Choice of law merupakan bagian dari kebebasan berkontrak, yaitu para pihak bebas untuk
menentukan isi dari kontrak, termasuk pilihan hukumnya. Asas kebebasan berkontrak ini di
Indonesia dianut dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bukan Choice-of-Law
Rules Indonesia. Syarat dan ketentuan dalam situs internet pada umumnya dituangkan dalam
bentuk perjanjian atau klausula baku di mana konsumen tinggal mengklik tombol(-tombol)
tertentu sebagai tanda persetujuan atas apa yang disyaratkan si penjual dalam situs bersangkutan.
Klausula baku seperti ini ditujukan untuk mempermudah terjadinya transaksi, karena akan
menyulitkan apabila si penjual harus membuat dan menegosiasikan kontrak baru untuk setiap
transaksi yang terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya calon pembeli membaca dengan seksama isi
terms and conditions sebelum mengklik tombol yang menyatakan persetujuannya. Jika orang
berbicara tentang HPI Indonesia, orang akan menghadapi kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
1. Tidak ada kompilasi, maupun kodifikasi, kaidah-kaidah HPI Indonesia yang dapat menjadi
pasangan bagi pengadilan-pengadilan Indonesia dalam menjawab masalah-masalah pokok
HPI, pernah ada upaya Indonesia melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional dimotori
oleh Prof. Sudargo Gautama sebagai salah satu tokoh terkemuka HPI Indonesia untuk
menyusun draf Undang-Undang HPI Indonesia tetapi sayangnya inisiatif itu terhenti
sampai draf akademik saja.
2. Aturan-aturan HPI (choice of law rules) di Indonesia terbesar di dalam pelbagai aturan
perundang-undangan, misalnya, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang
Kewarganegaraan, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan sebagainya sehingga
tudak ada benang merah yang dapat digunakan untuk menjaga konsistensi di antara aturan-
aturan tersebut.
3. Asas-asas HPI “tulen” yang ada di Indonesia merupakan peninggalan dari masa penjajahan
Belanda yang dimuat di dalam pasal 16, 17, dan 18 dari Algemene Bepalingen van
Wetgeving yang jika ditinjau dari abad 14-15 dan asas-asas HPI yang dianggap “klasik”.
Berdasarkan pasal-pasal AB itu maka 3 titik taut penentu utama dalam HPI Indonesia
adalah lex patriae untuk menentukan status personal seseorang, asas lex rei sitae untuk
perkara-perkara yang menyangkut status hukum benda-benda tetap dan asas lex loci actus
untuk menetapkan persoalan-persoalan yang menyangkut perbuatan hukum.
Pendekatan Tradisional dengan Asas Modern sebagai Titik Taut Penentu. Dari penjelasan pada
bab-bab yang lalu dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut dengan “pendekatan HPI
Tradisional” pada dasarnya mengandalkan titik taut penentu (titik taut sekunder) yang secara
tegas dan pasti menunjuk ke arah tempat tertentu sebagai legal seat dari suatu transaksi hukum.
Hukum dari legal seat itulah yang harus menjadi lex causae. Ciri teori tradisional dari prinsip
ini tampak dari penggunaan fakta-fakta dalam perkara yang menjalin titik-titik pertalian antara
sebuah tempat/negara tertentu dan perkara atau dengan masalah tertentu dalam perkara.
Jika misalnya forum menghadapi sebuah perkara tentang validitas sebuah kontrak jual beli,
maka bergantung pada teori atau pendekatan yang digunakan, akan tampak bahwa :
Menurut teori HPI Internasional, hukum yang berlaku atas kontrak adalah hukum dari
tempat yang merupakan legal seat dari semua kontrak jual beli sesuai asas HPI yang hendak
digunakan oleh forum.
Menurut teori die characteristiche leistung, hukum yang berlaku atas kontrak itu adalah
hukum dari pihak yang dalam kontrak jual pihak penjual; Konvensi Roma 1980 tentang
The Law Applicable to Contractual Obligations yang mengikat semua negara anggota
masyarakat eropa secara tegas menggunakan proximity principle dan khususnya the most
characteristic connection ini walaupun dengan beberapa pengecualian.
Menurut pendekatan dan juga teori choice influencing consideration dari Prof. Leflar,
aturan hukum intern yang berlaku atas persoalan yang munvul dari kontrak itu adalah
aturan hukum, intern dari negara yang berdasarkan asas HPI yang memiliki kaitan
signifikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang paling menonjol diantara faktor-
faktor pertimbangan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
2. Asas Domicile
Adalah asas yang diartikan sesuai dengan konsep yang tumbuh di dalam sistem-sistem
hukum common law dan yang umumnya diartikan sebagai permanent home atau tempat
hidup seseorang secara permanen. Berdasarkan asas ini status dan kewenangan personal
seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicile orang itu, konsep domicile dalam
tradisi common law pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam 3 pengertian, yaitu:
Domicile of origin ;
Yaitu tempat kediaman permanen sesorang karena kelahiran orang di tempat
tertentu.
Domicile of dependence:
Yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kebergantungannya kepada
orang lain, misalnya, anak-anak dibawah umur akan mengikuti domicile
orangtuanya atau istri mengikuti domicile suaminya.
Domicile of choice:
Yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang dibuktikan dari fakta kehadiran
seseorang secara tetap di suatu tempat tertentu untuk dan indikasi bahwa tempat itu
memang dipilih atas dasar kemauan bebasnya (factum et animus).
4. Akibat-akibat Perkawinan
Akibat-akibat perkawinan tunduk pada sistem hukum tempat perkawinan diresmikan,
sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga negara setelah
perkawinan, dan sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah
perkawinan atau tempat suami istri ber-domicile tetap setelah perkawinan.
DISUSUN OLEH:
PASCAL YUDHA GINTING
2015-050-325