Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kegiatan ekonomi lahir sejak Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi
oleh Allah SWT puluhan ribu tahun yang silam. Merekalah yang pertama kali
melakukan kegiatan ekonomi dengan cara mengambil langsung dari alam (food
gathering) guna memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama hal hal yang menyangkut
sandang, pangan dan papan. Setelah turunan Nabi Adam dan Hawa berkembang
banyak, mereka melaksanakan hidup secara berpindah pindah (no-maden) dalam
rangka mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun semakin kompleksnya
permasalahan yang mereka hadapi, karena menipisnya sumber daya alam dan
bagaimana cara mengelolanya maka mulai berpikir bagaimana menyelesaikannya.
Kegiatan ekomoni dalam pandangan islam merupakan tuntutan kehidupan.
Disamping itu juga merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah. Hal itu dapat
dibuktikan dengan ungkapan “ sesungguhnya kami telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (QS. Al-A’raf:10). Pada
kesempatan lain dikatakan, “dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,
maka berjalanlaj (mencari rezeki- Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.” (QS> Al-Mulk:15). Untuk itulah Allah berfirman, “kami
jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (Q.S An- Naba’:11). Perintah untuk
melakukan aktivitas yang produktif bagi pemenuhan kehidupan manusia itu
diakhiri dengan kalimat “apabila kamu telah menuaikan salat, bertebaranlah di
muka bumi dan carilah karunia Allah….”. (Q.S Al-Jum’ah:10).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum ekonomi islam?
2. Bagaimana sejarah hukum ekonomi islam?
3. Bagaimana perkembangan perokonomian islam modern?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian hukum ekonomi islam?
2. Agar mengetahui bagaimana sejarah pemikiran ekonomi dalam islam?
3. Agar mengetahui bagaimana perkembangan perekonomian islam modern?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM EKONOMI ISLAM
Seperti di ketahui Alquran dan sunnah yang dilihat Rasulullah, meru- pakan
sumber tuntunan bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan fana di dunia ini
dalam kerangka kekal di akhirat nanti. Alquran dan sunnah Rasulullah sebagai
penuntun memi- liki daya jangkau dan daya atur yang universal. Yang dimaksud,
memuat aspek kehidupan manusia dan selalu ideal untuk masa lalu, sekarang, dan
yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Alquran dan Sunnah memiliki daya
jangkau dan daya atur yang universal dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu
tepat untuk diimplikasikan di dalam kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan
daya aturnya di bidang keuangan umat. Dalam hal ini ekonomi, diumumkan juga
bidang-bidang ilmu lain yang tidak termasuk dalam kajian Islam, coba dituntun
agar manusia. Atas dasar uraian itu, dapat dinyatakan aktivitas ekonomi dalam
pandangan Islam bertujuan untuk:1
1. memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
2. memenuhi kebutuhan keluarga
3. memenuhi kebutuhan jangka Panjang
4. menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan; memberikan bantuan
sosial dan sumbangan menurut jalan Allah swt (Muhammad Nejatullah
Siddiqi, 1991: 15).2
Hukum dan ekonomi dua hal yang tidak boleh di pisahkan, sebab dua hal
ini saling melengkapi seperti dua sisi mata uang. Hokum ekonomi merupakan
kajian tentang hokum yang berkaitan dengan ekonomi secara Interdisipliner dan
Multidimensional. Menurut rachmat soemitro, hokum ekonomi adalah keseluruhan
norma norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi
dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi di mana kepentingan individu
dan masyarakat saling berhadapan. Dalam norma norma ini pemerintah mencoba
memasukkan ketentuan ketentuan yang lebih di tekankan kepada kepentingan

1
Dr. Suhrawardi K. Lubis, S.H., Sp. N., M.H. dan Farid Wajdi, S.H., M.Hum., hukum ekonomi islam,
hal 1
2
Ibid hal 4

3
masyarakat, bahkan apabila perlu membatasi kepentingan dan hak hak individu.
Dengan demikian letak hukum ekonomi, sebagian ada dalam hukum perdata dan
sebagian lagi ada dalam hukum public, dimana keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat di jaga untuk mencapai kemakmuran Bersama dalam kehidupan
berbangsa dan negara.3
Para ahli ekonomi islam memberikan definisi ekonomi islam dengan ragam
yang berbeda sesuai dengan sudut pandang para ahli tersebut. Apabila di kaji secara
seksama terhadap definisi tersebut, tampak semuanya bermuara pada hal yang sama
yaitu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti dan
akhirnya menyelesaikan segala permasalahan ekonomi secara apa yang telah di
syiaratkan Allah SWT. Tidak ada definisi ekonomi islam baku yang digunakan
sebagai pedoman umum untuk memecahkan segala persoalan ekonomi yang di
hadapi oleh orang islam meskipun demikian, definisi-definisi yang ada saat ini telah
memberi arahan yang baik dalam perkembangan ekonomi islam di Indonesia.
Perbedaan pendefinisian lebih di artikan sebagai usaha para ekonom muslim untuk
menjawab masalah ekonomi yang di tangkapnya, pada Al-Qur’an dan Al- Hadist.4
Untuk memperjelas pengertian tentang ekonomi islam, disini akan di
berikan beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa pakar tentang ekonomi
islam, antara lain:5
a. Muhammad Abdul Mannan, yang di maksud dengan ekonomi islam
adalah ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari
masalah masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai nilai islam.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi, yang di maksud dengan ekonomi islam
adalah respons pemikiran islam terhadap tantangan ekonomi pada masa
tertentu. Dalam usaha keras ini mereka di bantu oleh Al-Qur’an dan As-
Sunnah, akal dan ijtihad serta pengalaman.
c. M. Umar Chapra, yang di maksud dengan ekonomi islam adalah sebuah
pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan yang berada
dalam koridor yang mengacu pada pengajaran islam tanpa memberikan

3
Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H., S.IP, M.Hum., hukum ekonomi Syariah, hal 5-6
4
Ibid
5
Ibid, hal 7

4
kebebasan individua tau tanpa perilaku makroekonomi yang
berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.
d. Hasanuz Zaman, yang di maksud dengan ekonomi islam adalah
pengetahuan dan penerapan hukum Syariah untuk mencegah terjadinya
ketidak adilan atas pemanfaatan dan pengembangan sumber sumber
material dan tujuan untuk paling utama. Prinsip prinsip dasar yang di
cantumkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah batu ujian untuk
menilai teori teori baru berdasarkan doktrin doktrin ekonomi islam.
Dalam hal ini himpunan hadis merupakan sebuah buku sumber yang
sangat berguna.
Dari beberapa definisi tersebut dapat di ketahui bahwa ilmi ekonomi islam
bukan hanya kajian tentang persoalan nilai, tetapi juga dalam bidang kajian
keilmuan. Keterpaduan antara ilmu dan nilai menjadikan ekonomi islam sebagai
konsep yang integral dalam membangun keutuhan hidup bermasyarakat. Ekonomi
islam sebagai ilmu menjadikan ekonomi islam dapat dicerna dengan metode
metode ilmu pengetahuan pada umumnya, sedangkan ekonomi islam sebagai nilai
menjadikan ekonomi islam relevan dengan fitrah hidup manusia.6
B. SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI DALAM ISLAM
Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kalangsungan dan
perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradapan dunia pada
umumnya, telah di abaikan oleh para ilmuan barat. Buku buku teks ekonomi barat
hamper tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimiin ini. Menurut Chapra,
meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat islam karena tidak
mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun barat
memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak
atas kontribusi peradapan lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.7
Para sejarawan barat telah menuliskan sejarah ekonomi sebuah asumsi
bahwa periode antara Yunani dan skolastik adlah steril dan tidak produktif. Sebagai
contoh, sejarawan sekaligus ekonom termuka, Joseph Schumpeter, sama sekali
mengabaikan peranan kaum muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya

6
Ibid, hal 9
7
Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., sejarah pemikiran ekonomi islam, hal 8

5
dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun,
di kenal sebagai the great gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).8
Adalah hal yang sangat sulit untuk di pahami mengapa para ilmuan barat
tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang
berkesinambungan, yang di bangun di atas fondasi yang di letakkan para ilmuwan
generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini di sadari dengan sepenuhnya, menurut
Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang
besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan fondasi di atas mana para
ilmuwan skolastik dan barat mendirikan bangunan intelektuan mereka.9
Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum
muslimin tidak lupa mangakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani,
Persia,India dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para
cendikiawan muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama
tidak bertentangan dengan ajaran islam.10
Sejalan dengan ajaran islam tentang pembedayaan akal pikiran dengan tetap
berpegangan teguh pada Al-Qur’an dan Hadist nabi, konsep dan teori okonom
dalam islam pada hakikatnya merupakan respon para cendikiawan muslim terhadap
berbagai tantangan ekonomi pada waktu waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa
pemikiran ekonomi islam seusai islam itu sendiri.11
Berbagai praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa
Rasulullah SAW. Dan Al-Khulafa Al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang
dijadikan pijakan bagi para cendekiawan mulim dalam melahirkan teori teori
okonominya. Satu hal yang jelas, focus perhatian mereka tetuju pada pemenuhan
kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang tidak lain
merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi islam sejak
masa awal.12

8
Ibid
9
Ibid hal 9
10
ibid
11
Ibid
12
Ibid hal 10

6
Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran
ekonomi islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar dasar ekonomi islam, fase
kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut:13
1. Fase pertama
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah
atau abad ke-11 Masehi yang di kenal sebagai fase dasar dasar ekonomi islam yang
di rintis oleh para fukaha di ikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya,
pemikiraan mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para
ahlu harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Focus fiqih
adalah apa yang di turunkan oleh Syariah dan, dalam konteks ini, para fukaha
mendiskusikan fenomena ekonomi.
Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena
ini. Namun demikian, dengan mengacuu pada Al-Qur’an dan hadist nabi, mereka
mengeksploraasi konsep maslahah dan mafsadah yang terkait dengan aktivitas
ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang di
anjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama.
Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritas berisfat normative dengan
wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik
dan Batasan Batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan permasalahan
dunia.
Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah
pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang salig menguntungkan, tidak
rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang di berikan Allah SWT, dan secara
tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara
itu, filosof muslim, dengan tetap berasaskan Syariah dalam keseluruhan
pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles
(367-322 SM), yang focus pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan)
dalam arti luas, pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat
dengan analisis ekonomi positif dan cenderung makroekonomi. Hal ini berbeda

13
Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., sejarah pemikiran ekonomi islam, Op.cit
hal 10-21

7
dengan para fukaha yang terfokus perhatiannya pada masalah masalah
mikroekonomi.
Tokoh tokoh pemikiran ekonomi islam pada fase pertama ini antara lain
diwakili oleh Zaid bin Ali (w. 80 H/738 M), Abu Hanifah (w 150 H/767 M) Abu
yusuf ( w 182 H/798 M), Al- Syaibani (w. 189 H/804 M), abu Ubaid bin sallam (w
224 H/ 838 M), harits bin asad al- muhasibi (w. 243 H/858 M), Junaid al-baghdadi
(297 H/910 M), ibnu miskawaih ( w. 421 H/1030 M) dan al-mawardi (450 H/1058
M).
a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling
terkenal di Madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid
bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga
yang lebih tinggi dari pada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang
sah dan dapat di benarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling
ridha antar kedua belah pihak.
Pada dasarnya, keuntungan yang diperoleh para pedagang dari pernjual
yang di lakukan secara kredit merupakan murni bagian dari sebuah perniagaan dan
tidak termasuk riba. Pernjualan yang di lakukan secara kredit merupakan salah satu
bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar. Dengan demikian,
bentuk penjualan seperti ini bukan suatu tindakan di luar kebutuhan. Keuntungan
yang di peroleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah bentuk
kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seorang dalam membeli suatu barang
tanpa harus membayar secara tunai.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan dari suatu
pengguhan pembayaran pinjaman. Dalam hal ini, peminjam memperoleh suatu
asset, yakni uang, yang harganya tidak mengalami perubahan dari waktu ke wakti,
karena uang itu sendiri adalah sebagai standar harga. Dengan kata lain, uang tidak
dengan sendirinya menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat menghasilkan jika dan
hanya melalui pertukaran dengan barang barang yang harganya sring berfluktuatif.
Namun demikian, keuntungan yang di peroleh dari penjualan secara kredit
tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga yang lebih tinggi selalu berkaitan
dengan waktu. Seseorang yang menjual secara kredit dapat pula menetapkan harga

8
yang lebih rendah dari pada harga pembeliannya dengan maksud untuk
menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar akan
jatuh di masa dating. Dengan maksud yang sama, seseorang dapat juga menjual
barangnya, baik secara tunai ataupun kredit, dengan harga yang lebih rendah dari
pada harga pembelinya.
Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bahwa dalam Syariah,
setiap baik buruknya suatu akad di tentukan oleh akad itu sendiri, tidak
dihubungkan dengan akad yang lain. Akad jual beli yang oembayarannya di
tangguhkan adalah suatu akad tersendiri dan memiliki hak sendiri untuk di periksa
apakah adil atau tidak, tanpa dihubungkannya dengan akad lain. Dengan kata lain,
jika diketemukan fakta bahwa dalam suatu kontrak yang terpisah, harga yang di
bayar tunai lebih rendah, hal itu tidak memengaruhi keabsahan akad jual beli kredit
dengan pembayaran yang lebih tinggi, karena kedua akad tersebut independent dan
berbeda satu sama lain.
b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang
pedagang di kota kufah yang ketika itu merupakan pusat aktivitas perdagangan dan
perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya, salah satu
transaksi yang sangat popular adalah salam, yaitu menjual barang yang akan di
kirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad
disepakati.
Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarahkan
kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci
lebih khusus apa yang harus di ketahui dan di nyatakan dengan jelas dalam akad,
seperti jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia
memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama
waktu kontrak dan tanggal pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui
bahwa pengiriman tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat di lakukan.
Pengalaman dan pengetahuan tentang dunia perdagangan yang didapat
langsung Abu Hanifah sangat membantunya dalam menganalisis masalah tersebut.
Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan
perselisihan dalam masalah Transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan Syariah

9
dalam hubungan dengan Jual-beli. Pengalamannya di bidang perdagangan
memungkinkan Abu Hanifah dapat menentukan aturan-aturan yang adil dalam
transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
c. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema Pemikiran
Ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu
Yusuf dalam surat Panjang yang dikirimkannya kepada Penguasa Dinasti
Abbasiyah Khalifah Harun Al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas
tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai kitab Al-Kharaj.
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil
Pertanian dari para penggarap dari pada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam
pandanganya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil Produksi
yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah
garapan. Dalam hal pajak, ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang
berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation.
Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan
sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi Pajak adalah beberapa prinsip
yang ditekankanya.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian, Ia menyarankan agar
petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah
korupsi dan praktik penindasan.
d. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-804 M)
Salah satu rekan sejawat Abu Yusuf dalam mazhab hanafiyah adalah
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Risalah kecilnya yang berjudul Al-iktisab fi
ar-rizq al-musthalab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia juga
menguraikan perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang
yang suka berderma dan tidak suka meminta-minta. Al syaibani mengklasifikan
jenis pekerjaan ke dalam 4 Hal yakni, ijarah, zira`ah dan shina`ah. Cukup menarik
untuk dicatat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan yang terbaik,
padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih tertarik untuk bedagang dan berniaga.
Dalam suatu risalah yang lain, yakni Kitab Al-asl, Al-saibani telah membahas
masalah kerja sama usaha dan bagi hasil.

10
e. Ibnu Miskawah (421H/1030 M
Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkait dengan aktivitas
ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa
manusia merupakan mahkluk social dan tidak bias hidup sendiri. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja sama dan saling membantu dengan
sesamanya. Oleh karena itu, mereka akan saling mengambil dan memberi.
Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi yang pantas.
2. Fase kedua
Fase kedua yang di mulai pada abad ke -11 sampai dengan abad ke-15
masehi di kenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan
intelektual yang sangat kaya. Para cendikiawan muslim pada masa ini mampu
menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi
yang seharusnya yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadist nabi. Pada saat yang
bersamaan, disisi lain, mereka menghadapu realitas politik yang di tandai oleh dua
hal: pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya kerajaan
ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan
ketimbang kehendak rakyat: kedua, merabaknya korupsi di kalangan para penguasa
di airing dengan dekendensi moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan
terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dengan di miskin.
Pada masa ini, wilayah kekuasaan islam yang terbentang dari Maroko dan
Spanyol di Barat hingga India timur telah melahirkan berbaga pusat kegiatan
intelektual. Tokoh- tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini diwakili oleh Al-
Ghazali (w. 505 H / 1111 M), Ibnu Taimiyah (w. 728 H / 1328 M), Al-Syatibi (w.
790 H / 1388 M) , Ibnu Khaldun (w. 808 H / 1404 M), dan AlI-Maqrizi (845 H /
1441 M).
a. Al-Ghazali (451-505 H / 1055/1111 M)
Fokus utama perhatian Al-Ghazali tertuju pada kebijakan individu yang
dibahas mengenai Alquran, Sunnah, ljma Sahabat, dan Tabi'in, serta pandangan
para sufi yang ditargetkan, seperti Junaid al-Baghdadi, Dzun Nun al-tishr dan Harits
bin Asad al-Muhasibi. Menurutnya, seseorang barus memenuhi seluruh kebutuhan
dalam pertemuan yang diminta beribadah kepada Allah Swt. Seluruh aktivitas
kehidupannya, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan srsuai dengan syariah Islam.

11
la tidak boleh menentang kikir dan di sisi lain, juga tidak bisa menentang boros
Salain itu, Al-Ghazali juga memberikan nasihat kepada para pemimpin agar selalu
memerhatikan kebutuhan rakyainya serta tidak berperilaku zalim bagi mereka
Berkenan, memerintah wajib menolong dengan uang menyediakan makanan dan
uang dari perbendaharaan negara. Dalam hal pajak, Al-Ghazali bisa menoleransi
pengenaan pajak jika untuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas
negara yang telah tersedia. Bahkan, jika hal yang terjadi, negara yang melakukan
peminjaman.
Al-Ghazali juga memiliki wawasan yang sangat luas tentang pembaharuan
pasar dan peran uang. la juga mengemu- kakan alasan pelarangan riba fadhl, yaitu
karena alasan sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan
penimbunan uang dengan dasar uang yang dibuat khusus untuk memfasilitasi
konversi.
b. Ibnu Taimiyah (w. 728 H / 1328 M)
Fokus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral dan
bagaimana mereka harus dilakukan sesuai dengan syariah. Untuk tugas ini,
bersama-sama, pemerintah dan ulamna harus membimbing dan men-dorong
masyarakat. la juga membahas tentang berbagai hal yang membahas tentang
ekonomi individu dalam konteks hidup bermasyarakat, seperti akad dan upaya
menaati, harga yang wajar dan adil, pengawasan pasar, keuangan negara, dan peran
negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup takyatnya.
Dalam suatu masyarakat yang diperintah penguasa yang berkeyakinan dan
masyarakat yang berpikiran duniawi semata, ia lebih menyerukan penguatan
susunan moral masyarakat terhadap teladan individu yang dapat mendorong
keselamatan diri dari kehidupan bermasyarakat. Cara memintanya adalah untuk
menyetujui berbagai pengaturan dalam usaha ekonomi dan dalam melaksanakan
hak kepemilikan pribadi, dengan harapan bahwa selama para pelaku ekonomi
mengikuti aturan main yang berlaku, moral alami masyarakat dapat bertahan.
Dalam transaksi ekonomi, focus perhatian ibnu tamiyah tertuju pada
keadilan yang hanya dapat terwujud jika semua akan berdasarkan pada kesediaan
menyepakati dari semua pihak. agar lebih bermakna, kesepakatan ini harus di
dasarkan pada informasi yang memadai. Moralitas seperti yang di oerintahkan

12
agama memerlukan keharusan tidak adanya paksaan, tidak adanya kecurangan,
tidak mengambil keuntungan dari keadaan yang menakutkan, atau ketidak tahuan
dari salah satu pihak yang melakukan akad.
c. Al-Maqrizi (845 H / 1441 M)
AL-Maqrizi melakukan studi khusus mencari uang dan membayar harga
yang dilakukan secara berkala sesuai dengan keadaan yang terjadi dan kekeringan.
Selain kelangkaan makanan oleh hujan, Al-Maqrizi mengubah iga sehah dari
laporan ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang terhadlap
berat bagi para penggarap dan bantuan mata uang fulus. Alhamdulillah, Al-
Maqrizi, Tuntutan Alihmail, Alih-al-Maqrizi, Alquran fulus dapat diterima sehagai
mata uang jika disetujui penggunaannya, yaitu hanya untuk keperltan transaksi
yang berskala kecil.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan
fase tertutupnya pintu ijtihad (penilaian independen) yang fase selanjutnya dikenal
juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan
para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar
untuk masing-masing mazhab. Namun demikian, ada satu gerakan pembahasan
selama dua abad Lerakhir yang menyeru untuk kembali ke Alquran dan hadis nabi
sebagai sumnber pemimpin hidup. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase
ini antara labiin diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H1762 M), Jamaluddin
Al-Afghani (w. 1315 H / 1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H / 1905 M), dan
Muhammad Igbal (w. 1357 H / 1938 M).
C. SEJARAH MODERN PERBANKAN DAN JASA KEUANGAN
ISLAM
Walaupun Islam telah memberikan cetak biru bagaimana seharus- nya
sebuah masyarakat diorganisir dan bagaimana pelaksanaan urusan-urusan para
anggotanya sesuai dengan aturan, sistem terse but belum pernah diaplikasikan
secara penuh, dengan pengecualian pada periode awal keislaman. Akan tetapi,
dibandingkan dengan ekonomi masa kini, kompleksitas ekonomi pada masa lalu
jauh le- bih rendah. Sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya, praktik bisnis
disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam dan elemen "bunga" diminimalisasi.

13
Karena praktik "riba" juga dikutuk oleh agama besar lain pada waktu itu, ditambah
lagi institusi "ribawi" belum berkembang, kebutuhan terhadap kesadaran akan
kompatibilitas sistem dengan Islam tidak dirasakan sebagai sesuatu yang penting.
Hal tersebut baru dirasakan penting beberapa decade terakhir ketika elemen
“bunga” menjadi bagian integral dari perekonomian, dimana umat muslim di
dorong untuk menjadi lebih dan sadar akan eksistensi “bunga” dan mereka juga
menjadi semakin tertarik terhadap implementasi ajaran islam dalam masyarakat.
Disini, pembahasan tentang sejarah ekonomi dan keuangan islam di batasi
pada perkembangannya sejak abad ke-19. Seseorang dapat membagi
perkembangan dan usaha yang di curahkan untuk pengimplementasian ekonomi
keuangan dan system perbankan yang sesuai dengan Syariah ke dalam 3 fase 1950,
1950-1990 dan 1990 sampai saat ini. 14
a. Fase I: Pra-1950
Sepanjang abad kesembilan belas dan sepanjang sebagian besar abad kedua
puluh, beberapa negara muslim di bawah kendali pen- jajah. Selama periode
kolonial, masyarakat muslim ini terputus dari nilai dan warisan leluhur mereka,
termasuk keyakinan pada tradisi dan praktik tradisional. Tradisi lama sering kali
mendapatkan prioritas rendah dibandingkan dengan nilai dari kolonial yang
muncul, yang sering kali dilihat sebagai simbol kesuksesan modern. Meskipun ada
perlawanan terhadap pemaksaan nilai-nilai kolonial dan muncul hasrat untuk
kembali ke tradisi Islam, upaya ini tidak menyebar luas.
Baru setelah periode kolonial berakhir Muslim mulai menemukan kembali
identitas mereka dan ingin mendapatkan kembali nilai-nilai Islam yang
ditambahkan dalam semua aspek kehidupan, khususnya yang berkaitan dengan
sistem ekonomi. Kritik dan perlawan formal terhadap elemen "bunga" dimulai di
Mesir pada akhir abad kesembilan kompilasi Bank Barclays didirikan di Kairo guna
mengumpulkan dana untuk pembangunan Terusan Suez. Bank pendirian berbasis
bunga seperti di negara muslim telah disetujui. Perlawanan formal terhadap
perlindungan bunga terjadi pada awal 1903 kompilasi pembayaran bunga atas dana
kantor pos disetujui oleh para pakar fikih Mesir sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan nilai dasar Islam dan dengan demikian dianggap ilegal.

14
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, penghantar keuangan islam, hal 28-35

14
Di India, komunitas mayoritas muslim di selatan India mengambil langkah
pertama mengambil mode aktivit ekonomi Islam dengan mengumpulkan simpan
pinjam bebas bunga di awal 1890-an. Simpan pinjam ini pada dasarnya merupakan
asoian kesejahteraan yang dikumpulkan donasi serta kulit binatang hasil kurban
dari masyarakat dan sediakan pinjaman bebas bunga bagi yang tidak mampu.
Institusi sejenis lain yang disebut "Anjuman Imdad e-Bahmi Qardh Bila Sud"
(Masyarakat Kredit Bebas Bunga) juga didirikan di Hyderabad, India, 1923.
Sepanjang abad pertama dua puluh, dibahas beberani untuk disesuaikan dengan
berbagai aspek. yang membantah dengan nilai-nilai Islam.
Kebutuhan akan sistem ekonomi alternatif yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam segera muncul dan para ekonom mulai alternatif untuk sistem
perbankan konvensional dengan membahas sistem perjanjian yang sesuai syariah,
sistem khusus untuk hasil. Di antara intelektual dan pakar hukum muslim awal
yang membuat kontribusi signifikan dalam diskusi dan merealisasikan kebutuhan
akan sistem ekonomi dan perbankan yang sesuai dengan prinsip Islam adalah:
Maulana Syed Abul Ala Maudoodi (Pakistan), Imam Muhammad Baqir al-Sadr
(Irak), Anwar Iqbal Qureshi (Pakistan), Mohammad Nejatullah Siddiqi (India),
Muhammad Uzair (Arab Saudi), Umer Chapra (Arab Saudi), dan Ahmad al-Najijar
(Mesir). "Pada tahun 1953, ekonomi Islam telah menyediakan deskripsi pertama
bank bebas bunga yang ditawarkan Dada mudarabah dan wakala (agensi) .Pada
akhir 1950-an, para pakar Islam dan ekonomi mulai menawarkan model teoretis
intermediasi keuangan sebagai perbankan keuangan bunga.
b. Fase II: 1960-an - 1980-an
Pada awal 1960-an, sudah tersedia cukup Banyak permintaan terhadap
perbankan sesuai syariah. Pada tahun 1963 muncul bank tabungan lokal Mit Ghamr
di Mesir yang diajukan oleh aktivis sosial terkenal Ahmad al-Najjar. saya bank
islam modern pertama. Bank Mit Ghamr meminjam sejumlah ide. dari bank
tabungan Jerman dengan prinsip perbankan perumahan dalam nilai umum Islam.
Sayangnya, upaya ini hanya bertahan empat tahun. Pada saat yang sama, ada yang
disponsori di Malaysia untuk mengembangkan tabungan yang dikeluarkan untuk
muslim.

15
Upaya ini dimotivasi untuk membuat uang yang ditabung untuk haji bebas
dari kontaminasi "riba" dalam bentuk apa pun, sebab bank komersial reguler
menggunakan bunga. Korporasi Tabungan Haji didirikan pada 1963, yang
kemudian dimasukkan ke dalam Dewan Manajemen dan Dana Haji (yang populer
disebut Tabung Haji) pada 1969. Bank Sosial Nasir didirikan di Mesir pada 1971
dengan dekrit kepresidenan.
Peristiwa ini merupakan contoh pertama dari dukungan negara terhadap
penyelenggaraan bebas bunga. Pendirian Bank Islam Dubai oleh beberapa orang
pedagang pada tahun 1975 dianggap sebagai salah satu yang pertama di Uni Emirat
Arab. Tahun 1970-an menyaksikan kenaikan harga minyak yang menyebabkan
bertambahnya pemasukan minyak pada beberapa negara muslim kaya minyak,
khususnya Timur Tengah. Pemasukan dari minyak pada 1970-an, yang kerap
disebut sebagai "dolar petro", menawarkan insentif yang kuat untuk menciptakan
jalur investasi yang sesuai untuk muslim yang ingin mendapatkan syariah. Kredit
bebas bunga atau perbankan Islam, yang hanya merupakan ide konseptual pada
awal 1970-an, menemukan peluang bisnis yang kuat untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Peluang bisnis ini dieksploitasi oleh para bankir domestik maupun internasional,
termasuk sebagian bank konvensional konvensional.
Pada 1975, Islamic Development Bank (IDB) mendirikan pembangunan
daerah dengan tujuan pembangunan ekonomi di negara-negara muslim sekaligus
menawarkan pembangunan keuangan berdasarkan aturan syariah. IDB yang
berbasis di Jedda telah memainkan peran kunci dalam mode keuangan Islam dan
dalam melaksanakan penelitian yang bermanfaat dalam bidang ekonomi Islam,
keuangan dan perbankan. Sepanjang tahun 1970-an, konsep keuangan Murabahah
(trust fimancing) dikembangkan sebagai landasan bagi penempatan dana bank
Islam, Kegiatan akademis dan penelitian yang diluncurkan berbarengan dengan
Konferensi Internasional Ekonomi Islam Pertama yang diselenggarakan di
Mekkah, Saudi Arabia, 1976. Institusi riset khusus pertama, yang dinamai Pusat
Riset Ekonomi Islam, didirikan di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi
Arabia, pada 1978.
Tahun 1980-an merupakan bukti awal tren pertumbuhan dan ekspansi
kemunculan industri layanan keuangan Islam. Pertumbuhan tersebut menjadi stabil

16
sepanjang 1990-an. Perkembangan intin 1980-an mencakup kontinuasi karya riset
serius pada level konseptual dan teoretis, perlindungan konstitusi di tiga negara
muslim. da keterlibatan bankir konvensional dalam menawarkan layanan sesuai
dengan syariah. Republik Islam Iran, Pakistan, dan Sud mengumumkan niat mereka
untuk mentransformasi keseluruha sistem keuangan mereka agar sesuai dengan
syariah. Negara lain seperti Malaysia dan Bahrain memulai perbankan Islam dalam
kerangka sistem yang telah ada. International Monetary Fund (IMF) memulai riset
terhadap implikasi makroekonomi sistem ekonomi yang bekerja tanpa bunga. Riset
yang mirip juga dilakukan untuk memahami berbagai isu yang berkaitan dengan
hilangnya profit dan stabilitas keuangan dari sebuah sistem yang didasarkan pada
pembagian profit dan kerugian. Signifikansi dan kontribusi riset ini diakui pada
2004 ketika dua ekonomis IMF, Mohsin Khan dan Abbad Mirakhor, dianugerahi
penghargaan tertinggi ekonomi Islam. Organisasi Negara Islam (OIC), akademi
fikih dan pendidikan syariah melakukan diskusi tentang transaksi keuangan.
Sepanjang tahap awal pertumbuhan pasar keuangan Islam pada 1980-an,
bank Islam menghadapi kurangnya kualitas peluang investasi, vang menciptakan
peluang bisnis bagi bank konvensional Barat untuk bertindak sebagai perantara
penggunaan dana bank Islam sesuai dengan panduan yang diberikan oleh bank
Islam. Bank Barat membantu bank Islam menempatkan dana dalam aktivitas
perniagaan dengan mengatur yang para penjual untuk membeli barang atas nama
bank Islam dan menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi. Secara gradual,
bank Barat menyadari nilai penting timbulnya pasar keuangan Islam dan mulai
menawarkan produk melalui "Jendela Islami" (Islamic window) sebagai upaya
menarik klien secara langsung, tanpa harus menggunakan bank Islam sebagai
perantara, Jendela Islam bukan institusi keuangan independen, tetapi di bentuk
secara khusus dalam institusi keuangan konvensional yang menawarkan produk
berbasis syariah kepada klien mereka.
Pada saat yang sama, beriringan dengan meningginya permintaan terhadap
produk yang sesuai syariah dan rasa takut kehilangan depositor, bank konvensional
non-Barat juga mulai menawarkan "Jendela Islam". Pada umumnya, Jendela Islam
ditargetkan kepada individu "dengan kekayaan bersih yang tinggi", yang

17
merepresentasikan segmen investor terkaya -dan yang ingin mempraktikkan
perbankan Islam-sekitar 1-2% dari populasi muslim dunia.
Jumlah bank konvensional yang menawarkan jendela Islam terus
meningkat. Beberapa bank konvensional terkemuka seperti Hong Kong and
Shanghai Banking Corporation (HSBC), mulai mengejar najar ini dengan agresif.
Citibank merupakan salah satu bank Barat al vang membentuk bank Islam terpisah-
Citi Islamic Investment Bank (Bahrain) pada 1996. Yang paling baru, bank Barat
terkemuka lainnya, Union Bank of Switzerland (USB), mendirikan Noriba Bank
dan tren tersebut diikuti oleh sejumlah bank di kawasan teluk yang membentuk
cabang islami. HSBC memiliki jaringan bank yang kuat dalam dunia muslim.
Dengan tujuan mempromosikan sekuritisasi aset islami dan ekuitas swasta serta
perbankan dalam negara-negara OECD, HSBC Global Islamic Finance (GIF)
diluncurkan pada 1998. Daftar bank Barat yang menggunakan "jendela Islami"
antara Jain American Express Bank Ltd., American Bank, ANZ Grindlays, BNP-
Paribas, Chase Manhattan, UBS, dan Kleinwort Benson. Bank non-Barat utama
dengan ukuran "jendela Islami" yang signifikan wdalah National Commercial Bank
of Saudi Arabia, United Bank of Kuwait, dan Riyadh Bank.
c. Fase III: 1990-Sekarang
Pada awal 1990-an, pasar telah mendapatkan momentum yang cukup untuk
menarik perhatian para pembuat kebijakan publik dan berbagai institusi yang
tertarik dalam menawatkan produk inovatif. Berikut ini adalah beberapa
perkembangan penting:
1. Karena menyadari perlunya agen pengaturan mandiri (self-regu- latory
agency) yang standar, maka didirikanlah Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions (AAO- IFIXAAOIFI
herfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan regulator
khusus institusi keuangan Islam. AAOIFI sukses menentukan standar
pembukuan dan syariah yang ke- mudian diadopsi atau diakui oleh
beberapa negara. Walaupun demikian, dengan pertumbuhan pasar,
otoritas regulator dan pengawasan dengan bantuan IMF membentuk
agensi regularor khusus, the Islamic Financial Services Board (IFSB)
pada awal 2000-an untuk mengarahkan stabilitas sistemis serta berbagai

18
isu tata aturan dan regulasi yang berkaitan dengan industri layanan
keuangan Islam. FSB menerima tantangan tersebut dan mulai bekerja di
area regulasi, manajemen risiko, dan corporate gover nance.
2. Telah ada kemajuan dalam perkembangan pasar modal. Islamic asset-
backed certificates, atau sukuk, diperkenalkan di pasar. Sukuk dengan
struktur yang berbeda diluncurkan dengan sukses di Bah- rain,
Malaysia, dan pusat keuangan lain. Di antara para issuer-nya adalah
korporasi, entitas multilateral dan berkuasa seperti Islamic
Development Bank, International Bank for Reconstruction and
Development, pemerintah Bahrain, Qatar dan Republik Islam Pakistan.
Selama booming pasar ekuitas 1990-an, beberapa dana ekuitas berbasis
pada saham yang sesuai dengan syariah bermun- culan. Dow Jones dan
Financial Times meluncurkan Indeks islami untuk melacak performa
dana ekuitas islami.
Beberapa institusi didirikan untuk menciptakan dan mendukung sistem keuangan
yang kuat. Berbagai institusi ini termasuk International Islamic Financial Market
(IIFM), the International Islamic Rating Agency (IIRA), the General Council of
Islamic Banks and Financial Institutions (CIBAFI), dan the Arbitration and
Reconciliation Centre for Islamic Financial Institutions (ARCIFI).

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Para ahli ekonomi islam telah memberikan definisi ekonomi islam dengan
ragam yang berbeda sesuai dengan sudut pandang para ahli tersebut.Salah
satu ahli berpendapat, Muhammad Abdul Mannan yang dimaksud dengan
ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai islam.
2. Kontribusi kaum muslim yang sangat besar terhadap dan perkembangan
pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya
yang terbagi menjadi 3 fase, fase pertama abad 5 hijriyah-11 hijriyah fase
kedua pada abad ke 11 -15 Hijriyah fase ketiga pada abad ke 15-19
3. Sejarah modern perkembangan keuangan islam terbagi menjadi 3 fase yang
pertama pada tahun 1950, 1950-199- dan 1990 sampai saat ini

B. SARAN
1. Dari pendapat ahli yang di utarakan pada makalah ini, bahwasanya ilmu
ekonomi islam telah ada pada jaman Rasulullah SAW dan sahabat
sahabatnya beserta ahli ahli ekonom pada abad pertengahan. Jadi, kita
sebagai umat muslim harus melanjutkan kegiatan ekonomi yang telah di
contohkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena pada saat ini masyarakat
muslim sudah tertinggal jauh dari segi ekonomi dari kaum non- muslim.
2. Kegiatan ekonomi sudah ada sejak lama dari abad yang terbagi menjadi 3
fase, fase pertama abad 5 hijriyah-11 hijriyah fase kedua pada abad ke 11 -
15 Hijriyah fase ketiga pada abad ke 15-19, dari sejarah yang di lihat, maka
umat muslim jangan sampai melupakan ajaran ajaran yang telah di ajarkan
oleh pendahulu kita.
3. Dari pemkembang ekonomi yang sudah di jabarkan, umat muslim
seharusnya lebih mengembangkan dan melestarikan kegiatan ekonomi
islam karena bukan hanya umat muslim yang menerapkan kegiatan
ekonomi islam melainkan non- muslim juga.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Suhrawardi K. Lubis, S.H., Sp. N., M.H. dan Farid Wajdi, S.H.,
M.Hum., hukum ekonomi islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2012
2. Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H., S.IP, M.Hum., hukum ekonomi
Syariah, Jakarta, Kencana, 2014
3. Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., sejarah pemikiran
ekonomi islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2010.
4. Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, penghantar keuangan islam, Jakarta,
Kencana, 2008

21

Anda mungkin juga menyukai