MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Hukum Perikatan
Di susun oleh :
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayah-Nyalah makalah ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam
tak lupa kami ucapkan kepada baginda Muhammad SAW, tidak lupa pula kepada
keluarganya, para sahabatnya, tabi’in tabiatnya, serta kepada kita selaku umatnya
yang semoga selalu taat pada ajaran-Nya sampai hari kemudian.
Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kepada bapak dosen
khususnya, umumnya para pembaca demi terciptanya karya atau tulisan yang lebih
baik dimasa yang akan datang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
BAB II .............................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3
PENUTUP/SIMPULAN ............................................................................................... 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya Sumber-sumber perikatan pada dibagi menjadi dua
macam, Menurut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu, Bersumber dari perjanjian,
dan Bersuber pada Undang-Undang.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan.
1
Wirjono Projodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, P.T. Bale Bandung, Bandung, 1981, Hal. 9
1
2
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengerian Perikatan yang bersumber dari Perjanjian.
2. Untuk mengetahui Unsur-unsur dalam Perjanjian.
3. Untuk mengetahui Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.
4. Untuk mengetahui Asas-Asas dalam Perjanjian.
5. Untuk mengetahui Jenis-Jenis dalam Perjanjian.
6. Untuk mengetahui Penafsiran dalam Perjanjian.
7. Untuk mengetahui Pengerian Actio Pauliana.
BAB II
PEMBAHASAN
2
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009, hlm 330-
331.
3
4
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sedangkan suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.3
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa perjanjian adalah
persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan dibidang harta kekayaan.
Definisi dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan
(persepakatan) antara piak yang satu (kreditor) dan pihak yang lain (debitor),
untuk melaksanakan satu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai obyek
perjanjian.4
Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian
dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan
perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak
yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari
masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.5
Perikatan masih bersifat abstrak sehingga diperlukan suatu perjanjian
yang isinya memuat perikatan diantara beberapa pihak. Setiap perjanjian
memuat perikatan, tetapi tidak semua perikatan senantiasa dibuat
perjanjiannya.
Hubungan perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya
sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perikatan
3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hlm 1.
4
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm 290.
5
Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan Pub., Jakarta,
2011, hlm 32.
5
6
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm 332.
7
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Cet. X
Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm 16-18.
6
B. Unsur-Unsur Perjanjian
Untuk membuat ketentuan-ketentuan didalam perjanjian/ kontrak,
harus ada unsur-unsur yang dapat dijadikan acuan.8 Adapun unsur-unsur yang
terkandung dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Unsur esensialia
Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dan merupakan hal
pokok dalam suatu perjanjian, sehingga tanpa hal pokok tersebut
perjanjian menjadi tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang
membuatnya. Sebagai contoh, unsur esensialia pada perjanjian jual beli
adalah adanya barang dan harga. Contoh dalam perjanjian pinjam
meminjam adalah adanya barang yang dipinjam dan jumlah/ nilai barang
yang dipinjam.
b. Unsur naturalia
8
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta,
2008, hlm 48.
7
c. Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular) yang
dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Aksidentalia
artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada
keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat atau tidak. Selain itu
aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang
merupakan ketentuan- ketentuan yang dapat diatur secara khusus oleh para
pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan
khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur
aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur
essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada
tempat dimana prestasi dilakukan.
9
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hlm
222.
10
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007,
hlm 4.
11
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW,
Cet III, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 68.
9
12
Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm 17.
11
13
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta,
1993, hlm 147.
14
Budiono, Herlien, Het Evenwichtbeginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht, Holland: Diss
Leiden, 2001, hlm 66.
12
15
Ibrahim Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Cetakan 2
Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 98.
16
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Cetakan 7, Sumur Bandung, Bandung, 1979,
hlm. 56.
13
sanubari manusia yang sifatnya subjektif, tetapi itikad baik itu pun dapat
diukur juga secara objektif
5. Asas kepribadian (personality)
Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUH Perdata:
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihakpihak ketiga; tak
dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal
yang diatur dalam Pasal 1317.” Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar dalam Pasal 1317 KUH
Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri
sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat
semacam itu.” Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
E. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
yaitu:
1. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa
menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan
kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan
pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.
2. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam
14
hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu
memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak
mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima
barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang
menghibahkan.
3. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan
pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
4. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila
telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang
pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754
KUHPerdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat
dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh
pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-
undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT,
perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur
dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai
dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah
dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing,
perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.17
17
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm 82.
15
18
Mariam Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
17
para pihak. Hal ini sesuai dengan “Doktrin Pengertian Jelas” atau “Plain
Meaning Rule” yang sangat popluler dalam hukum perjanjian.
Beberapa pedoman dalam penafsiran kontrak sudah dirumuskan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per), yaitu di Buku Ketiga
Bagian Keempat, yang terdiri dari 10 Pasal, mulai dari Pasal 1342 sampai
dengan Pasal 1351.19
Pada Pasal 1342 KUH Perdata, Jika kata-kata suatu perjanjian jelas,
tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran sehingga:Penafsiran dilakukan terhadap pernyataan yang dibuat
secara lisan, tertulis dan yang diwujudkan dalam bentuk tanda-tanda.Kata-
kata yang jelas adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang
penafsiran yang berlainan.Misalnya: sudah jelas diperjanjikan bahwa
kewajiban pihak pemborong membuat jalan baru, bukan memperbaiki jalan
lama yang sudah ada.
Pada Pasal 1343 KUH Perdata menyatakan, “ Jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus diselidiki
maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjan”. Misalnya apakah para
pihak sesungguhnya bermaksud membuat perjanjian penitipan barang atau
perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian penitipan barang, pihak yang
menerima titipan bertanggung jawab terhadap kehilangan barang yang
dititipkan, sedangkan dalam sewa menyewa pihak yang menyewakan tempat
tidak bertanggung jawab atas barang milik penyewa.20
Pada Pasal 1344 KUH Perdata menyatakan : “Jika suatu janji dapat
diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang
memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada pengertian yang tidak
memungkinkan suatu pelaksanaan”. Misalnya, untuk barang tidak bergerak
(real property) hukum yang berlaku adalah hukum di mana benda tidak
19
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992,
hlm 286-287.
20
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. hlm
16.
18
bergerak itu berada. Jadi, meskipun para pihak membuat perjanjian adalah
warga negara Indonesia, namun harus tunduk pada hukum di mana real
property itu berada, misalnya di negara bagian California, USA, Contoh
Contoh: kerugian harus dilaporkan sesegera mungkin (1x24 jam). Kalau
ternyata keadaan tersebut baru diketahui 2 minggu setelah kejadian, maka arti
“segera” adalah segera setelah diketahui, tidak mungkin kita dipaksa langsung
tahu saat kejadian.
Pasal 1345 KUH Perdata Pasal 1345 KUH Perdata menyebutkan :
“Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian”. Pasal 1345
KUHPerdata juga memberikan pedoman penafsiran perjanjian. Pasal ini
menentukan bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga
artinya paling selaras dengan sifat kontrak. Dalam hal ini harus diperhatikan
apakah perjanjian itu bersifat konsensuil atau harus memenuhi formalitas
tertentu ataukah harus ada penyerahan barang/uang sebagai syarat keabsahan
perjanjian. Contoh: transaksi harus dibayar dengan visa. Yang dimaksud
dengan visa adalah jenis credit card, dan bukan visa dalam arti surat izin ke
luar negeri.
Pasal 1346 KUH Perdata menyebutkan : “Hal-hal yang meragukan
harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di mana perjanjian itu
dibuat”. Oleh karena itu penafsiran perjanjian juga harus dilakukan dengan
memperhatikan kebiasaan setempat. Misalnya, dahulu timbul keraguan
apakah para pihak bermaksud mengadakan perjanjian gadai atau fidusia.
Sekarang sudah diakui oleh yurisprudensi bahwa fidusia adalah hukum
kebiasaan yang hidup dalam kalangan masyarakat bisnis. Bahkan eksistensi
dan keabsahan fidusia sudah diakui dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Fidusia.21
21
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. hlm
17.
19
22
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. hlm
18-19.
23
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah Asas dan Teori Hukum Kepailitan, Prenadamedia Group, Jakarta,
2016, hlm 362.
21
Actio Pauliana secara umum diatur pada Pasal 1341 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), Pasal 1061 KUH Perdata untuk
Actio Pauliana atas warisan, dan Actio Pauliana dalam Kepailitan
sebagaimana diatur pada Pasal 41 s.d. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(“UU KPKPU”), dengan uraian pasal sebagai berikut:
1. Actio Pauliana secara Umum (Pasal 1341 KUH Perdata)
Meskipun demikian, Kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya
segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh Debitur,
dengan nama apa pun juga yang merugikan Kreditur, asal dibuktikan
bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, Debitur dan orang yang
dengannya atau untuknya Debitur itu bertindak, mengetahui bahwa
tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para Kreditur.
Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-
barang yang menjadi obyek dan tindakan yang tidak sah, harus dihormati.
Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan
Debitur, cukuplah Kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan
tindakan itu Debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia
merugikan para Kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga
mengetahui hal itu atau tidak.
2. Actio Pauliana Warisan (Pasal 1061 KUH Perdata)
Para Kreditur yang dirugikan oleh Debitur yang menolak
warisannya, dapat mengajukan permohonan kepada Hakim, supaya diberi
kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti
Debitur itu. Dalam hal itu, penolakan warisan itu hanya boleh dibatalkan
demi kepentingan para Kreditur dan sampai sebesar piutang mereka,
penolakkan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang
telah menolak warisan itu.
3. Actio Pauliana Kepailitan
22
PENUTUP/SIMPULAN
23
24
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai 1456 BW, Cet III, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008.
Ibrahim Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Cetakan 2 Refika Aditama, Bandung, 2007.
Mariam Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1992.
25
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group,
Jakarta, 2009.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana,
Jakarta, 2008.
26