Anda di halaman 1dari 22

Nama: Ellysha Pepriyana

NIM:M16010017

MK:PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAKWA

PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP TAKWA

Takwa berasal dari bahasa arab yaitu : taqwa. Menurut penelitian al-Muqaddasi (Beirut, 1323), di dalam
al-Quran terdapat 256 kata takwa dan 251 ayat dalam berbagai hubungan dan variasi makna. Akar
katanya adalah w.q.y, artinya antara lain : takut, menjaga diri, memelihara, tanggung jawab dan
memenuhi kewajiban. Orang yang bertakwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan
kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya. Takut terjerumus ke dalam
perbuatan dosa. Orang yang takwa adalah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan;
memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridai Allah; bertanggung jawab mengenai
sikap, tingkah laku dan perbuatannya dan memenuhi kewajiban.

Dari berbagai makna yang dikandung perkataan takwa itu, dalam bukunya Keterangan Filsafat tentang
Tauhid, Takdir dan tawakkal, cendikiawan muslim Indonesia alm. H.Agus Salim, merumuskan makna
takwa dengan mempergunakan memelihara sebagai titik tolak. Menurut H.A.Salim, Takwa adalah sikap
mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari
noda dosa, selalu berusahah melakukan perbuatan yang baik dan benar, pantang berbuat salah
,melakukan kejahatan terhadap orang lain,diri sendiri dan lingkungannya ( Gazalba,1976:46).

Kedudukan takwa, karna itu, sangat penting dalam kehidupan manusai. Pentingnya kedudukan takwa itu
antara lain dapat dilihat dalam catatan berikut. Disebutkan di sebuah hadist bahwa Abu zar Al-gifari,
pada suatu hari, meminta nasihat kepada Rasulullah. Rasulullah menasehati AL-Gifari, “ supaya ia takwa
kepada Allah, karna takwa adalah pokok segala pekerjaan. “ dari nasihat Rasulullah itu dapat di tarik
suatu kesimpulan bahawa takwa adakah pokok segala pekerjaan muslim. Selain sebagai pokok, takwa
juga adalah ukuran. Didalam surat AL-Hujurat ( 49) ayat 13, Allah mengatakan bahwa, “(manusia) yang
paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling takwa.” Dalam surat lain, takwa dipergunakan sebagai
dasar persamaan hak antara pria dan wanita (suami dan istri) dalam keluarga, karena pria dan wanita
diciptakan dari jenis yang sama (QS. 4:1). Di dalam surat al-baqarah (2) ayat 177 dan makna takwa
terhimpun dalam pokok-pokok kebajikan. Ini dapat dibaca dalam QS. 2:177 yang terjemahan (artinya)
lebih kurang sebagai berikut, “bukanlah menghadapkan wajah mu kearah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu sesungguhnya kebajikan (cetak miring dari saya MDA)
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan ) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah oranng-orang yang bertakwa”.

Dari pokok-pokok kebajikan (perbuatan baik yang mendatangkan keselamatan, keberuntungan dan
sebagainya) yang disebut dalam ayat 177 surat al-baqarah tersebut diatas, jelas dimensi keimanan dan
ketakwaan itu beriringan (bergandengan) satu dengan yang lain. Kedua dimensi itu secara konsisten
disebutkan didalam berbagai ayat yang bertebaran dalam al-Quran.

Karena pentingnya kedudukan takwa dalam agama islam dan kehidupan manusia, setiap khatib yang
mengucapkan khutbah jum’at senantiasa mengingatkan selalu, berpesan kepada pendengarnya agar
bertakwa kepada Allah. Begitu pentingnya kedudukan takwa bagi bangsa Indonesia, maka di dalam
berbagai rumusan peraturan perundang-undangan, kata takwa disebut, sehingga takwa setelah menjadi
kata kunci dalam kehidupan penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Setelah dimuat di berbagai
TAP MPR sebelumnya, dalam GBHN 1993 kedudukannya lebih dipertegas. Selain keimanan, dalam GBHN
dimaksud, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan asas pertama (a) pembangunan
nasional Indonesia. Ini berate bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional, dijiwai,
digerakan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esasebagai niali
luhur menjadi landasan spiritual moral dan etik pembangunan nasional. Sebagai prinsip pokok, bersama
dengan prinsip pokok atau asas pembangunan nasional yang lain, keimanan dan ketakwaan itu harus
diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, yang
sekaligus berfungsi sebagai pemberi watak dan corak pembangunan nasional Indonesia. Beberapa tahun
sebelumnya, Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional , pada pasal 4
nya menyatakan dengan jelas bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur …. Anak kalimat mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi
pekerti luhur, dilihat dari sudut pandang agama Islam adalah mengembangkan manusia beragama,
sebab iman (akidah), takwa (syari’ah), budi pekerti luhur (akhlakul karimah) adalah komponen-
komponen dasar agama islam.

Tentang ruang lingkup takwa, beberapa cendikiawan muslim telah pula mengemukakan pendapatnya.
Diantaranya adalah adalah Professor Hasan Langgulung, orang Indonesia pertama, mantan Dekan
Fakultas Pendidikan Universitas Islam Antar Bangsa (Universitas Islam Internasional) Kuala Lumpur.
Dalam tulisannya Takwa sebagai Sistem Nilai Dalam Islam (1986), Hasan Langgulung mengatakan bahwa
takwa telah membudaya dalam masyarakat kita. Dalam TAP-TAPMPR, seperti disebut diatas, kata itu juga
tercantum. Namun, menurut beliau penjabarannya dalam berbagai program pembangunan masih belum
dilakukan. Takwa, menurut Hasan Langgulung , adalah kata kunci untuk memahami system nilai (sifat-
sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan) dalam islam. Takwa menurut kesimpulan
semua nilai yang terdapat dalam al-Quran; sedang nilai-nilai dalam al-Quran, menurut beliau, dinyatakan
sebagai akhlak yang telah disebutkan dalam Bab VI diatas. Sebagai akhlak, takwa mencakup segala nilai
yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan didunia ini dan di akhirat kelak. Nilai-nilai
itu, menurut Prof. Hasan Langgulung, dapat digolongkan ke dalam lima kategori besar (yang dapat
diperinci lebih lanjut ke dalam kategori-kategori kecil). Dia menyebut 157 nilai takwa dalam bukunya itu,
sebagai contoh. Menurut beliau, niali-nilai takwa dapat digolongkan kedalam (1) nilai-niali perseorangan,
(2) niali-nilai kekeluargaan, (3) nilai-nilai sosial, (4) nilai-niali kenegaraan, dan (5) nilai-nilai keagamaan
(dalam arti sempit).

Menurut Hasan Nanggulung, usaha memasyarakatkan takwa atau mentakwakan masyarakat harus
dimulia sejak dini, sejak manusia masih kecil (terus) sampai dewasa. Pemasyarakatan itu, menurut
beliau, dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah sosialisasi. Pada tahap ini anak (didik)
diajarkan melakukan (melaksanakan) nilai-nilai yang terkandung dalam perkataan takwa yang (hamper)
sama denganniali akhlak tersebut diatas. Tahap kedua adalah identifikasi. Dalam tahap ini anak (didik)
mengerjakan nilai-nilai tertentu yang mereka sukai dan kagumi pada nilai-nilai itu. Pada tahap ini, model
(contoh), katakan orang tua, guru-guru, teman sebaya, pemimpin-pemimpin masyarakat, ulama dan
urama (pemimpin pemerintahan) ditiru anak (didik), karena mengagumi model atau contoh dalam
bentuk tokoh-tokoh itu. Tahap ketiga adalah penghayatan. Pada tahap ketiga ini anak (didi) bukan lagi
kagum pada tokoh yang membawa nilai-nilai itu, tetapi, terutama, gemar dan merasa nikmat
mengerjakan nilai-nilai itu. Kenikmatan yang dimaksud berupa ketentraman natin karena ia
melaksanakan nilai-niali ketakwaan. Upaya memasyarakatkan takwa atau mentakwakan masyarakat,
dalam ketiga tahap yang dikemukakannya yakni sosialisasi, indentifikasi, dan penghayatan, kata Hasan
Nanggulung di ujung uraiannya, tokoh-tokoh yang menjadi model niali-nilai ketakwaan itu, memegang
peranan penting.

Namun sambil merenungkan uraian Prof. Hasan Nanggulung untuk dijabarkan dalam program
pembangunan pada suatu masa kelak, dlam kajian ini. Rumusan H.A Salim mengenai pengertian takwa
tersebut kita pergunakan sebagai pangkal haluan. Dengan demikian, runag lingkup takwa dalam makna
memelihara meliputi empat jalur hubungan manusia yaitu (1) hubungan manusia dengan Allah, (2)
hubungan manusia dengan hati nurani atau dirinya sendiri, (3) hubungan manusia dengan sesame
manusia, dan (4) hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Keempat hubungan itu harus
dikembangkan secara selaras dan seimbang. Dalam hubungan ini, tidak ada salahnya untuk diulang
kembali akrena ajaran agama islam berjalin bekelindan satu dengan yang lain dalam kesatuan system,
beberapa butir takwa dalam uraian dibawah telah disebut jugapada butir-butir akhlak diatas, kendatipun
dengan sistematik dan bahasan yang agak berbeda.

Dalam uraian berikut, ruang lingkup takwa itu, diuraikan satu per satu.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH

Hubungan manusia dengan Allah, Tuhan yang Maha Esa sebagai dimensi takwa pertama,menurut ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa seperti telah disinggung pada awal kajian ini, merupakan prima causa
hubungan-hubungan yang lain. Karena itu hubungan inilah yang seyogiannya diutamakan dan secara
tertib diatur tetap dipelihara. Sebab, dengan menjaga hubungan dengan Allah, manusia akan terkendali
tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Dan,
sesungguhnya inti takwa kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, adalah melaksanakan segala perintah dan
menjauhi semua larangannya. Segala perintah dan semua larangan Allah ditetapkan-Nya bukan untuk
kepentingan Allah sendiri, tetapi untuk keselamatan manusia. Manusia lah yang akan mendapatkan
manfaat pelaksanaan semua perintah Allah dan penjauhan diri dari segala larang-Nya. Perintah Allah itu
bermula dari pelaksaan tugas manusia untuk mengapdi hanya Kepada Allah semata-mata dengan selalu
melakukan ibadah murni yang disebut juga ibadah khusus seperti mendirikan sholat, menunaikan zakat,
berpuasa selama bulan ramadhan, menunaikan ibadah haji dan melakuakn amalan-amalan lain yang
bertalian erat ibadah khusus tersebut. Larangan Allah ditetapkannya agar manusia dapat
menyelenggarakan fungsi nya sebagai Khalifah ( “pengganti Ilahi dibumi ini”) dalam menata kehidupan
dunia. Untuk mencapai segala yang diridai Allah dibumi ini, manusia harus senantiasa memperhatikan
dan mengindahkan larangan-larangannya. Larangan-larangan itu tidak banyak, tetapi sangant asasi dalam
memelihara kelangsungan hidup dan kehiduapan manusia didunia yang fana ini.

Ketakwaan atau pemeliharaan hubungan dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, dapat dilakukan antara
lain sebagai contoh :

Iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa menurut cara-cara yang diajarkannya melalui wahyu sengaja
diturunkannya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia.\

Beribadah kepada-Nya dengan jalan melaksanakan sholat 5x sehari semalam, menunaikan zakat apabila
telah sampai nisab dan haul-nya, berpuasa sebulan dalam setahun, melakuakn ibadah haji sekali seumur
hidup, menurut cara-cara yang ditetapkan-Nya.

Mensyukuri nikmat-Nya dengan jalan menerima, mengurus,memanfaatkan semua pemberian Allah


kepada manusia.
Bersabar menerima cobaan Allah dalam makna tabah,tidak putus asa ketika mendapat musibah atau
menerima bencana.

Memohon ampun atas segala dosa dan tobat dalam makna sadar untuk tidak lagi melakukan segala
perbuatan jahat/tercela.

Selain 5 contoh tersebut diatas yang ditarik dari wahyu yang diturunkan Allah untuk menjadi pedoman
hidup dan kehidupan manusia, masih banyak lagi awat-awat takwa didalam AL-QUR’AN yang
menyebutkan tata cara pemeliharaan hubungan manusia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HATI NURANI ATAU DIRINYA SENDIRI

Hubungan manusia kdengan hati nurani atau diri sendiri sebagai dimensi takwa yang kedia dapat di
pelihara dengan jalan menghayati benar patokan-patokan akhlak, yang disebutkan Tuhan dalam berbagai
ayat Al-Quran.

Hubungan manusia dengan dirinya sendiri disebutkan cara-caranya didalam ayat-ayat takwa dan di
contohkan dengan keteladanan Nabi Muhammad. Diantaranya dengan senantiasa berlaku :

Sabar

Pemaaf

Adil

Ikhlas

Berani

Memegang amanah

Mawas diri,dan

Mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang baik, diantaranya
telah disebut dalam Bab Akhlak.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN SESAMA MANUSIA

Selain memelihara komunikasi dan hubungan tetap dengan Allah dan dirinya sendiri, dimensi takwa yang
ketiga adalah memelihara dan membina hubungan baik dengan sesame manusia. Hubungan
antarmanusia ini dapat dibina dan dipelihara, antara lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidup
yang selaras dengan nilai norma yang disepakati dersama dalam masyarakat dan Negara yang sesuai
dengan nilai dan norma agama.

Hubungan antara manusia dengan manusia lain dlam masyarakat dapat dipelihara, diantara lain dengan;
(1) tolong-menolong, bantu-membantu. (2) suka memafkan kesalaah oranglain; (3) menepati janji; (4)
lapang dada; dan (5) menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP

Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dapat dikembangkan, antara lain dengan memelihara
dan menyayangi binatang dan tumbuh-tumbuhan, tanah, air, dan udara serta semua alam semesta yang
sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk lainny. Banyak sekali ayat-ayat takwa
yang bekenaan dengan tata hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya untuk memelihara
alam,mencegah perusakan, memelihara keseimbangan dan pelestariannya, sebagaimana yang telah
disebut dalam Bab Akhlak terhadap lingkungan hidup di atas.

Melihat pola takwa yang dilukiskan dengan mengikuti empat jalur komunikasi manusia tersebut diatas,
jelas kiranya bahwa ruang lingkup takwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa menyangkut seluruh jalur
dan aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan
manusia lain maupun dengan alam dan lingkungan hidup.

Konsekuensi dari empat pemeliharaan hubungan dalam rangka ketakwaan tersebut adalah bahwa
manusia harus selalu menumbuhkan dan mengembangkan dalam dirinya empat T yakni empat
(kesadaran) tanggung jawab yaitu:

Tanggung jawab kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa

Tanggung jawab kepada hati nurani sendiri

Tanggung jawab kepada manusia lain

Tanggung jawab untuk memelihara Flora dan Fauna, udara, air dan tanah serta kekayaanalam ciptaan
Allah, Tuhan Ynag Maha Esa serta yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah gambaran orang yang takwa menurut agama Islam. Dari kerangka itu dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa orang yang takwa adalah orang yang selalu memlihara keempat jalur hubungan itu
secara baik dan seimbang dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya. Orang yang takwa
adalah juga orang yang senantiasa memnuhi kewajiban dalam rangka melaksanakan perintah Allah.

Takwa dalam makna memnuhi kewajiban perintah Allah yang menjadi kewajiban manusia takwa untuk
melaksanakannya pada pokoknya adalah :

Kewajiban kepada Allah

Kewajiban kepada diri sendiri

Kewajiban kepada masyarakat, terutama kewajiban kepada keluarga, tetangga dan Negara,dan

Kewajiban kepada lingkungan hidup.

1. Kewajiban kepada Allah adalah kewajiban utama dan terutama manusia. Untuk memenuhi tujuan
hidup dan kehidupannya didunia ini yakni mengabdi kepada ilahi, “tidak kuciptakan jin dan manusia,
kecuali untuk mengabdi kepadaKu,” dalam Q.S. az-Dzariyat (51) ayat 56.

Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia di dunia ini adalah untuk
mengabdi kepada-Nya, bukan kepada yang lain, apapun namanya.

Konsekuensi logis pengakuan iman kita kepada Allah sebagai pencipta dan penguasa tunggal alam
semesta dan terhadap utusannya Muhammad sebagai Rasul-Nya, ialah peneriamaan kita secara mutlak
dan sadar atas segala perintah-perintah yang diberikan Allah dan akan tetap melaksanakannya dengan
penuh tanggung jawab. Artinya, dengan pengakuan iman kita dalam bentuk pengucapan 2 kaliamah
syahadat, manusia, dengan sukarela telah membebankan keatas pundaknya kewajiban-kewajiban untuk
menunaikan perintah-perintah Allah yang di sampaikan melalui Rasul-Nya.
Dengan menunaikan perintah mendirikan shalat (QS.2:43), mengeluarkan zakat (QS.2:43), berpuasa
selama bulan ramadhan (QS.2:183), dan menunaikan ibadah haji (QS.2:196), seorang muslim atau
muslimat telah menunaikan kewajiban utamanya sebagai hamba yang harus mengabdikan dirinya
kepada Allah. Kewajiban menunaikan keempat rukun Islam itu merupakan sumber gerak energi timbal-
balik dalam arah vertical antara manusia sebagai hamba dengan Allah sebagai penguasa tertinggi yang
mengatur dan menguasai alam semesta.

Kewajiban shalat, misalnya, mengatur tata cara berkomunikasi dengan Allah yang terdiri dari sejumlah
ucapan atau Do’a serta gerakan keupacaraan tertentu. Dengan demikian, dilihat dari segi bentuk maupun
isi, shalat adalah pelaksanaan kewajiban yang mengandung nilai-nilai peribadatan (ubudiyah). Karena itu
pula, shalat merupakan bentuk ibadah yang murni. Shalat berjama’ah mengandung, pertama,ajaran
politik yang menumbuhkan asas-asas demokrasi. Kedua,shalat juga mengandung gagasan yuridhis, yang
membangun asas persamaan didepan hokum. Ketiga, shalat mengandung arti sisiologi karena shalat itu
membentuk juga kesatuan masyarakat berdasarkan iman yang diikat oleh ajaran tauhid.

Kewajiban mengeluarkan zakat, baik fitrah maupun harta, pada hakikatnya adalah perintah
mempertinggi pendapatan dan meratakan rezeki yang diberikan Tuhan. Tujuannya adalah untuk
menciptakan suatu keseimbangan perolehan rezeki dalam mewujudkan sesuatu masyarakat yang
makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran.

Dalam jangka waktu tertentu, manusia diwajibkan pula melakukan ibadah puasa untuk mengendalikan
nafsu yang ada pada dirinya. Perjuangan melawan nafsu merupakan perjuangan atau jihad akbar
menurut sunnah Rasulullah.

Kewajiban untuk menunaikan ibadah haji mebuka wawasan baru bagi manusia, karena berhubungan
dengan manusia lain yang datang dari berbagai penjuru dunia. Dengan ibadah ini, manusia di beri
kesempatan untuk saling berkenalan, saling bertukar informasi mengenai persoalan-persoalan yang
mereka hadapi. Dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah ketika melakukan ibadah haji, manusia
diperkenalkan kepada kehidupan insan, baik yang suskses maupun yang menderita kegagalan. Ketika
wukuf di padang arafah, manusia menyaksikan kemaha besaran Allah, kekuasaanya yang meliputi alam
semesta, termasuk manusia didalamnya.
2. Kewajiban kedua dalam rangka pelaksanaan takwa adalah kewajiban terhadap diri sendiri, menjaga
dan memelihara diri, agar tidak melakukan sesuatu yang dilarang Allah. Demikian pernyataan Allah
dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ (17) ayat 70. Oleh karena manusia telah dimuliakan Allah dari makhluknya
yang lain, maka sebagai orang yang takwa manusia harus selalu menjaga diri, ingat dan hati-hati, agar
tidak jatuh kelembah yang hina. Kewajiban terhadap diri sendiri ini adalah fardu’ain bagi setiap muslim
dan muslimat untuk melakukanya.

3. Kewajiban terhadap masyarakat merupakan dimensi ketiga pelaksanaan takwa. Kewajiban ini dimulai
dari (1). Kewajiban terhadap keluarga. Kewajiban kerhadap keluarga ini juga merupakan fardu’ain bagi
setiap unsure yang terlibat didalamnya terutama bagi suami istri yang menjadi kepala keluarga dan ibu
rumah tangga. Keluarga adalah sumbu tempat seluruh kehidupan manusia berputar. Karena itu
kedudukannya penting sekali dalam islam. (2). Kewajiban tehadap tetangga. Kewajiban terhadap
tetangga, baik ia kerabat maupun bukan, ditugaskan Tuhan dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 36.
Kewajiban itu di bebankan kepada manusia untuk menjaga dan membina ketertiban dalam lingkungan
sosisal tempat manusia itu tinggal. Dalam system ajaran islam berbuat baik kepada tetangga adalah
pelaksanaan iman. Belum sempurna iman seseorang, kalau ia tidak baik terhadap tetangganya. (3).
Kewajiban terhadap masyarakat luas yang harus dilaksanakan pula dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan
kewajiban terhadap masyarakat luas itu, termasuk juga (4). Kewajiban terhadap Negara. Kewajiban
terhadap Negara pada hakikatnya adalah sama dengan kewajiban terhadap tanah air, rakyat,
pemerintahan yang berkuasa pada suatu masa.

4. Dimensi keempat pelaksanaan takwa digambarkan oleh kewajiban terhadap lingkungan hidup. Secara
umum (1). kewajiban terhadap lingkungan hidup dapat disimpulakan dari pernyataan Tuhan dalam Al-
Qur’an yang menggambarkan kerusakan yang telah terjadi di daratan dan dilautan, karena (ulah) tangan-
tangan manusia, yang tidak mesyukuri karunia ilahi. (2). Kewajiban orang yang takwa terhadap harta
yang dititipkan atau diamanahkan Allah padanya. Menurut ketentuan Allah dalam al-Qur’an dan sunnah
Nabi Muhammad yang kini terekam dalam kitab-kitab hadist, hubungan manusia dengan hartanya dapat
dilihat dari tiga sisi, yaitu cara memperohnya, fungsi harta, dan cara memanfaatkan atau
membelanjakannya.

Mengenai cara memperlolehnya, al-Qur’an memberikan beberapa tuntunan, antara lain adalah (1).
Harus dengan usaha yang halal. Artinya, sah menurut hokum dan baik menurut akhlak (QS.2:188, 4:32).
Selain melalui usaha, cara memperoleh harta yang dibenarkan Allah adalah melalui (2) pewarisan
(QS.4:7) dan penghibahan (QS.4:20). Di antara ketiga cara ini yang sangat di anjurkan adalah dengan
usaha, melalui kerja keras dengan memperjuangkan akal dan tenaga. Al-Qur’an dan hadist tidak
menyebutkannya secara rinci. Yang ditetapkan adalah usaha-usaha yang dilarang dalam memperoleh
harta, di antaranya adalah (a) menyuap atau disuap atau korupsi dalam bahasa sekarang (QS.2:188), (b)
berjudi (QS.4:29), (e) menggelapkan milik orang lain (QS.4:58), dan (f) merampas harta orang lain
(QS.5:33).

Mengenai fungsi harta, Al-Qur’an member beberapa petunjuk, diantaranya adalah (1) tidak boleh
ditimbun-timbun tanpa di manfaatkan untuk kepentingan sesama manusia (QS.9:34), (2) tidak boleh
hanya beredar diantara orang-orang kaya (QS.59:7, (3) dalam harta orang kaya terdapat harta orang
miskin yang tidak punya (QS.4:11, 4:12, dll). Menurut Al-Qur’an, (1) harta kekayaan merupakan cobaan
bagi yang punya. Yang punya akan di uji dengan hartanya apakah ia akan bahagia atau menderita
karenanya (QS.89:15-16, 8:28), (2) harta kekayaan yang dipunya oleh seseorang tidak dengan sendirinya
akan menyelamatkan orang yang punya (QS.23:55-56), (3) harta kekayaan adalah kekuasaan. Sebagai
kekuasaan harta itu dapat mendorong manusia berbuat baik, dapat pula, dengan hartanya, manusia
berbuat jahat (QS.43:51-54). Oleh karena itu, Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk
memanfaatkan harta yang diperolehnya, selain untuk kepentingan social dan orang-orang tidak punya
(QS.16:72). Harta, karenanya harus berfungsi sosial. Artinya selain untuk kepentingan sendiri tidak boleh
dimanfaatkan atau dibiarkan untuk tujuan-tujuan yang merugikan oranglain. Bahkan, harta seseorang
harus dapat juga dinikmati masyarakat.

Tentang cara memanfaatkan atau mempergunakan harta, Al-Qur’an juga memberikan beberapa
pedoman. Antara lain adalah (1) tidak boleh boros, tidak boleh pula kikir (QS.17:26,27,25:27), (2) hati-
hati dan bijaksana (QS.2:282), (3) disalurkan melalui lembaga-lembaga yang telah ditentukan Allah,
antara lain melalui: (1) shadaqah atau sedekah, (2) infaq, (3) hibah, (4) Qurban, (5) zakat dan (6) waqaf..

Deikianlah uraian tentang takwa dan beberapa maknanya. Seorang muslim dan muslimat yang baik tentu
ingin memelihara hubungan-hubungan itu, bertanggung jawab dan menunaikan kewajiban dengan
sebaik-baiknya (Moh. Daud Ali, 1987:7-17).

A. Pengertian Munasabah Dalam Al-Qur’an

Membicarakan masalah munasabah dalam al-Qur’an, sangat berkaitan erat dengan sistem penertiban
ayat dan surat dalam al-Qur’an. Dalam hal ini Manna’ Khalil al-Qattan menyatakan bahwa “Qur’an terdiri
atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam
Allah yang terdapat dalam sebuah surat dalam al-Qur’an, dan surat adalah sejumlah ayat al-Qur’an yang
mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib dan urutan ayat-ayat al-Qur’an adalah taufiqi, ketentuan
dari Rasulullah saw dan atas perintahnya”. Hal tersebut merupakan asumsi dari sebuah riwayat, dari
Usman bin Abil ‘As berkata :

Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti
semula. Kemudian katanya, “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat
ini di tempat dari surah ini : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan
serta memberi kepada kerabat, …(an-Nahl : 90) dan seterusnya.[12]

Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam al-
Qur’an, dan sekalipun ayat tersebut telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan
bahwa penulisan ayat dengan tertibnya adalah taufiqi.[13]

Dengan demikian, tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar saat ini adala
taufiqi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuthi menyebutkan hadits-hadits berkenaan dengan surat tertentu
mengemukakan : “Pembacaan surat-surat yang dilakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan
bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah taufiqi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya
dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat
seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”[14]

B. Macam-Macam Munasabah

Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : Pertama, zhahirul irtibath, yang
artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat
disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang
menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung,
penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu
kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari
surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh
keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas
bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul.[15]

Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak
ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-
masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang
satu bertentangan dengan yang lain.[16] Hal tersebut tampak dalam 2 model,[17] yakni, hubungan yang
ditandai dengan huruf ‘athaf, sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20 :

‫ف رسإطلح ن‬
(20) ‫ت‬ ‫( لوُإإللىَ انللنر إ‬19) ‫ت‬
‫ض لكني ل‬ ‫صب ل ن‬ ‫( لوُإإللىَ انلإجلباَإل لكني ل‬18) ‫ت‬
‫ف نر إ‬ ‫ف ررفإلع ن‬ ‫ألفللل يلننظررروُلن إإللىَ ا ن إلبإإل لكني ل‬
‫ف رخلإقل ن‬
‫( لوُإإللىَ السسلماَإء لكني ل‬17) ‫ت‬

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana
ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan.

Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya
saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat
tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang
pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan
bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-
rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk
berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas
hamparan bum yang luas.[18]

Sedangkan model yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong
sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawi. Dalam hal ini ada 3 (tiga) jenis :
Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan
pertentangan, Istithrad atau hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan persoalan
lain.[19]

Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu
dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas.

Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia
tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan
filosofis.[20] Adapun cakupan korelasi antar surat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hubungan antara nama-nama surat. Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur,
lalu diteruskan dengan surat al-Furqon. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min
berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka, sehingga mereka mampu membedakan yang haq
dan yang bathil.[21]

b. Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya. Misalnya permulaan surat al-
Hadid dan penutupan surat al-waqi’ah memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan
dengan tasbih. (1 : ‫ سبح ل ماَ في السماَوُات وُ الرض وُ هو العزيز الحكيم )الحديد‬dan (96 : ‫ فسبح باَسم ربك العظيم )الواقعة‬.

c. Hubungan antar awal surat dan akhir surat. Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat
dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qashash dimulai dengan kisah nabi Musa dan Fir’aun serta
kroni-kroninya, sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah agar umat Islam
jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah.[22]

d. Hubungan antara dua surat dalam soal materi dan isinya. Misalnya antara surat al-Fatihah dan surat
al-Baqarah. Yang mana dalam surat al-Fatihah berisi tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji,
dan ancaman. Sedangkan dalam surat al-Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat al-
Fatihah.

Dalam bukunya Mukjizat al-Qur’an, M. Quraish Shihab memberikan satu sistematika surat al-Baqarah
dengan susunan uraian sebagai berikut :

1. Pendahuluan, yang berbicara tentang al-Qur’an.

2. Uraian yang mengandung empat tujuan pokok, yaitu :

1) Ajakan kepada seluruh manusia untuk memeluk ajaran Islam.


2) Ajakan kepada ahli kitab agar meninggalkan kebatilan mereka dan mengikuti ajaran Islam.

3) Penjelasan tentang ajaran-ajaran al-Qur’an.

4) Penjelasan tentang dorongan dan motivasi yang dapat mendukung pemeluknya melaksanakan
ajaran Islam.

3. Penutup, yang menjelaskan siapa yang mengikuti ajaran ini serta penjelasan tentang apa yang
diharapkan oleh mereka untuk dapat mereka peroleh dalam hidup di dunia dan akhirat.[23]

C. Urgensi Memamahi Munasabah Dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an, munasabah juga membantu dalam interpretasi dan ta’wil
ayat dengan baik dan cermat. Di antara para mufassir, menafsirkan ayat atau surat dengan menampilkan
asbabun nuzul ayat atau surat. Tetapi sebagian dari mereka bertanya-tanya, manakah yang harus di
dahulukan? Aspek asbabun nuzul-nya ataukah munasabah-nya. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang
erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaiannya yang serasi.[24]

Dengan demikian ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan al-
Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan
cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan ketika menjadi
sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang
baku.

Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, maka ilmu munasabah
menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Secara
garis besar, terdapat 3 (tiga) arti penting dari munasabah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
[25] Pertama, dari segi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata
bahasa al-Qur’an. Dan bahasa al-Qur’an adalah suatu susunan yang paling baligh (tinggi nilai sastranya)
dalam hal keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Kedua, ilmu munasabah
dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Dalam hal penafsiran bil ma’tsur
maupun bir ra’yi, jelas membutuhpan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam
menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan
kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar
berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat
membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah ayat-ayat tersebut dipahami secara
tepat, dan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-
makna terselubung yang terkandung di dalamnya.[26]

Jadi, sudah jelas bahwa memahami munasabah dalam al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat
urgen, terutama dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang
lebih tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan rasio demi
memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang
muslim.
D. Hubungan Nilai Pendidikan Dalam Munasabah Al-Qur’an

Apapun dari setiap ilmu, pastilah memberikan sumbangan besar terhadap pendidikan. Baik dalam
konsep dan teori, maupun dalam hal praktis. Demikan pula dengan hadirnya ilmu munasabah yang
mempelajari korelasi antar ayat maupun surat dalam al-Qur’an, tentunya terdapat hikmah yang baik
dalam meningkatkan pendidikan.

Bertolak dari sisi konsepnya, ilmu munasabah dijadikan sebagai cara kritis dalam menelaah keterkaitan
antar ayat maupu surat dalam al-Qur’an. Jadi, bila dikaitkan dengan konsep pendidikan yang tentunya
memiliki unsur dasar yang berupa kurikulum dan materi ajar. Yang mana di dalam sebuah kurikulum
pastilah terdapat : a. Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar
mengajar, b. Bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktifitas-aktifitas, dan
pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang bisinya berupa mata
pelajaran yang kemudian dimasukkan kedalam silabus. c. Bagian yang berisi metode atau cara
menyampaikan mata pelajaran tersebut. d. Bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian
dan pengukuranatas hasil mata pelajaran.[27] Dengan melihat dan memperhatikan konsep dasar
kurikulum tersebut, seyogyanyalah dalam sebuah kurikulum tersebut terdapat keterkaitan dan
kesesuaian antara tujuan yang hendak dicapai, proses yang akan dijalani dalam pembelajaran, materi
yang diajarkan, dan sistem evaluasi yang akan dilakukan.

Begitu pula dalam menentukan materi ajar, haruslah memperhatikan persesuaian materi ajar dari
seluruh bab yang hendak di ajarkan, sehingga akan menjadi kesatuan yang utuh demi menuju tujuan
pembelajaran yang diinginkan. Demikian juga pengaplikasian pembelajaran yang dilakukan oleh seorang
guru, haruslah memiliki prosedur pembelajaran yang jelas dan terarah, sehingga anak didik yang
dijadikan sebagai objek pembelajaran akan dapat menerima dan memahami pelajaran dengan baik.

Lebih lanjutnya, pengaplikasian ilmu munasabah dapat juga dilakukan pada pelaksanaan evaluasi dalam
pendidikan. Yang cakupannya menjadi sangat luas, yakni mencakup kepada seluruh sistem dan
komponen dalam sebuah proses pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Yusuf al-Hajj, Seri Kemukjizatan al-Qur’an dan Sunnah, Yogyakarta : Sajadah Press, 2008

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS., Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa,
2001

Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, cet. II, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003

Mohsen, Abdul Radhi Muhammad Abdul, Kenabian Muhammad saw : Mengulas fakta membunuh jalan
kebohongan, terj. Akmal B. Arrasuli, Jakarta : Sahara publisher, 2004

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005

Salman bin Umar as-Sunadi, Mudahnya Memahami al-Qur’an, Jakarta : Darul Haq, 2007

Shihab, M. Qraish, Mukjizat al-Qur’an, cet.XIV, Bandung : Mizan, 2004

Supiana dan Karman, M., Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Islamika, 200 Usman, Ulumul Qur’an,
Yogyakarta : Teras, 2009

A. Tobat

1. Pengertian

Taubat berasal dari kata “taba” yang berarti kembali, sedangkan menurut istilah taubat artinya kembali
mendekatkan diri kepada allah setelah menjauh darinya. Adalah sebuah keinginan, kegandrungan,
kebutuhan akan Allah SWT. Maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenalnya Oleh karena
itu, landasan bertaubat adalah mencari Allah Singkatnya bahwa bertaubat adalah kembalinya seorang
hambaa dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah SWT., dengan menjalankan apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dibenci-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata bertaubat dan beristigfar. Untuk mengetahui
pengertian bertaubat, maka perhatikan firman Allah SWT

Yang Artinya : “karena itu mohonlah ampun kepada-Nya, kemudian bertaubatlah, sesungguhnya
Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa Hamba-Nya).”( QS.Hud/11 : 2)

Bertaubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah SWT. Allah yang menumbuhkan keinginan
bertaubat didalam hati manusia. Allah memerintahkan manusia untuk bertaubat didalam al-qur’an
sebanyak 87 kali. Allah juga memerintahkan nabi Muhammad SAW. Untuk bertaubat.

Bertaubat sangat penting bagi manusia karena kalau tidak bertaubat berarti mereka sudah menzalimi
dirinya sendiri. Selain itu bertaubat juga merupakan ibadah yang utama dan yang disukai Allah SWT.
Perhatikan firman Allah berikut ini :
‫ب انلرمتل ل‬
‫طههإريلن‬ ِ‫ب التسسواإبيلن لوُيرإح ب‬ ‫إإسن س‬
ِ‫ال يرإح ب‬

Artinya : “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (QS.Al-baqarah/2:222).

2. Syarat-syarat Taubat

Banyak manusia yang tidak tahu akan hakikat taubat, syarat, dan adab-adabnya. Oleh karena itu,banyak
yang bertaubat hanya dengan lisan saja, sedangkan hati mereka kosong, sehingga mereka tidak berhenti
melakukan maksiat. Artinya bahwa tidak semua taubat dapat diterima, tentu terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi agar taubat diterima oleh Allah.

Supaya taubat kita diterima oleh Allah SWT., maka ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya
adalah :

a. Meninggalkan dosa tersebut.

Ibnu Qayyim berkata: “Tobat mustahil terjadi, sementara dosa tetap dilakukan.”

b. Menyesali perbuatan tersebut.

Rasulullah SAW. Bersabda : “menyesal adalah taubat.”

c. Berjanji.

(berazzam) untuk tidak mengulangi lagi. Ibnu mas’ud berkata bahwa taubat yang benar adalah taubat
dari kesalahan yang tidak akan diulangi kembali, bagaikan air susu yang tidak mungkin kembali
kekantong susunya lagi.

d. Mengembalikan kezaliman kepada pemiliknya, atau meminta untuk dihalalkan.

Imam Nawawi berkata bahwa diantara syarat taubat adalah mengembalikan kedzaliman atau meminta
untuk dihalalkan

e. Ikhlas.

Ibnu hajar berkata, “Tobat tidak akan sah kecuali dengan ikhlas

f. Tobat dilaksanakan pada waktu masih hidup ( sebelum sakaraul maut )

Hal ini disandarkan pada firman Allah SWT., yang artinya : ”Dan tobat itu tidaklah diterima Allah dari
merekayang melakukan kejahatan hingga ajal kepada seorang diantara mereka, barulah dia mengataka,
“saya benar-benar bertaubat sekarang.”

3. Faidah Bertaubat
Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang ditemukan bahwa untukmelakukan tobat agak sulit. Oleh
karena itu, untuk menggerakkan hati kita agar setiap saat bergerak untuk bertaubat, ada beberapa hal
yang dapat dilakukan, diantaranya adalah :

a. Mengetahui hakikat taubat

b. Merasakan akibat dosa yang dilakukan

c. Menghindar dari lingkungan yang kurang baik

d. Membaca dan mengkaji al-qur’an dan hadits, terutama yang berkaitan dengan dosa.

e. Berdoa

f. Mengetahui keagungan Allah yang maha pencipta

g. Mengingat kematian yang tidak diketahui kapan, dimana, dan datangnya tiba-tiba

h. Membaca sejarah atau kisah-kisah orang yang bertaubat.

Setelah kita mengetahui syarat dan hal-hal yang dapat menggerakkan hati untuk bertaubat, maka kita
dapat mengetahui manfaat taubat diantarnya adalah :

Ø Tobat itu jalan menuju keberuntungan

Ø Malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat

Ø Mendapat kemudahan hidup daan rezeki yang luas

Ø Menghapus kesalahan dan pengampunan dosa

Ø Hati menjadi bersih dan bersinar

Ø Dicintai Allah SWT.

4. Ada beberapa kriteria orang yang bertaubat.

· Orang yang bertaubat sesudah melakukan kesalahan. Orang ini diampuni dosanya.

Artinya :“Selain orang-orang yang tobat sesudah berbuat kesalahan dan mengadakan perbaikan,
sesungguhnya Allah maha pengampun dan maha penyayang.” (QS Ali Imran : 89)
· Tobat seseorang ketika hampir mati atau sekarat. Tobat semacam ini sudah tidak dapat diterima
lihat Al-qur,an on line di gogle

Artinya : “Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang)
hingga apabila datang ajal dan setelah kepada seorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan :
Sesungguhnya saya bertobat sekarang. Dan tidak pula (diterima tobat) orang-orang yang mati sedang
mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksaan yang pedih.” (QS An Nisa : 18

· Tobat nasuha atau tobat yang sebenar-benarnya. Tobat nasuha adalah tobat yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh atau semurni-murninya. Tobat semacam inilah yang dinilai paling tinggi (lihat Al Qur’an
aurah At Tahrim :

Tobat nasuha dapat dilakukan degan prose sebagai berikut.

1) Segera mohon ampun dan meminta tolong hanya kepada Allah (QS An Nahl : 53)

2) Meminta perlindungan dari perbuatan setan atau iblisdan ari kejahatan makhluk lainnya. (QS An Nas :
1-6, Al Falaq : 1-5, dan An Nahl : 98)

3) Bersegera berbuat baik atau mengadakan perbaikan, dengan sungguh-sungguh, sesuai keadaan, tidak
melampaui batas, dan hasilnya tidak boleh diminta segera (QS Al A’raf : 35, Hud : 112, Al Isra’ : 17-19, Al
Anbiya : 90&37, Az Zumar : 39) serta sadar karena tidak semua keinginan dapat dicapai. (QS An Najm :
24-25)

4) Menggunakan akal dengan sebaik-baiknya agar tak dimurkai Allah (QS Yunus : 100) dan menggunakan
pengetahuan tanpa mengikuti nafsu yang buruk (QS Hud : 46 dan Ar Rum : 29) serta selalu membaca
ayat-ayat alam semesta Al Qur’an (QS Ali Imran : 190-191), mendengarkan perkataan lalu memilih yang
terbaik (QS Az Zumar : 18), dan bertanya kepada yang berpengetahuan jika tidak tahu (QS An Nahl : 43)

5) Bersabar (QS Al Baqarah :155-157) karena kalau tidak sabar orang beriman dan bertakwa tidak akan
mendapat pahala (QS Al Qasas : 30)

6) Melakukan salat untuk mencegah perbuatan keji dan munkar (QS Al Ankabut : 45) dan bertebaran di
muka bumi setelah selesai salat untuk mencari karunia Allah dengan selalu mengingatnya agar
beruntung (QS Al Jumuah : 9-10)

7) Terus menerus berbuat baik agar terus menerus diberi hikmah (QS Yusuf : 22, Al Qasas : 4, Al Furqan :
69-71, At Taubah : 11 dan Al mukmin : 7)

Untuk bisa dinyatakan sebagai tobat nasuha, seseorang harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut.

1) Harus menghentikan perbuatan dosanya

2) Harus menyesalai perbuatannya


3) Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Dan mengganti dengan
perbuatan yang baik, dan apabila ada hubungan dengan hak-hak orang lain, maka ia harus meminta
maaf dan mengembalikan hak pada orang tersebut

B. Raja

1. Pengertian

Kata raja’ berasal dari bahasa Arab yang artinya harapan. Maksud raja’ pada pembahasan ini adalah
mengharapkan keridhaan Allah SWT dan rahmat-Nya. Rahmat adalah segala karunia dari Allah SWT yang
mendatangkan manfaat dan nikmat

Raja’ termasuk akhlakul karomah terhadap allah SWT yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang muslim/muslimah yang mengharapkan ampunan Allah
berarti ia mengakui bahwa Allah itu maha pengampun.

Kebalikan dari sifat raja’ adalah berputus harapan terhadap ridha dan rahmat Allah SWT. Orang yang
berputus harapan terhadap Allah, berarti ia berprasangka buruk kepada Allah SWT, yang hukumnya
haram dan merupakan ciri dari orang kafir

Muslim/muslimat yang bersifat raja’ tentu dalam hidupnya akan bersikap optimis, dinamis, berfikir kritis
dan mengenal diri dalam mengharapkan keridhaan Allah SWT. Berikut adalah penjelasan ringkasan
tentang hal tersebut

* Optimis Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud optimis adalah orang
yang selalu berpengharapan (berpandagan) baik dalam menghadap segala hal atau persoalan, misalnya:

Ø seorang siswa/siswi yang mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) dia berharap akan
lulus dan diterima di perguruan tinggi yang ia pilih.

Ø Seseorang ingin bekerja di sebuah perusahaan swasta, kalau ia berfikir optimis, tentu dia akan
berusaha mengajukan lamaran dan berharap agar lamaran diterima serta dapat bekerja di perusahaan
tersebut

Kebalikan dari sikap optimis adalah sifat pesimis. Sifat pesimis dapat diartikan berprasangka buruk
terhadap Allah SWT. Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan memperoleh kegagalan,
kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau berusaha untuk mencoba.
* Dinamis Kata dinamis berasal dari bahasa Belanda “dynamisch” yang berarti giat bekerja, tidak mau
tinggal diam, selalu bergerak, dan terus tumbuh. Dia akan terus berusaha secara sungguh-sungguh untuk
meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih baik dan lebih maju, misalnya :

Ø Seorang petani akan berusaha agar hasil pertaniannya meningkat

Ø Seorang pedagang akan terus berusaha agar usaha dagangnya berkembang

Kebalikan dari sifat dinamis ialah statis. Sifat statis harus dijauhi oleh setiap muslim/muslimat karena
termasuk akhlak tercela yang dapat menghambat kemajuan dan mendatangkan kerugian

* Berfikir kritis Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa berfikir kritis artinya tajam dalam
menganalisa, bersifat tidak lekas cepat percaya, dan sikap selalu berusaha menemukan kesalahan,
kekeliruan, atau kekurangan. Orang yang ahli mmeberi kritik atau memberi pertimbangan apakah
sesuatu itu benar atau salah, tepat atau keliru, sudah lengkap atau belum disebut kritikus.
Kritik ada dua macam yaitu yang termasuk akhlak terpuji dan yang tercela. Pertama , kritik yang
termasuk akhlak terpuji yaitu kritik yang sehat, yang didasari dengan niat ikhlas karena Allah SWT, tidak
menggunakan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, dan dengan maksud untuk mmeberikan
pertolongan kepada orang yang dikritik agar menyadari kesalahan, kekeliruan dan kekurangannya,
disertai dengan memberikan petunjuk tentang jalan keluar dari kesalahan, kekeliruan dan kekurangannya
tersebut

* Mengenali diri dengan mengharapkan ridho Allah SWT

seorang muslim yang mnegenali dirinya tentu akan menyadari bahwa dirinya adlah makhluk Allah, yang
harus selalu tunduk pada ketentuan-ketentuan-Nya (sunnatullah). Iapun menyadari tujuan hidupnya
adalah memperoleh ridha Allah, sehingga hidupnya diabdikan untuk menghambakan diri hanya kepada-
Nya dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya dan meninggalkan semua larangan-Nya

2. Peranan raja'

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati
menuju Allah 'azza wa,jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa' (harap). Yang
terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya.
Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di
akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga,
pent). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa
takut dan sedih yang akan menyertai mereka (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan
adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran.
Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan
menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-
lemahnya rasa cinta

3. Raja' yang terpuji

Syaikh Al 'Utsaimin berkata: "Ketahuilah, roja' yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat
kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya
diterima, adapun roja' tanpa disertai amalan adalah roja' yang palsu, angan-angan belaka dan tercela."
(Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)

4. Roja' adalah ibadah

Allah ta'ala berfirman yang artinya, "Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan
perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-
Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya (QS. al-Israa': 57) Allah
menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh
kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri
kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya
dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan
diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan
takut tertimpa hukuman-Nya

5. Roja' yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri

Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah berkata: "Roja' yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan
tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah 'azza wa jalla. Memalingkan roja' semacam ini kepada selain
Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang
yang berharap itu..." (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)

6. Mengendalikan roja'

Sebagian ulama berpendapat: "Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan
didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat." Karena apabila dia berbuat taat maka itu
berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia
mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka
hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat

Sebagian yang lain mengatakan: "Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan
orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap." Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila
memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit
apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka
kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung
kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya
berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan
menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap
maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri
dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri
apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta
tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh
tetap tidak akan sembuh." (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Thoyyib Sah Saputra, M.Pd, Drs. H. Wahyudin, M.Pd, 2009, aqidah akhlaq PT.Toha Putra,
Semarang.

: www.harunyahya.com

Halim Abdul Nipan m 2000, menghias diri dari akhlak terpuji, mitra pustaka, Yogyakarta.

Ibrhim Mahyudin , 2000, 180 sifat tercela dan terpuji, Restu Agung, Jakarta

Daud Ma’mur , 1938, terjemahan hadis shahih muslim , jilid I-IV, Widjaya, Jakarta.

http://kasmiasman1wtp.blogspot.com/2012/03/resensi-fiksi.html

Anda mungkin juga menyukai