Anda di halaman 1dari 11

1.

Disiplin Hukum Adalah Disiplin Sosial (Pendahuluan)


A. Pengantar
Friendrich Carl von Savigny pernah menyatakan, hukum
merupakan kehidupan manusia itu sendiri, yang dipandang dari sudut
tertentu.
Manusia hidup dengan alam kodrat (“nature”) serta mengalami
penggulawentahan (“nuture”). Penggulawentahan dibagi menjadi dua
lingkup, yaitu :
1. Esktern-sosial melalui edukasi ataupun imitasi
2. Intern-mental dengan pendayaan:
a. Kognitif, yaitu asah cipta yang dilandasi logika.
b. Konatif, yaitu asuh karsa yang dilandasi etika, dan
c. Afektif, yakni asih rasa yang dilandasi estetika.
B. KEHIDUPAN MANUSIA DAN PASANGAN NILAI-NILAI
ANTINOMIS.
Pada umumnya manusia menginginkan keserasian dalam
kehidupan pribadi maupun antar pribadi. Dalam aspek hidup pribadi,
manusia menuju keserasian :
1. Antara dirinya, sebagai tercipta dengan Sang Pencipta di bidang
keimanan, maupun
2. Antara dirinya, sebagai individu dengan hati nuraninya di bidang
keakhlakan. Adapun dalam aspek hidup antar pribadi keserasian itu
adalah keberadaban di bidang sopan santun dan kedamaian di bidang
hukum.

Secara somatologis manusia merupakan suatu organisme.


Organisme itu ada dan hidup terus karena adanya kerja sama yang
harmonis dari unsur-unsurnya yang pada instansi terakhir merupakan
bagian-bagiannya.

Menurut Sigmund Freud, secara psikologis manusia dihayatkan


oleh tiga azas, yakni :
1. Azas kenikmatan yang akibatkan manusia cenderung untuk
mencari atau mendapatkan kenikmatan sebanyak mungkin
untuk dirinya sendiri dan menghindarkan kesengsaraan.
2. Azas realitas yang mengarahkan manusia untuk menghadapi
dunia luar yang tidak mungkin dihindarinya.
3. Azas keteguhan sebagai harmonisator ke dua azas atau prinsip
lainnya.asa

Dengan azas kenikmatan dan realitas yang bersifat antonomis,


yakni berpasangan dan bertegangan, manusia mampu menanggulangi
peruncingan ketegangan ke dua azas tadi. Hal itu disebabkan karena daya
azas keteguhan yang mencegah salah-satu azas mendominasi batin
manusia.

Dalam proses kehidupan batiniah manusia, azas kenikmatan dan


realitas menjadi dua kutub. Kedua kutub itu membuat jiwa manusia
bagaikan “pendulum” jam yang bergerak ke kiri dan ke kanan, akan tetapi
secara konstan karena adanya daya azas keteguhan. Melalui ungkapan
ajaran Freud dan Jung dapatlah dimaklumi bahwa hasrat akan kebebasan
(azas kenikmatan) maupun hasrat akan ketertiban (azas realitas) bergaul
dan bergumul dalam kehidupan rohaniah manusia. Akan tetapi keduanya
diawasi atau diwasiti oleh hasrat akan keserasian (azas keteguhan).

Hasrat keserasian rohaniah dan kodrat keserasian jasmaniah


menjadi nilai, yaitu gagasan mengenai sesuatu yang diinginkan. Bagi
manusia dalam pergaulan hidup, pemuliaan pada nilai yang satu menjadi
spiritualisme, dan pemujaan pada nilai lainnya disebut materialisme.

Manusia hidup dengan keinginan yang kuat untuk mengadakan


lintasan (“overschrijdingsdrift”). Dengan demikian, maka karena
kehidupan manusia selalu ingin “lebih hidup” (“steeds meer leven”),
“lebih” itu maksudnya bukan hanya secara kuantitatif, yakni lebih banyak
yang hidup. Selain itu artinya secara kualitatif, yakni bahwa hidup itu
lebih maju, meningkat dan mulia.

Berdasarkan uraian di muka dapatlah ditegaskan bahwa karena


pergaulan hidup manusia itu pada hakikatnya merupakan system
penyerasian antinomi – antara (nilai) kebebasan dan kelestarian, demikian
pula halnya dengan hukum – dalam tinjauan fislafat hukum – maka dari
sudut pandang yang satu ini memang benar anggapan von Savigny bahwa
hukum adalah kehidupan manusia (dalam pergaulan) itu sendiri.

C. MASYARAKAT SEBAGAI LINGKUP INTEGRASI FUNGSIONAL


DAN NORMATIF

Masyarakat atau pergaulan hidup merupakan suatu sistem


hubungan yang tertib atau teratur, yang merupakan perangkat kedudukan
di mana masing-masing kedudukan (peran) mempunyai bermacam-macam
peranan atau fungsi. Peranan merupakan pola sikap tindak yang terwujud
secara teratur dalam kombinasi hubungan-hubungan tertentu, untuk dapat
melaksanakan peranan yang merupakan sikap tindak.

Peranan atau fungsi yang berupa tugas atau wewenang dalam


lingkup integrase fungsional menjadi kuat dalam lingkup integrase
normative dan disebut kewajiban (yang tidak boleh diabaikan) atau hak
(yang boleh tidak digunakan) yang dipunyai setiap subjek hukum
(=status/peran). Keadaan mampu bersikap tindak merupakan syarat
pelaksanaan kewajiban maupun hak. Sehingga dalam hal ini menimbulkan
hubungan hukum mengenai objek hukum (=kepentingan material).

D. DOGMATIK HUKUM

Adapun disiplin hukum yang tergabung dalam dogmatic hukum


adalah :

1. Ilmu kaidah hukum sebagai penjabaran filsafat hukum.


2. Ilmu pengertian (dalam) hukum sebagai abstraksi ilmu
kenyataan hukum.

Menurut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1986 :

1. Pengertian kaidah

Kaidah merupakan suatu patokan bersikap tindak


(“gedragsregel”), sedangkan hakikatnya adalah suatu pandangan
menilai atau penilaian (“waarderingsoordeel”).

2. Kaidah hukum dan kaidah etika lainnya

Intinya adalah analog dengan hal yang terungkap dalam bagan


mengenai tujuan hidup.

3. Kaidah hukum abstrak berlaku umum

Artinya bahwa kaidah ini adalah untuk dilaksanakan


berulangkali.

4. Isi dan sifat kaidah hukum


a. Suruhan (“gebod”) yang harus dilakukan.
b. Kebolehan yang tidak harus dilaksanakan, atau
c. Larangan (“verbod”) yang harus tidak dilakukan.
5. Esensialia kaidah hukum

Terdapat kaidah hukum yang imperatif dan fakultatif. Artinya,


yang bersifat imperatif disebut demikian oleh karena isinya suatu
keharusan yang memaksa; sedangkan fakultatif isinya kebolehan
sebagai pelengkap yang dapat dipergunakan bila dikehendaki atau
diabaikan jika tidak dikehendaki.

6. Perumusan kaidah hukum

Kaidah hukum dapat dirumuskan secara kategoris atau


hipotesis. Keduanya jelas berbeda; akan tetapi isinya yang berupa
keharusan sama-sama melarang suatu sikap tindak dan sifatnya pun
sama-sama imperative (memaksa).

7. Pernyataan kaidah hukum dan tandanya

Pernyataan kaidah hukum dilaksanakan melalui penentuan


(“beslissing”) yang hasilnya disebut ketentuan. Pernyataan kaidah
hukum dapat dilakukan oleh penguasa, atau mungkin dilaksanakan
antar warga masyarakat. Dan maka mungkin sifat pernyataan itu
adalah orijiner, artinya, tidak pernah dilakukan sebelumnya, atau
dervatif, yakni, bersifat sebagai kelanjutan kenyataan yang sudah
ada (lebih dahulu).

8. Penyimpangan terhadap kaidah hukum

Pada umumnya penyimpangan tidak selalu negative, sehingga


dianggap sebagai penyelewengan karena ketidakpatuhan dalam
kaidah tertentu mungkin positif dan disebut pengecualian.

9. Tugas kaidah hukum

Dwitunggal terlihat dalam perumusan ketentuan-ketentuan


hukum pidana, yaitu :

a. Tugas kepastian hukum: siapa saja yang (menyeleweng)


dihukum. . .
b. Tugas kesebandingan hukum: setinggi-tingginya (sekian)
tahun.

Dwitunggal lainnya adalah nilai keakhlakan dan nilai


kebendaan, yang tersirat dalam pelbagai ketentuan hukum benda.
Disamping itu juga dikenal dwitunggal nilai kebaruan dan nilai
kelestarian, misalnya :

a. Nilai kebaruan
b. Nilai kelestarian
10. Kelakuan kaidah hukum
Ada dua ajaran tentang kelakuan kaidah hukum, yakni :
a. Yang menelaah sasaran kaidah hukum yang berkaitan
dengan lingkup lakunya (Logemann).
b. Yang meninjau landasan sahnya kaidah hukum (Radbruch).

Rincian lingkup laku kaidah hukum adalah:

a. Lingkup laku wilayah yang menunjuk pada batas daratan,


perairan dan angkasa di mana kaidah hukum itu mengikat.
b. Lingkup laku pribadi yang menunjukkan aneka subjek
hukum yang menjadi sasaran kaidah hukum.
c. Lingkup laku masa yang menunjukakan jangka waktu
berlakunya kaidah hukum.
d. Lingkup laku ikhwan yang berkaitan dengan peristiwa
hukum apa saja yang dikuasai kaidah hukum.

Kaidah hukum dapat diberikan tiga landasan, yakni :

a. Landasan yuridis yang menjadikan kaidah hukum itu sah,


karena:
i. Proses penentuannya memadai (H. Kelsen), atau
ii. Ditentukan oleh penguasa yang berwenang (W.
Zevenbergen), atau
iii. Merumuskan ikatan yang memaksa untuk bersikap
tidak pantas (Logemann).
b. Landasan social-psikis kaidah hukum perlu ditinjau melalui
proses terciptanya kaidah social menurut sudut pandang
psikologi social.

Berdasarkan peninjauan psikologi social,


kesepakatan peranan adalah :

i. Yang diikuti kesamaan harapan


ii. Serta bobot kepatuhan
iii. Adalah (landasan) kaidah hukum yang sekaligus juga
kaidah social.
iv. Yaitu sebagai (sikap tindak) yang normal.
v. Menurut sudut pandang antropologi social.
c. Landasan filosofis bagi kaidah hukum adalah “Rechtsidee”
(keserasian/kedamaian/keadilan) yang sesuai dengan
system nilai suatu pergaulan hidup.

Adapun sistematik pengertian dasar dalam (ilmu) hukum


adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat hukum

Yang dimaksud dengan hukum sendiri adalah hukum yang


tercipta di dalam, oleh, dan untuk system hubungan itu sendiri.

2. Subjek hukum

Pengertian system hubungan yang teratur menyimpulkan


berbagai pihak yang beruhubungan dalam system itu. Masing-
masing pihak itulah yang disebut subjek hukum.

Hakikat subjek hukum dibedakan antara:

a. Pribadi kodrat (“natuurlijk persoon”), yaitu manusia


tanpa kecuali.
b. Pribadi hukum (“rechtspersoon”)
c. Tokoh Logemann menganggap jabatan (“ambt”) sebagai
subjek hukum negara (“persoon”), akan tetapi
sesungguhnya penjabat (“ambtenaar”) lebih tepat, asal
pengertian ini dikorelasikan dengan “status”; jadi, tidak
melihat manusianya.
3. Peranan (kewajiban/hak) dalam hukum

Kewajiban merupakan peranan (“role”) imperative karena


tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Hak adalah peranan
(“role”) yang fakultatif sifatnya, oleh karena boleh tidak
dilaksanakan.

Menurut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto


1986:42 hak dibedakan menjadi :

a. Hak (hukum) tantra


b. Hak kepribadian (“persoonlijkheidsrecht”), yaitu ha
katas kehidupan (“leven”), tubuh (“lijf”), kehormatan
(“eer”) dan kebebasan (“vrijheid”).
c. Hak kekeluargaan pada suami-istri, orang tua dan anak,
dan seterusnya.
d. Hak kebendaan.
e. Hak objek imateriel, misalnya, hak cipta.
4. Peristiwa hukum

Ada tiga kelompok peristiwa hukum, yakni :

a. Keadaan yang mungkin bersegi alamiah, kehiwaan, atau


social.
b. Kejadian
c. Sikap tindak dalam hukum
d. Sikap tindak lain
5. Hubungan hukum
Hubungan hukum dibedakan menjadi :
a. Hubungan sederajat (“nebeneinander”) dan hubungan
beda derajat (“nacheinander”).
b. Hubungan timbal balik dan hubungan timpang (bukan
“sepihak”).
6. Objek hukum

Objek hukum merupakan kepentingan bagi subjek hukum


seperti :
a. Bersifat materiel dan berwujud, yakni dalam Bahasa
Indonesia disebut benda atau barang.
b. Bersifat imateriel seperti objek hak cipta.

Usaha Mempertemukan (Ilmu) Hukum Dengan Ilmu Sosial Lainnya

Di dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah


menghubungkan teori-teori dan mengarahkannya ke bidang yang selama
ini tertutup. Kecuali itu juga diperkenalkan kebenaran-kebenaran
sosiologis yang sangat umum dan mendasar.

Menurut Holmes, pemecahan masalah hukum tidak hanya


dilakukan dengan logika hukum semata-mata, akan tetapi diperlukan
bantuan hasil-hasil penelitian ilmu-ilmu social. Hal ini disebabkan, oleh
karena tidak akan mungkin seseorang mempunyai kemampuan untuk
berfilsafah tentang hukum, tanpa memikirkan kekuatan-kekuatan luar yang
membentuk hukum tadi. Pada masa Perang Dunia I, Roscoe Pound,
menyebutnya sebagai suatu studi tentang efektivitas penerapan hukum.

Pada awal tahun dua puluhan dan tiga puluhan tercatat banyak
usaha kea rah studi hukum secara empiris yang dilandaskan pada
perangkat kelembagaan, pengetahuan dan teori ilmu social. Usaha-usaha
itu pada akhirnya melahirkan aliran “legal realism”.

Suatu lembaga penelitian hukum yang didirikan di Universitas


John. Hopkins, mengadakan penelitian lapangan yang menerapkan teori-
teori psikologi tentang sikap tindak manusia. Jacob H. Beuscher, seorang
guru besar hukum adalah salah seorang yang mempin penilitian yang
dilakukan Universitas Winconsin tentang penerapan bidang-bidang
tatahukum tertentu secara actual.

Bagi seorang mahasiswa yang melakukan praktek hukum,


pemecahan masalah-masalah social merupakan bahan pertimbangan yang
sangat penting untuk menanggulangi masalah-masalah hukum. Sebagai
salah satu akibat hasil penelitian tersebut di atas, maka beberapa Fakultas
Hukum memperbantukan ahli-ahli ilmu social untuk membantu
menanggulangi masalah-masalah hukum. Setelah Perang Dunia Kedua,
kegiatan-kegiatan yang mengkaitkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu social
lainnya tambah meningkat.

Kegiatan-kegiatan diatas pada dasarnya menuju ke suatu “realism”.


Aliran tersebut beranggapan bahwa logika semata-mata yang mendasari
pemikiran-pemikiran hukum tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan
dengan cara bagaimana masalah-masalah hukum dapat ditanggulangi.

Perbedaan antara “Case law realism” dengan “behavioral realism”


menurut Robert Gordon (1974) :

“Case Law Realism is a compromise religion. It is as if out of the


academic quarrels of the 1920’s and ‘30’s a treaty resulted by the terms of
which Langdeisistent systems of doctrine in return for the retention of
appellate cases as the intellectual focus of law study; and the Realists
replied that, though they stressed function over logic as the thing to look
for in a legal rule, they would look for it in the rules of appellate courts
and therefore, though they regared the study of law as the study of
behavior, the behavior they would concentrate on would be that of
appellate judges in the act of deciding cases”.

“Behavioral realism” tidak hanya mempersoalkan fungsi-fungsi


social apakah yang dijalankan oleh pengadilan-pengadilan. Akan tetapi di
samping itu aliran ini juga mempertanyakan fihak-fihak lainnya yang
mungkin melaksanakan fungsi social tersebut.

Di fihak kalangan ilmu-ilmu social, perhatian terhadap hukum


terjadi secara sporadic. Kalngan teori di Eropa seperti Marx, Durkheim
dan Weber sangat memperhatikan peranan system hukum dalam
masyarakat, akan tetapi sesudah mereka hamper-hampir tidak ada yang
memusatkan perhatiannya pada hukum.
Bohannan berpendapat bahwa Malinowski telah merancu hukum
dengan adat-istiadat (Lawrence M. Friedman & Stewart Macaulay 1977:
8). Bagi Bohannan, hukum merupakan adat-istiadat yang telah mengalami
pelembagaan kembali (“reinstitutionalization”). Hukum merupakan adat-
istiadat yang ditetapkan kembali sehingga dapat ditegakkan oleh suatu
lembaga yang dibentuk untuk maksud itu (Paul Bohannan 1965: 33).

Para kalangan ilmu social, ilmu politik, dan ilmu psikologis pun
sudah mulai memusatkan perhatiannya pada berbagai aspek system
hukum, dan mulai menerapkan metode empiris.

Minat terhadap (ilmu) hukum dan ilmu-ilmu social tidak hanya


terbatas di Amerika Serikat belaka. Di Inggris telah terbit The British
Journal of Law and Society.

Adam Podgorecki, seorang sosiolog Polandia, pernah mengadakan


analisa terhadap berbagai gejala social yang dihubungkan dengan hukum.
Para ilmuwan Skandinavia memusatkan perhatian pada arti social
keadilan.

Di Jerman Barat dan Timur para sosiolog menaruh perhatian


terhadap perbandingan antara pengaruh ideology sosialistis dan kapitalistis
terhadap system hukum, Di Polandia perhatian diarahkan pada bagaimana
mengefektifkan berbagai program pemerintah. Di Amerika Latin,
sosiologi hukum berkembang dengan pesat. Di Indonesia secara structural
beberapa ilmu social dikuliahkan pada Sekolah Tinggi Hukum
(“Rechtshogeschool”) yang didirikan pada tahun 1924 di Jakarta
(“Batavia”).

Anda mungkin juga menyukai