Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kesehatan kepada kita semua. Salawat beriring salam kami kirimkan
kepada junjungan alam yakni nabi besar Muhammad SAW yang telah membuat umat
dari alam kebodohan sampai alam yang berilmu pengetahuan yang kita rasakan saat ini.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber buku dan jurnal yang ada, dan
dilengkapi pula dengan website yang berkenaan langsung dari makalah yang kami susun
ini dengan topik pembahasan makalah ini, yaitu “ AYAT DAN HADITS TENTANG
AKUNTANSI ”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, Kami


sebagai penulis menerima kritikan dan saran yang dapat membangun makalah ini. Kami
sebagai penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Atas
kritikan dan sarannya Kami ucapkan terima kasih.

Malang , 09 Maret 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .................................................................... 3
C. Tujuan Masalah ........................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Teks Al-Qur’an Tentang Akuntansi....................................... 5
B. Terjemahan Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 282.............. 5
C. Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 282......................................... 6
D. Pembahasan Tentang Akuntansi............................................. 13
E. Teks Hadits Tentang Akuntansi.............................................. 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia mempunyai dua kegiatan yang pokok yaitu ibadah dan
muamalah. Dalam Islam istilah ibadah mempunyai makna segala bentuk kegiatan
dalam rangka penyembahan seorang muslim kepada Allah SWT atau yang sering
disebut dengan Habluminallah. Sedangkan muamalah mempunyai makna segala
kegiatan yang dilakukan dalam rangka perbaikan hubungan antar sesama manusia
dalam rangka pemenuhan kebutuhan kehidupan dunia.
Salah satu kegiatan muamalah adalah pencatatan keuangan atau sering
disebut dengan akuntansi. Akuntansi bukanlah ilmu baru bagi umat manusia.
Sejarah mencatat bahwa akuntansi sudah ada dan dipraktekkan sejak sekitar 8.000
tahun sebelum masehi. Dalam pengertian yang sederhana, akuntansi dapat
dipahami sebagai kegiatan pencatatan kegiatan usaha bisnis, baik komersial
maupun nonkomersial, untuk tujuan tertentu.
Akuntansi syariah merupakan hal penting bagi semua pemakai lembaga
keuangan yang berbasis syariah dan yang berkepentingan terhadapnya. Akuntansi
syariah merupakan suatu akuntansi yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan
oleh Allah SWT. Akuntansi syariah merupakan bagian dari upaya kita dalam
membangun ilmu sosial profetik di bidang akuntansi. Perintah normatif telah ada
dalam Al-Qur’an, berikutnya adalah menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk
teori akuntansi syariah yang pada gilirannya digunakan untuk memberikan arah
tentang praktek akuntansi yang sesuai dengan syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Surat apa yang menjadi dasar akuntansi dalam Al-Qur’an?
2. Apa arti/terjemahan dari surat Al-Qur’an tentang akuntansi tersebut?
3. Bagaimana penafsiran dari ayat tentang akuntansi tersebut?
4. Bagaimana penjelasan tentang akuntansi tersebut?
5. Hadits apa yang menjelaskan tentang akuntansi?

3
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui surat dalam Al-Qur’an tentang akuntansi.
2. Mengetahui terjemahan dari surat tersebut.
3. Mengetahui penafsiran dari ayat akuntansi tersebut.
4. Mengetahui penjelasan tentang akuntansi.
5. Mengetahui hadits tentang akuntansi.

4
‫‪BAB II‬‬
‫‪PEMBAHASAN‬‬

‫‪A. Teks Al-Qur’an Tentang Akuntansi‬‬

‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ ِ‬
‫ب َبْينَ ُك ْم‬ ‫ين َآمنُوا إ َذا تَ َد َايْنتُ ْم ب َديْ ٍن إىَل ٰ أ َ‬
‫َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوهُ ۚ َولْيَكْتُ ْ‬ ‫يَا أَيُّ َها الذ َ‬
‫ب َولْيُ ْملِ ِل الَّ ِذي َعلَْي ِه‬
‫ب َك َما َعلَّ َمهُ اللَّهُ ۚ َف ْليَكْتُ ْ‬
‫ب أَ ْن يَكْتُ َ‬
‫ِ‬ ‫َكاتِ ِ ِ‬
‫ب بالْ َع ْدل ۚ َواَل يَأْ َ‬
‫ب َكات ٌ‬ ‫ٌ‬
‫ضعِي ًفا أ َْو‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫احْل ُّق ولْيت َِّق اللَّه ربَّه واَل يبخ ِ‬
‫س مْنهُ َشْيئًا ۚ فَِإ ْن َكا َن الَّذي َعلَْيه احْلَ ُّق َسف ًيها أ َْو َ‬
‫َ َ َ َ َ ُ َ َْ َ ْ‬
‫ِ‬ ‫اَل يستَ ِطيع أَ ْن مُيِ َّل هو َف ْليملِل ولِيُّه بِالْع ْد ِل ۚ واستَ ْش ِه ُدوا َش ِه َ ِ‬
‫يديْ ِن م ْن ِر َجال ُك ْم ۖ فَِإ ْن مَلْ‬ ‫َُ ُْ ْ َ ُ َ َ ْ‬ ‫َْ ُ‬
‫ضو َن ِمن الشُّه َد ِاء أَ ْن تَ ِ‬
‫ض َّل إِ ْح َدامُهَا َفتُ َذ ِّكَر‬ ‫ِ مِم‬
‫يَ ُكونَا َر ُجلَنْي ِ َفَر ُج ٌل َو ْامَرأَتَان َّْن َت ْر َ ْ َ َ‬
‫صغِ ًريا أ َْو‬
‫ُّه َداءُ إِذَا َما ُدعُوا ۚ َواَل تَ ْسأ َُموا أَ ْن تَكْتُبُوهُ َ‬ ‫إِ ْح َدامُهَا اأْل ْ‬
‫ُخَر ٰى ۚ َواَل يَأْ َ‬
‫ب الش َ‬
‫َّه َاد ِة َوأ َْدىَنٰ أَاَّل َت ْرتَابُوا ۖ إِاَّل أَ ْن تَ ُكو َن‬ ‫ِ‬ ‫َكبِريا إِىَل ٰ أَجلِ ِه ۚ ٰذَلِ ُكم أَقْس ُ ِ ِ‬
‫ط عْن َد اللَّه َوأَْق َو ُم للش َ‬ ‫ْ َ‬ ‫َ‬ ‫ً‬
‫وها ۗ َوأَ ْش ِه ُدوا إِذَا َتبَ َاي ْعتُ ْم ۚ‬ ‫اضرةً تُ ِ‬
‫ِ‬ ‫جِت‬
‫اح أَاَّل تَكْتُبُ َ‬
‫س َعلَْي ُك ْم ُجنَ ٌ‬
‫َ‬ ‫ي‬
‫ْ‬‫َ‬‫ل‬‫ف‬‫َ‬ ‫م‬
‫ْ‬ ‫ك‬
‫ُ‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫ي‬
‫ْ‬ ‫ب‬
‫َ‬ ‫ا‬ ‫ه‬
‫َ‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫و‬‫ير‬
‫َ َارةً َح َ ُ‬
‫د‬

‫وق بِ ُك ْم ۗ َو َّات ُقوا اللَّهَ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم اللَّهُ ۗ‬


‫ب َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوإِ ْن َت ْف َعلُوا فَِإنَّهُ فُ ُس ٌ‬ ‫ِ‬
‫ض َّار َكات ٌ‬
‫َواَل يُ َ‬
‫ٍ ِ‬ ‫ِ‬
‫َواللَّهُ ب ُك ِّل َش ْيء َعل ٌ‬
‫يم‬
‫‪B. Terjemahan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 282‬‬
‫‪“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang‬‬
‫‪untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah‬‬
‫‪seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis‬‬
‫‪menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya,‬‬
‫‪maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu‬‬
‫‪mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhan-nya, dan‬‬
‫‪janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika orang yang berhutang itu‬‬

‫‪5‬‬
kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri,
maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang
laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara
orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang
lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu
menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk
batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil
di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu
kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah
penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah,
Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”

C. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 282


Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang dikenal oleh para ulama
dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain
berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang
piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris),
sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah
dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq
(ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan riba (ayat 275-
279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu atau bahkan
menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian
tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan
larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan
melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang

6
yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman
dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang
mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan
terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga
lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan
kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah,
dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati terhadap orang yang
memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini,
yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang
walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah
tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut pemeliharaan dan
penulisan hutang piutang.
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada kaum yang
menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya.”
Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukkan kepada orang-orang
beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-
piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi
piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu, karena menulisnya adalah
perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.
Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan
kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika itu. Memang sungguh sulit
perintah diterapkan diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika
perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis
ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya
belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang mengalami pinjam dan
meminjamkan.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan
berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Firman

7
Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah dari-Nya agar
dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah disini merupakan perintah yang
bersifat membimbing, bukan mewajibkan.
Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi
ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga
merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata
adil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis,
yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis
perjanjian, dan kejujuran.
Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi
ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga
merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata
adil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis,
yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis
perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan
yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping menuntut adanya
pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi
tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda
dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan
digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk
membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan
menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarnya, maka
hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas
pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang piutang, penulis,
kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang

8
mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang disepakati untuk ditulis.
Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi
lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang
berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan
didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang
berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu
yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang
agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya
adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya,
baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain,
yang dicakup kesepakatan bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu
mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab,
atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang
digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur.
Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut
persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orng lelaki di antara
kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan
anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada demikian tim Departemen
Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau
kalau bukan- menurut hemat penulis yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki,
diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan. Yakni seseorang lelaki
diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan? Ayat ini menjelaskan

9
bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka
seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa
kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena
kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama atau karena
emosinya sering tidak terkendali? Hemat penulis tidak ini dan tidak itu.
Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama
wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.
Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria,
suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi
perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak
istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan
memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-
anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak
jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak
mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang
melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja
yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-masing
jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek
perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih
kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak
banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk hutang piutang. Ingatannya
pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak
diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di
atas ditetapkan. Dan, karena al-Quran menghendaki wanita memberi perhatian
lebih banyak kepada rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya
ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-
piutang, baik suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab
lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria.
Karena itu demi menguatkan persaksian, dua orang wanita diseimbangkan dengan
seorang pria, supaya jika seseorang lupa maka seseorang lakgi mengingatkannya.
Sekali lagi hemat penulis ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual

10
wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari
kemampuan pria.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksipun
Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan apabila
mereka dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak
atau terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun
ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah
menjadi saksi. Jika anda melihat satu peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika
itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat
dinamai saksi walaupun belum lagi melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat
ini dapat berarti, janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan
menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang, banyak orang, sejak dahulu
apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling
sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu,
mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain
yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk
menegakkan keadilan.
Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang
penulisan hutang piutang, tapi dengan memberi penekanan pada hutang piutang
yang jumlahnya kecil, padahal yang kecil pun dapat menyebabkan permusuhan,
bahkan pembunuhan. Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi seringkali dapat
membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu
membayarnya.
Yang demikian itu, yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang
dibicarakan itu, lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam
kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu
penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di
antara kamu.

11
Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muammalah dilakukan dalam bentuk
hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah di sini oleh mayoritas ulama
dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan
menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga;
kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu
kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau
hutang piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi
jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau menyalahi ketentuan penulisan.
Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami
sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang
berhutang dan pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid, dapat berarti
janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga
berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis.
Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis
adalah hilangnya kesempatan memperoleh rejeki, karena itu tidak ada salahnya
memberikan mereka ganti transport dan biaya administrasi sebagai imbalan jeri
payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi
hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat
kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak
sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta
yang melakukan muammalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakana terkelupasnya kulit
sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt
atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang melakukan suatu
aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka
kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.

12
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah kepada Allah
mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini
dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi,
merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaki
perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara
terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan
tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
D. Pembahasan Tentang Akuntansi
Pada dasarnya, kegiatan akuntansi merupakan kegiatan mencatat,
dilanjutkan dengan menganalisis, menyajikan dan menafsirkan data keuangan dari
aktifitas berhubungan dengan produksi, pertukaran barang-barang danjasa-jasa,
atau berhubungan dengan pengelolaan dana-dana bagi perusahaan yang bertujuan
memperoleh keuntungan, akuntansi memberikan metode untuk menentukan
apakah lembaga tersebut memperoleh keuntungan atau sebaliknya menderita
kerugian, sebagai hasil dan transaksi-transasi yang dilakukan. Akuntansi sebagai
alat bantu  manajemen (tool management) dapat memberikan informasi tentang
kondisi keuangan dan hasil operasi perusahaan seperti tercermin pada catatan
keuangan perusahaan yang bersangkutan.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah
Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa
tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah
Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang
membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi
Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin
ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan
Akuntansi tersebut.
E. Teks Hadits Tentang Akuntansi
‫ُف بْنُ هَّللا ِ ُع َب ْي ُد َح َّد َث َنا‬
َ ‫بْنُ م َُح َّم ُد َح َّد َث َنا َقا َل ْال َع َتكِيُّ ْال َح َس ِن بْنُ َو َجمِي ُل ْال ُج َبي ِْريُّ يُوس‬
َ ‫َتاَل َقا َل ْال ُخ ْد ِريِّ َسعِي ٍد أَ ِبي َعنْ أَ ِبي ِه َعنْ َنضْ َر َة أَ ِبي بْنُ ْال َملِكِ َع ْب ُد َح َّد َث َنا ْالعِجْ لِيُّ َمرْ َو‬
‫ان‬
‫ِين أَ ُّي َها َيا } اآْل َي َة َه ِذ ِه‬ ٍ ‫أَم َِن َفإِنْ َبلَ َغ َح َّتى م َُس ًّمى أَ َج ٍل إِلَى ِب َدي‬
َ ‫ْن َتدَا َي ْن ُت ْم إِ َذا آ َم ُنوا الَّذ‬

13
‫ض ُك ْم‬ ْ ‫َق ْبلَ َها َما َن َس َخ‬
ً ْ‫ت َه ِذ ِه َف َقا َل { َبع‬
ُ ْ‫ضا َبع‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Yusuf Al Jubairi dan
Jamil bin Al Hasan Al Atiki keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Marwan Al Ijli berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul
Malik bin An Nadlrah dari Bapaknya dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata ketika
dia membaca ayat ini: ' Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian
berhutang piutang untuk waktu tertentu, hendaklah kalian menuliskannya, hingga
ayat: ' Akan tetapi jika sebagian kalian percaya kepada sebagian yang lain', ia
mengatakan, "Ayat ini menghapus ayat yang sebelumnya." (IBNU MAJAH -
2356)
Dalam hadits tersebut diterangkan bahwa orang yang melakukan hutang
piutang harus melakukan pencatatan. Pencatatan ini berfungsi agar orang yang
berhutang dan orang yang dihutangi akan tetap ingat akan hutangnya. Manusia
mungkin saja bisa lupa terhadap sesuatu termasuk hutangnya. Pencatatan juga
bertujuan untuk meminimalisir kesalah pahaman terhadap orang yang berhutang
dan yang dihutangi.
Seseorang yang melakukan pencatatan harus mencatat transaksi yang telah
terjadi dengan teliti dan jujur. Ketelitian seseorang sangat dibutuhkan dalam
proses pencatatan agar tidak terjadi kesalahan. Dan kejujuran merupakan sifat
yang harus dimiliki oleh setiap orang termasuk orang yang melakukan pencatatan
transaksi. Jika orang tersebut tidak juju, maka orang tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses pencatatan hendaknya juga harus
disaksikan oleh beberapa saksi. Ada beberapa hadist lain mengenai akuntansi
yaitu :
1. Hadits tentang penghitungan
Raulullah bersabda ”Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung (hisab)
timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Adalah lebih ringan kalian
menghitung diri kalian sebelum besok dihitung”
Tafsir :

14
Hadis diatas mendorong manusia untuk melakukan penghitungan yang
sebenar-benarnya, dan memperbaiki apa yang telah mereka hitung sebelum
dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Pada hal ini kejujuran sangat diperlukan
untuk mendapatkan hasil yang sebenar-benarnya dalam penghitungan tersebut.
2. Hadits tentang Kejujuran
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Bersabda Rasulullah : Kalian harus jujur
karena sesungguhnya jujur itu menunjukan kepada kebaikan dan kebaikan itu
menunjukkan kepada jannah. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur
sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian
dusta karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan dan
keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan
berusaha untuk berdusta sehingga ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta”
(HR Muslim)
Tafsir :
Dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk
jujur dalam perkataan maka akan menjadi karakternya dan barangsiapa sengaja
berdusta dan berusaha untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan
latihan dan upaya untuk memperoleh, akan berlanjut sifat-sifat baik dan buruk.
Hadits diatas menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya
akan membawa orang yang jujur ke jannah serta menunjukan akan besarnya
keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka.
3. Hadits tentang ketelitian
Rasulullah saw: Perlahan-lahan itu dari Allah dan tergesa-gesa itu dari
setan. (Al Mahâsin)
Tafsir :
Hadis diatas menjelaskan perlahan-lahan memiliki arti bersabar dan penuh
ketelitian dalam menjalankan sesuatu adalah bimbingan Allah. Dan tergesa-gesa
itu diartikan sebagai pengaruh nafsu setan.

15
16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nilai terpenting dari kesadaran yang harus dimiliki oleh manusia adalah
sifat ketundukan dan kepatuhannya kepada tuhan semesta ala mini, menjadikan
konsekuensi bahwa manusia dalam melakukan semua aktifitas dalam seluruh
masa hidupnya harus dioperasikan atas dasar nilai-nilai etika atau syariah yang
berlaku, yang dalam kaitannya dengan akuntansi dinamakan etika akuntansi
(akuntansi syariah). Sebuah prinsip dasar dalam akuntansi perbankan syari’ah
adalah kejujuran, keadilan, ketelitian, kecermatan dan asas kesungguh-sungguhan.
Setiap angkuntan perbankan syariah harus berpegang teguh pada ajaran islam
sebagai landasan filsofis. Suatu hal yang terpenting adalah kejujuran dalam
menjalankan tugasnya yaitu mencatat. Akuntan diminta menyajikan laporan
sesuai dengan fakta yang ada.
Ada suatu kasus akuntan memberikan laporan keuangan yang berbeda.
Misalnya terkait dengan pajak. Akuntan membuat laporan yang seramping
mungkin untuk mendapatkan beban pajak yang kecil. Pada saat membuat laporan
untuk BI dan dewan direksi akuntan lebih pandai dengan membuat laporan
keuangan yang fantastic. Hal ini tidak pernah dibenarkan dalam islam.Menurut
pemakalah kejujuran seorang akuntan dalam penghitungan adalah pilar utama
dalam mewujudkan Perbankan syari’ah yang benar-benar 100% syari’ah.
Perbankan syari’ah seharusnya jangan takut melepaskan diri dari prinsip
konvensional.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an Al-Baqarah ayat 282


Muhammad Ar-Rifa’i, “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”, Jilid 1, Penerjemah:
Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999)
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”, Volumue 1 (Ciputat Tangerang: Lentera Hati,
2005)
Suwikno, Dwi. 2010. Ayat-ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
https://www.academia.edu/33005519/_PS4AB_Tafsir_Ayat_Alquran_Tentang_Akunta
nsi
https://syariahekonomi45.blogspot.com/2016/04/ayat-dan-hadist-akutansi-syariah.html

18

Anda mungkin juga menyukai