Anda di halaman 1dari 21

STEP 7 :

1. Bagaimana langkah-langkah dari Primary Survey?

A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi
akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam
urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil.
Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran
tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal
manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian
intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara
untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang
belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis,
penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok
paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-
tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan
langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin
membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment
harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi
pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

Cara pelaksanaan (harus berurutan dan simultan)

Jalan nafas (airway)


 Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)
 Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
 Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan teknik Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-
hati pada korban trauma
 Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
 Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
 Suctioning bila perlu

Pernafasan (breathing)
 Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada pertukaran hawa panas yang adekuat,
frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas atau tidak

Perdarahan (circulation)
 Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
 Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation  (istirahatkan lokasi luka, kompres es,
tekan/bebat, tinggikan)
 Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi, sianosis, pulsus arteri distal

Susunan Saraf Pusat (disability)


 Cek kesadaran
 Adakah cedera kepala?
 Adakah cedera leher?
 Perhatikan cedera pada tulang belakang

Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental )


 Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah hipotermi/kedinginan.

2. Bagaimana penilaian kesadaran? Apakah hanya GCS saja? Bagaimana cara mengukur score GCS?
a. GCS
i. Mata
4 ; normal
3 ; suara
2 : nyeri , dengan cubit atau menekan kuku
1 ; tidak ada respon
ii. Gerakan
6 ; sesui perintah
5 : diberi rangsang , bisa menunjuk, melokalisir
4 ; diberi nyeri ,disangkal
3 : diberi rangsang nyeri , fleksi
2: ekstensi
1 : tidak ada respon
iii. Verbal
5: bisa diajak bcara
4 : bisa , tapi gak nyambung
3: menjawab per kata
2: mengerang
1 : tidak ada respon

GCS ; untuk mengetahui cedera di kepala

AVPU

b. AVPU
Alert
verbal : suara
pain : respon nyeri
unresponsive

3. Bagaimana interprestasi dari GCS pada skenario tersebut?


E3V4M5 
E3: bisa buka mata pas diajak bicara
V4: jawab dengan kacau
M5 : masih dapat bergerak untuk menyingkirkan rangsangan
SCORE : 12  apatis

4. Mengapa pada pasien timbul suara gurgling, epitaksis dan edema periorbital?
GURGLING
a. Snoringsuara mengorok akibat sumbatan di faring (lidah jatuh ke belakang pada penurunan kesadaran)
b. Gurgling suara berkumur yang menunjukkan adanya cairan/darah/hipersekresi lendir di orofaring
c. Stridordapat terjadi akibat sumbatan parsial benda asing di laring (stridor inspirasi) atau trakea (stridor ekspirasi)

EDEMA PERIORBITAL (+/+)

EPISTAKSIS
DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan
penderita serta para klinisi. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti sendirinya. Epistaksis
terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika
Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior
sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.

LOKASI
Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian depan dipendarahi oleh arteri
etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal
dari arteri carotis interna. Bagian bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina,
merupakan cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang- cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri
labialis superior, dan arteri palatine mayor, yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (Little’ s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

ETIOLOGI
Epistaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau (kelainan sistemik). Beberapa di
antaranya adalah :
1) Etiologi lokal epistaksis dapat berupa:
a. Idiopatik (85% kasus), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.
b. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau
trauma maksilofacial.
c. Iritasi, epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia udara panas pada mukosa hidung.
d. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.

2) Etiologi sistemik epistaksis antara lain:

a. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti ateroklerosis, sirosis hepatis,
sifilis dan nefritis kronis.

b. Kelainan darah, misalnya leukimia, trombositopenia, dan hemofilia.

c. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, mobili, demam tifoid.

d. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause.

Sumber : Ali Imran. 2019. IMPLEMENTASI SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT EPISTAKSIS PADA MANUSIA
MENGGUNAKAN METODE HYBRID CASE BASED DAN RULE BASED REASONING. Jurnal INTI ISSN 2301-9425 (Media Cetak)
Volume 7, No 1, Oktober 2019
5. Apa penyebab dari sumbatan jalan napas?
Hasil penelitian Muflihatin dalam jurnal Berjudul Pengaruh Tindakan Suction Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Perifer
Pada Pasien Yang Rawat Di Ruangan ICU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarida. Penanganan sumbatan jalan napas adalah
seseorang yang gagal napas dan memerlukan pertolongan yang cepat dan tepat sehingga apabila tidak ditangani dengan
cepat akan mengakibatkan kematian. Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal napas adalah obstruksi jalan
napas, termasuk obstruksi pada Endotrakeal Tube (ETT). Obstruksi jalan napas merupakan kondisi yang tidak normal
akibat ketidakmampuan batuk secara efektif, dapat disebabkan oleh :
- Sekresi yang kental atau berlebihan akibat penyakit infeksi
- Imobilisasi
- Statis sekresi
- Batuk tidak efektif karena penyakit persyarafan seperti cerebrovaskular accident (CVA)
- Efek pengobatan sedatif, dan lain – lain(Hidayat, 2009).

Sumber : Akhmad Rifai dan Sugiyarto. 2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Simulasi Pertolongan
Pertama (Management Airway) pada Penyintas dengan Masalah Sumbatan Jalan Nafas pada Masyarakat Awam di Kec.
Sawit Kab. Boyolali. Jurnal Keperawatan Global, Volume 4 No. 2 Desember 2019
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD). Malang :
Penerbit UB Press

6. Apa saja tanda-tanda dari sumbatan jalan napas?

Sumbatan Jalan Nafas Total


Bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10 menit dapat mengakibatkan asfiksi ( kombinasi antara hipoksemia dan
hipercarbi), henti nafas dan henti jantung.

Sumbatan jalan Nafas partial


Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak, sembab otak, sembab paru, kepayahan henti nafas dan henti
jantung sekunder.

(Sumber : Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK UNDIP
Pada pasien dengan kesadaran umum komposmentis, tanda dan gejala obstruksi saluran napas atas, antara lain :
a. distress pernapasan
b. perubahan suara
c. disfagia
d. odinofagia
e. tanda tersedak
f. stridor
g. pembengkakan muka
h. takikardia.

Pada pasien dengan penurunan kesadaran, gejala utama dari obstruksi saluran napas atas adalah :

a. adanya ketidakmampuan untuk ventilasi dengan bag valve mask setelah percobaan membuka jalan napas dengan
teknik jaw thrust. Setelah obstruksi saluran napas atas berlangsung beberapa menit, asfiksia dapat menyebabkan :
- sianosis
- bradikardia
- hipotensi
- kolaps kardiovaskular bersifat ireversibel.
- Kadang-kadang obstruksi saluran napas atas dapat berkembang secara perlahan.

b. Obstruksi hidung atau stridor dipikirkan sebagai tanda spefisik dari obstruksi saluran napas atas. Stridor terdengar
pada semua siklus respirasi, namun biasanya terdengar lebih intensif pada saat inspirasi dan lebih menonjol di
atas leher. Adanya Stridor mengindikasikan obstruksi saluran napas yang berat (aliran udara) itu tidak dapat
membantu penentuan lokasi obstruksi (Jose C, Atul C. 2009)

Sumber : Akhmad Rifai dan Sugiyarto. 2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Simulasi Pertolongan
Pertama (Management Airway) pada Penyintas dengan Masalah Sumbatan Jalan Nafas pada Masyarakat Awam di Kec.
Sawit Kab. Boyolali. Jurnal Keperawatan Global, Volume 4 No. 2 Desember 2019
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD). Malang :
Penerbit UB Press

7. Mengapa pada pasien didapatkan penurunan kesadaran?


saat injury  brain sterm  mengganggu impuls
peningkatan SAP  Peningatan di cerebral  vasokontriksi volume cerbrl turun  icp naik
gargling  sumbatan parsial  kompensasi  pasukan o2 ke otak turun  ilang sadarnya

apa aja yg menyebabkan kesadaran turun dr scenario?


8. Bagaimana hasil interprestasi dari pulse oximetry dan TTV?

INTERPRETASI

a. TD MENURUN (100/60 mmHg)


b. HR MENINGKAT
c. RR MENINGKAT
d. SPO2 NORMAL
CARA KERJA PULSE OXYMETER

Pada prinsipnya Pulse oximeter bekerja berdasarkan transport oksigen dalam darah. Transport oksigen dalam darah ada
dua bentuk yaitu yang terlarut dalam plasma dan terikat dengan hemoglobin. Normalnya, sekitar 97% oksigen yang
ditransport dari paru-paru ke jaringan terikat dengan hemoglobin dan sisanyanya 3 % terlarut dalam plasma. Oleh karena
itu, maka akan terlihat perbedaan tertentu warna darah yang mengandung banyak oksigen dan mengandung sedikit
oksigen. Jika kadar warna merah darah tersebut dapat diketahui maka dapat diketahui pula kadar oksigen darah. Dengan
menggunakan sumber cahaya dapat menembus kulit manusia dan menggambarkan bagaimana spektrum warna darah
dalam kulit tersebut, maka akan dapat diketahui kadar oksigen dalam darah orang tersebut.

Sumber : Umi Salamah dkk. 2020. Validasi Pulse Oximeter dalam Penentuan Kadar Oksigen dalam Darah Jurnal Teori dan
Aplikasi Fisika Vol. 08, No. 02, Juli 2020

9. Apa saja kondisi yang menyebabkan sumbatan jalan napas?


10. Apa saja komplikasi dari sumbatan jalan napas?
11. Apa tujuan dan bagaimana cara melakukan Triple airway manuver?
SUmber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD). Malang :
Penerbit UB Press

12. Mengapa dokter melakukan advanced airway?


Dalam airway manajemen terdapat tiga jenis airway definitive yaitu:
a. pipa orotrakeal
b. pipa nasotrakeal
c. airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain adanya :

- apnea
- ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain
- kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus
- ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
- adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS<8)
- ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan dan pemberian oksigen tambahan lewat
masker wajah ATLS (Advance Trauma Life Support, 2008).

Sumber : Akhmad Rifai dan Sugiyarto. 2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Simulasi Pertolongan
Pertama (Management Airway) pada Penyintas dengan Masalah Sumbatan Jalan Nafas pada Masyarakat Awam di Kec.
Sawit Kab. Boyolali. Jurnal Keperawatan Global, Volume 4 No. 2 Desember 2019

DEFINITIF

a. SURGICAL
- Trakeostomi
- Cricotidroidotomi
b. NON SURGICAL
- Intubasi orotrakeal
- Intubasi nasotrakeal
NON DEFINITIVE
- COMBITUBE
- LMA
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD). Malang :
Penerbit UB Press

13. Bagaimana komplikasi jika pemasangan dari definitive airwaynya gagal?

Anda mungkin juga menyukai