Anda di halaman 1dari 13

CHOICE OF LAW

Choice of law merupakan bagian dari kebebasan berkontrak, yaitu para pihak bebas untuk
menentukan isi dari kontrak, termasuk pilihan hukumnya. Asas kebebasan berkontrak ini di
Indonesia dianut dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bukan Choice-of-Law
Rules Indonesia. Syarat dan ketentuan dalam situs internet pada umumnya dituangkan dalam
bentuk perjanjian atau klausula baku di mana konsumen tinggal mengklik tombol(-tombol)
tertentu sebagai tanda persetujuan atas apa yang disyaratkan si penjual dalam situs bersangkutan.
Klausula baku seperti ini ditujukan untuk mempermudah terjadinya transaksi, karena akan
menyulitkan apabila si penjual harus membuat dan menegosiasikan kontrak baru untuk setiap
transaksi yang terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya calon pembeli membaca dengan seksama isi
terms and conditions sebelum mengklik tombol yang menyatakan persetujuannya. Jika orang
berbicara tentang HPI Indonesia, orang akan menghadapi kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
1. Tidak ada kompilasi, maupun kodifikasi, kaidah-kaidah HPI Indonesia yang dapat menjadi
pasangan bagi pengadilan-pengadilan Indonesia dalam menjawab masalah-masalah pokok
HPI, pernah ada upaya Indonesia melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional dimotori
oleh Prof. Sudargo Gautama sebagai salah satu tokoh terkemuka HPI Indonesia untuk
menyusun draf Undang-Undang HPI Indonesia tetapi sayangnya inisiatif itu terhenti
sampai draf akademik saja.

2. Aturan-aturan HPI (choice of law rules) di Indonesia terbesar di dalam pelbagai aturan
perundang-undangan, misalnya, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang
Kewarganegaraan, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan sebagainya sehingga
tudak ada benang merah yang dapat digunakan untuk menjaga konsistensi di antara aturan-
aturan tersebut.

3. Asas-asas HPI “tulen” yang ada di Indonesia merupakan peninggalan dari masa penjajahan
Belanda yang dimuat di dalam pasal 16, 17, dan 18 dari Algemene Bepalingen van
Wetgeving yang jika ditinjau dari abad 14-15 dan asas-asas HPI yang dianggap “klasik”.
Berdasarkan pasal-pasal AB itu maka 3 titik taut penentu utama dalam HPI Indonesia
adalah lex patriae untuk menentukan status personal seseorang, asas lex rei sitae untuk
perkara-perkara yang menyangkut status hukum benda-benda tetap dan asas lex loci actus
untuk menetapkan persoalan-persoalan yang menyangkut perbuatan hukum.
Pendekatan Tradisional dengan Asas Modern sebagai Titik Taut Penentu. Dari penjelasan pada
bab-bab yang lalu dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut dengan “pendekatan HPI
Tradisional” pada dasarnya mengandalkan titik taut penentu (titik taut sekunder) yang secara
tegas dan pasti menunjuk ke arah tempat tertentu sebagai legal seat dari suatu transaksi hukum.
Hukum dari legal seat itulah yang harus menjadi lex causae. Ciri teori tradisional dari prinsip
ini tampak dari penggunaan fakta-fakta dalam perkara yang menjalin titik-titik pertalian antara
sebuah tempat/negara tertentu dan perkara atau dengan masalah tertentu dalam perkara.
Jika misalnya forum menghadapi sebuah perkara tentang validitas sebuah kontrak jual beli,
maka bergantung pada teori atau pendekatan yang digunakan, akan tampak bahwa :
 Menurut teori HPI Internasional, hukum yang berlaku atas kontrak adalah hukum dari
tempat yang merupakan legal seat dari semua kontrak jual beli sesuai asas HPI yang hendak
digunakan oleh forum.

 Menurut teori die characteristiche leistung, hukum yang berlaku atas kontrak itu adalah
hukum dari pihak yang dalam kontrak jual pihak penjual; Konvensi Roma 1980 tentang
The Law Applicable to Contractual Obligations yang mengikat semua negara anggota
masyarakat eropa secara tegas menggunakan proximity principle dan khususnya the most
characteristic connection ini walaupun dengan beberapa pengecualian.

 Menurut pendekatan dan juga teori choice influencing consideration dari Prof. Leflar,
aturan hukum intern yang berlaku atas persoalan yang munvul dari kontrak itu adalah
aturan hukum, intern dari negara yang berdasarkan asas HPI yang memiliki kaitan
signifikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang paling menonjol diantara faktor-
faktor pertimbangan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Asas-Asas HPI tentang Subjek Hukum


1. Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)
Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum
kewarganegaraan (lex patriae) orang itu, asas ini juga digunakan dalam pasal 16 Algemene
Bepalingen van Wetgeving (AB) yang secara teoritis masih berlaku di Indonesia. Perlu
disadari bahwa berdasarkan suatu asa dalam bidang hukum keperdataan, yaitu asas mobilia
sequntuur personam, asas pemberlakuan lex patriae ini berlaku juga dalam penentuan
status benda-benda bergerak berdasarkan hukum yang berlaku untuk menetapkan status
personal orang yang memiliki atau menguasai benda itu.

2. Asas Domicile
Adalah asas yang diartikan sesuai dengan konsep yang tumbuh di dalam sistem-sistem
hukum common law dan yang umumnya diartikan sebagai permanent home atau tempat
hidup seseorang secara permanen. Berdasarkan asas ini status dan kewenangan personal
seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicile orang itu, konsep domicile dalam
tradisi common law pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam 3 pengertian, yaitu:
 Domicile of origin ;
Yaitu tempat kediaman permanen sesorang karena kelahiran orang di tempat
tertentu.

 Domicile of dependence:
Yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kebergantungannya kepada
orang lain, misalnya, anak-anak dibawah umur akan mengikuti domicile
orangtuanya atau istri mengikuti domicile suaminya.
 Domicile of choice:

 Yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang dibuktikan dari fakta kehadiran
seseorang secara tetap di suatu tempat tertentu untuk dan indikasi bahwa tempat itu
memang dipilih atas dasar kemauan bebasnya (factum et animus).

3. Asas-Asas untuk Penentuan Status Badan Hukum


Dalam teori dan praktik HPI berkembang beberapa doktrin atau asas yang dapat digunakan,
mengenai hal tersebut, selengkapnya akan diuraikan sebagai berikut.

4. Asas kewarganegaraan/domicile pemegang saham


Asas ini beranggapan bahwa status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari
tempat dimana mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara. Asas atau doktrin
ini dianggap sudah ketinggalanj zaman dan kurang menguntungkan karena kesulitan untuk
menetapkan kewarganegaraan atau domicile dari mayoritas pemegang saham, terutama
jika komposisi kewarganegaraan atau domicile itu ternyata beraneka ragam.

5. Asas centre of administration/business


Asas ini yang beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum harus
tunduk pada kaidah-kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan
administrasi badan hukum tersebut. Asas ini biasnyan diterima oleh negara-negara Eropa
Kontinental.

6. Asas place of incorporation


Asas ini beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum seyogianya ditetapkan
bedasarkan hukum dari tempat badan hukum itu secara resmi didirikan/dibentuk. Dan asas
ini juga dianut di Indonesia. Dengan demikian perusahaan-perusahaan yanh dalam
pengoprasiannya di suatu negara memiliki unsur-unsur asing haruslah didirikan
berdasarkan hukum dari negara tuan rumah dan tunduk pada hukum negara tersebut.

7. Asas centre of exploitation


Asas ini beranggapan bahwa status dan kedudukan badan hukum harus diatur berdasarkan
hukum dari tempat perusahaan itu memusatkan kegiatan operasional, ekspolitasi, atau
kegiatan produksi barang/jasanya.

ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KELUARGA


Dalam HPI persoalan pokoknya adalah sistem hukum manakah yang harusw diberlakukan
terhadap persoalan-persoalan diatas. Dibawah ini akan disajikan beberapa asas utama yang
dikembangkan dalam bidang hukum keluarga/perkawinan untuk menentukan the applicable law
dari berbagai pesoalan dalam perkawinan.

1. Pengertian Perkawinan Campuran


Secara teoritis dalam HPI dikenal 2 pandangan utama yang berusaha membatasi pengertian
“perkawinan campuran”, yaitu:

o Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah


perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domicile-nya
sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari
dua sistem hukum yang berbeda.
o Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai
perkawinan campuran apabila para pihak berbeda kewarganegaraan.
2. Validitas Esensial Perkawinan
Asas utama yang berkembang dalam HPI tentang hukum yang harus digunakan untuk
mengatur validitas materiil suatu perkawinan adalah Asas Lex loci yang artinya validitas
materiil harus ditetapkan berdasarkan hukum tempat dimana perkawinan itu dilaksanakan,
lalu ada asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan
bedasarkan tempat masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan
diberlangsungkan, dan ada asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan
harus berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak berdomicile sebelum
perkawinan diberlakukan.

3. Validitas Formal Perkawinan


Pada umumnya di berbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus regit actum diterima asas
bahwa validitas/persyaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci
celebrationis.

4. Akibat-akibat Perkawinan
Akibat-akibat perkawinan tunduk pada sistem hukum tempat perkawinan diresmikan,
sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga negara setelah
perkawinan, dan sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah
perkawinan atau tempat suami istri ber-domicile tetap setelah perkawinan.

5. Perceraian dan Akibat Perceraian


Akibat-akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat :
o Lex loci celebrationis
o Gemeenschapelijke nationaliteit
o Gemeenschapelijke woonplaats
o Diajukannya gugatan perkawinan
EKSISTENSI DAN PROSPEK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Secara historis, HPI pada awalnya berkembang sebagai bidang hukum yang sangat terpusat
pada hukum dari tempat perkara diajukan (lex fori). Upaya mencari jawaban terhadap masalah-
masalah pokok HPI bertitik tolak dari kewenangan forum dan kedaulatan hukum negara forum,
dengan munculnya teori HPI universal dari Von Savingy paradigma HPI bergeser menjadi sebuah
multilateralistik yang bertitik tolak dari kesederajatan semua sistem sistem hukum di dunia dan
karena itu menempatkan forum sebagai disinterested forum yang berusaha untuk menjawab
persoalan-persoalan pokok HPI sejauh mungkin secara objektif, tetapi dengan menggunakan
aturan-aturan HPI yang tidak fleksibel dan bersifat tetap.
Terlepas dari perbedaan corak dan penekanan dari teori-teori dan atau pendekatan-
pendekatan, benang merah yang sama dari teori-teori tersebut dampak pada kenyataan bahwa
teori-teori tersebut menunjuk ke arah pemberlakuan hukum atau aturan hukum nasional tertentu
dari sebuah negara sebagai hukum yang berlaku. Persoalan-persoalan HPI sejauh ini selalu
diarahkan pada pemberlakuan sistem hukum domestik atau nasional tertentu dan karena itu dapat
dikatakan bersifat sangat nasional teritorialistik. Tidaklah heran apabila sebagai bagian dari hukum
nasional suatu negara, sistem dan aturan-aturan HPI nasional suatu negara akan berkembang sesuai
dengan politik hukum dan kebutuhan/kepentingan dari negara-negara yang bersangkutan. Apabila
salah satu persoalan besar yang melekat pada HPI adalah kenyataan adanya pelbagai sistem HPI
nasional teritorialistik yang berkoeksistensi di dunia ini dan yang justru dapat menjadi penghambat
kelancaran pergaulan hidup manusia yang semakin bersifat. Teori-teori yang bersifat terbuka yang
dipelopori oleh Von Savingy dan kemudian dikembangkan di dalam teori-teori turunannya,
sebenarnya sudah memulai upaya untuk menharmonisasikan HPI secara universal

HPI PADA DASARNYA BERSIFAT NASIONAL TERITORIALISTIK


Bila negara-negara berdaulat hendak membuat kesepakatan tentang sesuatu berkenaan dengan
kepentingan negara dan bangsa di antara mereka, lazimnya perangkat norma yang dibuat atas dasar
kesepakatan bersama dengan tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, secara formal akan
diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional.
Demikian pentingnya perjanjian internasional dalam mengatur berbagai persoalan masyarakat
bangsa-bangsa, sehingga perjanjian internasional tidak hanya terjadi dalam bidang hukum publik
internasional, melainkan juga berlangsung dalam bidang hukum perdata internasional (HPI).
Upaya yang dilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraan beberapa
konperensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag, antara lain bertujuan untuk
mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.
Memang setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem HPI yang berlainan satu sama
lain. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan
dua negara atau lebih, maka negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan
jalan mempersiapkan konvensikonvensi yang bertujuan menciptakan unifikasi di dalam bidang
hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan dimaksudkan
untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari negara-negara peserta konperensi,
melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPI-nya. Harapannya adalah
penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh
badan-badan peradilan masing-masing negara peserta.
Agaknya upaya penyelarasan kaidah hukum publik maupun privat melalui perjanjian
internasional, sudah saatnya dilakukan juga oleh negara-negara di Kawasan ASEAN ini. Paling
tidak menyambut berlaku efektifnya AFTA mendatang, kesenjangan akibat perbedaan sistem
hukum yang ada pada sejumlah negara anggota ASEAN, harus diupayakan untuk diminimalkan.
Untuk itu proses pembentukan pranata hukum yang dilakukan negara seperti Indonesia, tidak
cukup bila semata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini.
Model semacam itu dikhawatirkan akan mempersulit Indonesia sendiri dalam mengakomodasi
berbagai perubahan yang berlangsung sangat cepat akibat interaksi masyarakat bangsa-bangsa
yang semakin hari semakin intensif. Tak ada cara untuk mengatasi ketertinggalan norma hukum
dari faktanya (het recht hinkt achter de feiten aan), hukum nasional negara-negara harus terus
menerus diupayakan agar senantiasa mampu menjawab berbagai persoalan transnasional. Upaya
aktualisasi kaidah hukum nasional itu harus secara simultan dilakukan, baik melalui proses
kodifikasi, maupun dengan jalan melakukan nasionalisasi terhadap kaidahkaidah hukum
internasional melalui proses pengesahan (ratification) atau aksesi (acession) terhadap sejumlah
perjanjian internasional. Sehingga perubahan dan perkembangan masyarakat dunia macam apa
pun, akan mampu diimbangi oleh tersedianya kaidah hukum.
Di dalam Viena Convention on the law of Treaties 1969, "Ratifications means in each case the
international act so named whereby a state establishes on the international plans its consent to be
bound by a treaty", [Art 2 (1) b]. Ratifikasi merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh
pemberian persetujuannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Jadi, yang dimaksud
dengan “nasionalisasi” terhadap norma hukum transnasional ini pun pada dasarnya adalah suatu
proses masuk dan diterimanya norma transnasional ke dalam pranata hukum nasional suatu negara.
Selanjutnya norma-norma tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara tersebut.
Kekosongan dan ketertinggalan kaidah hukum acara perdata pengadilan negeri di Indonesia,
telah berakibat luas terutama pada perolehan rasa keadilan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Akibatnya muncul fenomena dalam masyarakat, berupa pilihan forum untuk menyelesaikan
konflik ke arah forum lain selain pengadilan negeri. Apalagi untuk sengketa-sengketa yang
melibatkan pihak-pihak multinasional. Para pihak multinasional bahkan sejak awal telah
bersepakat di dalam kontrak mereka, manakala kelak terjadi konflik, maka penyelesaiannya tidak
akan melalui pengadilan negeri.
Pengadilan negeri dihindari, karena dianggap oleh mereka prosesnya terlalu panjang, sehingga
sulit sekali memperoleh kepastian dan keadilan. Menghadapi kenyataan itu, muncul “Alternative
Dispute Resolution (ADR)” sampai akhirnya Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. Langkah itu tentu
saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan dinamika masyarakat yang semakin
kompleks. Meski kompetensi pengadilan negeri dalam menyelesaikan berbagai sengketa
komersial cenderung digeserkan oleh forum lain yang dianggap lebih memuaskan para pihak,
namun dalam beberapa hal kompetensi pengadilan negeri tidak mudah untuk dihindari. Buktinya,
ketika putusan forum lain (sebut saja: arbitrase), tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak
yang terkena eksekusi, maka eksekusi putusan semacam itu menjadi kompetensi pengadilan
negeri. Apalagi jika putusan forum arbitrase tadi dijatuhkan di luar Indonesia, maka ketika putusan
hendak memperoleh pengakuan dan eksekusi di dalam wilayah hukum Republik Indonesia,
terlebih dahulu putusan tersebut harus memperoleh exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Menghadapi kenyataan demikian, suka atau pun tidak, Indonesia harus terus melakukan upaya
pembaharuan atas sejumlah perangkat norma hukum formal yang ada. Jika tidak, di masa depan
kasus-kasus sengketa komersial yang bakal muncul nuansanya semakin kompleks dibandingkan
dengan sengketa di masa lalu. Demikian pula pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak hanya
subjek hukum lokal, melainkan pihak-pihak multinasional. Hukum Acara Perdata untuk
pengadilan negeri kaidahnya kini sudah sangat tertinggal. Betapa tidak, het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) sebagai perangkat norma hukum formal yang disusun oleh Jhr. Mr. H.L.
Wichers, pada tahun 1846 8 untuk beracara di depan Land Raad, harus tetap dipertahankan untuk
mampu menjawab sejumlah persoalan yang semakin kompleks pada abad 21 ini. Sungguh aneh
bila upaya untuk mengganti het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang telah uzur dengan
Undang-undang yang baru tidak pernah dilakukan oleh pemerintah bersama parlemen. Padahal
problema penyelesaian sengketa transnasional menghadang di depan mata.
Mengadakan kesepakatan bilateral atau meratifikasi berbagai perjanjian internasional
multilateral menyangkut hukum acara perdata untuk badan peradilan, adalah tindakan yang amat
tepat untuk memberikan suplemen terhadap norma hukum acara perdata peninggalan kolonial itu.
Bila tidak, dikhawatirkan suatu ketika HIR tidak lagi mampu menangani persoalan yang muncul.
Atas dasar kenyataan semacam itu, maka membuat kesepakatan internasional untuk
memperkaya kaidah hukum acara perdata pengadilan negeri, sudah saatnya untuk
dipertimbangkan. Persoalannya, menghadapi berlakunya AFTA mendatang saja, setidaknya di
kawasan ASEAN harus terjadi harmonisasi antar sistem hukum antar masing-masing negara-
negara. Jika tidak, kesulitan demi kesulitan akan dihadapi setiap negara, tatkala tuntutan hak
berupa eksekusi putusan yang dijatuhkan di suatu negara tidak dapat dilaksanakan di negara
berdaulat lainnya. Keadaan ini tentu saja kurang meguntungkan dari sisi kerjasama ekonomi. Oleh
karena itu model konvensi yang pernah diupayakan untuk negara-negara di kawasan Eropa,
sewajarnya bila dipertimbangkan untuk dijadikan model dalam penyusunannya, paling tidak
dalam rangka harmonisasi hukum negara-negara di kawasan ASEAN menjelang AFTA berlaku.
Beberapa contoh konvensi tersebut diantaranya:
 Convention relating to Civil Procedure, 1954. (Konvensi tentang hukum acara perdata
pada badan peradilan, tahun 1954).
 Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or
Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang penyampaian dokumen resmi badan
peradilan kepada para pihak yang berada di luar negeri di dalam perkara perdata dan
dagang, tahun 1965). Konvensi ini pada dasarnya merupakan hasil revisi dari Bab
pertama Konvensi 1954, yang dilakukan pada Konperensi Den Haag ke 10 tahun 1964.
 Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or
Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang penyampaian dokumen resmi badan
peradilan kepada para pihak yang berada di luar negeri di dalam perkara perdata dan
dagang, tahun 1965).
Berdasarkan tujuan pembentukannya, konvensi-konvensi di atas, selain untuk
menyeragamkan kaidah-kaidah hukum perdata internasional diantara negara-negara peserta, juga
dalam rangka melancarkan hubungan lalu lintas internasional khususnya di dalam menyelesaikan
kasus-kasus hukum perdata dan hukum perniagaan. Hal itu dipandang penting mengingat dalam
masyarakat internasional tidak terdapat suatu penguasa yang berwenang menetapkan serta
memaksakan ketentuan hukum, seperti halnya dalam suasana nasional. Pada dasarnya upaya
mengadaptasikan norma-norma hukum lokal dengan norma-norma hukum masyarakat bangsa-
bangsa telah dilakukan di Indonesia semasa Orde Baru. Ratifikasi atas sejumlah norma hukum
internasional menjadi hukum positip nasional, telah dilakukan.
Upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi negara yang dilakukan rezim Orde Baru
antara lain dengan jalan mengundang masuknya modal asing. Maka tak terlalu keliru bila
dikatakan, sejak Orde Baru itulah era kapitalisme di Indonesia secara formal dimulai. Ditandai
oleh pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang
secara resmi menjadi instrumen bagi berkiprahnya investasi asing di Indonesia. Menyusul tindakan
rezim Orde Baru mengundang investor asing untuk menstimulasi upaya pembangunan ekonomi
rakyat Indonesia, mulailah satu demi satu proses nasionalisasi kaidah hukum internasional
dilakukan. Menyusul diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA, “Convention on the
Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States” disahkan oleh
Pemerintah Indonesia. („Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa antara Negara dan Warga
Negara Asing mengenai Penanaman Modal). Perjanjian internasional ini tergolong paling awal
disahkan oleh Pemerintah Indonesia.
Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan penting menyelenggarakan
hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA
sebagai kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang
berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan hukum yang diatur oleh
satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya dengan ketentuan yang
berlaku di negara lain. Namun realisasi kerjasama hukum untuk mencapai harmonisasi hukum di
antara negara-negara anggota ASEAN itu memang tidak mudah. Oleh karena setiap negara
anggota ASEAN harus berusaha untuk saling memahami bahwa kesepuluh negara anggota
ASEAN itu memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar dilihat dari segi latar belakangnya baik
sejarah, hukum, maupun budayanya.
Pluralisme sistem hukum negara-negara di kawasan ASEAN merupakan salah satu kendala
dasar. Akibatnya upaya-upaya dan perkembangan yang dicapai oleh organisasi bangsa-bangsa
Asia Tenggara ini tidak secerah dan secepat yang dicitacitakan. Terdapatnya prinsip-prinsip yang
sama saja sudah merupakan keberhasilan, walaupun pelaksanaan pengaturannya masih bervariasi
karena kondisi setempat. Berbagai upaya sebagai tindak lanjut dari sejumlah kesepakatan terus
dilakukan. Ini banyak dilakukan juga semasa rezim Orde Baru masih kokoh mengendalikan negeri
ini. Diantaranya, pertemuan para Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung se-ASEAN di Bali pada
tanggal 11-12 April 1986, adalah salah satu contoh upaya kesefahaman yang telah menghasilkan
dokumen ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangament for Cooperation
in the Legal Field. Dari pertemuan itu paling tidak telah dicapai tiga aspek kerjasama bidang
hukum di antara negara-negara ASEAN. Ketiga aspek tersebut adalah:
I. pertukaran bahan hukum
II. kerjasama di bidang peradilan; dan
III. kerjasama di bidang pendidikan hukum dan penelitian.
Sebenarnya aspek kerjasama di bidang peradilan juga telah lama dirintis oleh Indonesia dengan
Kerajaan Thailand dalam bentuk perjanjian bilateral. Kerjasama bilateral itu telah dicapai jauh
sebelum adanya Dokumen ASEAN Miniterial Understanding on the Organizational Arrangement
for Cooperation in the Legal Field of 1986, yang antara lain menghasilkan tiga aspek kerjasama
tersebut di atas. Bahkan dengan amat ideal Agreement on Judicial Cooperation between the
Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand of 1978 ini telah dicanangkan sebagai suatu
model bagi kesepakatan berikutnya di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya.

HARMONISASI HUKUM DAN LEX MERCATORIA BARU-AWAL PERGESERAN


FUNGSI HPI?
Dengan mengacu pada persoalan hukum yang demikian itu, maka muncul pemikiran baru di
kalangan ahli hukum perdagangan internasional yang menolak penerapan HPI dalam transaksi
dagang internasional dan sekaligus mengusulkan kaidah-kaidah hukum otonom dalam transaksi
tersebut yang berlaku umum dan diterima di semua negara. Pemikiran para ahli hukum
perdagangan internasional yang menghendaki berlaku keseragaman (unifikasi) hukum dalam
perdagangan internasional tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada dasarnya ada
kesamaan-kesamaan pranata hukum yang secara universal dapat diterima oleh semua negara di
bidang perdagangan internasional. Kesamaan-kesamaan pranata hukum tersebut, menurut
Goldstaijn, didasarkan atas tiga dalil (proposisi) yang fundamental, yaitu:
 the principle of authonomy of the parties will;
 hat the contract must be faithfully performed (Pacta Sunt Servanda);
 the use of arbitration.[4]
Prinsip otonomi para pihak atau yang lazim juga disebut asas kebebasan berkontrak
mengandung arti bahwa pada dasarnya setiap orang secara hukum diberikan kebebasan untuk
membuat suatu perjanjian (kontrak) dengan orang lain, termasuk dengan orang yang tempat
usahanya berada di negara yang berbeda atau lintas negara (transborder). Mereka secara otonom
dapat menentukan atau mengatur sendiri bentuk-bentuk atau syarat-syarat (isi) perjanjian sesuai
dengan kesepakatan (konsensus) di antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian (contractants).
Dengan adanya perjanjian itu, berarti para pihak telah menciptakan hukum sendiri.
Konsekuensinya, mereka secara hukum terikat untuk melaksanakan perjanjian itu dengan “itikad
baik” (good faith; goede trouw)[5] sesuai dengan prinsip hukum yang dikenal dalam Hukum
Romawi “Pacta Sunt Servanda” (vide, pasal 1338 BW).
Selanjutnya, tentang arbitrase (perwasitan) dalam perdagangan internasional, sebenarnya
merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang baru dapat dilakukan apabila para pihak dalam
perjanjian tersebut terlebih dahulu bersepakat untuk melakukan hal itu dalam perjanjian yang telah
mereka buat. Dengan perkataan lain, arbitrase itu ada dan dapat dipergunakan oleh para pihak
dalam menyelesaikan sengketa dagang (internasional), apabila hal itu telah diperjanjikan
sebelumnya berdasarkan prinsip “Pactum de Compromittendo”.[6] Penggunaan arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa dagang internasional ini sebenarnya merupakan suatu terobosan
atau jalan keluar dari mekanisme penyelesaian sengketa yang pada umumnya dilakukan melalui
pengadilan. Penggunaan lembaga arbitrase ini lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan praktis-
ekonomis. Sebab, bukankah pada umumnya penyelesaian sengketa dagang yang dilakukan melalui
jalur pengadilan, di samping prosedur rumit, biayanya mahal, waktunya lama, serta belum tentu
diadili oleh hakim-hakim profesional yang benar-benar menguasai seluk-beluk perdagangan. Hal-
hal yang demikian itu tentu saja sangat merugikan para pedagang. Oleh karena itulah dalam
praktek jual beli barang secara internasional lazim digunakan lembaga arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa dagang yang mereka hadapi.
Di samping ketiga dalil tersebut di atas, kesamaan-kesamaan pranata hukum dalam praktek
jual beli barang secara internasional sudah lazim digunakan Letter of Credit (L/C) atau Bankers
Commercial Credit dalam sistim pembayaran, syarat-syarat Cost, Insurence, and Freight (C.I.F),
Free on Board (F.O.B.), Bill of Lading (B/L), dan lain-lain. Dengan demikian, dalam perdagangan
internasional sangat diperlukan adanya suatu “uniform rule” yang otonom dan dapat diterima
secara universal. Ketentuan yang universal ini oleh Schmitthoff dinamakan sebagai Hukum
Perdagangan Internasional Modern (The Modern of International Trade Law) atau yang lazim
disebut dengan istilah “New Lex Mercatoria”.
Lex Mercatoria sebenarnya merupakan perwujudan kembali atau “reinkarnasi” dari Lex
Mercatoria atau Merchant(ile) Law yang lahir dan dipraktekkan pada abad pertengahan.
Kemudian, pada abad ke-17 sampai ke-19, Lex Mercatoria itu telah diterima dan dimasukkan ke
dalam hukum nasional negara-negara di Eropa, misalnya Perancis, Inggris, Belanda, dan Jerman.
New Lex Mercatoria bukanlah cabang dari Hukum Internasional Publik (Ius Gentium), dan
ketentuan hukum ini berlaku dan diterapkan di berbagai negara berdasarkan toleransi dari negara-
negara yang berdaulat. Nex Lex Mercatoria terdiri dari norma-norma hukum, praktek-praktek dan
kebiasaan yang dinyatakan dalam teks-teks otoritatif yang dihimpun oleh organisasi-organasi
internasional, seperti International Chamber of Commerce (ICC), The Council of Mutual
Economic for Europe, dan International Institute for Unification of Private Law.
New Lex Mercatoria, menurut Bertold Goldman, adalah “a set of general principles and
customary rules spontaneously referred to or elaborated in the framework of international law,
without reference to a particular national system of law”.Ketentuan hukum yang diciptakan oleh
masyarakat internasional ini sifatnya otonom, terlepas dari sistem hukum nasional manapun.
Ketentuan hukum itu, menurut Schmitthoff, berisi prinsip-prinsip umum dalam hubungan hukum
(transaksi) perdagangan internasional. Oleh karena itu, hubungan-hubungan hukum dalam
perdagangan yang diakui oleh New Lex Mercatoria ini melibatkan negara-negara yang berbeda
(the body of rules governing commercial relationships of private law nature involving different
countries).
Ketentuan baru dalam perdagangan internasional yang lahir pada akhir abad ke-20 ini
ditandai dengan munculnya semangat unifikasi hukum dalam perdagangan internasional secara
global. Pemikiran yang melatarbelakangi semangat ini dipelopori antara lain oleh Schmitthoff
pada tahun 1957, yang kemudian banyak didukung oleh para ahli hukum dari berbagai negara.
Meskipun banyak ahli hukum perdagangan internasional yang mendukung New Lex Mercatoria,
namun ada juga yang meragukan keabsahan dan efektivitasnya. Terlepas dari perbedaan ilmiah
tersebut, sebagai suatu bidang hukum yang mandiri (otonom), New Lex Mercatoria ternyata kini
telah banyak diterapkan dan diakui oleh masyarakat internasional di banyak negara maupun
lembaga-lembaga arbitrase.
Menurut Schmitthoff, sumber-sumber hukum dari New Lex Mercatoria terdapat dalam
International Legislation dan International Commercial Custom. International Legislation adalah
kaidah-kaidah hukum yang diterima dan disetujui oleh negara-negara yang berdaulat, biasanya
dalam bentuk:
1) konvensi-konvensi internasional, seperti konvensi internasional tentang Bill of Lading
(Hague Rules) yang diubah oleh Brussels Protocol 1968
2) Model Law, seperti Uniform Law on International Sale yang disponsori oleh konferensi
internasional di Den Haag 1964.
Sedang, International Commercial Custom adalah kebiasaan-kebiasaan dan praktek
internasional di bidang perdagangan yang dibentuk oleh organisasi-organisasi internasional,
seperti Incoterms 1980 dan Uniform Custom and Practice for Documentary Credit 1974 yang
disponsori oleh International Chamber of Commerce (ICC).
Menurut O. Lando, unsur-unsur dalam New Lew Mercatoria dapat ditemukan dalam berbagai
sumber hukum, yaitu:
 Public International Law, seperti: International Convention on Settlement of
Investment Disputes 1995 dan Viene Convention on the Law of Treaties 1969
 Uniform Laws, seperti: Convention on Contracts for International Sale of Goods 1980;
 The General Principles of Law, seperti: pacta sunt servanda, good faith, ribus sic
stantibus;
 The Rules of International Organizations, misalnya berbentuk produk-produk hukum
yang dihasilkan oleh International Chamber of Commerce (ICC), The United Nations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan The International Institute
for the Unification of Private Law (UNIDROIT);
 Customs and Usages, seperti: Incoterms dan Uniform Customs and Practices for
Documentary Credits;
 Standard Form Contracts, seperti: General Conditions for the Supply of Plan and
Machinery for Export, yang dibuat oleh Komisi Ekonomi Eropa (The Economic
Commission for Europe) dan kontrak baku yang dibuat oleh Bank Dunia;
Kepastian hukum dalam perdagangan internasional ini diharapkan dapat dicapai manakala para
pihak tunduk pada ketentuan hukum yang sama (unifikasi hukum). Dan unifikasi hukum dalam
perdagangan internasional ini dapat diciptakan, antara lain melalui konvensi hukum internasional,
khususnya di bidang perdagangan internasional. Menyadari betapa pentingnya konvensi tersebut,
maka pada tahun 1980 telah ada konvensi PBB yang mengatur tentang kontrak jual beli barang
secara internasional (CISG 1980) yang memungkinkan adanya penyeragaman penggunaan
ketentuan hukum bagi para pedagang secara universal. Ironisnya, hingga kini Indonesia belum
meratifikasi konvensi tersebut, padahal tidak lama lagi kita akan memasuki era perdagangan bebas
(free trade era).
MAKALAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH:
PASCAL YUDHA GINTING
2015-050-325

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMAJAYA


JAKARTA 2018

Anda mungkin juga menyukai