Anda di halaman 1dari 16

AKAD RAHN

Definisi Akad Rahn


• Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn, dapat juga
dinamai dengan al-habsu berarti “penahanan“
• cara etimologis al-rahn berarti tetap dan lama, sedangkan al-habs
berarti menahan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
• Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah
menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
• Dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong-menolong
bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.
• Makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan
disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan.
• Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan
barang jaminan, agunan dan runggahan.
• KUHPerdata pasal 1150 yaitu: Gadai (rahn) adalah suatu hak
yang diperoleh seorang berpiutang (murtahin) atas suatu
barang bergerak (marhun), yang diserahkan kepadanya oleh
seseorang yang berutang (rahin) atau oleh orang lain atas
namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada siberpiutang
itu, untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang-orang yang berpiutang lainnya,
dengan pengecualian, biaya penjualan sebagai pelaksana
putusan atas penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu,
yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai
yang harus didahulukan.
Pengertian Gadai (Rahn) yang Diberikan
Oleh Para Ahli
• Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah mengemukakan gadai (rahn)
adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,
yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
• Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap ha (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya
maupun sebagian.
• Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang
bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan
untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap.
Dasar Hukum Rahn
• Al-Qur’an, Surah Al-baqarah; 283
• Hadis, Artinya: “sesungguhnya Rasulullah SAW pernah
membeli makanan dengan berhutang dari seorang yahudi, dan
Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”. (HR
Bukhari dan Muslim).
• Ijma, atwa Dewan Syari‟ah Nasional No.
25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn.
Rukun Rahn

• Aqid (orang yang melakukan akad)


• Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan)
• Sighat (akad gadai)
Syarat Rahn
• Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak
hukum, kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama’ adalah orang
yang baligh dan berakal.
• Syarat marhun bih (utang) syarat dalam hal ini adalah wajib dikembalikan
oleh debitor kepada kreditor, utang itu dapat di lunasi dengan agunan
tersebut, dan utang itu harus jelas dan tertentu (spesifik).
• Syarat marhun (agunan) syarat agunan menurut ahli fiqh adalah harus dapat
di jual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang, agunan harus bernilai
dan dapat di manfaatkan menurut ketentuan hukum islam, agunan harus
jelas dan dapat di tunjukkan, agunan milik sah debitor, agunan tidak terkait
dengan pihak lain, agunan harus merupakan harta yang utuh dan agunan
dapat diserahterimakan kepada pihak lain, baik materi maupun manfaatnya.
• Ulama’ Hanafiah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, arena
akad ar-rahn sama dengan akad jual beli
Istilah yang Digunakan dalam Gadai
(Rahn)
• Pemilik barang (yang berhutang) atau penggadai diistilahkan
dengan rahn.
• Orang yang memberi utang atau penerima gadai, diistilahkan
dengan murtahin.
• Obyek atau barang yang di gadaikan, diistilahkan dengan
marhun
Kedudukan Barang Gadai
Dalam fiqh Islam, amanat adalah kewajiban yang harus dijaga
dan tidak ada bedanya dengan marhun karena marhun adalah
amanat bagi murtahin, ia tidak mesti mengganti jika suatu ketika
terjadi kerusakan atau musnah selama itu bukan karena
kelalaiannya
Jenis Barang Gadai (Marhun)
1. Perhiasan: Platinum, Emas, Perak, Mutiara dan sejenisnya
2. Peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan
makanan, minuman, alat elektronik dan sejenisnya.
3. Kendaraan bermotor roda dua dan roda empat.
Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik
oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan
status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai
amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-
masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh
dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu
tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta
izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi
milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai

Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang


di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i
dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak
menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum.
Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai
kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai menjadi tanggngan penggadai dengan
alas an bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap
merupakan miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah
berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan
memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan
penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang
menerima amanat.
Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang bias digadaikan sebagai jaminan adalah semua
barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Benda bernilai menurut hokum syara’
2. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
3. Benda diserahkan seketika kepada murtahin
Pembayaran atau Pelunasan Utang
Gadai.
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum
juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh
marhun untuk menjual barang gadaianya dan kemudian
digunakan untuk melunasi hutangnya.
Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan
tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan
bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang tersebut dengan
syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat
melunasi kewajibanya.

Anda mungkin juga menyukai