Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

“ABC IN EARLY WARNING SYSTEM”

OLEH :
Cokorda Gede Sananjaya
H1A011015

PEMBIMBING :
dr. Erwin Kresnoadi, M.Si. Med., Sp. An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab kematian prematur dan disabilitas diseluruh

dunia. Angka kematian yang tinggi ditemukan pada daerah yang memiliki sumber

daya terbatas. Diperlukan penanganan yang tepat pada kejadian trauma sehingga

angka kematian dapat ditekan. Penanganan awal dapat dilakukan pada fasilitas

kesehatan tingkat pertama sehingga outcome menjadi lebih baik 1.

Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,

mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan

menyembuhkan. Seperti kita ketahui, dalam penanganan trauma di kenal primary

survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya

terapi definitif. Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus

dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey

dikenal sistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/

Enviromental control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi

prioritas utama penanganan adalah keadaan menjamin jalan nafas terjaga adekuat.

Oleh karena itu, trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan yang cepat

dan efektif untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan2.

Pengelolaan penderita dengan luka parah memerlukan penilaian yang

cepat dan tepat. Penilaian awal ini meliputi tahap persiapan, trease, primary

survey, resusitasi, adjunct, secondary survey, reevaluasi, dan terapi definitif 2,3.
Terdapat banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu

singkat, tetapi kesemuanya berakhir pada satu hasil akhir yakni kegagalan

oksigenasi sel, terutama ke otak dan jantung. Pencegahan hipoksemia

memerlukan airway yang terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup yang

merupakan prioritas yang harus didahulukan keadaan lainnya 2,3.

Persiapan penderita berlangsung dari fase pra rumah sakit hingga ke fase

rumah sakit. Pada fase pra rumah sakit, titik berat diberikan pada penjagaan

saluran nafas, kontrol pendarahan dan syok, immobilisasi penderita, dan segera ke

rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai. Persiapan pada fase rumah

sakit mencakup persiapan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang

diperlukan untuk resusitasi 2,3.

Penilaian primary survey berpatokan pada urutan ABCDE 2,3,4:

 Airway maintenance dengan cervical spine protection

 Breathing dan oxygenation

 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

 Disability-pemeriksaan neurologis singkat

 Exposure dengan kontrol lingkungan


BAB II

PEMBAHASAN

Primary Survey

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan

manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam

kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan

memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang

dilakukan pada primary survey antara lain 2,3,4:

 Airway maintenance dengan cervical spine protection

 Breathing dan oxygenation

 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

 Disability-pemeriksaan neurologis singkat

 Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey

bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah

berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan

berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai

sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,

circulation, dan lain lain, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai

pembagian waktu dalam keterlibatan mereka. Primary survey perlu terus

dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk

perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui

pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment)2,5,6.

Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain:

a) Pengkajian Airway

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa

responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan

ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat

berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Pasien yang tidak

sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang

belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai

terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling

sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar 2,7.

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien

antara lain :

 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara

atau bernafas dengan bebas?

 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara

lain:

 Adanya snoring atau gurgling

 Stridor atau suara napas tidak normal

 Agitasi (hipoksia)

 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest

movements
 Sianosis

 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian

atas dan potensial penyebab obstruksi :

 Muntahan

 Perdarahan

 Gigi lepas atau hilang

 Gigi palsu

 Trauma wajah

 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien

terbuka.

 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada

pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.

 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas

pasien sesuai indikasi :

 Chin lift/jaw thrust

 Lakukan suction (jika tersedia)

 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal

Mask Airway

 Lakukan intubasi

b) Pengkajian Breathing (Pernafasan)

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan

jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada
pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan

adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax,

closure of open chest injury dan ventilasi buatan 2,5,6.

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien

antara lain :

 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan

oksigenasi pasien.

 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah

ada tanda-tanda sebagai berikut : sianosis, luka penetrasi,

flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot

bantu pernafasan.

 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur tulang iga,

subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis

haemothorax dan pneumotoraks.

 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien

jika perlu.

 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut

mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.

 Penilaian kembali status mental pasien.

 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan

 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau

oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen

 Bag-Valve Masker

 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi

penempatan yang benar), jika diindikasikan

 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya

dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

c) Pengkajian Circulation

Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan

oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum

pada trauma. Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,

takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan

capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan

adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup

aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung

mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.

Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:

tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan

anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi

melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
2,4,8
.

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi

pasien, antara lain :


 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.

 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan

pemberian penekanan secara langsung.

 Palpasi nadi radial jika diperlukan:

 Menentukan ada atau tidaknya

 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)

 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

 Regularity

 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau

hipoksia (capillary refill).

 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

d) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities

Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon

suara terhadap rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu

untuk melakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem AVPU

pada keadaan ini lebih jelas dan cepat. Adapun skala AVPU sebagai

berikut 3,5,8:

 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi

perintah yang diberikan

 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang

tidak bisa dimengerti


 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika

ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk

merespon)

 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus

nyeri maupun stimulus verbal.

e) Expose, Examine dan Evaluate

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.

Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi

in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan

pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam

melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya

selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai

dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,

kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang 3,6,7.

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang

mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera

dilakukan:

 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien\

 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa

pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang

berpotensi tidak stabil atau kritis.


BAB II

KESIMPULAN

Trauma dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Trauma dapat

menyebabkan kematian dan dapat menimbulkan disabilitas. Angka kematian yang

tinggi berkorelasi dengan keterbatasan sumber daya dari suatu daerah. Untuk

menekan tingginya morbiditas maka diperlukan penanganan yang baik terutama

pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Penanganan trauma melalui primary

survey yang cepat dengan sistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,

Disability, Exposure/ Enviromental control) dapat menghasilkan outcome yang

baik sehingga pasien dapat diberikan penanganan lebih lanjut pada fasilitas

layanan kesehatan yang lebih tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

1. WHO (2005). Prehospital trauma care systems

2. American college of surgeon (2012). Advanced Trauma Life Support

3. WHO. Emergency & Trauma Care Training Course Basic Trauma,

Anesthesia and Surgical Skills for Frontline Health Providers

4. Cothren, C,. The ABCs of Trauma. Denver Health Medical Center

5. Jim Holliman. Emergency Trauma Care A course on the Early

Management of Victims of Trauma

6. Wardrope, J,. Mackenzie, R (2016). 2 The System of Assessment and Care

of The Primary Survey Positive Patient. Emerg Med J (21), 216-225

7. Griggs, W (2001). Early management of the acute severe trauma patient.

ADF Health (2), 4-11

8. Subba, R,. Punukollu, S,. Swathi, V (2015). Comparison of Avpu with

Glasgow Coma Scale for Assessing Level of Consciousness in Infants and

Children. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences. 14(12), 22-29

Anda mungkin juga menyukai