Anda di halaman 1dari 6

Dualisme Hukum Agraria

April 19, 2011


Pada masa sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah di Indonesia masih terkandung corak
dualisme dimana peraturan-peraturan agraria terdiri dari peraturan-peraturan yang
bersumber pada hukum adat ( hukum yang sudah lama melekat di masyarakat Indonesia)
dan hukum barat ( hukum pemerintahan Kolonial belanda). Masyarakat pribumi tunduk
pada hukum barat dan hukum adat sedangkan pemerintah Kolonial belanda tidak
memperdulikan hukum adat yang sudah turun temurun di masyarakat Indonesia.

Dualisme dalam hukum tanah bukan disebabkan karena para pemegang hak atas tanah
melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya. Tanah dalam hukum
Indonesia mempunyai status dan kedudukan hukum sendiri terepas dari satatus hukum
subyek ya ng mempunyainya. Disamping itu dualisme hukum tanah juga menimbulkan
berbagai masalah hukum antar golongan yang serba sulit, sehubungan dengan adanya juga
dualisme dalam hukum perdata.

Sejalan dengan KUH PERDATA maka hokum tanah barat yang konsepsinya berlandaskan
individual liberalisme dengan kebebasan berusaha dan bersaing yang sekedar di batasi
menurut keperluan sesuai pertimbangan plitik ekonomi, social dan kenegaraan pihak yang
berkuasa di Negara yang bersangkutan. Hal tersebut bertentangan dengan konsepsi yang
mendasari hukum tanah nasional yang tersirat dalam sila-sila pancasila. Oleh karena itu
kelangsungan berelakunya Hukum tanah barat tersebut tidak dapat dibenarkan, meskipun
bentuknya yang tertulis dan dapat digunakan sebagai sarana yang efektif dalam usaha
menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan.

Orientasi kebijakan pertanahan pada zaman belanda dalam mengatur pemilikan penguasaan
tanah lebih memberikan prioritas atau peluang terhadap warga Negara Belanda dan Warga
Negara Asing (wna). Serta badan hukum Belanda dan badan ukum asing lainnya dari pada
kepada penduduk pribumi. Maksud dan tujuannya agar tanah-tanah di Indonesia bias
dimanfaatkan untuk membangun industri dan pertambangan. Kemudian tujuan yang
mendasar untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemerintah belanda.

Dasar politik agraria colonial adalah prinsip dagang, yaitu medapatkan hasil bumi atau
bahan mentah dengan harga yang serendah-rendahnya, kemudian dijual dengan harga yang
setinggi tingginya. Tujuannya ialah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
bagi diri pribadi penguasa Kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini
juga dinikmati oleh pengusaha belanda dan Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia
menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.

Pemerintahan belanda di dalam menyusun perundang-undangan menganut asas


konkordansi. Penyusunan KUH perdata Indonesia juga konkordansi dengan Burgerlijk
Wetboek Belanda. Bw belanda ini disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang
merupakan pengkondifikasian hukum perdata perancis sesudah revolusi perancis tahun
1789. oleh karena itu kuh perdata melalui burhgerlijk wetboek belanda dan code civil
perancis, pasti berjiwa liberal individualistik.
Revolusi perancis adalah suatu revolusi yang brsifat borjuis, yang berjiwa liberal
individualistis, sebagaimana diartikan bahwa individual liberaslisme paham yang
mengatakan manusia itu dominan pada sisi individu dan pada masing-masing individu itu
melekat nilai-nilai kebebasan yang mutlak dihormati orang lain. Hukum itu harus bias
menjamin kebebasan individu termasuk kebebasan untuk memiliki dan menguasai tanah.

Negara Negara yang telah maju mencapai sosialisai masyarakat sesudah mencapai puncak
liberalisme dan individualisme, yang dilaluinya dalam jangka waktu kurang lebih 4
setengah abad semenjak permulaan jaman Renaissance sekitar abad ke 15 sampai kepada
puncak kapitaisme pada akhir abad ke 19 permulaan abad ke 20 ini.

Berhubung dengan itu gerakan sosialisasi dan fungsionalisasi merupakan usaha manusia
Negara-negara maju untuk meratakan keadilan masyarakat dengan mengembalikan
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, oleh sebab dijaman
kapitalisme kepentingan individu terlalu di pentingakan dengan mengabaikan kepentingan
umum.

Negara-negara yang berkembang seperti Indonesia, tidak pernah mengenal masa


individualisme dan liberalisme sepertgi yang pernah dialami oleh Negara-negara maju.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana kekeluargaan dan hukum adat
tidak pernah memberi tekanan kepada kepentingan perseorangan. Justru sebaliknya manusia
Indonesia selamanya hanya berarti dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu
sebagai warga masyrakat. Manusia perseorangan tidak dikatakan mempunyai hak-hak yang
tidak dapat diganggu-gugat, seperti misalnya manusia eropah atau amerika, akan tetapi
manuisa Indonesia terutama mempunyai kewajiban-kewajiban, yaitu kewajiban terhadap
tuhan, kewajiban terhadap rajanya, kewajiban terhadap keluarganya, kewajiban terhadap
sesamanya dan kewajiban terhadap masyarakat.
Hanya sebagai akibat persentuhan dengan kebudayaan Belanda khususnya, dan kebudayaan
asing pada umumnya, mulailah dalam abad ke 20 ini manusia Indonesia menyadari, bahwa
tanpa hak-hak yang dimilikinya, kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya tidak
akan dapat dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya bagi manusia Indonesia hak-hak
perseorangan merupakan akibat dari pada pengembanan kewajiban kewajiban masyarakat
tertentu. Tidak seperti bagi manusia eropa dan amerika yang dengan sendirinya dianggap
memiliki hak-hak asasi yang karena itu menimbulkan kewajiban bagi orang lain untuk
menghormatinya.
Di Indonesia sebelum paham individualisasi liberlisme sempat berkembang masyarakat
Indonesia telah diarahkan kembali kemasyrakat sosialistis dengan ajaran mengenai fungsi
sosial, kepentingan umum dan bahkan dengan ajaran-ajaran komunis.
Oleh sebab itu, kalupun dalam masyarakat Indonesia masa kini terdapat gejala-gejala
individualistis, gejala-gejalaitu dapat dikatakan merupakan corak-corak masyarakat
Indonesia yang umum, yang dianut oleh bagian masyarakat indonesia yang terbesar, akan
tetapi gejala-gejala itu hanya merupakan pengecualian atau sikap hidup dari segolongan
masyarakat kecil, yang tidak dapt kita jadikan ukuran.
Sehubungan dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang jauh berbeda, bahkan
berlawanan arah dengan negar-negara eropa dan amerika, kita tidak begitu saja dapat
menerapkan teori-teori asing itu di Indonesia walaupun teori-teori seperti fungsi sosial telah
membawa kesejahteraan dan keseimbangan di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sebab apabila kita di Indonesia hendak meratakan keadilan dalam masyarakat kita, dan
apabila kita hendak membawa keseimbangan antara kepentingan perseorangan,
sebagaimana di inginkan oleh Pancasila dan UUD 1945, perataan keadilan dan
keseimbangan dalam berbagai kepentingan itu tidak akan dapat ditimbulkan dengan lebih
lagi memberikan tekanan pada kepentingan umum sambil mengabaikan kepentingan
perseorangan.
Dengan terlalu banyaknya menekankan pada kepentingan umum, manusia Indonesia yang
kebudayaan aslinya memang biasa mementingkan kepentingan umum itu, sedemikian rupa
sehingga penyampingan kepentingan perseorangan seringkali dianggap sebagai hal yan
wajar, masyarakat Indonesia akan semakin jauh dari masyarakat pancasila yang
menginginkan keseimbangan antara kepentingan umumdan kepentingan perseorangan itu,
dan bukan penyampingan kepentingan perseorangan oleh kepentingan umum. Sebaliknya,
apabila kita secara terus-menerus memberi tekanan kepada kepentingan umum, maka
dikhawatirkan bahwa masyarakat indoneisa yang kepentingan0kepentinga perseoranganya
memang tidak pernah diperhatikan orang, bahkan terlalu sering diinjak-injak, akan lebih
cepat menuju kepada sesuatu masyarakat komunis daripada menjadi masyarakat pancasila.

Tetapi biarpun demikian pada asasnya jiwanya masih tetap individualistis, sehingga tidak
sesuai bahkan bertentangan dengan konsepsi pancasila yang berjiwa gotong royong dan
kekeluargaan, yang menjiwai hukum nasional. Oleh karena itu, hokum agrarian barat

Dengan demikian menurut penulis hokum tanah adapt adalah hak pemilikan dan
penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adapt masa lampau dan masa kini
serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara otentik atau tertulis,
kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.

Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, kerana merupakan
satu-satunya benda kekayaan meskipun mengalami keadaan bagaimana pun akan tetapi
dalam keadaan semula, malah terkadang tidak menguntungkan bila dipandang dari segi
ekonomis. Kecuali itu dalah suatu kenyataan bahwqa tanah merupakan tempat tinggal
keluarga dan masyarakat, memberiukan penghidupan, dan merupakan temapat dimana para
warga dikuburkan jika sudah meninggal.

Didalm hukum adat antara masyarakat hukum merupakan keastuan dengan tanah yang
didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber kepada
pandangan yang bersifat religi magis.

Hubungan yang erat dan bersifat religo magis ini, menyebabkan masyarakat hukum
memperoleh hak milik menguasai tanah tersebut, memanfaatkannya, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang
ada disitu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut hak pertuananatau hak ulayat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan berlakunya UUPA, hokum agrarian mengalami suatu
perubahan besar, suatu revolusi yang merubah pemikiran dan landasan politik agrarian
pemerintah kolonial yang dibuat demi kepentingan modal besar asing disatu pihak, dengan
mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia di pihak lain. Asas Domein Verklaring yang
dibuat dalam berbagai peraturan telah memperkosa hak-hak rakyat.

Sedemikian rupa perumusan domein verklaqring tersebut dibuat, sehingga jika orang atau
badan hokum berperkara dengan Negara mengenai soal pemilikan tanah, maka dialah yang
berkewajiban membuktikan bahwa tanah sengketa adalah milikya. Beban pembuktian
berada pada orang atau badan hukum yang berperkara. Maka jelaslah bahwa rumusan
tersebut menguntungkan Negara dalam hal berperkara pertanahan. Pada hal asas umum
pembuktian adalah sebaliknya, siapapun yang megendalikan sesuatu, dialah yang wajib
mengajkan bukti kebenaran dalil yang diajukan.
Sementara itu para penguasaha besar belanda di negeri belanda, karena keberhasilan
usahanya mengalami kelebihan modal, memerlukan bidang usaha baru untuk
menginvestasikannya. Mengiungat bahwa masih banyaknya tersedia tanah hutan di hindia
belanda yang belum dibuka dan diusahakan, maka sejak abad pertengahan ke 19, mereka
menuntut diberikannya kesempatan untuk berusaha dibidang perkebunan besar. Sejalan
dengan semangat liberlisme yang sedang berkembang dituntut penggantian sistem monopoli
Negara dan tanam paksa dalam melaksanakan cultuur steelsel denga sistem kerja bebas,
berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.

Tuntutan untuk mengahiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebu,
sejalan dengan tuntutan berdasrkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lain di negeri
belanda, yang melihat terjadinya penderiataan yang sangat hebat dikalangan petani dijawa,
sebagai akibat penyalah gunaan pelaksanaan culture stelsel oleh para pejabat yang
berwenang.

Sebaliknya ada juga golongan ynang ingin tetap melaksanakan sistem yang ada, atas
pertimbangan bahwa pelaksanaan culture stelseel telah mampu menyelamatkan agar
belanda, yang pernah mengalami krisis keuangan sebagai akibat pemisah dengan belgia di
eropa dan perang dipanegoro di jawa. Golongan ini berpendapat bahwa culture steelsel dan
monopoli Negara masih perlu dipertahankan sebagi sumber utama pengisi kekurangan
dinegerinya.

Karena tanah memang salah satu modal dalam mengatur kebijaksanaan pemerintah yang
mantap untuk dimanfaatkan bagi memajukan ekonominya. Sesuai dengan keadaan waktu
itu, prinsip dagang dalam politik pertanahan kolonial sangat menonjol. VOC sebagai embrio
pemerintah belanda di Indonesia adalah suatu badan usaha yang bergerak dibidang
perdagangan, maka tidak mengherankan kalau pemerintah belanda yang kemudian berkuasa
di Indonesia yang waktu itu disebut hindia belanda akhirnya selalu memakai prinsip dagang
dalam mengatur segala hal termasuk dalam hal politik agraria atau peraturan hukum
keagrariaan.

Dengan masuknya hokum yang berasal dari barat (belanda) sistem pemilikan di Indonesia
makin dipermodern. Tetapi agaknya penerapan hokum nbarat di Indonesia makin
dipermodern itu dalam banyak hal dan seyogyanya menimbulkan pertentangan pertentangan
karena hokum barat tersebut masih pula diterapkan dengan tendensi politik penjjhan, politik
penjajahan yang menekankan pada nafsu dagang dan kecendrungan politik kolonial itu
membuat penerapan hokum tersbt tidak lagi semurni apa yang dianut dan hidup di eropa.

Dalam jaman penjajahan belanda, sistem pengauasaan tanah oleh masyarakat dibentuk
sistem baru yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan mereka selaku penjajah.
Maka tidak mengherankan jika dan banyak hal melemahkan sendi-sendi hukum yang asli
milik Indonesia. Maka terjadilah dualisme hukum pertanahan di Indonesia. Hukum barat
bagi orang eropa dan golongan asing lainnya yang dipersamakan dengan orang eropa, dan
dipihak lain berlaku hokum adat bagi orang Indonesia pribumi.

Anda mungkin juga menyukai