Anda di halaman 1dari 28

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dalam bidang anestesiologi, pengelolaan jalan nafas merupakan tindakan

yang penting. Terdapat berbagai alat yang digunakan dalam mengelola jalan

nafas. Pemasangan pipa endotrakea (ET) merupakan salah satu tindakan

pengamanan jalan nafas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik.

Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi mekanik,

tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum

(Stone, 2000; Anonymous, 2007)

Tindakan intubasi atau memasukkan pipa endotrakea (ET) ke dalam trakea

merupakan hal yang biasa dilakukan dalam anestesi umum. Data yang diperoleh

di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2004–2009

menunjukkan sebagian besar operasi atau tindakan bedah dilakukan dengan

anestesi umum. Dengan keterangan dari 24.550 tindakan bedah, sebanyak 16.542

(67,38%) dilakukan intubasi endotrakea dengan anestesi umum (Morgan, 2006).

Walaupun rutin dilakukan, tindakan ini bukan tanpa risiko dan tidak semua pasien

dengan anestesi umum membutuhkan tindakan ini. Pada umumnya pemasangan

pipa endotrakea (ET) diindikasikan untuk pasien dengan risiko aspirasi dan pada

pasien yang sedang menjalani operasi (Stone, 2000)

Laine Bosma dalam penelitiannya menyatakan sebanyak 15,4% dari angka

morbiditas di Instalation Care Unit (ICU) dan 29,4% di rumah sakit di Amerika

disebabkan oleh komplikasi pada proses intubasi endotrakea (Morgan, 2006)


2

Tindakan intubasi endotrakea dapat menimbulkan berbagai komplikasi atau

trauma seperti komplikasi sistem respirasi (bronkospasme), juga menimbulkan

komplikasi kardiovaskuler berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan laju

jantung, dan disritmia. Komplikasi tersebut dapat terjadi secara cepat atau lambat

(Anonymous, 2007; Safavi, 2008; Roelofse, 1987). Hal itu disebabkan oleh

rangsangan pipa endotrakea pada daerah laring, trakea, karina, dan bronkus yang

menimbulkan respon simpatis dan pelepasan katekolamin (Dahlgren, 1981;

Ghaus, 2002). Respon stres yang terjadi terhadap intubasi trakea menyebabkan

peningkatan kadar katekolamin plasma. Hal ini akan berdampak negatif pada

pasien dengan penyakit jantung koroner, hipertensi, serta kelainan serebrovaskuler

terutama pada usia lanjut (Murphy, 2000; Cork, 1984)


3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Airway

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan

membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat

darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan

nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda

asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau

trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan –

lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.

Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway

seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :

1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway

2. Ketidakmampuan untuk membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi

6. Aspirasi isi lambung

Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan

oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,

patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin

lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal

(Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra
4

servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.

Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas

bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan.

Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau

kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan

motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.

Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan

dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran,

maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk

sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat

dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan

(jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway

orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway).

Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat

menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama

melakukan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line

immobilization) (ATLS, 2004)

Teknik-teknik mempertahankan airway

1. Head tilt

Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan

horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien

harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,


5

cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan

satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas.

Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke

belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi

bertekanan positif secara intermittena (Alkatiri, 2007).

2. Chin lift:

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian

secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari

tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut,

ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara

bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh

menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma

karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang

leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang

dengan cedera spinal.

(European Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010)


6

3. Jaw thrust

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada

mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus

mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula

sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian

mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).

(European Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010)

4. Oropharingeal Airway (OPA)

Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas

pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah.

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa

orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan

ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan

pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah

terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
7

palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara

melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong

pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa

berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.

Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-

faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan

plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

5. Nasopharingeal Airway

Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway

nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa

diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).


8

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-

faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang

hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY

jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring

dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan,

lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga

hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah

bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).

6. Airway definitif

Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa

nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan

pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara

lain (ATLS, 2004):


9

1. Adanya apnea

2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara

yang lain

3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau

vomitus

4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway

5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan

Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering

digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang

harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang

paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah

pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan

dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi

yang jelas untuk melakukan airway surgical.

Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan

periksa dengan cara (Haffen & Karren, 2012) :

1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan

dinding dada yang adekuat.

2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.

3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.


10

(European Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010).

2.2 Breathing

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan

pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil

energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus

(Sherwood, 2011). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang

diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg,

2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan

dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat

menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan & Holt, 2008).

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk

pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen

yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas

ventilasi dapat dinilai secara klinis (Davis, 2007).


11

Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik

bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila

dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat

digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan

pemasangan face-mask (Arifin, 2012):

1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh

2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila

sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada

kebocoran)

3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula,

jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk

memegang dan memfiksasi sungkup muka

5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala

pasien

6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan

7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan

dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)

8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)

9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup

muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong)

reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)


12

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway,

penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.


13

Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-

keadaan seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks

dimana keadaan-keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan

primary survey. Bila ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi

yang dilakukan adalah ( Sitohang, 2012):

1. Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit

2. Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea

midclavicularis

3. Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube

4. Open pneumotoraks : Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada

tiga sisi (flutter-type valveefect)

Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang

saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang

noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus

(ATLS, 2004).

2.3 Laringoskopi dan Intubasi

Salah satu tanggung jawab seorang ahli anestesi adalah memberikan

pernafasan yang adekuat kepada pasien. Upaya yang sering dilakukan adalah

dengan melakukan laringoskopi dan intubasi. Laringoskopi merupakan tindakan

memvisualisasi laring dengan menggunakan laringoskop. Intubasi endotrakea

adalah suatu tindakan memasukkan pipa kkhusus kedalam trakea sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Indikasi endotrakeal


14

intubasi antara lain: menjaga patensi jalan nafas dan memproteksi jalan nafas,

pada pasien dengan kegagalan ventilasi dan oksigenasi (Park, et all, 2008)

Ada dua saluran nafas manusia: hidung yang bermuara ke nasofaring (pars

nasal) dan mulut yang bermuara ke orofaring (pars oral), kedua bagian ini

dianterior dipisahkan oleh langit-langit dan diposterior dipisahkan oleh faring.

Faring adalah suatu struktur fibromuskular berbentuk U yang memanjang dari

dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid dilubang masuk osefagus. Faring terbuka

masing-masing ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan

laringofaring. Di dasar lidah, epiglotis secara fungsional memisahkan orofaring

dan laringofaring (soltani, 2002)

anatomi saluran napas

Jalan nafas mendapat suplai saraf sensoris dari nervus kranialis. Nervus

lingual mempersarafi 2/3 bagian depan lidah, nervus glossofaringeus

mempersarafi 1/3 bagian belakang lidah dan bagian atas faring, tonsil serta

permukaan bawah palatum molle. Nervus vagus mempersarafi jalan nafas di

bawah epiglotis dan bercabang menjadi dua yaitu: nervus laringeus superior,
15

laringeus rekuren dan laringeus interna. Nervus laringeus superior bercabang

menjadi dua bagian yaitu cabang eksterna (motorik) mempersarafi otot-otot

krikoid dan cabang interna mempersarafi epiglotis dan pita suara (Soltani, 2002)

Traktus respiratorius kaya akan reseptor, dengan distribusi terbanyak pada

laring dan pada bagian proksimal trakeobronkial. Terdapat empat tipe reseptor

sensorik pada saluran nafas: (1) reseptor regang yang terdapat pada dinding jalan

nafas, lambat beradaptasi memiliki saraf berdiameter besar dan bermielin; (2)

ujung saraf yang terdapat pada dan di bawah epitelium yang berespon terhadap

stimulus kemikal dan mekanikal, cepat beradaptasi dan memiliki saraf dengan

diameter kecil dan bermielin; (3) reseptor dengan saraf tanpa mielin, polimodal,

distimulasi oleh kerusakan jaringan dan edema, berfungsi sebagai nosiseptor; (4)

reseptor yang khusus untuk rasa dan menelan. Rangsang mekanik akan

menstimulasi mekanoreseptor dan nosiseptor untuk dilanjutkan melalui jaras

aferen.32 Jaras aferen somatik maupun viseral terintegrasi penuh dengan sistem

simfatis di medulla spinalis, batang otak dan pusat yang lebih tinggi (Beggs, et all,

2008; Brunton, et all, 2008)

Laringoskopi dan intubasi merupakan noksius stimuli yang melalui jalur

nyeri (pain pathway) akan menghasilkan respon neuroendokrine. 35 Jaras aferen

dibawa oleh nervus glossofaringeus dari pohon trakeo bronkhial melalui nervus

vagus yang akan mengaktifasi sistem simpatis. Aktifasi sistem simpatis akan

melepaskan katekolamin dari medula adrenal (Brunton, et all, 2008)

Stimulasi jalan nafas atas karena tindakan laringoskopi dan intubasi akan

menyebabkan peningkatan aktifitas simpatis sehingga menyebabkan peningkatan


16

tekanan darah dan denyut jantung (Hara & Maruyama, 2005). Peningkatan

tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan nadi berkisar 20%. Peningkatan

tekanan arteri rerata saat intubasi berkorelasi dengan peningkatan katekolamin

plasma terutama noradrenalin (Zahran & Al-Sukkar, 2003; Lauretti, 2008)

2.3.1 Tujuan Intubasi Endotrakeal

Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan

saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah

aspirasi serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien

operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakeal adalah (Gisele, 2002) :

1. Mempermudah pemberian anesthesia.

2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernapasan.

3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung ( pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk )

4. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

6. Mengatasi obstruksi laring akut


17

2.3.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele tahun 2002

antara lain :

1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi dengan

pemberian suplai oksigen melalui masker nasal

2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan

karbondioksida di arteri

3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau

sebagai bronchial toilet.

4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat

atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi

5. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

6. Trakeostomi.

7. Pada pasien dengan fiksasi vocal cord

2.3.2 Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi

Gambaran klasik yang benar adalah leher dalam keadaan fleksi ringan,

sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air

position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher

(anonim, 2002; gisele, 2002)


18

2.3.3 Persiapan intubasi endotrakeal

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan

memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT

sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan

stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.

Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien

harus setentang dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah

ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi

juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam

dengan oksigen 100 % (Morgan, 2006)

Persiapan untuk intubasi antara lain (Steven & Ore, 2007):

1. Jalur intravena yang adekuat

2. Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot

3. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi

4. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan

blade yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet

5. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi

6. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit

anestesi yang berfungsi

7. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan

darah noninvasive

8. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada

kontraindikasi
19

9. Alat‐alat untuk ventilasi

10. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi

yang tepat

alat intubasi trakea (steven & ore, 2007)

2.3.4 Cara Intubasi Endotrakeal

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop

dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan

lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga

mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring

serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis

diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan

berbentuk huruf V. Jeratan bibir antara gigi dan blade laringoskop sebaiknya

dicegah. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan

melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,

sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior


20

sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet

dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa

balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun

laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. Dada

dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan

auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama.

Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi

intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara

nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara

wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada

ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru

sama.

Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah

epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan

stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan

nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan

kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup (anonim, 2002; Morgan et all,

2006)

2.3.5 Pipa Endotrakeal.

Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung

ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa endotrakeal biasanya

terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan dari bentuk jalan

napas setelah dilembutkan karena terpapar dengan temperature tubuh. Bahan dari
21

ETT juga harus bersifat radiopaq untuk mengetahui posisi ujung distal ke karina

dan transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh

adanya pengembunan uap air pada lumen pipa selama ekshalasi. Bentuk dan

rigiditas ETT dapat diubah dengan penggunaan stylet. Ujung dari pipa dapat

dimiringkan untuk membantu penglihatan dan masuknya melewati pita suara.

Pipa Murphy memiliki lubang ( Murphy Eye ) untuk menurunkan resiko oklusi

bagian bawah pipa yang berbatas langsung dengan carina atau trakea. Resistensi

aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tetapi juga dipengaruhi oleh

panjang dan lekukan pipa. Ukuran ETT biasanya didesain dalam millimeter dari

diameter internal, atau kadang kadang dalam skala French (diameter eksternal

dalam millimeter dikalikan 3). Pemilihan diameter pipa selalu berdasarkan antara

aliran maksimal dengan ukuran besar dan trauma jalan napas yang minimal

(Morgan, et all, 2006; Miller, 2007)

Tabel 1. Panduan Ukuran Pipa Endotrakeal (Morgan, et all, 2006)


22

2.4 Laringeal Mask Airway (LMA)

LMA merupakan alternatif terhadap sungkup muka atau intubasi trakea

untuk pemeliharaan jalan nafas selama anestesi. LMA merupakan konsep baru

manajemen jalan nafas yang telah diterima secara luas dan digunakan di berbagai

situasi. Saat ini diperkirakan lebih dari 200 juta ahli anestesi menggunakan LMA

(Cook T & Walton B., 2009; Matta et al., 1995).

LMA merupakan alat penatalaksanaan jalan nafas supraglotis yang

dirancang dengan seal mengelilingi pintu masuk laring. Brain merekomendasikan

insersi LMA dengan cuff yang tidak dikembangkan. Posisi pasien dengan leher

fleksi dan kepala ekstensi, kemudian LMA didorong menyusuri palatum seperti

memegang pena. Setelah LMA pada tempatnya cuff dikembangkan dan posisinya

dikonfirmasi secara klinis dengan mengobservasi tanda-tanda obstruksi jalan

nafas (Jiwon et al., 2013).

LMA cocok digunakan pada semua pasien, neonatus hingga dewasa,

karena dibuat dalam berbagai ukuran. yang paling banyak digunakan pada wanita

dan pria dewasa adalah ukuran 3,4, dan 5. pada mulanya alat ini di desain pada

pasien-pasien yang bernapas spontan, tetapi pasien dapat juga diventilasi melalui

alat ini (Gwinutt, 2011)

Beberapa pengembangan LMA saat ini (Gwinutt, 2011):

1. Jenis dengan pipa penguat untuk mencegah bengkok

2. LMA proseal: ini memiliki manset posterior tambahan untuk memperkuat

segel diantara sungkup dan laring, dan mengurangi kebocoran pada saat

diventilasi
23

3. I-gel: ini merupakan perkembangan terbaru yang menggunakan materi

padat seperti gel yang sangat mudah dibentuk. dibuat berdasarkan bentuk

anatomi

Dilaporkan bahwa keberhasilan pemasangan LMA klasik pada usaha

pertama dengan teknik standar berkisar antara 76 samapai 96%. Berbagai upaya

dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan insersi dengan memodifikasi teknik

standar Brain. Teknik insersi LMA yang berbeda memiliki angka keberhasilan

yang berbeda (Jiwon et al., 2013; Monem A & Khan FA, 2007).
24

BAB 3
KESIMPULAN

Manajemen pengelolaan jalan napas merupakan salah satu hal yang perlu

mendapat perhatian khusus dalam bidang anestesiologi. Berbagai macam kondisi

dan penyebab dapat menyebabkan terjadi nya gangguan dalam jalan napas sampai

henti napas sehingga perlu mendapat tindakan segera baik dalam pre operatif,

operatif, maupun pada saat tindakan emergensi. Saat ini, sudah ada berbagai alat

dan metode yang dapat mempermudah dalam penatalaksanaan patensi jalan napas.

Perlu juga menilik tentang berbagai macam indikasi dan kontraindikasi dalam

melakukan penatalaksanaan manajemen pengelolaan jalan napas serta komplikasi

yang mungkin dapat terjadi sehingga dapat mengurangi ataupun menurunkan

angka morbiditas dalam melaksanakan tindakan.


25

DAFTAR PUSTAKA

Alkatiri, J., Bakri, S., 2007. Resusitasi Kardio-pulmoner. In: Sudoyo, et al. Ed.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Universitas

Indonesia

Anonymous. Therapies. Introduction to general anesthetics. Update 2007

september 24. Available from: http://www.becomenatural.com/blog.

Arifin, H., 2012. Airway Management. Dalam: Hakim, A.A., et al. Modul

Keterampilan klinik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara

Cook T, Walton B. 2009. The laryngeal Mask Airway. Update in Anesthesia.

http://update.anaesthesiologists.org/wpcontent/uploads/2009/08/Laryngeal

-Mask-Airway.pdf

Cork, C.R., Weiss, L., Juli, H.R., Stuart, Bentley, J. 1984. Fentanyl preloading for

rapid sequence induction of anesthesia. Anesth Analg. 63:60-4.

Dahlgren, N., Messeter, K. 1981. Treatmen of stress respon to laringoskopi and

intubation with fentanyl. Anaesth Journal; 36:1022-26.

Dolan, B., Holt, L., 2008. Trauma Life Support. In: Holt, L., ed. Accident and

Emergency. 2 th ed. Philadelphia: Elseiver,

European Resuscitation council guideline for resuscitation. 2010. section 2: adult

support and use of automared external defibrilator


26

Ghauf, S.M., Singh, V., Kumar, A., Wahal, R., Bhatia, V.K., Agarwal, J. 2002. A

study of cardiovascular response during laryngoscopy and intubation and

their attenuation by ultrashort acting b-blocker esmolol. Indian J.

Anaesth.; 46(2): 104- 6.

Gwinutt, C.L. 2011. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. ed 3. EGC. Jakarta

Hafen, B.Q., Ph.D., Karren, K.J., Ph.D. 2012. Patient Assessment. In: Hafen,

B.Q., Ph.D., Karren, K.J., Ph.D., ed. Prehospital Emergency Care and

Crisis Intervention. 4 th ed. New Jersey: Prentice Hall.

Hagberg, C., Georgi, R., Krier, 2005. Complications of Managing the Aiway. In:

Best Practise and Research Clinical Anaesthesiology. Elsevier 19 (4): 641

Hung, O. 2001. Understanding hemodynamic response to tracheal intubation. Can

J Anesth;48(8):723-26.

Jiwon, A.N., Seo, K.S., Ki, J.K. 2013. Laryngeal Mask Airway Insertion in

Adults:Comparison between Fully Deflated and Partially Inflated

Technique.Yonsei Medical Journal; 54(3): 747-51.

Matta, B.F., Marsh, D.S., Nevin, M. 1995. Laryngeal Mask Airway : A More

Successful Method of Insertion. Journal of Clinical Anesthesia; 7:132-5.

Monem, A., Khan, F.A. 2007. Laryngeal Mask Airway insertion anaesthesia and

insertion technique. J Pak Med Assoc. (57): 607-11

Morgan, E.J., Mikhail, S., Maged, Murray, J.M. 2006. Airway management. In:

Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: A Lange medical book: p. 91-

116.
27

Murphy, F.M. 2000. The critically ill patient. In: Walls M. Ron, editors. Manual

of Emergency airway management. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins. p. 172-79.

Roelofse, J.A., Shipton, E.A., Grotepass, F.W. 1987. A comparison of labetalol,

acebutalol, and lidocaine for controlling the cardiovascular response to

endotracheal intubation for oral surgical procedures. J Oral Maxillofac

Surg;45:835-40.

Roppolo, L.P., Davis, D., Kelly, S.P., Rosen, P., 2007. Airway management. In:

Kene, M., Davis, D., ed. Emergency Medicine Handbook Critical Concept

for Clinical Practice. Philadelphia: Elseiver, 25-43.

Safavi, M.R., Hanormand, A. 2008. A comparison effect of intravenous pethidine

vs sufentanil on attenuation of cardiovascular respon to laringoskopi and

tracheal intubation : a Randomized double-blind placebo controlled trial

study. ICR.Journal;1(4):228-33.

Sherwood, L., 2011. Sistem Pernapasan. Dalam: Sherwood, L., ed. Fisiologi

Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC

Sitohang. R., 2012. Aplikasi System ABCD pada Primary Survey Pasien Trauma.

Dalam: Hakim, A.A., et al. Modul Keterampilan klinik. Medan: Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Smith, T., Davidson, S., 2007. Dokter di Rumah Anda. Jakarta: Dian Rakyat

Steven, Parks, N. 2004. Advanced Trauma Life Support (ATLS) for doctors:

jakarta. Ikatan ahli bedah indonesia (IKABI)


28

Stone, J.D., Gal, J.T. 2000. Airway management. In: Miller’s Anaesthesia.

Philadelphia: churchill livingston. p. 1326-27.

Walls, M.H., 2010. Airway. In: Walls, M.H., ed. Rosen’s Emergency Medicine

Concept and Clinical practice. 7 th ed. Philadelphia: Elsevier, 28-47.

Anda mungkin juga menyukai