BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/perawatan
selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan.
Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan
untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan
bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu
diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan
asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan
baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak
atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan.
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek
keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten
di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis,
dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun
resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan keperawatan gawat
darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun
jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu,
adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja
di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan data
dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan
yang tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar
pada kasus gawat darurat, maka setiap perawat gawat darurat harus berkompeten dalam
melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat
darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian
awal yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan diberikan kepada pasien.
Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula dapat dilakukan pengkajian
awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat pertolongan sehingga terhindar
dari kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga
jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi
disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure,
enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam
nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas.
Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat
(kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena
kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat
diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari
gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan
cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila
terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih
dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada
penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk membahas
mengenai pengkajian gawat darurat pada dewasa.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda
dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan
manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter
yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara
keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang
meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A. Primary Survey
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien
tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila,
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
d. Toraks
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan
nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk
adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,
untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui
adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,
nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan
intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan
re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk
dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/
gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat
perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan
(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi
pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika
pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang
rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga
membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula
adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler
refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal
dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan
yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta
nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan
dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.
Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat
imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan
leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai
sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada
trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan
epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori
C. Focused Assessment
D. Reassessment
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan
perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui
perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi
lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena
dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan
sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip,
angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur
varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non
variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini
dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat
menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul
akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip,
2004).
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan
menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan
dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu,
alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi
terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan
menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT.
scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak,
kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan
khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah
umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk
menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor,
gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah
yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat
menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan
berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa,
Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,
abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,
metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam
BAB III
PEMBAHASAN
ada alasan bagi perawat yang tidak dapat mengkaji pasiennya dengan tepat. Mengikuti
pendekatan pengkajian terorganisasi merupakan hal yang sangat penting, tetapi yang
paling penting adalah gagasan bahwa setiap perawat harus membuat dan menggunakan
secara konsisten pendekatan yang bermakna bagi setiap individu.
Area pengkajian pertama harus selalu pengkajian sistem kardiovaskuler dan
respirasi. Pengkajian tersebut merupakan pengkajian utama yang dimandatkan pada
semua perawat gawat darurat untuk dilakukan pada semua pasien. Tanda vital
merupakan indikator yang signifikan dari kondisi saat ini dan kondisi berikutnya. Tubuh
memiliki mekanisme luar biasa, dan tanda vital berperan sebagai indikator yang
menunjukkan fungsi nmekanisme kompensasi tersebut. Pengukuran tanda vital menjadi
tren (diulang dari waktu ke waktu) dan sering direkomendasikan di lingkungan gawat
darurat sehingga dapat menggambarkan status pasien secara akurat dan dapat
memperkirakan hasil secara efektif (Lyer, P.W., Camp, N.H.,2005). Pada pasien injury
diperlukan penatalaksanaan yang agak berbeda dimana pengkajian, diagnose, dan
tindakan dilakukan secara bersamaan (Fulde, 2009). Pada pengkajian awal pada pasien
dengan trauma, apabila terdapat multiple injury maka dilakukan pemeriksaan head to toe
secara cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka segera lakukan focused assesment,
Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan
utama, seperti tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran, dan tampilan umum.
Satu aspek yang penting dari pengkajian adalah pembentukan hubungan terapeutik.
Perawat harus memberikan privasi ketika berbicara dengan pasien, dan ia harus
menggunakan sentuhan dan penjelasan verbal untuk meyakinkan pasien sebelum
melakukan pemeriksaan dan prosedur.
Perawat Triase atau staf EMS mengirim pasien ke area pengobatan perawat
utama yang bertanggung jawab untuk perawatan individu selama berada di UGD. Yang
harus dimasukkan dalam perawatan dan harus dilakukan oleh perawat utama adalah
pengkajian pasien yang tepat waktu dan penetapan bukti tertulis pengkajian fisik lengkap
pada setiap pasien. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa perawat harus melakukan
pengkajian fisik lengkap pada pasien. Eksplorasi patofisiologi terkait dan riwayat
sebelumnya, selanjutnya dokumentasikan juga keluhan utama dan pengkajian tanda vital.
Prioritas pengkajian lainnya berkenaan dengan pasien trauma. Pemeriksaan
utama ABCD (airway, breathing, circulation, disability) harus dikaji dan didokumentasikan
pada saat kedatangan sebagai data dasar dan harus mencerminkan konsistensi di semua
pengkajian medis dan keperawatan. Pengkajian mekanisme cedera juga merupakan hal
yang sangat penting. Dalam hal ini petugas EMS juga sangat membantu. Informasi ini
akan sangat menghemat waktu dan menyelamatkan kehidupan dengan mengarahkan
fokus klinis ke struktur internal dan sistem tubuh yang paling rentan terhadap jenis cedera
tertentu (Lyer, P.W., Camp, N.H.,2005). Pengkajian di UGD dirancang untuk mengenali
kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan dan mengumpulkan cukup data untuk
menentukan prioritas perawatan dalam waktu yang sangat sempit. Setiap saat, dan untuk
setiap pasien, perawat gawat darurat diharapkan untuk memperoleh dan
mengkomunikasikan temuan yang tepat, termasuk abnormalitas, pemburukan gejala, atau
perubahan tingkat keakutan agar dapat dilakukan penatalaksanaan pasien lebih lanjut
Perawat gawat darurat memberikan perawatan pada seluruh populasi termasuk
orang dewasa yang memiliki beragam pengalaman episodic, tiba-tiba, potensial,
mengancam kesehatan jiwa atau kondisi psikososial (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis,
2009). Untuk itu diperlukan pengetahuan yang dalam dan pengalaman klinik dalam
memberikan perawatan dalam seluruh rentang kehidupan dan mengelola situasi
kegawatdaruratan walaupun dalam situasi yang ramai dan memerlukan penggunaan
teknologi yang kompleks (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Menurut Fulde (2009)
memberikan gambaran mengenai penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien
yang mengalami injuri, antara lain; primary survey, resusitasi, history dan secondary
survey. Pada secondary survey yang membedakan antara trauma dan non trauma adalah
isi atau content dari prtanyaan yang ditanyakan atau dikaji, contohnya pada pemeriksaan
thoraks jika non trauma maka kita mengkaji adakah jejas?, adakah krepitasi sedangkan
pada non trauma yang kita kaji adalah adakah suara nafas tambahan, suara bising
jantung, adakah penggunaan pace maker. Sedangkan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis
(2009) yang menyampaikan bahwa diperlukan pendekatan yang sistematis dalam
melakukan pengkajian pada pasien di unit gawat darurat, antara lain; pengkajian riwayat
kesehatan (history), potensial “bendera merah” (potensi kritis), pemeriksaan fisik,
investigasi dan intervensi keperawatan. Pada gambar 1 dapat dilihat model pendekatan
sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD. Langkah-langkah tersebut
dapat dilakukan bersamaan dan evaluasi disertai pengkajian ulang sangat penting
dilakukan sebagai kunci dalam proses keperawatan (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis,
2009).
diberikan dan potensial kerusakan yang akan terjadi melalui komunikasi secara tertulis
dan verbal dari langkah pertama.
Berdasarkan dari berbagai format pengkajian yang disampaikan diatas dan tinjaun
teori, kami merangkum bentuk pengkajian keperawatan gawat darurat untuk orang
dewasa. Pengkajian keperawatan gawat darurat ini dapat dilakukan oleh perawat UGD
dengan mudah dan singkat dalam situasi UGD yang krodit. Pengkajian ini dilengkapi
dengan diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada
situasi kegawatdaruratan. Pada lampiran 1 dapat dilihat pengkajian keperawatan gawat
darurat pada orang dewasa
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary
assessment, secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic
procedure.
2. Konsep primary assessment merupakan proses evaluasi awal yang sistematis dan
penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat,
yang meliputi Airway maintenance, Breathing dan oxygenation, Circulation dan
kontrol perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan
Exposure dengan kontrol lingkungan.
3. Konsep secondary assessment yang membahas mengenai proses anamnesis dan
pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan cedera
yang dialami pasien dewasa.
4. Konsep Focused assessment yang membahas mengenai beberapa komponen
apengkajian terfokus yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien
dewasa di gawat darurat.
5. Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian
gawat darurat pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT
scan, USG, dll.
6. Perbedaan proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa dengan kondisi
trauma dan non trauma adalah pada isi pertanyaan yang ditanyakan (content)
pada saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan head to toe yang dilakukan.
IDENTITAS No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
Nama : Jenis Kelamin : L/P Umur :
Agama : Status Perkawinan : Pendidikan :
Pekerjaan : Sumber informasi : Alamat :
TRIAGE P1 P2 P3 P4
PRIMER SURVEY
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :
Mekanisme Cedera :
Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : Baik Tidak Baik, ... ... ...
Diagnosa Keperawatan:
AIRWAY Inefektif airway b/d … … …
Jalan Nafas : Paten Tidak Paten Kriteria Hasil : … … …
Obstruksi : Lidah Cairan Benda Asing N/A
Intervensi :
Suara Nafas : Snoring Gurgling 1. Manajemen airway;headtilt-chin lift/jaw
thrust
N/A
2. Pengambilan benda asing dengan
Keluhan Lain: ... ... forcep
3. … …
4. … …
Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif pola nafas b/d … … …
BREATHING 2. Kerusakan pertukaran gas b/d … …
…
Diagnosa Keperawatan:
1. Penurunan curah jantung b/d … … …
CIRCULATION 2. Inefektif perfusi jaringan b/d … … …
Diagnosa Keperawatan:
1. Kerusakan integritas jaringan b/d …
……
EXPOSURE 2. Kerusakan mobilitas fisik b/d … … …
3. … … …
Diagnosa Keperawatan:
1. Regimen terapiutik inefektif b/d … …
…
ANAMNESA 2. Nyeri Akut b/d … … …
3. … … …
Intervensi :
1. … … …
2. … … …
Alergi :
Medikasi :
Even/Peristiwa Penyebab:
Tanda Vital :
BP : N: S: RR :
Diagnosa Keperawatan:
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. … … …
2. … … …
RONTGEN CT-SCAN USG EKG Kriteria Hasil : … … …
ENDOSKOPI Lain-lain, ... ...
Intervensi :
Hasil : 1. … … …
2. … … …
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Pengertian
Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawat daruratan yang diberikan oleh
perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan diruang gawat darurat
b. Pernapasan
c. Kardiovaskuler
d. Hati
e. Ginjal
f. Pankreas
g. Penyebab Kegagalan Organ:
1) Trauma/cedera
2) Infeksi
3) Keracunan (poisoning)
4) Degenerasi (failure)
5) Asfiksia
6) Kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar (excessive loss of
wafer and electrolit)
7) Dan lain-lain.
Kegagalan sistem susunan saraf pusat, kardiovaskuler, pernapasan
dan hipoglikemia dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (4-
6 menit), sedangkan kegagalan sistem/organ yang lain dapat
menyebabkan kematian dalam waktu yang lebih lama.
E. Standar keperawatan
Standar keperawatan merupakan tingkat pelaksanaan yang perawatnya
memegang tanggung jawab, dan didefinisikan sebagai cara seorang perawat yang
bijaksana akan memberikan peratawan lingkungan yang sama atau serupa. Pada tahun
1983, emergency nurses association (ENA) membuat standar keperawatan untuk
semua perawat profesional yang bekerja di lingkungan gawat darurat. Selanjutnya
standar tersebut berfungsi sebagai rujukan untuk menentukan apakah kelalaian perawat
gawat darurat menyebabkan atau berperan terhadap hasil pasien yang merugikan.
3. Triase bertujuan:
a. Menjaga alur klien di IGD
b. Menetapkan derajat kegawatan
klien
c. Klasifikasi (Kode/Warna)
1) Biru menandakan sangat gawat
darurat dan membutuhkan
bantuan sesegera mungkin
2) Merah menandakan Gawat dan
Darurat
3) Kuning menandakan Darurat tidak gawat
4) Hijau menandakan Tidak gawat dan tidak daurat
f. Panas tinggi
2. Kehilangan
a. Menolak/tidak percaya
b. Marah
c. Tawar menawar
d. Depresi
e. Menerima
f. Prinsip tindakan keperawatan adalah untuk keluarga pasien yang meninggal:
1) Cek agama agar dapat memberikan asuhan yang sesuai agama pasien
2) Empati akan kondisi keluarga; menunjukkan ekspresi muka tenang dan
tersenyum, menatap keluarga
3) Mendengar aktif keluhan
4) Berdiri di samping keluarga dengan tenang
5) Memberikan lingkungan yang tenang,
6) Memberikan dukungan sesuai agama
K. Pencegahan Infeksi
Jenis tindakan beresiko penularan:
1. Resiko rendah
Kontak langsung dengan kulit, tidak terpapar darah langsung. Misalnya; melakukan
penyuntikan, perawatan luka ringan. Alat pelindung sarung tangan.
2. Resiko sedang
Adanya kemungkinan terkena darah namun tidak ada cipratan. Misalnya;
membersihkan ceceran darah, perawatan luka berat, pemasangan infus, penanganan bahan
pemeriksaan laboratorium. Alat pelindung; sarung tangan, mungkin perlu baju pelindung
3. Resiko tinggi
Adanya kemungkinan terkena darah dan kemungkinan terciprat, perdarahan masif.
Misalnya; tindakan bedah mayor, bedah mulut, penghentian perdarahan masif, persalinan
pervagina. Alat pelindung; sarung tangan, gaun pelindung, kaca mata kerja, masker, sepatu
bot.
c. Sakit sedang
d. Sakit ringan
2. Kesadaran (penilaian dengan GCS)
a. Alert/sadar lingkungan
b. Verbal/menjawab pertanyaan
c. Pain/nyeri
d. Unresponsive/tidak bereaksiss
3. Primer ( Basic Life Support)
a. ABC (Airways, Breathing, Circulation) pada pasien tanpa penyakit jantung
maupun kecelakaan.
b. CAB (Circulation, Airways, Breathing) pada pasien yang mengalami cardiac
arrest.
4. Sekunder
a. Drug, Defibrilation
b. EKG dan Exposure
c. Fibrilator (dengan Defibrilation Cirulation Shock)
d. Gaughing (tanyakan penyebab cardiac arrest)
e. Human Mentation (memulihkan fungsi jiwa)
O. Peran & Fungsi Perawat Gadar
1. Fungsi Independen
2. Fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian asuhan (Care)
3. Fungsi Dependen Fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi
lain
4. Fungsi Kolaboratif Kerjasama saling membantu dalam program kesehatan.
(Perawat sebagai anggota Tim Kesehatan)
5. Merawat & menjaga keutuhan alat agar siap pakai
6. Sebagai operator untuk alat kedokteran : ekg, defibrilator, respirator, nebulizer,
monitor jantung, air viva dll.
7. Sebagai pemberi askep pasien gawat darurat selama 24 jam terus menerus
berkesinambungan, turut serta dalam klb.
P. Kemampuan Minimal Perawat UGD (Depkes, 1990)
1. Mengenal klasifikasi pasien berdasarkan triase
2. Mampu mengatasi pasien : syok, gawat nafas, gagal jantung paru otak, kejang,
koma, perdarahan, kolik, status asthmatikus, nyeri hebat daerah pinggul & kasus
ortopedi.
3. Mampu melaksanakan dokumentasi asuhan keperawatan gawat darurat
4. Mampu melaksanakan komunikasi eksternal dan internal
5. Membuka & membebaskan jalan nafas (airway)
6. Memberikan ventilasi pulmoner & oksigenisasi (breathing)
7. Memberikan sirkulasi artificial dengan jalan kompresi jantung (circulation)
8. Menghentikan perdarahan, balut bidai, transportasi, pengenalan & penggunaan obat
resusitasi, membuat & membaca rekaman EKG.
k. Diagnosis kematian
g. Surat Keterangan Kematian
h. Penyidikan medikolegal untuk forensik klinik : kejahatan susila, child abuse,
aborsi dan kerahasiaan informasi pasien
i. Permasalahan dalam KGD dapat dicegah dengan :
j. Mematuhi standart operating procedure (SOP)
k. Melakukan pencatatan dengan bebar meliputi mencatat segala tindakan,
mencatat segala instruksi dan mencatat serah terima.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan