Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

“ PRIMARY SURVEY ”

Oleh :

Adinta Agustia N. M. (16.71.0198)

Nining Rahma Primahayu (16.71.0206)

Pembimbing :

dr. R.Christanto.,Sp.An.

dr. Bambang.,Sp.An

SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD NGANJUK
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/perawatan
selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan.
Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan untuk
memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita
dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat
yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan
gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial
mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa
atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. (Maryuani, 2009).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan
nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola
pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai
kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental
control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam
nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi
dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari
10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan
oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena
masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang
lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat
darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8
menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan
kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan
secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk membahas
mengenai pengkajian gawat darurat pada dewasa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen
penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari
satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan
mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
1. Primary survey

2. Resuscitation

3. History

4. Secondary survey

5. Definitive care

2.1 Primary Survey


Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde,
2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap
langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan
jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari
mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons,
1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal
manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah,
kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
2.2 Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika
dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis

Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Smith, Davidson, Sue, 2007). Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara,
dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway
harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya
gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Teknik-teknik mempertahankan airway :
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan
dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda
asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien
dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien
sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha
dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang
sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati
– hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal
menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan
telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan
kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).
d.Oropharingeal Airway (OPA)

Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada


pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Krisanty, 2009).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran
pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa oro- faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa
orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar
pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan
kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-
hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir
lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa,
dengar). Fiksasi pipa oro- faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal
pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

d.Nasopharingeal Airway

Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal


lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah. (ATLS, 2004)

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-
faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan jelly (gunakan
kasa yang sudah diberi jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut
(ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal
pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara
(Krisanty, 2009) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

Trauma Pada servikal

Kejadian kerusakan syaraf akibat trauma ganda ternyata lebih sering daripada yang
diperkirakan. Kerusakaan yang sering terjadi adalah pada syaraf jari, plexus brachialis dan
sumsum tulang belakang (medula spinalis).

Prioritas pengelolaan Primary Survey serta urutan ABCDE :


 A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang leher (cervical spine)
 B-Breathing, bantuan pernafasan
 C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan darah
 D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat
 E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara lengkap semua
kerusakan pada tubuh dan ekstremitas.
Pemeriksaan korban trauma tulang belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa
melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).
 Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling” Harus
dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line immobilization, memasang
stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan kepala.
 Transportasi korban dilakukan dalam posisi netral

Bila terdapat trauma tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan


sumsum tulang belakang, periksalah :
 Apakah ada nyeri tekan.
 Deformitas dan tanda “step-off” posterior
 Pembengkakan
Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah :
 Kesukaran bernafas (pola nafas diafragma, pola nafas paradoksal)
 Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani)
 Hipotensi dengan bradikardia.

Jika tersedia alat sinar X maka foto tulang leher dilakukan pada posisi AP dan posisi
lateral yang menampakkan sendi atlas-axis dan tujuh ruas tulang leher.

2.3 Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan
oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask
(Arifin, 2012):
o Posisikan kepala lurus dengan tubuh

o Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
o Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

o Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka
o Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
o Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
o Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
o Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
o Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup
muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong)
reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.

Penanganan breathing pada trauma thorak


Trauma toraks dibagi dalam dua katagori :
Truma terbuka : disebabkan oleh benda yang menembus dinding dada, seperti pisau atau
peluru, dan juga dapat disebabkan oleh patah tulang iga, dimana ujung tulang iga merobek
dinding dan kulit dada.

Trauma tertutup : dimana kulit dada tidak mengalami kerusakan, biasanya disebabkan oleh
trauma tumpul, seperti kena stir, atau kena benda tumpul.

Tanda yang penting dari trauma toraks terbuka dan tertutup :


 Sakit pada daerah yang luka
 Perubahan pola dan frekuensi nafas (Dyspnea : Kesukaran bernafas dan nafas pendek,
cepaat dan lambat )
 Kegagalan satu sisi atau ke dua sisi dari dada untuk berkembang pada saat inspirasi.
 Hemoptisis
 Nadi cepat dan lemah dan Tekanan darah rendah
Beberapa tahapan untuk penanganan pasien dengan trauma dada :
 Pastikan jalan nafas bebas dan pelihara dengan melakukan manuver chin-lift atau jaw-
thrust dengan melindungi servical spine
 Berikan oksigen dan lakukan tindakan support pernafasan dengan alat mekanik bila perlu
 Kontrol seluruh daerah yang mengalami perdarahan luar
 Tutup luka tembus dengan
 Observasi, catat dan monitoring Vital Sign
 Hati-hati monitor vital sign dan efek dari tindakan dan siapkan untuk dikirim
 Kirim pasien ke Rumah Sakit
Penilaian kualitas pernafasan dengan cara :

 Inspeksi : Ada luka, Perhatikan keseragaman gerak kedua sisi dada saat akhir inspirasi
atau ekspirasi
 Palpasi : Ada kripitasi, Nyeri tekan
 Perkusi : Bunyi sonor, hipersonor, pekak, timpani
 Auscultasi : bising nafas, bising abnormal

Tanda gangguan pernafasan :

 Pernafasan : < 12 atau > 20 kali/menit : berikan oksigen


 Pernafasan : < 10 atau > 30 kali /menit : Bantu pernafasan bila perlu
JENIS TRAUMA THORAK YANG HARUS DIKETAHUI PADA SAAT PRIMARY
SURVEY : ( Consider Immediately Life-Threatening Conditions )

1. TENSION PNEUMOTHORAX

Merupakan suatu pneumothotax yang progresif dan cepat sehingga membayakan jiwa
pasien dalam waktu yang singkat. Udara yang keluar dari paru atau melalui dinding dada
masuk ke rongga pleura dan tidak dapat ke luar lagi (one-way-valve), maka tekanan di
intrapleura akan meninggi , paru-paru menjadi kolap

Penyebab :
 Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
 Komplikasi dari penumotorak sederhana
 Fraktur tulang berlakang toraks

Tanda:
 Nyeri dada
 Sesak
 Distres pernafasan
 Takikardi
 Hypotensi,
 Defiasi trahea
 Hilangnnya suara nafas pada suatu sisi
 Distensi vena leher
 Sianosis

Tindakan :
 Berikan oksigen 15 liter
 Lakukan dekompresi dengan insersi jarum (Needle thoracocentesis)

Cara melakukan needle thoracocentesis

needle thoracocebtesis adalah tindakan merubah tension pneumothorax menjadi simple


pneumothorax dengan cara mengeluarkan udara dalam cavum pleura agar paru-paru dapat
mengembang kembali. Meskipun sederhana tetapi tindakan ini dapat menyelamatkan nyawa
pasien. Berikut adalah cara melakukan needle thoracocentesis:

Diagnosis
Tanda tension pneumothoraks:
1. Pasien terlihat kesulitan bernapas: nafas cepat, dangkal, terdapat sianosis yang tidak
membaik saat diberikan oksigen
2. Trakhea bergeser ke arah paru-paru yang sehat
3. Terdapat pelebaran Vena jugularis di daerah leher

melakukan needle thoracocentesis


1. tentukan lokasi di ICS 2 linea mid clavikula
2. melakukan desinfeksi dan memperkecil lapangan operasi dengan doek lobang
3. Gunakan jarum nomer besar (14) untuk menusuk tepi atas iga ketiga
4. Cabut jarum dari abbocath. Boleh difiksasi boleh tidak
5. siapkan rujukan
2. FLAIL CHEST

Trauma hancur pada sternum atau truama multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan
dua tau lebih garis fractur, sehingga menyebabkan gangguan pergerakan pada dinding dada,
dimana segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding
dada, mengakibatkan pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat terbatas mengakibatkan
terjadi hipoksia yang serius.

Tanda :

Palpasi akan membantu menemukan diagnosa dengan ditemukannya kripitasi iga atau
frictur tulang rawan.

 Foto toraks akan lebih jelas adanya fractur yang multiple


 Pemeriksaan analisa gas darah, dapt ditemukan adanya hipoksia akibat kegagalan
pernafasan
 Pada perkusi adanya suara yang tertinggal
Tindakan :

Pemberian ventilasi yang adekuat dengan oksigen 15 liter/menit yang dilembabkan


Lakukan intubasi Bila diperlukan untuk mencegah terjadinya hipoksia dengan
memperhatikan frekuensi pernafasan dan PaO2Resusitasi cairan, hati-hati kelebihan cairan
Pemberian analgetik

3. HEMOTORAKS

Pengumpulan darah dalam ruang antara pleura viseral dan perietal yang cepat dan banyak.

Tanda :
 Respirasi distres
 Penurunan pernafasan dan gerakan
 Pada perkusi adanay suara teringgal
 Adanay tanda syok hipovolemik
Tindakan :

 Berikan oksigen 15 liter/mt.


 Pasang IV line dengan dua line dengan canule besar dan berikan caiarn untuk suport
sirkulasi
 Pasang chest drain untuk untuk menurunkan respirasi distres yang berkelalanjutan
 Jangan gunakan PASG
 Hipovolemik dapat memperburuk kondisi
 Segera kirim ke RS. Untuk tindakan lebih lanjut

2.3 Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock
didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena
itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman
untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock
dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner,
2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan
secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
a) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
b) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
2.4 Disabilty
2.5 Exposure
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council,
2012) :
A. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat
darurat adalah :

Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis
BAB III
PEMBAHASAN

Pengkajian kegawatdaruratan pada orang dewasa akan berbeda dengan pengkajian


yang dilakukan pada anak-anak dan lanjut usia yang membutuhkan kekhususan dalam
pengkajian maupun penanganannya. Menurut Pedoman The National Institue for Health and
Clinical Excellence (2007) menyatakan orang dewasa berusia sekitar 16 tahun atau lebih.
Hasil survey tahun 2007 dan 2010 menunjukkan bahwa 20% orang dewasa (18-64 tahun) di
Amerika Serikat menggunakan unit gawat darurat (UGD) dan 12 bulan terakhir sekitar 66,0%
orang dewasa memiliki alasan mengunjungi UGD karena mengalami masalah medis yang
serius (Gindhi, Cohen, dan Kirzinger, 2012).
Unit gawat darurat harus selalu dalam keadaan siap siaga. Perawat gawat darurat
harus siap mengenali adanya abnormalitas pada sistem dan berpartisipasi dalam
penatalaksanaan pasien dengan tepat. Berbagai kondisi bisa saja terjadi, sehingga tidak ada
alasan bagi perawat yang tidak dapat mengkaji pasiennya dengan tepat. Mengikuti
pendekatan pengkajian terorganisasi merupakan hal yang sangat penting, tetapi yang paling
penting adalah gagasan harus membuat dan menggunakan secara konsisten pendekatan yang
bermakna bagi setiap individu.
Area pengkajian pertama harus selalu pengkajian sistem kardiovaskuler dan respirasi.
Pengkajian tersebut merupakan pengkajian utama yang dimandatkan pada semua perawat
gawat darurat untuk dilakukan pada semua pasien. Tanda vital merupakan indikator yang
signifikan dari kondisi saat ini dan kondisi berikutnya. Tubuh memiliki mekanisme luar
biasa, dan tanda vital berperan sebagai indikator yang menunjukkan fungsi nmekanisme
kompensasi tersebut. Pengukuran tanda vital menjadi tren (diulang dari waktu ke waktu) dan
sering direkomendasikan di lingkungan gawat darurat sehingga dapat menggambarkan status
pasien secara akurat dan dapat memperkirakan hasil secara efektif (Lyer, P.W., Camp,
N.H.,2005). Pada pasien injury diperlukan penatalaksanaan yang agak berbeda dimana
pengkajian, diagnose, dan tindakan dilakukan secara bersamaan (Fulde, 2009). Pada
pengkajian awal pada pasien dengan trauma, apabila terdapat multiple injury maka dilakukan
pemeriksaan head to toe secara cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka segera
lakukan focused assesment, Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan
pemeriksaan utama, seperti tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran, dan
tampilan umum. Satu aspek yang penting dari pengkajian adalah pembentukan hubungan
terapeutik. Perawat harus memberikan privasi ketika berbicara dengan pasien, dan ia harus
menggunakan sentuhan dan penjelasan verbal untuk meyakinkan pasien sebelum melakukan
pemeriksaan dan prosedur.
Perawat Triase atau staf EMS mengirim pasien ke area pengobatan perawat utama
yang bertanggung jawab untuk perawatan individu selama berada di UGD. Yang harus
dimasukkan dalam perawatan dan harus dilakukan oleh perawat utama adalah pengkajian
pasien yang tepat waktu dan penetapan bukti tertulis pengkajian fisik lengkap pada setiap
pasien. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa perawat harus melakukan pengkajian fisik lengkap
pada pasien. Eksplorasi patofisiologi terkait dan riwayat sebelumnya, selanjutnya
dokumentasikan juga keluhan utama dan pengkajian tanda vital.
Prioritas pengkajian lainnya berkenaan dengan pasien trauma. Pemeriksaan utama
ABCD (airway, breathing, circulation, disability) harus dikaji dan didokumentasikan pada
saat kedatangan sebagai data dasar dan harus mencerminkan konsistensi di semua pengkajian
medis dan keperawatan. Pengkajian mekanisme cedera juga merupakan hal yang sangat
penting. Dalam hal ini petugas EMS juga sangat membantu. Informasi ini akan sangat
menghemat waktu dan menyelamatkan kehidupan dengan mengarahkan fokus klinis ke
struktur internal dan sistem tubuh yang paling rentan terhadap jenis cedera tertentu (Lyer,
P.W., Camp, N.H.,2005). Pengkajian di UGD dirancang untuk mengenali kegawatdaruratan
yang mengancam kehidupan dan mengumpulkan cukup data untuk menentukan prioritas
perawatan dalam waktu yang sangat sempit. Setiap saat, dan untuk setiap pasien, perawat
gawat darurat diharapkan untuk memperoleh dan mengkomunikasikan temuan yang tepat,
termasuk abnormalitas, pemburukan gejala, atau perubahan tingkat keakutan agar dapat
dilakukan penatalaksanaan pasien lebih lanjut
Perawat gawat darurat memberikan perawatan pada seluruh populasi termasuk orang
dewasa yang memiliki beragam pengalaman episodic, tiba-tiba, potensial, mengancam
kesehatan jiwa atau kondisi psikososial (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Untuk itu
diperlukan pengetahuan yang dalam dan pengalaman klinik dalam memberikan perawatan
dalam seluruh rentang kehidupan dan mengelola situasi kegawatdaruratan walaupun dalam
situasi yang ramai dan memerlukan penggunaan teknologi yang kompleks (Curtis, Murphy,
Hoy, dan Lewis, 2009). Menurut Fulde (2009) memberikan gambaran mengenai
penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien yang mengalami injuri, antara lain;
primary survey, resusitasi, history dan secondary survey. Pada secondary survey yang
membedakan antara trauma dan non trauma adalah isi atau content dari prtanyaan yang
ditanyakan atau dikaji, contohnya pada pemeriksaan thoraks jika non trauma maka kita
mengkaji adakah jejas?, adakah krepitasi sedangkan pada non trauma yang kita kaji adalah
adakah suara nafas tambahan, suara bising jantung, adakah penggunaan pace maker.
Sedangkan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) yang menyampaikan bahwa diperlukan
pendekatan yang sistematis dalam melakukan pengkajian pada pasien di unit gawat darurat,
antara lain; pengkajian riwayat kesehatan (history), potensial “bendera merah” (potensi
kritis), pemeriksaan fisik, investigasi dan intervensi keperawatan. Pada gambar 1 dapat dilihat
model pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD. Langkah-
langkah tersebut dapat dilakukan bersamaan dan evaluasi disertai pengkajian ulang sangat
penting dilakukan sebagai kunci dalam proses keperawatan (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis,
2009).

Gambar 1. Pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD (Curtis,
Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009)
Pendekatan sistematis yang digunakan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) dalam
pengkajian pasien dewasa di UGD akan memberikan data yang tepat dan cepat. Langkah
pertama kali adalah pengkajian riwayat kesehatan akan meliputi; riwayat nyeri, gejala yang
berhubungan, riwayat medis terdahulu/riwayat pembedahan sebelumnya, pengobatan, alergi,
periode menstruasi terakhir, kejadian yang signifikan selama 24 jam sebelum sakit/
mekanisme dari cedera, tindakan saat ini untuk mengatasi masalah, dan riwayat sosial.
Langkah kedua adalah pengkajian kritis (potential red flag) yang bertujuan menentukan
keakutan dari penyakit pasien dan kebutuhan tindakan yang segera berdasarkan kombinasi
tanda klinis dan faktor riwayat. Langkah ketiga adalah pengkajian klinis yang mengikuti
mnemonic ABCD (Airway, Breathing, Circulation dan Disability/Neurological function).
Pada langkah ketika ini, intervensi dapat segera dilakukan jika ditemukan ancaman kematian
pada salah satu elemen pengkajian ini, misalnya; jika ditemukan ketidakadekuatan pernafasan
yang diperlukan ventilator maka akan difokuskan pada pengkajian pernafasan sebelum
dilanjutkan ke pengkajian sirkulasi. Selanjutnya tahap keempat adalah investigasi yang
merupakan suatu tindakan dalam pemeriksaan diagnostik dan tes laboratorium untuk
mengidentifikasi perawatan definitive yang tepat. Langkah kelima sebagi langkah terakhir
adalah intervensi keperawatan yang dilakukan bersamaan dengan pengkajian keperawatan.
Hal tersebut didasarkan pada proses keperawatan yang interaktif dan non linear dimana
banyak tindakan yang akan terjadi secara simultan, misalnya ketika mengkaji pasien yang
baru tiba di UGD, sambil menggunakan pakaian pelindung dan alat pelindung diri lainnya
maka akan dilakukan juga pengkajian riwayat penyakit yang dialami (Curtis, Murphy, Hoy,
dan Lewis, 2009). Pengkajian ulang dilakukan sebagai respon pasien terhadap intervensi
keperawatan yang diberikan dan potensial kerusakan yang akan terjadi melalui komunikasi
secara tertulis dan verbal dari langkah pertama.
Berdasarkan dari berbagai format pengkajian yang disampaikan diatas dan tinjaun
teori, kami merangkum bentuk pengkajian keperawatan gawat darurat untuk orang dewasa.
Pengkajian keperawatan gawat darurat ini dapat dilakukan oleh perawat UGD dengan mudah
dan singkat dalam situasi UGD yang krodit. Pengkajian ini dilengkapi dengan diagnosa
keperawatan dan intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada situasi kegawatdaruratan.
Pada lampiran 1 dapat dilihat pengkajian keperawatan gawat darurat pada orang dewasa
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk
mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju
sarana kesehatan, bantuan fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera.

Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live Saving. Artinya
seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar
efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan
nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia
dapat menyebabkan kematian yang fatal.

Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi
tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of
Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada
pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya.
Menurut Krisanty (2009) Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
a. Mempertahankan hidup
b. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
c. Meningkatkan pemulihan
Primary Survey adalah mengatur pendekatan ke klien sehingga klien segera dapat
diidentifiksi dan tertanggulangi dengan efektif. Pemeriksaan primary survey berdasarkan
standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B: pernafasan),
circulation (C: sirkulasi), disability (D: ketidakmampuan), dan exposure (E: penerapan).
Ada beberapa tekhnik untuk mempertahankan airway diantaranya head tilt, jaw trust,
chin lift, Oropharingeal Airway (OPA), Nasopharingeal Airway dengan tekhnik yang
berbeda.
FORMAT PENGKAJIAN GAWAT DARURAT PADA ORANG DEWASA

No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
IDENTITAS

Nama : Jenis Kelamin : L/P Umur :


Agama : Status Perkawinan : Pendidikan :
Pekerjaan : Sumber informasi : Alamat :
TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :

Mekanisme Cedera :

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) :  Baik  Tidak Baik, ... ... ...
AIRWAY
Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten Kriteria Hasil : … … …
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing 
N/A Intervensi :
PRIMER SURVEY

Suara Nafas : Snoring Gurgling 1. Manajemen airway;headtilt-chin


Stridor  N/A lift/jaw thrust
Keluhan Lain: ... ... 2. Pengambilan benda asing dengan
forcep
3. ……
4. ……

BREATHING
Gerakan dada :  Simetris  Asimetris Kriteria Hasil : … … …
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur Intervensi :
Retraksi otot dada :  Ada  N/A 1. Pemberian terapi oksigen … …
Sesak Nafas :  Ada  N/A  RR : ... ... ltr/mnt, via… …
x/mnt 2. Bantuan dengan Bag Valve Mask
Keluhan Lain: … … 3. Persiapan ventilator mekanik
4. ……
5. ……

Diagnosa Keperawatan:
1. Penurunan curah jantung b/d …
……
CIRCULATION
2. Inefektif perfusi jaringan b/d …
……

Nadi :  Teraba  Tidak teraba Kriteria Hasil : … … …


Sianosis :  Ya  Tidak
CRT :  < 2 detik  > 2 detik Intervensi :
Pendarahan :  Ya  Tidak ada 1. Lakukan CPR dan Defibrilasi
Keluhan Lain: ... ... 2. Kontrol perdarahan
3. ……
4. ……

DISABILITY Diagnosa Keperawatan:


1. Inefektif perfusi serebral b/d … …

2. Intoleransi aktivias b/d … … …
PRIMER SURVEY

3. … … …

Respon : Alert  Verbal  Pain  Unrespon Kriteria Hasil : … … …


Kesadaran :  CM  Delirium  Somnolen 
... ... ... Intervensi :
GCS :  Eye ...  Verbal ...  1. Berikan posisi head up 30 derajat
Motorik ... 2. Periksa kesadaran dann GCS tiap 5
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint  menit
Medriasis 3. ………
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada 4. ………
Keluhan Lain : … … 5. ………
Diagnosa Keperawatan:
1. Kerusakan integritas jaringan b/d
………
EXPOSURE 2. Kerusakan mobilitas fisik b/d …
……
3. … … …

Deformitas :  Ya  Tidak Kriteria Hasil : … … …


Contusio :  Ya  Tidak
Abrasi :  Ya  Tidak Intervensi :
Penetrasi : Ya  Tidak 1. Perawatan luka
Laserasi : Ya  Tidak 2. Heacting
Edema : Ya  Tidak 3. ………
Keluhan Lain: 4. ………
……
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor
course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Alkatiri, J., Bakri Syakir. 2007. Resusitasi Jantung Paru. Dalam: Sudoyo, Aru S., dkk (editor).

Arifin, Lukman. 2012. Laporan Kerja Praktek : Pemetaan Resiko BencanaPasca Erupsi
Gunung Merapi tahun 2010. Penginderaan Jauh dan SIG, Sekolah Vokasi,
Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment
process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency
Nursing Journal, 12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.


Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and
Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses
dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.

Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St.
Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical
care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults
aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey,
January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-
june_2011.pdf

Holder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.

Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical
emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuideline
s.aspx.

Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari
http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013

Krisanty P. Dkk, 2009, Asuhan kegawat Darurat, Jakarta: Trans Info Media.

Jakarta

Lombardo, D. (2005). Patient asessment.   In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s


manual of emergency care,  ed 6. Philadelphia: Mosby.  

Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal


Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28
April 2013.

Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005). Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC

Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.

Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info
Media Medis.
O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998). Emergency
Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon & Schuster Co.

Parhusip. (2004). Bronkoskopi. Diakses dari http://repository.usu.ac.id tanggal 28 april 2013.

Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-
hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN
978-0-9571028-2-8.

The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infant, children and
adults. London: The National Institue for Health and Clinical Excellence

Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed. Rina
Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing assessment
documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_Nurs_Asse
ss_Doc_2_10_11.doc

Widjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada diagnosis
stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id tanggal 28 april
2013.

Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.

Anda mungkin juga menyukai