Anda di halaman 1dari 10

1. A.

Pengertian
Ariyyah atau 'Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa macam
makna, yaitu:
1. 'Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran antara
mereka.Kata itu diambil dari masdar at ta'wur dengan memakai artinya kata at tadaawul.
2. 'Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi kata itu diambil dari
akar kata 'arahu-ya'ruuhu-' urwan.
3. ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata
‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. [1]
Secara terminologi Al Ariyah adalah adalah kemampuan memanfaatkan barang yang
masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman
barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman
dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama. [2]
Itulah makna kata 'Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan pengertiannya dalam
terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini ada Perincian beberapa madzhab:
 madzhab Maliki (Al Malikiyah)
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang
dipinjam.[3]Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer
(sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki
manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak
untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan. Maka pemberian hak memiliki manfaat
tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
 madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama
mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”.[4] Pendapat
ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak
milik, tetapi tidak sah dengan ucapan [i]membolehkan kecuali dengan tujuan meminjam
pengertian memberikan hak milik.
b. Bahwasannya orang yang meminjam bisa meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang
lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang
menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya
memungkinkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain.
 madzhab Syafii (Asy Syafi'iyyah)
Perjanjian meminjamkan adalah memungkinkan mengambil manfaat dari orang yang memiliki
keahlian melakukan donasi dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam kondisi
barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan
kesukarelaan. [5] Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya)
kepada Lina ( orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk
meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.
 madzhab Hanbali (Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau
pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak
dengan tanpa imbalan ongkos.[6]

Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuati yang
dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah
“Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.”[7]
1. B. Tambahkan otoritas 'ariyah

Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-
Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:
("Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2)

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya." (An-Nisa: 58)
Asbab dengan ayat Nozzle:

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul Makkah, Rasulullah SAW memanggil
Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Rasul untuk
menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah,
serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan
pengairan”.Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah :”Berikanlah
kunci itu kepadaku, wahai Utsman !” Utsman berkata : “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka
berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di baitullah. Lalu
turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah
melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An Nisa’ ayat 58

"Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan." (HR Abu Daud)
"Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim
(berbuat aniaya)." (HR Bukhari dan Muslim)
'Ariyah atau i'arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan
diselenggarakan berdasarkan Alqur'an dan Sunnah. Menurut Sayyid Sabiq, 'Ariyah adalah
sunnah, sedangkan menurut al-Ruyani, bahwa' Ariyah hukumnya wajib. Adapun landasan
hukumnya dari nash Alqur'an dalam Surat Al-Maidah ayat 2:
"Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat berta siksa-Nya. "
Disamping Al qur'an, dasar hukum 'Ariyah juga ada dalam sunnah Rasulallah SAW, antara lain:
Hadis Shafwan bin Umayyah: “dari Shafwan bin Umayyah bahwa Nabi SAW meminjam darinya
pada saat perang Hunain beberapa baju perang, maka berkata Shafwan: “Apakah anda
merampas hai Muhammad?” Nabi bersabda: “Bukan, melainkan pinjaman yang
ditanggungkan,” Berkata Shafwan: “sebagian dari baju perang tersebut hilang,” maka Nabi
menyodorkan kepadanya untuk menggantinya. Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari ini lebih
senang kepada islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
1. C. ariyah Berbagai Berbagai '
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam ('Ariyah) pada umumnya dapat
dibedakan menjadi dua macam:
1. ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan
batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu
tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak
ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada
objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat
tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat
karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar
batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat
antara mu’ir danmusta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis
barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi
izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2. ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi.
Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman,
meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang
membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait
obyek yang akan dipinjamkan.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal
yangberkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut,
misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak dapat
menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai
dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu'ir harus bertanggung jawab.
1. D. Rukun & Ketentuan 'Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan,
tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh
hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, "Saya utangkan benda ini kepada
kamu" dan yang menerima mengatakan "Saya mengaku berutang benda anu kepada kamu."
Ketentuan bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu'ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta'ir yaitu orang menerima
utang.Ketentuan bagi mu'ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan persyaratan
bagi mu'ir dan musta'ir adalah:
 Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil;
 Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
 Orang tersebut tida dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh
orang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang dipinjamkan. Pada rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
 Materi yang dipinjamkan dapat di manfaatkan, maka tidak sah ' Ariyah yang materi nya tidak
dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan
untuk menyimnapn padi.
 Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ' Ariyah yang pengambilan manfaat materinya
dibatalkan oleh Syara ', seperti meminjam benda-benda najis. [8]
Persyaratan ' Ariyah terkait dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang
meminjamkan, orang yang meminjam, barang / benda yang dipinjamkan.
Adapun syarat-syart al-'Ariyah itu diperinci oleh para ulama fiqh sebagai berikut:
1. Mu’ir (orang yang meminjamkan)
Anggota (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak
menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Anak kecil dan orang yang
dipaksa, tidak sah meminjamkan.
1. Mus'tair (orang yang menerima pinjaman)
- Baligh
- Berakal
- Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada di bawah
perlindungan, seperti pemboros. Harus seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak
kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima
kebaikan.
1. Mu'ar (benda yang dipinjamkan)
- Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah 'Ariyah yang mu'arnya tidak
dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan
untuk menyimpan padi. [9]
- Pemanfaatan itu dibolehkan oleh syara '(tolong menolong dalam hal kebaikan), maka batal'
Ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara '. Misalnya kendaraan yang
dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara ', seperti
bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya.Dan apabila kendaraan tersebut digunakan untuk pergi
ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh syara ', sekalipun akad atau transaksi' Ariyah pada
dasarnya sah.
- Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan
wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan
bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan
barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya
diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain,
tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama
15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
- Jenis barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau hancur seperti
rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang apabila diambil manfaatnya akan habis atau
musnah seperti makanan.
- Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
Barang yang dipinjam syaratnya :
Ada manfaatnya.
Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan yang setelah
diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus
segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir bila salah satu
dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali
sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang
barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam
dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.
1. E. Hikmah ‘Ariyah
Adapun hikmah dari ‘Ariyah yaitu :
1. Bagi peminjam
A. Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaatsesuatu yang belum dimiliki.
B. Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia
sendiri tidak memilikinya.
1. Bagi yang memberi pinjaman
A. Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugrahkan
kepadanya.
B. Allah akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
C. Membantu orang yang membutuhkan.
D. Meringankan penderitaan orang lain.
E. Disenangi sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah dalam surat al-maun
ayat 4-7
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya[1], dan enggan (menolong dengan) barang
berguna[2].”
[1] Riya adalah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan
tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
[2] Sebagian mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.
1. F. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman dapat meminjamkan benda-benda
pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk
hal-hal yang tidak berbeda dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali,
peminjam dapat memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya
selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya
menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seiring pemilik barang. Jika peminjam
suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan
kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam
kondisi seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang
memegang ketika barang itu rusak.
1. G. Pembayaran Pinjaman
Setiap pinjaman wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau mengembalikan
pinjaman, bahkan melalaikannya juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu
perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda: " Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar
utang adalah aniaya "(Riwayat Bukhari dan Muaslim). Melebihkan pembayaran dari sejumlah
pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang
semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang mengembalikan pinjaman. Rasulallah
Saw. Bersabda: "sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-
baiknya dalam membayar utang" (Riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulallah pernah meminjam
hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari
hewan yang ia pinjam. Kemudian Rasu bersabda: " Orang yang paling baik diantara kamu
adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik "(Riwayat Ahmad) Jika
penambahan itu diinginkan oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad
berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul
bersabda: "Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari
sekian cara riba" (Dikeluarkan oleh Baihaqi). [10]
1. H. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang
nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a. pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam dengan
menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi
perempuan.
Allah SWT berfirman,
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak
ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam
hati akan membayar/mengembalikannya.
c. Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang
meminjam.Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang
hendaknya membalaskannya.
d. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat
pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
I. ADAB berutang
Adab pinjam meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir dan mu’ir:
a. Untuk Musta'ir
1. Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat
2. Berniat melunasinya
3. Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shalih
4. Meminjam sesuai dengan kebutuhan
5. Lunasi tepat pada waktunya dan jangan menundanya
6. Membayar dengan cara yang baik
b. Untuk Mu’ir
1. Niat yang benar dalam memberi pinjaman
2. Bersikap baik dalam menagih pinjaman
3. Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu membayar pada waktunya
4. Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikanya [11]
J. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang
lainnya. Demikian menurut IDN Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai'I dan Ishaq dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: "Pemegang kewajiban menjaga apa
yang ia terima, sampai ia mengambilkannya". [12]
Sementara para pengikut Hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak
berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena
Rasulallah Saw. Bersabda:
"Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan" (Dikeluarkan al-
Daruquthin)
Kewajiban Peminjam

Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW bersabda:
“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR. Abu
Dawud) [13]
Merawat barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda: "Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia
kembalikan barang itu". (HR. Ahmad)
K. Hukum Kerusakan Atas Pinjaman
Hukum atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah.
Bila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam
tidak diharuskan mengganti, Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling percaya-
mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang
tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya. Shofwan bin Umayyah
menginformasikan, Sesungguhnya Nabi saw. telah meminjam beberapa baju perang dari
Shofwan pada waktu Perang Hunain. Shofwan bertanya: "Paksaankah, ya Muhammad?"
Rosulullah saw. menjawab: "Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin". Kemudian (baju perang itu)
hilang sebagian, maka Rosulullah saw. mengemukakan kepada Shofwan akan
menggantinya. Shofwan mengatakan: "Saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam Islam."
(HR. Ahmad dan Nasai). [14]
Allah swt berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya." (QS An-Nisaa ': 58).
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya,
kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman
harus bertanggung jawab:
Al-Amir ash-Shan'ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, "Yang dimaksud
kata madhmunah(dijamin) adalah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika terjadi
kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu'addah (tertunaikan)
adalah barang pinjaman yang harus dikembalikan seperti semula, namun sementara ada
kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya. "Lebih lanjut dia menyatakan," Hadits yang
diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat, bahwa 'Ariyah tidak
harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa
pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat. " [15]
L. Perbedaan Qardh dan Ariyah
Di dalam fiqih Islam, utang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh
secara etimologis (bahasa) adalah Al-Qath'u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang menerima hutang.
Sedangkan pengertian istilah Qardh menurut ulama Hanafiyah berpendapat qardh adalah: harta
yang diberikan seseorang dari maal mitsli untuk kmudian dibayar atau dikembalikan.
Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang suatu saat
harus di kembalikan.
Hanbaliyah berpendapat qardh adalah: memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantiannya.
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik
pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian
dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka
di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Al-Qardhu atau Al-Qard menurut pandangan syara 'adalah sesuatu yang dipinjamkan atau utang
diberikan.Menurut istilah para fuqaha, utang adalah memberi hak milik sesuatu barang kepada
orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya tanpa tambahan.
Lebih jelasnya perbedaan antara qardh dengan 'Ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian barang
yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang sama, terjadi transfer
kepemilikan. Misalnya, uang satu juta dikembalikan uang satu juta, dan beras satu kilo
dikembalikan beras satu kilo. Sedang 'Ariyah, tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang
dikembalikan barang yang dipakai. Misalnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak
sawah.

Penutup
Kesimpulan
‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Dasar hukum ‘ariyah
berasal dari Quran surat Almaidah:2, An Nisa:58 dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Ada dua macam 'Ariyah yaitu' Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang
bersifat terikat dengan batasan tertentu dan 'Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam
barang yang bersifat tidak dibatasi.
Rukun ‘ariyah Menurut Hanafiyah yaitu ijab dan kabul, Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah
lafazh; Mu’irdan Musta’ir; benda yang dipinjamkan.
Hikmah dari ‘Ariyah dapat ditujukan bagi peminjam seperti dapat memenuhi kebutuhan
seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki dan bagi yang memberi pinjaman
seperti membantu orang yang membutuhkan.
Setiap pinjaman wajib dikembalikan sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar
mengembalikannya. Dalam pinjam meminjambaik Mu'ir maupun Musta'ir harus memperhatikan
adab-adab dalam pinjam meminjam dan saling bertanggung jawab atas barang pinjaman
Bila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam
tidak diharuskan mengganti, akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari
pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya.
Perbedaan antara qardh dengan 'Ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian barang yang dipinjamkan
ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang sama, terjadi transfer kepemilikan. Misalnya,
uang satu juta dikembalikan uang satu juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu
kilo. Sedang 'Ariyah, tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang
dipakai. Misalnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
Daftar Pustaka

Abdul Jalil, Ma'ruf. 2006. Al-Wajiz . Jakarta: Pustaka As-Sunah


Abdullah bin aburrahmanabasam, syarahbulughulmaram
al-Asqalani, IbnuHajar. 2007. Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam . Jakarta: Akbar
al-Jazairi, Abu Bakar. 2004. Ensiklopedia Muslim, Bab 5 :Muamalah. Jakarta : Rajagrafindo,
AzZuhaili, Wahbah. Fiqih Islam WaAdillatuhu. , 2011. Jakarta: GemaInsani
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. 2000. Jakarta : Darul Falah
http://miragustina90.blogspot.com/2012/11/pengertian-alariyah.html. Diakses pada tanggal 20
Maret 2013
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqih/muamalah/691/pinjam-meminjam-ariyah.html.
Diakses pada tanggal 20 Maret 2013
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih . Bandung: penerbit Titian Ilmu
Mas'ud, Drs. H. ibnu. FiqihMadzhabSyafi'i. Bandung: CV Pustaka Media
Rahman, Abdul GhazalyDkk. 2010. FiqihMuamalah cet I. Jakarta :Kencana

Anda mungkin juga menyukai