturan yang telah di tetapkan-Nya dan
sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh utusan-Nya di muka bumi.
Dari paparan yang telah penulis dapat kita tarik lebih mendalam bagaimana inti
pengertian ariyah, dasar hukum yang berdasar pada Al-Kitab dan Al-Sunnah, hukum dari
pada ariyah, rukun dan syarat, serta status dan sifatnya. Sekaligus terdapat perbedaan Ulama
fiqh menyikapi masalah-masalah yang terjadi sebagaimana yang telah penulis paparkan.
2.

Kritik

Tiada manusia yang sempurna selain utusan-Nya di muka bumi ini. Ungkapan inilah
yang paling fenomenal di kalangan kita semua, sehingga andaikata paparan penulis yang
telah diapresiasikan dalam bentuk makalah ini terdapat suatu hal yang belum sempurna di
mata pembaca, kritik para pembaca akan senantiasa penulis dengar demi membangun sebuah
karya tulis yang lebih baik sampai nantinya mencapai pada tingkatan sempurna.
3.

Saran

Demi menegakkan suatu hukum yang bijak serta bersih, harus di mulai dari siapa yang
melakukan tindak hukum tersebut. Selayaknya kita harus menjunjung tinggi hukum yang
berlaku bagi kita dengan dimulai dari hal yang berruang lingkup pada diri kita sendiri sampai
pada hal yang ruang lingkupnya terhadap semua kalangan. Dari hal yang ruang lingkup
pribadi dapat kita aplikasikan pada pembahasan yang penulis paparkan diatas, ariyah.

10

Anda mungkin juga menyukai