Anda di halaman 1dari 8

ARIYAH ( PINJAM MEMINJAM )

Pengertian Ariyah
dengan ditasydid ya kadang juga di tahfif (tidak ditasydid) dan yang pertama itu lebih fasih dan masyhur. Adalah nama untuk
sesuatu yang dipinjam atau untuk akad ariyah. Diambil dari kata yaitu pergi dan datang. Dikatakan juga dari yaitu,
perputaran dan pertukaran. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 5:4035)
Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah (Mausuah al-Fiqh al-Islami, 3:552) mendefinisikannya dengan:

:
al-Ariyyah adalah membolehkan manfaat/kegunaan suatu barang tanpa pengganti
Sayyid Sabiq (Fiqh al-Sunnah, 3:239) dan Abdul Adzim bin Badawi (al-Wajiz Fi Fiqh al-Sunnah, 1:369) mengatakan para fukaha
mendefinisikan ariyah sebagai berikut:


Pemilik barang membolehkan manfaat barang miliknya kepadaorang lain tanpa pengganti
Oleh karena itu ariyah berbeda dengan hibah. Hibah adalah pemanfaatan barang baik dzat maupun manfaatnya sedangkan ariyah
manfaat/gunanya saja. Hibah menjadikan seseorang memiliki barang yang diberikan, sedangkan ariyah membolehkan seseorang
untuk menggunakan manfaat/kegunaan dari barang yang dipinjamkan.
Hukum Ariyah
Asal disyariatkannya ariyah(pinjam meminjam) adalah al-Kitab, sunnah, ijma dan logika. Adapun dari al-Quran adalah firmnan-Nya
yang termaktub dalam QS. al-Maun:
Diriwayatkan dari Ibn Abbas dan Ibn Masud bahwa al-Maun adalah orang yang meminjam.
Adapun dari sunnah adalah:









Dari Abu Umamah ia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam khutbahnya ketika haji wada:
Barang pinjaman itu harus dikembalikan, orang yang menjamin harus membayar jaminannya serta hutang harus dibayar.
Dari segi ijma kaum muslimin sepakat diperbolehkankan ariyah.
Adapun dari segi logikaadalah ketika dibolehkan menghibahkan barang maka boleh juga menghibahkan manfaat/kegunaannya.(alMausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 5:182)

Ariyah menurut bahasa berarti datang dan pergi, namun ada juga yang artinya saling menukar
dan mengganti. Sedangkan menurut istilah, ulama fikih berbeda pendapat dalam
mendefenisikannya, yaitu :

Menurut Syarkasyi dan ulama Malikiyah :


Pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa ganti
Menurut ulama Syafiiyah dan Hambaliyah :
Pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa ganti[1]
Jadi dapat disimpulkan bahwa Ariyah adalah perbuatan pembolehan memanfaatkan barang
milik oleh seseorang kepada orang lain pada waktu tertentu tanpa ada imbalan.
Ulama sepakat ariyah boleh dilakukan terhadap barang yang bermanfaat seperti rumah, hewan,
dan seluruh barang yang diperbolehkan agama untuk memanfaatkannya.
Berikut ini adalah beberapa ayat Al Quran yang berhubungan dengan ariyah.
1. A. Surat Al Maidah : 2







Arti : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekalikali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya
Menurut keterangan yang terdapat dalam tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab
menyatakan bahwa di dalam ayat ini Allah menyeru orang-orang beriman : Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu melanggar syariat-syariat Allah dalam ibadah haji dan umrah
bahkan semua ajaran agama, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, yaitu Dzul
Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab, jangan menganggu binatang Al Hadya, yaitu
binatang yang akan disembelih di Mekah dan sekitarnya. Demikian juga jangan menganggu Al
Qalaid, yaitu binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah binatang
persembahan yang sangat istimewa dan juga jangan menganggu pengunjung Baitullah, yakni
siapa yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah sedang mereka melakukan hal tersebut
dalam hal mencari dengan sungguh-sungguh karunia keuntunga duniawai dan keridhaan
ganjaran yang Ukhrawi dari Tuhan mereka.

Apabila kamu telah bertahallul menyelesaikan ritual ibadah haji atau umrah atau karena satu dan
lai sebab sehingga kamu tidak menyelesaikan ibadah kamu, misalnya karena sakit atau terkepung
musuh, maka berburulah jika kamu mau.
Dan janganlah sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun kepada suatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Mesjid Haram, mendorong kamu berbuat
aniaya kepada mereka atau selain mereka. Dan toleong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan, yakni segala macam bentuk dan macam hal yang membawa kepada kemaslahatan
duniawi atau ukhrawi dan demikian juga tolong menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala
upaya yang dapat menghindarkan bencana duniawi dan ukhrawi, walaupun dengan orang yang
yang tidak seiman dengan kamu, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat siksa-Nya.
[2]
Dalam ayat ini, terdapat firman-Nya yang berarti Dan tolong menolonglah kamu dalam
kebajikan dan ketakwaan, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Ini adalah
merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun, selama tujuannya adalah
kebajikan dan ketakwaan.
Firman Allah ini merupakan dasar hukum Ariyah (pinjam meminjam) karena dapat saling tolong
menolong sesama manusia selama berada dalam kebajikan. Bila diperhatikan ayat kedua surat Al
Maidah ini, secara nyata disana disebutkan bahwa perbuatan tolong menolong tidak mutlak
berlaku atas semua perbuatan. Secara jelas ayat tersebut mengungkapkan bahwa dalam lapangan
perbuatan yang bersifat tercela, tolong menolong itu malah dilarang. Dalam soal hukum sesuatu
persoalan, para ulama pun selalu menekankan bahwa ketentuan-ketentuan hukum tentang suatu
masalah amat berkaitan erat dengan illat hukum, sehingga dikatakan bahwa adanya hukum itu
ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat. Dalam kerangka ini pun, ariyah tidak pula terlepas
dari illat hukum.
Sehubungan dengan itu, ariyah bias menjadi wajib atas seseorang yang mempunyai kelebihan
harta untuk meminjamkannya kepada seseorang yang sangat membutuhkan, yang mana jika
orang itu tidak diberi pinjaman akan menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang
dilarang agama, seperti ia kan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Akan tetapi bila seseorang memberikan pinjaman yang mana dengan meminjamkan
hartanya itu ia bermaksud menganiaya peminjam itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ariyah
menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan paa kondisi-kondisi yang amat bervariasi, hukum
pinjam meminjam pun bisa sangat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah.
[3]
Asbabun Nuzul ayat :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al Hathm bin Hind Al Bakri dating ke madinah
membawa kafilah yang penuh dengan makanan, dan memperdagangkannya. Kemudian ia
menghadap Rasulullah SAW untuk masuk Islam dan berbaiat (sumpauh setia). Setelah ia
pulang, Rasulullah SAW bersabda kepada orang-orang yang ada pada waktu itu bahwa ia masuk

ke sini dengan muka seorang penjahat dan pulang dengan punggung pengkhianat. Dan sesudah ia
sampai ke Yamamah, ia pun murtad dari Islam.
Pada suatu waktu di bulan Dzul Qaidah, ia (Al Hathm) berangkat membawa kafilah yang penuh
dengan makanan ke menuju Mekah. Ketika para sahabat Rasul mendengar berita kepergiannya
ke Mekah, bersiaplah segolongan kaum muhajirin dan anshar untuk mencegat mereka. Akan
tetapi turunlah ayat ini ( Al Maidah : 2 ) yang melarang perang pada bulan haram. Pasukan
itupun tidak jadi mencegatnya.[4]
1. B. Surat An Nisa : 58


Arti : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Di dalam Al Maraghi dijelaskan tentang ayat ini, bahwa :


Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
Ada macam-macam amanat yang terkandung dari ayat ini, yaitu :
Pertama : Amanat hamba dengan Tuhannya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya
untuk dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan
menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya dan
mendekatkannya kepada Tuhan.
Kedua : Amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan titipan
kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib dilakukan
terhadap keluarga, manusia pada umumnya dan pemerintah. Termasuk di dalamnya keadilan
umara terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan
membimbing mereka kepada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi meeka di dunia dan di
akhirat seperti pendidikan yang baik, mencari rizki yang halal, memberikan nasehat dan hukumhukum yang menguatkan keimanan, menyelamatkan mereka dari berbagai kejahatan dan dosa
serta mendorong mereka untuk berbuat kebajikan.
Ketiga : Amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti hanya memili yang paling pantas dan
bermanfaat bagi dirinya dalam masalah agama dan dunianya, tidak langsung mengerjakan hal
yang berbahaya baginya di dunia dan akhirat, serta menghindarkan berbagai penyakit sesuai
dengan pengetahuan dan petunjuk dokter,


dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil
Di dalam banyak ayat, Allah memerintahkan untuk berbuat adil. Diantaranya seperti dalam ayat :

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa ( Al Maidah : 8 )

Jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan keadilan ( An Nisa : 135 )
Pemutusan perkara diantara manusia mempunyai banyak jalan, diantaranya ialah : pemerintahan
secara umum, pengadilan, dan bertahkim kepada seseorang untuk memutuskan perkara antara
dua orang yang bersengketa dalam perkara tertentu.
Kemudian Allah menerangkan keadilan dan penyampaian amanat. Dia berfirman :

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu
Sebaik-baik sesuatu yang dinasihatkan kepada kalian adalah menyampaikan amanat dan
memutuskan perkara dengan adil diantara manusia. Sebab Dia tidak menasihatkan kecuali yang
mengandung kebaikan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.


Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kalian wajib menjalankan segala apa yang diperintahkan dan dinasihatkan Allah, karena Dia
lebih mengetahui daripada kalian tentang segala apa yang terdengar dan terlihat.[5]
Pada ayat ini yang berhubungan dengan ariyah adalah Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Yang mana dijelaskan bahwa
ariyah berpegang pada prinsip saling menguntungkan antara orang yang berakad maka dalam
suatu transaksi tidak boleh ada yang dirugikan. Dengan demikian pihak yang meminjam
berkewajiban mengganti barang pinjaman yang rusak selama barang tersebut masih ada dalam
kekuasaannya. Karena peminjam telah memperoleh manfaat dari barang yang dipinjamnya.
Ariyah atau pinjam meminjam merupakan keizinan pemanfaatn barang untuk sementara waktu
bukan pemindahan milik. Apabila telah habis waktu yang ditentukan, maka peminjam wajib
mengembalikan barang pinjamannya kepada pemilik barang. Karena pada hakikatnya barang
pinjaman merupakan amanat yang wajib dikembalikan, sesuai dengan surat An Nisa ayat 58.[6]

Asbabun Nuzul ayat :


Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul makkah, Rasulullah SAW memanggil
Utsman bin Talhah untuk meminta kunci kabah. Ketika Utsman dating menghadap Rasul untuk
menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata : Ya Rasulullah, demi Allah,
serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan
pengairan.Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah :Berikanlah
kunci itu kepadaku, wahai Utsman ! Utsman berkata : Inilah dia amanat dari Allah. Maka
berdirilah Rasulullah membuka kabah dan kemudian keluar untuk thawaf di baitullah. Lalu
turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepad Utsman. Rasulullah
melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An Nisa ayat 58.[7]
1. C. Surat Al Baqarah : 282






Arti : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah[179] tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Dalam tafsir Al Misbah disebutkan bahwa surat Al Baqarah ayat 282 ini dimulai dengan seruan
Allah SWT kepada kaum yang menyatakan beriaman, Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisanya.

Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan bagi orang yang beriman, tetapi yang dimaksud
adalah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah
berhutang. Ini agar yang member piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu.
Kata tadayantum yang ada pada ayat diterjemahkan dengan bermuamalah. Kata ini memiliki
banyak arti tetapi makna yang terkandung di dalamnya selalu menggambarkan hubungan antar
dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dan satunya berkedudukan lebih rendah.
Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara langsung, yakni hutang piutang.
Selanjutnya Allah menegaskan : Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya
dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku
di masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Selanjutnya kepada
para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah
telah mengajarkannya hendaklah ia menulis.
Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik
dalam menulis maupun selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal
kejujurannya sebagai saksi.
Pada kelanjutan ayat disebutkan : Dan janganlah saksi-saksi itu enggan apabila dipanggil, karena
kengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Kata kalimat berikutnya :
Janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis, karena dengan hal tersebut
membuat para saksi dan penulis kehilangan pekerjaannya, oleh itu tidak ada salahnya
memberikan mereka biaya transportasi atau semacamnya. Lalu di lanjutkan dengan kata-kata :
Jika kamu melakukan yang demikian maka sesungguhnya itu adalah kefasikan pada dirimu.[8]
Dalam ayat ini, jelas tergambar bahwa segala transaksi yang terjadi di upayakan untuk
mengadakan pencatatannya. Seperti dalam ariyah diharapkan segala hal yang terjadi di catat
dengan mendatangkan saksi sehingga tidak terjadi kesalahan di kemudian hari dengan adanya
pencatatan tersebut. Karena jika suatu hari peminjam berkilah bahwa ia tidak pernah meminjam
dapat dibuktikan dengan adanya catatan tersebut serta dengan adanya saksi.
[1] Rahmat SyafeI, Fikih Muamalat,( Bandung : CV Pustaka Setia, 2001 ), h. 139-140
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah 3, (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 9-10
[3] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 38-39
[4] Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung : CV Diponegoro, 2007), h. 181-182
[5] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, ( Semarang : Toha Putra, 1986 ), h. 116-118
[6] Rozalinda, Fikih Muamalah dan Aplikasinya, (Padang : Hayfa Press, 2005), h. 120

[7] Shaleh dkk, Op. Cit, h. 145


[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah 1, (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 602-608

Anda mungkin juga menyukai