Anda di halaman 1dari 12

PENGKAJIAN KEGAWATDARURATAN

Tujuan Umum
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami pengkajian
kegawatdaruratan airway, breathing and circulation

Tujuan Khusus
1. Mahasiswa memahami pengertian pengkajian Kegawatdaruratan Airway, Breathing and
Circulation
2. Mahasiswa memahami tujuan pengkajian Kegawatdaruratan Airway, Breathing and Circulation
3. Mahasiswa memahami pengkajian Kegawatdaruratan Airway, Breathing and Circulation
4. Mahasiswa memahami tahapan pengkajian airway
5. Mahasiswa memahami tahapan pengkajian breathing
6. Mahasiswa memahami tahapan pengkajian circulation

Latar Belakang
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen
penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu.
Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai
penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care

A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey
adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan.
Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah
harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah
sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas
sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang
pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian
yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan
mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang
pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher
harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak
sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab
obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan
pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang
harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax,
closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan
kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada
temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :

2
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan
log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat
dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009)

3
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council,
2012) :

4
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council,
2012) :

B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe,
dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,
dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-
fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.

5
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain,
fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
(Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di
bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid of a
hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi
alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini seberapa
sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri?
apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam, ditekan,
ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan
kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di
satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan
10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu
timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda
vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat
badan, dan skala nyeri.

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut Emergency
Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau monitor
tekanan intracranial dengan
6
pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu
dievaluais irama jantung,
frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi
frekuensi, auskultasi suara
nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari peningkatan
usah abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan hal
ini penting bagi pasien dengan
gangguan respirasi, penurunan
kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan di
jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas jantung,
frekuensi jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan vaskuler
perifer. Tekanan sistolik
menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa
kuat darah itu dipompakan.
Tekanan diastolic menunjukkan
fungsi tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di
UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat
badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
kepala (Delp & Manning. 2004).

b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila
terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata
akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran
dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
7
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah
pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan
nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema,
ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus
diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi
akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan
pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga
airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung
(murmur, gallop, friction rub)

e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan
cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita
tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus,
perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,
nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak
akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya
dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi
stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang
harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari
fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau
kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang
kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak
8
tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada
wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi,
jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus
dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika
terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan
straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin
(pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan
minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus
ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk
memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa
untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan
bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita
dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger
serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia
lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada
ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi
menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi
dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau
iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat
trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan
dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal
tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang
muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang
dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan tidak
sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai
sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita
dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan
punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,
ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa
adanya deformitas.

i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat
dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan
yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja,
sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh
tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
9
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi
atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam mengkoordinasi otot),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori

C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey, anamnesis
riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa
negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa tidak
menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah Definitive Assessment (O’keefe
et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan sesuai
masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling banyak dilakukan
dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan
pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.

D. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang
penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin
kelancaran jalan napas. Pertimbangkan
penggunaaan peralatan dengan manfaat yang
optimal dengan risiko yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah seperti
Tension pneumothoraks, hematotoraks
atau trauma thoraks yang lain yang bisa
mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey,


perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi sensori
dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang mungkin
dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis

10
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita dalam
keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary survey, mungkin
akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan dalam.
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ
dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis,
melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab
perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding) (Djumhana,
2011).
2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan
menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih
baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan
mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi
akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat
menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat
tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi seperti emboli
paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan dalam stroke.
Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark
dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan.
Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke
iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT.
scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-
kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh
darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal
(ishak, 2012).
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang suara
dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran
struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz
.Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik.
Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam
tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu
sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah
yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat
menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG
bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)

5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang gawat
darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang dipancarkan akibat
pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film polos
dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien dan menampilkan film
radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling
sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap
radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan
citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma,
tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan
radiologi penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di
11
departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara
bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih
rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang
sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat
bantu pendengaran (Widjaya,2002).

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor course
manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment process:
a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing Journal,
12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.


Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac
Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat
(PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

12

Anda mungkin juga menyukai