Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk
mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju
sarana kesehatan, bantuan fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera (Krisanti,
2009).
Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live Saving.
Artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-
benar efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat
kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit
pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal (Rinaka, 2007).
Seseorang yang mengalami henti napas ataupun henti jantung belum tentu ia
mengalami kematian, mereka masih dapat ditolong. Dengan melakukan tindakan
pertolongan pertama berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan pemeriksaan primary
survey . Primary Survey adalah mengatur pendekatan ke pasien sehingga segera dapat
diidentifiksi dan tertanggulangi dengan efektif. Pemeriksaan primary survey berdasarkan
standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B: pernafasan),
circulation (C: sirkulasi), disability (D: ketidakmampuan), dan exposure (E: penerapan)
(Krisanty,2009).

Unsur penyebab kejadian gawat darurat antara lain karena terjadinya kecelakaan
lalu lintas, penyakit, kebakaran maupun bencana alam. Kasus gawat darurat karena
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama. Penanganan gawat darurat
merupakan pelayanan keperawatan yang komperhensif di berikan pada pasien dengan
injuri akut atau sakit yang mengancam kehidupan. untuk menangani respon pasien pada
resusitasi, syok, trauma dan kegawatan yang mengancam jiwa lainnya, dan salah satu
tempat untuk pasien gawat darurat adalah di Instalasi Gawat Darurat (IGD) (Krisanty,
2009).
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah instalasi untuk menangani kasus- kasus
gawat darurat, seperti panas dan muntah-muntah, diare berat kecelakaan, keracvunan,
korban bencana alam yang membutuhkan penanganan segera untuk menyelamatkan
nyawa dan menghindari kecacatan (Dewi, 2013).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi primary survey
Primary survey adalah mengatur pendekatan pada pasien sehingga segera dapat
dididentifikasi dan tertanggulangi dengan efektif. Pemeriksaan primary survey berdasarkan
standart A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B: pernafasan),
circulation (C: sirkulasi), disability (D: ketidak mampuan), dan exposure (E: penerapan).
Hal ini telah sesuai dengan konsep tentang penilaian awal pasien terutama terdiri atas
primary survey dan sekunder survey. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan
menyediakan metode perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara konsisten
dan menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah – masalah yang
mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran pasien
diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak datang di unit
gawat darurat. (Krisanty , 2009).

Jika primary survey dilakukan atas indikasi kegawatan pasien meliputi pemeriksaan
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure hal ini juga telah sesuai dengan
konsep) pengakajian primary survey airway dan cervikal control (pemeriksaan jalan nafas
dengan kontrol servikal), breating dan ventilation, circulation dan hemmorhage control (
circulation dengan kontrol perdarahan), disability ( menilai kesdaran pasien), exposure dan
environment control ( membuka baju pasien, tetapi cegah hipotermia). (Notoatmojo, 2003).
Primary Survey meliputi :
1). Airway
Manajemen Airway merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat,
oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat
timbul secara mendadak dan total, perlahan – lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau
berulang (Dewi. 2013)
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali
masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
a). Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
b). Ketidakmampuan untuk membuka airwa
c). Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru d).
Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e). Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f). Aspirasi isi lambung

Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Rinaka, 2007). Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara,
dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway
harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya
gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Teknik-teknik mempertahankan airway :
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan
dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda
asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien
dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien
sambil mendorong/ menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha
dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang
sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
perlahan diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal
menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan
telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan
kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).

d. Oropharingeal Airway (OPA)


Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada
pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Krisanty, 2009). Teknik : Posisikan
kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai
dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro- faring dari
tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga
mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat.
Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang
keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa
orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-
faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)
d.Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal
lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah (Arifin, 2012).

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-
faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan jelly (gunakan
kasa yang sudah diberi jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut
(ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal
pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara
(Krisanty, 2009) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
Manajemen airway
Dengan menejemen airway cidera servikal dan manajemen airway non cidera
servikal seperti melakukan posisi jaw trust hal ini telah sesuai dengan konsep yaitu usaha
untuk membedakan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan
patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin
lift” atau “jaw thrust”.
Mengidentifikasi airway terhadap penanganan kegawatdaruratan
Dengan melihat obstruksi jalan nafas apakah terdapat sumbatan. Hal ini telah sesuai
dengan konsep teori yang pertama yang harus dinilai adalah kelancaran airway. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula, atau maksila, fraktur larinks atau trakea. (Notoatmojo, 2003).

Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal,
harus dipakai alat imobilisasi. Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan
ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw
thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Rinaka, 2007).
2). Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2
yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan
CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Dewi. 2013). Airway yang baik tidak
dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dewi, 2013). Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan
untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis
(Krisanty, 2009).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan
oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik. Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup
muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang
dan memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan

g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan
kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
2. Manajemen breathing
Memberikan oksigenasi serta memberikan posisi yang nyaman guna mempertahankan
breathing pada pasien. Hal ini telah sesuai dengan masalah pernafasan pada pasien trauma
terjadi karena kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius
pada status neurologis pasien. Untuk menilai pernafasan, perhatikan proses respirasi spontan
dan cacat kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada untuk
mengetahui penggunaan otot bantu pernafasan dan gerakan naik turunnya dinding dada
secara simetris saat respirasi.
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan
okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2 adalah (1)
untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah, (2) untuk
menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard. Syarat-syarat pemberian O2
meliputi : (1) Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol, (2) Tidak terjadi penumpukan
CO2, (3) mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien dan ekonomis, (5) nyaman
untuk pasien. Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal ini
penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah mengalami humidfikasi
sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2 (Tabung) merupakan udara kering yang
belum terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada
pernafasan.
- Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system, kateter nasal Merupakan suatu alat
sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi 24% – 44%.
– Keuntungan Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan
nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Kerugian tidak dapat
memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit
dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir
nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat. Kanula nasal merupakan suatu alat
sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
- Keuntungan pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah
memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah
ditolerir klien dan nyaman. Kerugian tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari
44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam
kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir. Sungkup muka sederhana merupakan alat
pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi O2 40 – 60%.

- Keuntungan konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal,
system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol. Kerugian tidak dapat memberikan konsentrasi
O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. Sungkup
muka dengan kantong non rebreathing kerupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi
O2 mencapai 99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur
dengan udara ekspirasi. Keuntungan konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%,
tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugian kantong O2 bisa terlipat.
- Penelitian dari aneci, rolly, franly menunjukkan pengaruh pemberian posisi semi fowler
terhadap kestabilan pola napas, bahwa pasien yang setelah diberikan intervensi posisi semi
fowler memiliki rata-rata skor dyspnea. (Buku ajar IPD).
Mengidentifikasi breathing terhadap penanganan kegawatdaruratan
1. Indikasi oksigenasi
Oksigenasi merupakan kebuthan dasar manusia. Selama proses keperawat perawat selalu
melakukan pemenuhan kebutuhan oksigen kepada setiap pasien misalnya pasien dengan
keluhan sesak nafas. Hal ini telah sesuai dengan konsep intervensi selama proses
keperawatan breathing meliputi memberikan oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi
pasien dengan volume tidal yang cukup, gunakan non- rebrether mask dengan reservoir 10 –
12 l/menit.
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2
yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2
yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Dewi. 2013). Airway yang baik tidak dapat
menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dewi, 2013). Menjamin terbukanya
airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang
memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi
kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Krisanty, 2009).

3). Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah , Oleh karena itu penting
melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai
tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. trauma (Krisanty, 2009)
a) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
b) Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.

(C).Nadi

Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis
(kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.

Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Dewi. 2013) :
(1) Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg
sistol
(2) Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
(3) Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
(4) Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg
sistol
Indikator circulation

Melihat status hemodinamik serta status oksigenasi, dalam sirkulasi sangat di pantau guna
mengetahui kondisi dimana ada aliran darah atau oksigen pada pasien yang tersumbat. Hal
ini telah sesuai dengan penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup
evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi dan perfusi. Ada 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemidinamik ini yakni kesadaran,
warna kulit dan nadi.
Syok didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan system sirkulasi untuk
mencukupi kebutuhan tubuh sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara supply
oksigen dengan kebutuhan oksigen. Keadaan ketidakseimbangan ini disebut sebagai
keadaan hipoperfusi. Keadaan hipoperfusi yang dibiarkan akan menjadi suatu global
hipoperfusi yang berakibat turunnya kandungan oksigen darah serta asidosis laktat.
( krisanti, 2009)
Kondisi syok seringkali berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya, seperti
infark miokard, anafilaksis ataupun perdarahan. Keadaan yang menunjukkan kurangnya
volume cairan antara lain: riwayat perdarahan, muntah muntah, diare, kencing yang
berlebihan, kehilangan cairan karena demam,serta pusing akibat hipotensi ortostatik.
Sedangkan riwayat nyeri dada atau gagal jantung penting ditanyakan untuk menyingkirkan
kemungkinan syok kardiogenik. Hemodinamik adalah aliran darah dalam system peredaran
tubuh kita baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva (sirkulasi
dalam paru-paru). Hemodinamik status adalah indeks dari tekanan dan kecepatan aliran
darah dalam paru dan sirkulasi sistemik.( krisanti, 2009)

4). Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-
tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat dalam
mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GCS
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Krisanty P. Dkk, 2009,).
AVPU, yaitu: A: Alert
V : Respon to verbal P : Respon
to pain
U : Unrespon
1. Penilaian status kesadaran
Penilaian status kesadaran dengan memeriksa, kondisi motorik, gangguan neurologi
serta pengkajian GCS pasien. Hal ini telah sesuai dengan konsep teori dari Arifin (2012)
pengkajian disability terdiri dari pengakjian tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, glasgow
coma scale (GCS), atau pada anak tentukan alert (A), respon verbal (V), respon nyeri / pain
(P), tidak berespon / unresponsive (U), dan ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran. Kesadaran dibedakan menjadi, Compos
Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan
untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. Delirium, yaitu gelisah,
disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. Stupor (soporo koma), yaitu
keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. Coma (comatose), yaitu tidak
bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk
perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena
berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.

5). Exposure
Exposure Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi
(Dewi. 2013).
Pengkajian exposure
Mengkaji exposure yaitu dengan melakakukan pemeriksaan head to toe serta
melakukan log roll. Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung
dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan
selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang
sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi (Kristanti, 2009).

Konsep Kegawatdaruratan
1. Pengertian Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi
tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of
Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada
pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya
(Krisanty, 2009).
Menurut Krisanty (2009) Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
a. Mempertahankan hidup
b. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
c. Meningkatkan pemulihan.

Menurut Krisanty (2009) Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :


a. Mengkaji sesuatu
b. Menentukan diagnosis untuk setiap korban
c. Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa korban mungkin
memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan membutuhkan perhatian dari
pada yang lain
d. Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan kondisi serius.
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan adanya suatu cara
yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial aassesment (penilaian awal) dan
meliputi (Trias, 2010) :
a. Persiapan
b. Triase
c. Primary survey (ABCDE)
d. Resusitasi
e. Tambahan terhadap primary survey dan resutisasi
f. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
g. Tambahan terhadap secondary survey

2. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan Penanganan definitif


BAB III
KESIMPULAN

Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk
mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju
sarana kesehatan, bantuan fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera.
Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live Saving. Artinya
seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar
efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan
nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia
dapat menyebabkan kematian yang fatal.
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi
tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of
Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada
pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya.
Menurut Krisanty (2009) Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
a. Mempertahankan hidup
b. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
c. Meningkatkan pemulihan
Primary Survey adalah mengatur pendekatan ke klien sehingga klien segera dapat
diidentifiksi dan tertanggulangi dengan efektif. Pemeriksaan primary survey berdasarkan
standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B: pernafasan),
circulation (C: sirkulasi), disability (D: ketidakmampuan), dan exposure (E: penerapan).
Ada beberapa tekhnik untuk mempertahankan airway diantaranya head tilt, jaw trust,
chin lift, Oropharingeal Airway (OPA), Nasopharingeal Airway dengan tekhnik yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010), Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik, Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Alkatiri, J., Bakri Syakir. 2007. Resusitasi Jantung Paru. Dalam: Sudoyo, Aru S., dkk
(editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Arifin, Lukman. 2012. Laporan Kerja Praktek : Pemetaan Resiko BencanaPasca
Erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Penginderaan Jauh dan SIG, Sekolah Vokasi,
Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Dewi, K.N. 2013. Buku ajar dasar kegawatdaruratan. Yogyakarta: Salemba Medika
Krisanty P. Dkk, 2009, Asuhan kegawat Darurat, Jakarta: Trans Info Media.
Jakarta

Notoatmodjo, 2003. Prinsip Prinsip kesehatan masyarakat. Jakarta : Rinaka Cipta

Smith, T., Davidson, Sue, 2007. Dokter di Rumah Anda. Jakarta: Dian Rakyat, 290-

296.\ Polit & Beck. (2006. Nursing research principle and methods: Lippincott

Williams & Wilkins.

Trias, Welas. 2010. Undang Undang Lalu Lintas No 22 Th 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan. Yogyakarta: New Merah Putih
19

Anda mungkin juga menyukai