Anda di halaman 1dari 29

PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI PERJANJIAN

MAKALAH

disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Hukum Perikatan

Dosen pengampu : Dr. Muhammad Kholid, S.H., M.H.

Di susun oleh :

Iqbal Firmansyah 1193050056

Maulana Firdaus 1193050061

Meldy Hernizar 1193050063

Kelas: Ilmu Hukum/IV/B

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayah-Nyalah makalah ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam
tak lupa kami ucapkan kepada baginda Muhammad SAW, tidak lupa pula kepada
keluarganya, para sahabatnya, tabi’in tabiatnya, serta kepada kita selaku umatnya
yang semoga selalu taat pada ajaran-Nya sampai hari kemudian.

Makalah ini kami sampaikan sesederhana mungkin dan semaksimal mungkin


dengan mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia oleh dosen pengampu Bapak Dr.
Muhammad Kholid, S.H., M.H. sebagai salah satu tugas mata kuliah tersebut.
Adapun makalah ini berisi tentang “PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI
PERJANJIAN”. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam proses pengerjaan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kepada bapak dosen
khususnya, umumnya para pembaca demi terciptanya karya atau tulisan yang lebih
baik dimasa yang akan datang.

Bandung, 10 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................... 2

BAB II .............................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3

A. Istilah dan Pengertian perikatan yang bersumber dari Perjanjian ......................... 3


B. Unsur-Unsur Perjanjian ......................................................................................... 6
C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ........................................................................... 8
D. Asas-Asas dalam Perjanjian ................................................................................ 11
E. Jenis-Jenis Perjanjian .......................................................................................... 13
F. Penafsiran dalam Perjanjian ................................................................................ 16
G. Pengertian Actio Pauliana................................................................................... 20

BAB III ........................................................................................................................... 23

PENUTUP/SIMPULAN ............................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya Sumber-sumber perikatan pada dibagi menjadi dua
macam, Menurut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu, Bersumber dari perjanjian,
dan Bersuber pada Undang-Undang.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan.

Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan


sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan
hukum yang biasa disebut dengan perikatan. Perjanjian merupakan suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana
suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.1

Perjanjian merupakan sumber dari perikatan / verbintenis, yang lahir


bisa berasal dari perjanjian ( 1313 BW) maupun berasal dari undang–undang(
1352 BW). Sedangkan perikatan yang bersumber dari perjanjian bisa
mendapat sanksi dari undang-undang baik perdata dan atau pidana setelah
para pihak harus memenuhinya setelah ada persetujuan.

1
Wirjono Projodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, P.T. Bale Bandung, Bandung, 1981, Hal. 9

1
2

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat diketahui masalah-masalah yang


muncul, masalah – masalah tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Apa yang yang dimaksud dengan Perikatan yang bersumber dari


Perjanjian?
2. Bagaimana Unsur-unsur dalam Perjanjian?
3. Bagaimana Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian?
4. Bagaimana Asas-Asas dalam Perjanjian?
5. Bagaimana Jenis-Jenis dalam Perjanjian?
6. Bagaimana Penafsiran dalam Perjanjian?
7. Apa yang dimaksud dengan Actio Pauliana?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengerian Perikatan yang bersumber dari Perjanjian.
2. Untuk mengetahui Unsur-unsur dalam Perjanjian.
3. Untuk mengetahui Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.
4. Untuk mengetahui Asas-Asas dalam Perjanjian.
5. Untuk mengetahui Jenis-Jenis dalam Perjanjian.
6. Untuk mengetahui Penafsiran dalam Perjanjian.
7. Untuk mengetahui Pengerian Actio Pauliana.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Istilah dan Pengertian Perikatan yang bersumber dari Perjanjian


Sumber-sumber perikatan pada dasarnya dibagi menjadi dua macam,
Menurut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu, Bersumber dari perjanjian (obligation
ex contractu), dan Bersuber pada Undang-Undang (obligation ex lege).
Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst, yang oleh
beberapa ahli hukum juga diterjemahkan sebagai persetujuan. Istilah
persetujuan digunakan karena untuk terjadinya suatu overeenkomst diperlukan
persetujuan dari para pihak.2 Meskipun demikian, istilah yang paling sering
digunakan adalah perjanjian.
Perjanjian merupakan sumber dari perikatan / verbintenis, yang lahir
bisa berasal dari perjanjian ( 1313 BW) maupun berasal dari undang–undang(
1352 BW). Sedangkan perikatan yang bersumber dari perjanjian bisa
mendapat sanksi dari undang-undang baik perdata dan atau pidana setelah
para pihak harus memenuhinya setelah ada persetujuan.
Pengertian Perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata,
yakni perjanjian/persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan adanya
peristiwa tersebut (perjanjian), timbulah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau lebih yang disebut perikatan, dimana didalamnya terdapat hak dan
kewajiban masingmasing pihak.
Subekti membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian,
yakni bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping
sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Suatu perikatan adalah suatu

2
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009, hlm 330-
331.

3
4

perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sedangkan suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.3
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa perjanjian adalah
persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan dibidang harta kekayaan.
Definisi dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan
(persepakatan) antara piak yang satu (kreditor) dan pihak yang lain (debitor),
untuk melaksanakan satu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai obyek
perjanjian.4
Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian
dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan
perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak
yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari
masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.5
Perikatan masih bersifat abstrak sehingga diperlukan suatu perjanjian
yang isinya memuat perikatan diantara beberapa pihak. Setiap perjanjian
memuat perikatan, tetapi tidak semua perikatan senantiasa dibuat
perjanjiannya.
Hubungan perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya
sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perikatan

3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hlm 1.
4
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm 290.
5
Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan Pub., Jakarta,
2011, hlm 32.
5

kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan


tertulis.
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua
orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan
yang lahir dari Undang-Undang diadakan oleh Undang-Undang di luar
kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu
perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu
perikatan hukum.
Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas
benda adalah terbatas dan aturan-aturan yang mengenai hak-hak atas benda itu
bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi
apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem
terbuka yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) Pasal 1338, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-
Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.6
Dalam suatu perjanjian, terdapat perikatan, yaitu adanya saling
keterikatan dalam objek tertentu yang berakibat pada lahirnya hak dan
kewajiban diantara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Berdasarkan
hubungan tersebut pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak
yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang,
sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan
dinamakan debitur atau si berutang. Adapun yang dituntut disebut prestasi.7

Perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan perundang-


undangan. Artinya, perjanjian yang dibuat oleh pihak tertentu dapat dijadikan

6
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm 332.
7
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Cet. X
Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm 16-18.
6

dasar hukum bagi yang membuatnya. Perbedaan dengan perundang-undangan


adalah dalam hal bahwa perjanjian hanya berlaku bagi pihak yang
membuatnya saja dan tidak mengikat pihak lain atau masyarakat umum,
sedang perundang- undangan berlaku umum kepada semua pihak yang
menjadi subjek pengaturannya.

B. Unsur-Unsur Perjanjian
Untuk membuat ketentuan-ketentuan didalam perjanjian/ kontrak,
harus ada unsur-unsur yang dapat dijadikan acuan.8 Adapun unsur-unsur yang
terkandung dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Unsur esensialia

Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dan merupakan hal
pokok dalam suatu perjanjian, sehingga tanpa hal pokok tersebut
perjanjian menjadi tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang
membuatnya. Sebagai contoh, unsur esensialia pada perjanjian jual beli
adalah adanya barang dan harga. Contoh dalam perjanjian pinjam
meminjam adalah adanya barang yang dipinjam dan jumlah/ nilai barang
yang dipinjam.

b. Unsur naturalia

Unsur naturalia adalah ketentuan umum yang tidak bersifat wajib.


Artinya, tanpa pencantuman syarat ini pun perjanjian tetap sah dan tidak
mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak mengikat. Contoh hal-hal
umum yang termasuk unsur naturalia antara lain cara pembayaran, waktu
dan tempat penyerahan serta biaya pengangkutan dan pemasangan dan
instalasi. Misalnya didalam kontrak jual beli kenderaan ternyata tidak
diatur mengenai biaya pengangkutan dan balik nama, maka dalam hal ini

8
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta,
2008, hlm 48.
7

akan berlaku kebiasaan jika biaya pengangkutan dan balik nama


kenderaan dilakukan oleh pihak penjual.

c. Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular) yang
dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Aksidentalia
artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada
keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat atau tidak. Selain itu
aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang
merupakan ketentuan- ketentuan yang dapat diatur secara khusus oleh para
pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan
khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur
aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur
essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada
tempat dimana prestasi dilakukan.

Abdulkadir Muhammad memberikan beberapa unsur perjanjian antara lain:

a. Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak, Subjek perjanjian adalah


orang dan/atau badan hukum, yang dianggap cakap untuk melakukan
perbuatan hukum.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap, Persetujuan
dalam suatu perjanjian haruslah bersifat tetap dan bukan sekedar
berunding. Penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran adalah salah satu
bentuk dari persetujuan. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu
diterima oleh pihak yang lainnya. Persetujuan timbul apabila masing-
masing pihak setuju tentang syarat dan objek perjanjian, yang mana
persetujuan ini merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.
c. Adanya tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para
pihak, Sifat dari tujuan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang. Tujuan utama
8

mengadakan perjanjian sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan


para pihak. Kebutuhan hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian
dengan pihak lain.
d. Ada prestasi yang dilaksanakan, Syarat-syarat yang harus dipenuhi
merupakan prestasi dan wajib dipenuhi oleh para pihak. Dengan adanya
persetujuan, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi
(consideran menurut hukum Anglo Saxon).
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan, Pentingnya bentuk perjanjian
tersebut ditentukan karena ketentuan undangundang menentukan hanya
dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat
dan kekuatan bukti.
f. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, Syarat-syarat tertentu dari
perjanjian ini sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat
inilah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.9

C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah


memenuhi syarat-syarat dari sebuah perjanjian. syarat-syarat sahnya
perjanjian sudah ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan:10 untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


Sepakat yang dimaksudkan disini adalah persesuaian kehendak
antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan permintaan.11
Maksud kata sepakat bahwa kedua subjek hukum yang mengadakan
perjanjian sudah barang tentu harus sepakat, setuju atau seia mengenai

9
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hlm
222.
10
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007,
hlm 4.
11
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW,
Cet III, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 68.
9

hal-hal pokok yang diatur dalam perjanjian yang mereka adakan.


Kehendak apa yang diinginkan oleh pihak yang satu, juga harus
dikehendaki oleh pihak lainnya. Mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik. Awal dari terjadinya perjanjian adalah adanya
kesepakatan, maka dari itu kesepakatan penting untuk diketahui.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Para pihak yang membuat suatu perjanjian harus memiliki
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. setiap orang yang sudah
dewasa dan tidak ditaruh dalam pengampuan, sudah memenuhi kriteria
cakap. Suatu tindakan agar menimbulkan akibat hukum yang sempurna,
maka orang yang bertindak pada saat tindakan dilakukan harus memiliki
kematangan berpikir secara normal, artinya mampu menyadari penuh
perbuatannya dan akibat dari perbuatan itu.
Setiap orang memiliki kecakapan untuk membuat suatu perjnajian,
kecuali oleh Undang-Undang telah ditentukan tidak cakap. Pasal 1330
KUH Perdata menentukan kriteria-kriteria orang tak cakap melakukan
perjanjian sebagai berikut:
a. Orang-orang yang belum dewasa
Pasal 330 KUH Perdata pada prinsipnya menentukan bahwa
dapat dikatakan dewasa apabila telah genap berumur 21 (dua puluh
satu) tahun dan telah kawin. Namun, pada dasarnya, mereka yang telah
dewasa dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat
yang sempurna.
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Orang dewasa yang dapat ditaruh di bawah pengampuan jika
telah memenuhi kriteria Pasal 433 KUH Perdata yakni dungu, sakit
otak atau mata gelap dan boros.
c. Wanita Bersuami
Ketentuan mengenai wanita bersuami tidak cakap untuk
melakukan perjanjian telah dihapus oleh Pasal 31 Undang-undang
10

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menentukan bahwa


kehidupan suami istri adalah cakap hukum. tetapi dalam perbuatan
hukum tertentu diperlukan persetujuan suami, misal melakukan
perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta yang diperoleh
dalam perkawinan.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam syarat sahnya perjanjian memiliki arti
bahwa objek perjanjian harus jelas dan ditentukan para pihak. Objek
perjanjian tersebut dapat berupa barang atau jasa namun dapat juga berupa
tidak berbuat sesuatu.12 Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUH Perdata
menentukan objek perjanjian diantaranya sebagai berikut:
a. Dapat diperdagangkan
b. Ditentukan jenisnya (jelas jenisnya)
c. Jumlah barang dapat dihitung atau ditentukan
d. Barang tersebut akan ada di kemudian hari
e. Bukan suatu warisan yang belum terbuka.
Apabila jasa yang dijadikan objek perjanjian, maka harus
ditentukan secara jelas dan tegas apa bentuk jasa yang dilakukan oleh
salah satu pihak. Jika objek perjanjian merupakan tidak berbuat sesuatu,
maka harus dijelaskan dalam perjian tersebut hal-hal apa yang tidak
dilakukan oleh para pihak.

4. Suatu sebab yang halal


Suatu sebab yang halal memiliki makna bahwa isi perjanjian,
tujuan perjanjian yang hendak dicapai oleh para pihak tidak bertentangan
dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
tidak bertentangan dengan kesusilaan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau
yang dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang.

12
Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm 17.
11

D. Asas-Asas dalam Perjanjian


1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract).
Dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, maka orang pada asasnya dapat membuat
perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Ruang lingkup
asas kebebasan berkontrak, menurut hukum perjanjian Indonesia adalah:
kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan
untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan
untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk
menerima atau menyimpang ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (aanvullend, optional).13
2. Asas konsensualisme (concensualism).
Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, bahwa
untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa
perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah
dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Untuk terjadinya
sebuah persetujuan pada umumnya persesuaian kehendak yang memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu adalah sebuah kontrak yang sah menurut
hukum.14 Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat

13
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta,
1993, hlm 147.
14
Budiono, Herlien, Het Evenwichtbeginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht, Holland: Diss
Leiden, 2001, hlm 66.
12

sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah


pihak.
3. Asas pacta sunt servanda.
Baik dalam sistem terbuka yang dianut oleh hukum perjanjian
ataupun bagi prinsip kekuatan mengikat, kita dapat merujuk pada Pasal
1374 ayat (1) BW (lama) atau Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.” Adagium (ungkapan) pacta sunt servanda
diakui sebagai aturan bahwa semua persetujuan yang dibuat oleh manusia
secara timbal-balik pada hakikatnya bermaksud untuk dipenuhi dan jika
perlu dapat dipaksakan, sehingga secara hukum mengikat.15 Dengan kata
lain, perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1)
dan ayat (2) KUH Perdata. Artinya, para pihak harus mentaati apa yang
telah mereka sepakati bersama.
4. Asas itikad baik
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, disebutkan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebenarnya itikad baik
yang disebut dalam bahasa Belanda dengan te goeder trouw, yang sering
juga diterjemahkan dengan kejujuran, dapat dibedakan atas 2 (dua)
macam, yaitu: (1) Itikad baik pada waktu akan mengadakan perjanjian;
dan (2) Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.16 Adapun suatu perjanjian
dilaksanakan dengan itikad baik atau tidak, akan tercermin pada
perbuatan-perbuatan nyata orang yang melaksanakan perjanjian tersebut.
Meskipun itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian itu terletak pada hati

15
Ibrahim Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Cetakan 2
Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 98.
16
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Cetakan 7, Sumur Bandung, Bandung, 1979,
hlm. 56.
13

sanubari manusia yang sifatnya subjektif, tetapi itikad baik itu pun dapat
diukur juga secara objektif
5. Asas kepribadian (personality)
Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUH Perdata:
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihakpihak ketiga; tak
dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal
yang diatur dalam Pasal 1317.” Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar dalam Pasal 1317 KUH
Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri
sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat
semacam itu.” Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

E. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
yaitu:
1. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa
menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan
kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan
pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.
2. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam
14

hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu
memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak
mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima
barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang
menghibahkan.
3. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan
pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
4. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila
telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang
pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754
KUHPerdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat
dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh
pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-
undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT,
perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur
dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai
dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah
dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing,
perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.17

17
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm 82.
15

Terdapat beberapa jenis perjanjian menurut para ahli yang lainnya


yaitu sebagai berikut:

1. Perjanjian Timbal Balik, Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang


menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya
perjanjian jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma, Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian
yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.
3. Perjanjian Atas Beban. Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana
prestasi dari pihak yang satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain,
dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4. Perjanjian Bernama (Benoemd). Perjanjian bernama (khusus) adalah
perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut
diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe
yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V
sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.
5. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst). Perjanjian Tidak
Bernama (Onbenoemd) adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur
dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini
seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam prakteknya,
perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak
mengadakan perjanjian.
6. Perjanjian Obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana
pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu
benda kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).
7. Perjanjian Kebendaan. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan
mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak
lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda
tersebut kepada pihak lain.
16

8. Perjanjian Konsensual. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di


antara kedua belah pihak tercapai persesuaian kehendak untuk
mengadakan perikatan.
9. Perjanjian Riil. Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya
berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan
perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.
10. Perjanjian Liberatoir. Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para
pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian
pembebasan hutang.
11. Perjanjian Pembuktian. Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana
para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara
mereka.
12. Perjanjian Untung-untungan. Perjanjian Untung-untungan adalah
perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian
asuransi.
13. Perjanjian Publik. Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau
seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang
bertindak adalah Pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya
perjanjian ikatan dinas dan pengadaan barang pemerintahan.
14. Perjanjian Campuran. Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang
mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang
menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan
(jual beli) dan juga memberikan pelayanan.18

F. Penafsiran dalam Perjanjian


Sebuah perjanjian atau kontrak pada dasarnya harus dibuat dengan
sejelas – jelasnya sehingga tidak lagi memungkinkan adanya ambiugitas
makna sehingga pemahaman terhadap maksud dan tujuannya seragam oleh

18
Mariam Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
17

para pihak. Hal ini sesuai dengan “Doktrin Pengertian Jelas” atau “Plain
Meaning Rule” yang sangat popluler dalam hukum perjanjian.
Beberapa pedoman dalam penafsiran kontrak sudah dirumuskan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per), yaitu di Buku Ketiga
Bagian Keempat, yang terdiri dari 10 Pasal, mulai dari Pasal 1342 sampai
dengan Pasal 1351.19
Pada Pasal 1342 KUH Perdata, Jika kata-kata suatu perjanjian jelas,
tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran sehingga:Penafsiran dilakukan terhadap pernyataan yang dibuat
secara lisan, tertulis dan yang diwujudkan dalam bentuk tanda-tanda.Kata-
kata yang jelas adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang
penafsiran yang berlainan.Misalnya: sudah jelas diperjanjikan bahwa
kewajiban pihak pemborong membuat jalan baru, bukan memperbaiki jalan
lama yang sudah ada.
Pada Pasal 1343 KUH Perdata menyatakan, “ Jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus diselidiki
maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjan”. Misalnya apakah para
pihak sesungguhnya bermaksud membuat perjanjian penitipan barang atau
perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian penitipan barang, pihak yang
menerima titipan bertanggung jawab terhadap kehilangan barang yang
dititipkan, sedangkan dalam sewa menyewa pihak yang menyewakan tempat
tidak bertanggung jawab atas barang milik penyewa.20
Pada Pasal 1344 KUH Perdata menyatakan : “Jika suatu janji dapat
diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang
memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada pengertian yang tidak
memungkinkan suatu pelaksanaan”. Misalnya, untuk barang tidak bergerak
(real property) hukum yang berlaku adalah hukum di mana benda tidak

19
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992,
hlm 286-287.
20
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. hlm
16.
18

bergerak itu berada. Jadi, meskipun para pihak membuat perjanjian adalah
warga negara Indonesia, namun harus tunduk pada hukum di mana real
property itu berada, misalnya di negara bagian California, USA, Contoh
Contoh: kerugian harus dilaporkan sesegera mungkin (1x24 jam). Kalau
ternyata keadaan tersebut baru diketahui 2 minggu setelah kejadian, maka arti
“segera” adalah segera setelah diketahui, tidak mungkin kita dipaksa langsung
tahu saat kejadian.
Pasal 1345 KUH Perdata Pasal 1345 KUH Perdata menyebutkan :
“Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian”. Pasal 1345
KUHPerdata juga memberikan pedoman penafsiran perjanjian. Pasal ini
menentukan bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga
artinya paling selaras dengan sifat kontrak. Dalam hal ini harus diperhatikan
apakah perjanjian itu bersifat konsensuil atau harus memenuhi formalitas
tertentu ataukah harus ada penyerahan barang/uang sebagai syarat keabsahan
perjanjian. Contoh: transaksi harus dibayar dengan visa. Yang dimaksud
dengan visa adalah jenis credit card, dan bukan visa dalam arti surat izin ke
luar negeri.
Pasal 1346 KUH Perdata menyebutkan : “Hal-hal yang meragukan
harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di mana perjanjian itu
dibuat”. Oleh karena itu penafsiran perjanjian juga harus dilakukan dengan
memperhatikan kebiasaan setempat. Misalnya, dahulu timbul keraguan
apakah para pihak bermaksud mengadakan perjanjian gadai atau fidusia.
Sekarang sudah diakui oleh yurisprudensi bahwa fidusia adalah hukum
kebiasaan yang hidup dalam kalangan masyarakat bisnis. Bahkan eksistensi
dan keabsahan fidusia sudah diakui dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Fidusia.21

21
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. hlm
17.
19

Pasal 1347 KUH Perdata Pasal 1347 KUH Perdata menyebutkan:


“Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukkan dalam perjanjian”. Hal ini sesungguhnya bertentangan
dengan pengaturan resiko dalam BW yang menyatakan bahwa jika barang
musnah sebelum dilakukan penyerahan, maka resiko ditanggung oleh
pembeli. Kebiasaan ini dianggap secara diam-diam telah diperjanjikan oleh
para pihak, maka dapat mengenyampingkan hukum yang bersifat optional,
seperti pengaturan risiko dalam BW. Misalnya, di negeri Belanda, berlaku
suatu kebiasaan di antara pedagang sapi bahwa sebelum sapi diserahkan maka
resiko masih di tangan penjual.
Pasal 1348 KUH Perdata Pasal 1348 KUH Perdata menyatakan:
“Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam
hubungan satu sama lain, artinya tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya”. Oleh karena itu, janji-janji tambahan yang dibuat
tersendiri harus dilampirkan pada perjanjian asal dan dengan tegas harus
disebutkan bahwa lampiran tersebut merupakan satu kesatuan dengan
perjanjian asal. Misalnya, apabila dua orang melakukan kerjasama dan
memasukkan modal untuk suatu usaha perdagangan. Ketika akan diadakan
pembagian keuntungan terjadi sengketa. Dalam perjanjian terdapat klausula
bahwa keuangan perusahaan harus diaudit oleh akuntan publik. Maka sebelum
diadakan pembagian keuntungan harus diadakan audit lebih dahulu.
Pasal 1349 KUH Perdata menyebutkan: “Jika atas suatu janji timbul
keraguraguan, maka janji tersebut harus ditafsirkan atas kerugian orang yang
meminta diperjanjikan suatu hal (meminta suatu hak) dan atas keuntungan
orang yang telah mengikatkan diri (menyanggupi kewajiban)”. Misalnya
dalam suatu perjanjian tidak jelas apakah para debitur bertanggung jawab
secara tanggung renteng kepada kreditur ataukah masing-masing bertanggung
jawab sendiri sebesar uang yang diterimanya. Dalam hal ini, maka perjanjian
ditafsirkan untuk keuntungan debitur yaitu masing-masing bertanggungjawab
sendiri atas jumlah uang yang diterimanya.
20

Pasal 1350 KUH Perdata Pasal 1350 KUH Perdata menyebutkan:


“Meskipun kata-kata suatu perjanjian dirumuskan secara sangat umum,
namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata yang dimaksudkan
oleh kedua belah pihak”. Jadi bagaimanapun luasnya lingkup makna kata-kata
dalam suatu perjanjian, sebenarnya apa yang lebih penting ialah hal-hal yang
nyata-nyata dimaksudkan oleh para pihak sewaktu perjanjian dibuat. Misalnya
kata-kata dalam suatu perjanjian pemberian kuasa untuk membeli dirumuskan
sangat umum, tetapi hal ini tidak berarti bahwa kuasa tersebut termasuk kuasa
untuk menjual.22
Pasal 1351 KUH Perdata menyatakan bahwa:”Suatu hal yang
dinyatakan untuk menjelaskan suatu perjanjian, tidak dapat digunakan untuk
membatasi kekuatan perjanjian dalam hal-hal yang tidak dinyatakan”. Oleh
karena itu jika seseorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk
menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian
hendak mengurangi kekuatan perjanjian menurut hukum dalam hal-hal yang
tidak dinyatakan.

G. Pengertian Actio Pauliana


Sutan Remy Sjahdeini bahwa Actio Pauliana adalah hak yang
diberikan oleh undang-undang kepada seorang Kreditur mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang
tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh Debitur terhadap harta kekayaannya
yang diketahui oleh Debitur perbuatan tersebut merugikan Kreditur.23
Misalnya dalam Kepalilitan, tindakan Debitur yang mengetahui akan
dinyatakan pailit, melakukan perbuatan hukum berupa memindahkan haknya
atas sebagian dari harta kekayaannya kepada pihak lain dan perbuatan tersebut
dapat merugikan para Krediturnya.

22
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. hlm
18-19.
23
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah Asas dan Teori Hukum Kepailitan, Prenadamedia Group, Jakarta,
2016, hlm 362.
21

Actio Pauliana secara umum diatur pada Pasal 1341 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), Pasal 1061 KUH Perdata untuk
Actio Pauliana atas warisan, dan Actio Pauliana dalam Kepailitan
sebagaimana diatur pada Pasal 41 s.d. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(“UU KPKPU”), dengan uraian pasal sebagai berikut:
1. Actio Pauliana secara Umum (Pasal 1341 KUH Perdata)
Meskipun demikian, Kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya
segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh Debitur,
dengan nama apa pun juga yang merugikan Kreditur, asal dibuktikan
bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, Debitur dan orang yang
dengannya atau untuknya Debitur itu bertindak, mengetahui bahwa
tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para Kreditur.
Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-
barang yang menjadi obyek dan tindakan yang tidak sah, harus dihormati.
Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan
Debitur, cukuplah Kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan
tindakan itu Debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia
merugikan para Kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga
mengetahui hal itu atau tidak.
2. Actio Pauliana Warisan (Pasal 1061 KUH Perdata)
Para Kreditur yang dirugikan oleh Debitur yang menolak
warisannya, dapat mengajukan permohonan kepada Hakim, supaya diberi
kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti
Debitur itu. Dalam hal itu, penolakan warisan itu hanya boleh dibatalkan
demi kepentingan para Kreditur dan sampai sebesar piutang mereka,
penolakkan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang
telah menolak warisan itu.
3. Actio Pauliana Kepailitan
22

a. Terhadap Perbuatan Hukum yang Dilakukan Sebelum Putusan Pailit


Pasal 41 UU Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (KPKPU):
1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat
dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang
telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor,
yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan
hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan
hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya
berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.
b. Terhadap Perbuatan Hukum yang Dilakukan dalam Jangka Waktu 1
Tahun Sebelum Putusan Pailit (Pasal 42 UU KPKPU)

Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan


dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan
Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak
dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(2).
BAB III

PENUTUP/SIMPULAN

1. Perjanjian/persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih


mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan adanya
peristiwa tersebut (perjanjian), timbulah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau lebih yang disebut perikatan, dimana didalamnya terdapat hak dan
kewajiban masingmasing pihak. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang
dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian,
sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-Undang diadakan oleh Undang-
Undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang
mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka
berlaku suatu perikatan hukum.
2. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian adalah sebagai
berikut, Unsur esensialia, Unsur, dan Unsur aksidentalia. Adapaun menurut
Abdulkadir Muhammad memberikan beberapa unsur perjanjian antara lain,
Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak, Ada persetujuan antara
pihak-pihak yang bersifat tetap, Adanya tujuan yang akan dicapai, Ada
prestasi yang dilaksanakan, Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan, dan Ada
syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
3. Syarat-syarat sahnya perjanjian sudah ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata
menyatakan, Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, Suatu hal tertentu, dan Suatu sebab yang halal
4. Asas-Asas dalam Perjanjian yaitu, Asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract), Asas konsensualisme (concensualism), Asas pacta sunt servanda,
Asas Itikat Baik, dan Asas Asas kepribadian (personality).
5. Jenis-jenis perjanjian menurut para ahli yaitu sebagai berikut, Perjanjian
Timbal Balik, Perjanjian Cuma-Cuma, Perjanjian Atas Beban, Perjanjian
Bernama (Benoemd), Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst),
Perjanjian Obligatoir, Perjanjian Kebendaan, Perjanjian Konsensual,

23
24

Perjanjian Riil, Perjanjian Liberatoir, Perjanjian Pembuktian, Perjanjian


Untung-untungan, Perjanjian Publik, dan Perjanjian Campuran.
6. Penafsiran dalam Perjanjian, Sebuah perjanjian atau kontrak pada dasarnya
harus dibuat dengan sejelas – jelasnya sehingga tidak lagi memungkinkan
adanya ambiugitas makna sehingga pemahaman terhadap maksud dan
tujuannya seragam oleh para pihak. Hal ini sesuai dengan “Doktrin Pengertian
Jelas” atau “Plain Meaning Rule” yang sangat popluler dalam hukum
perjanjian, Beberapa pedoman dalam penafsiran kontrak sudah dirumuskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per), yaitu di Buku
Ketiga Bagian Keempat, yang terdiri dari 10 Pasal, mulai dari Pasal 1342
sampai dengan Pasal 1351.
7. Actio Pauliana adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
seorang Kreditur mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh
Debitur terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh Debitur perbuatan
tersebut merugikan Kreditur.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,


2010.

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta, 2007.

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai 1456 BW, Cet III, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Budiono, Herlien, Het Evenwichtbeginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht,


Holland: Diss Leiden, 2001.

Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak,


Visimedia, Jakarta, 2008.

Ibrahim Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Cetakan 2 Refika Aditama, Bandung, 2007.

Mariam Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta,


2009.

Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014.

Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan


Pub., Jakarta, 2011.

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2005.

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,


2013.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1992.

25
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group,
Jakarta, 2009.

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang


Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003.

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana,
Jakarta, 2008.

Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam


Islam, Cet. X Pustaka Setia, Bandung, 2011.

Wirjono Projodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, P.T. Bale Bandung,


Bandung, 1981.

26

Anda mungkin juga menyukai