Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

1. PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER


2. ISU END OF LIFE DI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
3. MEKANISME TRAUMA

DOSEN PEMBIMBING : Ns. Yana Setiawan, S.Kep,. M Kep

DISUSUN OLEH :
- Putri Nurfadillah

INSTITUT MEDIKA Drg.SUHERMAN


PRODI S1 KEPERAWATAN
PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fokus keperawatan gawat darurat ini pada pengembangan pengetahuan, skill dan perilaku
dengan penerapan prinsip-prinsip dan konsep pemberian asuhan keperawatan klien yang
mempunyai masalah aktual dan potensial yang mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya
secara mendadak atau tidak dapat diperkirakan dan tanpa disertai kondisi lingkungan yang
tidak dapat dikendalikan, dilaksanakan, dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi.
Asuhan keperawatan secara umum meliputi: pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi. Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian
primer meliputi A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai
kontrol servikal, B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekuat, C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan, D:
Disability, mengecek status neurologis, E: Exposure, enviromental control, buka baju
penderita tapi cegah hipotermia (Basoeki, 2008). Pengkajian primer bertujuan
mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer
dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara
bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway
Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab
kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun
bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan
pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan
kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu
pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien
(Mancini, 2011).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengkajian primer?
2. Apa saja komponen-komponen dalam pengkajian primer?
3. Apa saja yang dilakukan pada saat pengkajian primer?

C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih spesifik pengkajian primer pada pasien
kegawatdaruratan

b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud dengan pengkajian primer.
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami komponen-komponen dalam pengkajian
primer.
3. Mahasiswa mampu mengetahui apa-apa saja yang dilakukan pada saat pengkajian primer.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pengkajian Primer


Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakam
tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah
keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan, oleh karena itu
pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat, ssehingga seluruh kebutuhan perawatan
klien dapat diidentifikasi.
Pengkajian primer merupakan tahap kedua dari enam tahapan manajemen perawatan trauma,
yang bertujuan untuk mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien.
Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas.Tahapan pengkajian
primer meliputi A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai
kontrol servikal, B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekuat, C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan, D:
Disability, mengecek status neurologis, E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita
tapi cegah hipotermia (Basoeki, 2008).
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary
survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :

- Airway maintenance dengan cervical spine protection


- Breathing dan oxygenation
- Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
- Disability-pemeriksaan neurologis singkat
- Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah
harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah
sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas
sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti
airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam
keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik
adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai
serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
B. Pengkajian Primer
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009):
1. General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Pengkajian Airway
Patofisiologi Airway + C-Spine Control
Pada penderita trauma kemampuan sistem respiratorik dalam menyediakan oksigen yang
adekuat dan pelepasan karbondioksida akan terganggu kemungkinan karena :
 Hipoventilasi akibat hilangnya penggerak usaha bernafas, yang biasanya disebabkan
oleh penurunan fungsi neurologis.
 Hipoventilasi akibat adanya obstruksi aliran udara pada jalan nafas atas dan bawah.
 Hipoventilasi akibat penurunan kemampuan paru untuk mengambang.
 Hipoksia akibat penurunan absorpsi oksigen melalui membran alveolar-kapiler.
 Hipoksia akibat penurunan aliran darah ke alveoli.
 Hipoksia akibat ketidakmampuan udara untuk mencapai alveolus, biasanya karena
terisi oleh air atau debris.
 Hipoksia pada tingkat seluler akibat penurunan aliran darah ke sel jaringan.
Tiga komponen pertama diatas merupakan keadaan hipoventilasi akibat penurunan
volume per menit. Jika tidak ditangani, maka hipoventilasi akan mengakibatkan
penumpukan karbon dioksida, asidosis, metabolisme anaerobic, dan kemudian kerusakan
sel, dan dapat berakhir dengan kematian. Pengelolaan yang harus diberikan meliputi usaha
memperbaiki frekuensi dan kedalaman pernafasan penderita, yaitu dengan mengoreksi
semua masalah yang ada pada jalan nafas dan pemberian bantuan nafas.
Petugas harus antisipasi kemungkinan muntah pada semua penderita trauma. Adanya
cairan gaster di orofaring menandakan kemungkinan aspirasi yang dapat terjadi secara
mendadak. Trauma pada wajah merupakan keadaan lain yang memerlukan perhatian
segera. Mekanisme perlukan biasanya adalah penumpang mobil yang tanpa sabuk
pengaman dan kemudian terlempar ke kaca depan saat tubrukan. Trauma pada bagian
tengah wajah (mid face) dapat menyebabkan fraktur dislokasi yang dapat mengganggu oro
atau naso faring.
Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yang meningkat serta
ovulasi gigi yang menambah masalah pada jalan masalah. Fraktur ramus mandibula,
terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan gangguan jalan nafas
pada posisi terlentang.
Penderita yang menolak untuk berbaring mungkin ada gangguan jalan nafas. Perlukaan
daerah leher mungkin ada gangguan jalan nafas karena rusaknya laring atau trakea atau
karena perdarahan dalam jaringan lunak yang menekan jalan nafas.
Pada saat penilaian awal, ini untuk sementara menjamin adanya airway yang baik.
Karena itu, tindakan paling utama adalah berusaha berbicara dengan penderita. Jawaban
yang adekuat menjamin airway yang baik, pernafasan yang baik serta perfusi ke otak yang
baik. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan kesadaran, gangguan
pada pernafasan.
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan
bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
c. Look
Lihat apakah penderita kesadaran berubah. Bila penderita gelisah, kemungkinan paling
besar adalah hipoksia. Pada trauma kapitis maka penderita gelisah disebabkan :
 Hipoksia.
 Buli-buli penuh
 Nyeri dari tempat lain (fraktur dsb).
 Trauma kapitisnya sendiri
Sianosis dapat dilihat pada buku dan sekitar mulut. Perhatikan adanya penggunaan
otot pernafasan tambahan.
d. Listen
Pernafasan yang berbunyi adalah pernafasan yang ter-obstruksi :
 Mengorok (snoring) : lidah jatuh ke belakang.
 Bunyi cairan (gurgling) : darah atau cairan.
 Stridor/crowing disebabkan obstruksi parsial faring atau laring.
e. Feel
Rasakan pergerakan udara ekspirasi, dan tentukan apakah trakea terletak di garis
tengah.

f. Jika terjadi bstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka
g. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang beresiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
h. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi:
 Chin lift
Cara : memakai jari-jari dua tangan yang diletakkan dibawah mandibula untuk
kemudian mendorong dagu anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan
bibir bawah untuk menekan mulut.
Bila diperlukan ibu jari dapat diletakkan dalam mulut di belakang gigi seri
untuk mengangkat dagu. Tindakan chin lift ini tidak boleh mengakibatkan
hiperekstensi leher. Tindakan chin lift ini bermanfaat pada penderita trauma
karena tidak mengakibatkan kelumpuhan bila ada fraktur servikal.
 Jaw thrust
Cara : tindakan ini dilakukan memakai dua tangan masing-masing satu tangan
di belakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini
dilakukan memakai face-mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut
sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik.
 Head tilt
Cara : letakkan 1 telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga
kepala menjadi tengadah dan penyangga lidah tegang akhirnya lidah terangkat
ke depan.
 Orofaringeal airway (guedel/mayo tube)
Orofaringeal airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang
lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah memakai tong spatel dan
masukkan alat ke arah posterior.
Alat tidak boleh mendorong lidah ke belakang dan malah menyumbat faring.
Alat ini tidak boleh dipakai pada penderita sadar karena akan menyebabkan
muntah dan kemudian aspirasi.
Cara lain adalah dengan memasukkan alat secara terbaik sampai menyentuh
palatum mole, lalu diputar 180 derajat dan diletakkan di belakang lidah. Teknik
ini tidak boleh dipakai pada anak kecil karena mungkin mematahkan gigi.
 Nasofaringeal airway
Alat ini dimasukkan salah satu lubang hidung lalu secara perlahan dimasukkan
sehingga ujungnya terletak di faring.
Alat ini lebih baik dari pada orofaringeal airway pada penderita sadar karena
tidak akan menyebabkan muntah dan lebih ditolerir penderita. Alat ini harus
dilunasi dengan baik dan dimasukkan ke dalam lubang hidung yang tampak
tidak tersumbat. Bila pada saat pemasangan ditemukan hambatan, berhenti dan
pindah ke lubang hidung yang lain. Bila ujung alat ini tampak di orofaring,
mungkin akan dapat dipasang Nasogastric Tube (NGT) pada penderita dengan
fraktur tulang wajah.
 Jalan nafas definitif
Jalan nafas definitif adalah suatu pipa dalam trachea dengan balon yang
berkembang dan biasanya memerlukan suatu bentuk ventilasi bantuan dengan
juga memakai oksigen. Ada tiga jenis airway definitif yakni nasotracheal,
orotracheal atau surgical (Crico-Throidomi atau Tracheostomy).
Indikasi untuk pemasangan jalan nafas definitif adalah :
 Apnue.
 Kegagalan menjaga jalan nafas dengan cara lain.
 Proteksi jalan nafas terhadap aspirasi darah atau muntahan.
 Kemungkinan terganggunya jalan nafas karena perlukaannya sendiri seperti luka
bakar inhalasi, fraktur tulang atau kejang-kejang.
 Trauma kapitis yang memerlukan hiperventilasi.
 Kegagalan memberikan cukup oksigen melalui face-mask.
Urgensi dan keadaan saat itu menentukan pilihan airway. Ventilasi assisted
dapat dibantu sedasi, analgesia atau muscle relaxant. Pemakaian pulse oxymeter
dapat membantu dalam menentukan indikasi jalan nafas definitif yang tersering
dipakai adalah nasotracheal dan orotracheal. Kemungkinan adanya fraktur
servikal merupakan perhatian utama.
 Intubasi orotracheal
Pada setiap penderita tidak sadar dengan trauma kapitis tentukanlah perlunya
intubasi. Bila penderita dalam keadaan apnue, intubasi dilakukan oleh dua
orang, dengan satu petugas melakukan imobilisasi segaris. Setelah pemasangan
orotracheal tube, balon dikembangkan dan dimulai ventilasi assisted.
Penempatan ETT yang tepat dapat diperiksa dengan auskultasi kedua paru. Bila
terdengar bunyi pernafasan ETT sudah benar. Terdengarnya suara dalam daerah
lambung terutama pada inspirasi, memperkuat dengan bahwa ETT terpasang
dalam esofagus dan menuntut intubasi.
 Intubasi nasotracheal
Intubasi nasotracheal bermanfaat pada fraktur servikal, catatan: disini
dimaksudkan “blind naso-tracheal intubations” apnue adalah kontra indikasi
yang lain adalah fraktur tulang wajah yang berat atau fraktur basis cranii
anterior. Perhatikan akan adanya fraktur servikal adalah sama seperti pada
intubasi orotracheal. Pemilihan jenis intubasi terutama tergantung pada
pengalaman dokter. Kedua cara di atas aman bila dilaksanakan dengan benar.
Penutupan kartilago krikoid oleh seorang asisten bermanfaat untuk mencegah
terjadinya aspirasi dan visualisasi jalan nafas yang lebih jelas (disebut sebagai
Sellick Maneuver).
Malposisi ETT harus dipertimbangkan pada semua penderita yang datang
dengan sudah terpasang ETT. Malposisi dapat dengan ETT terdorong lebih jauh
masuk ke bronkus, atau tercabut selama transportasi. Kembungnya daerah
epigastrium harus diwaspadai akan kemungkinan malposisi ETT. Foto toraks
dapat membantu diagnosis letak ETT yang benar, namun tidak menyingkirkan
kemungkinan intubasi esofagus.
Bila keadaan penderita memungkinkan dapat dipakai teknik endoskopi
fiberoptik dalam pemasangan ETT. Ini terutama diindikasikan pada fraktur
maksilofasial dan fraktur servikal dan penderita dengan leher pendek. Bila
keadaan-keadaan di atas menghambat intubasi oro atau nasotracheal dapat
langsung ke surgical ericothyroidotomy.
 Airway surgical
Ketidakmampuan intubasi trakea adalah indikasi jelas untuk surgical airway.
Bila edema glottis, fraktur laring atau perdarahan oropharingeal airway yang
berat menghambat intubasi trakea dapat dipertimbangkan surgical airway.
Pemasangan jarum (Needle Cricothyroidotomy) merupakan cara sementara untuk dalam keadaan
emergency memberikan oksigen sampai dapat dipasang surgical airway.
1. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Penentuan adanya jalan nafas yang baik barulah langkah yang pertama yang penting, langkah
kedua adalah memastikan bahwa ventilasi yang cukup. Ventilasi dapat terganggu karena sumbatan
jalan nafas, tetapi juga dapat terganggu oleh mekanika pernafasan atau depresi Susunan Saraf
Pusat (SSP). Bila pernafasan tidak bertambah baik dengan perbaikan jalan nafas, penyebab lain
dari gangguan ventilasi harus dicari. Trauma langsung ke thoraks dapat menjadi dangkal dan
selanjutnya, hipoksemia. cedera servikal rendah dapat menyebabkan penafasan diafragma
sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi.
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan
pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang
harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax,
closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : sianosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
 Perhatikan peranjakan thoraks simetris atau tidak. Bila asimetris pikirkan kelainan
intratorakal atau flail chest. Setiap pernafasan yang sesak harus dianggap sebagai
ancaman terhadap oksigenisasi.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur tulang iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada. Bising nafas yang berkurang atau
menghilang pada satu atau kedua hemi thoraks menunjukkan kelainan intra torakal.
Berhati-hatilah terhadap takipnea karena mungkin disebabkan hipoksia.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan
kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan.
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
Oksigenisasi sebaiknya diberikan melalui suatu masker yang terpasang baik dengan
flow 10-12 liter/menit.
Cara memberikan oksigen lain (nasal kateter, kanul dsb) dapat memperbaiki
oksigenisasi. Karena perubahan kadar oksigen darah dapat berubah cepat, dan tidak
mungkin dikenali secara klinis, maka harus dipertimbangkan pulse oksimeter bila di
duga ada masalah intubasi atau ventilasi. Ini termasuk pada saat transport penderita
luka parah. Nilai normal saturasi O2 adalah lebih dari 95%.
 Bag-Valve Masker
Ventilasi yang cukup dapat tercapai dengan teknik mouth to face atau bag-valve-face-
mask. Seringkali hanya satu petugas tersedia,namun lebih efektif bila ada petugas
kedua yang memegang face mask. Intubasi mungkin memerlukan beberapa kali usaha
dan tidak boleh menggangu oksigenisasi. Dengan demikian lebih baik pada saat mulai
intubasi petugas menarik nafas dalam dan menghentikan usaha pada saat petugas harus
inspirasi.
Bila sudah intubasi, ventilasi dapat dibantu dengan bagging, atau lebih baik memakai
respirator. Dokter harus selalu waspada terhadap baro trauma (akibat positive pressure
ventilation) yang dapat mengakibatkan pneumotorax atau malah tension pneumotorax
akibat bagging yang terlalu bersemangat.
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.

2. Pengkajian Circulation
Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia
adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill,
dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang
mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus
diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
- Menentukan ada atau tidaknya
- Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
- Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
- Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi.

3. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

A - Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan.
V - Vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti.
P - responds to Pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang
digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon).
U - Unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus
verbal.

4. Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki
cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll
ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi
pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011). Dalam situasi yang diduga
telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus
segera dilakukan:

5. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien.


6. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien dan mulai melakukan
transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009).

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien.
Pengkajian primer menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari pengkajian
primer adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada pengkajian primer antara lain (Fulde, 2009) :

1. Airway maintenance dengan cervical spine protection.


2. Breathing dan oxygenation.
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal.
4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat.
5. Exposure dengan kontrol lingkungan.

B. SARAN
Penulis banyak berharap para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada
umumnya. Terima kasih.
ISU END OF LIFE DI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
BAB I
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AND OF LIFE


merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan kenyamanan seseorang yang
mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan
kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,
2015). End of life akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada
dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat
meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life merupakan bagian penting dari
keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan. End of
life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya dan meninggal
dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan membantu
memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan
bahwa End of life care merupaka salah satu tindakan keperawatanyang difokuskan pada orang
yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup
dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.

B. Prinsip-Prinsip End Of Life


Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :
1. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun ketika hidup
tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan kenyamanan dan
martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam
melakukannya.
2. Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk diberitahu tentang
kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka memiliki hak untuk menerima atau
menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup.Pemberi perawatan memiliki kewajiban
etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan-pilihan sesuai dengan
pedoman.
3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan yang
terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk mengakomodasi
kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi untuk mempertahankan
hidup mungkin diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk membuat
keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan keputusan, dengan
mempertimbangkan keinginan pasien.
5. Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk memastikan
bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan keputusan dan hasilnya
harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat didokumentasikan.
6. Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus bergantung
hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai dan keinginan
pasien.
7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak rasional,
khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.Pasien memiliki hak untuk
menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk
memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar hukum.
8. Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki intervensi
yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien maupun kepada
keluarga.

C. Teori The Peaceful End of Life (EOL) 


Teori Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria utama dalam perawatan end of life pasien
yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa nyaman,  3) merasa berwibawa dan dihormati,  4) damai, 5)
kedekatan dengan anggota keluarga dan pihak penting lainnya.
1. Terbebas dari Nyeri
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama diinginkan pasien
dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life). Nyeri merupakan ketidaknyamanan
sensori atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan
jaringan (Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).
2. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive oleh Kolcaba (1991)
sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan damai, dan apapaun yang
membuat hidup terasa menyenangkan ” (Ruland and Moore, 1998).
3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan
Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai sebagai manusia”
(Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini memasukkan ide personal tentang nilai, sebagai
ekspresi dari prinsip etik  otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini
individu diperlakukan sebagai orang yang menerima hak otonomi, dan mengurangi hak
otonomi orang sebagai awal untuk proteksi (United states, 1978).
4. Merasakan Damai
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas, (bebas) dari
kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan” (Ruland & Moore, 1998). Tenang
meliputi fisik, psikologis, dan dimensi spiritual.
5. Kedekatan untuk kepentingan lainnya
Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara manusia dengan orang yang
menerima pelayanan” (Ruland & Moore, 1998). Ini melibatkan kedekatan fisik dan emosi
yang diekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan yang dekat (intim).

D. Perbedaan Mati Klinis dan Biologis


Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya aktivitas
otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan
kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013)
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis tidak dilakukan
resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis akan mati
dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya tahan
hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi secara tidak
bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Perbedaan Mati Klinis (Clinical Death) Mati Biologis (Biological Death)


Tanda Berhentinya detak jantung, denyut nadi Kematian yang terjadi akibat

dan pernafasan. degenerasi jaringan di otak dan

organ lainnya.
Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan ginjal Beberapa organ akan mati (tidak

akan tetap hidup saat terjadi mati klinis. dapat berfungsi kembali) setelah

mati biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat digunakan Organ dalam tubuh tidak dapat

tubuh sebagai transplantasi. digunakan untuk transplantasi.


Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat kembali
Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis dan

Pemeriksaan Neurologis
Suhu Tubuh Hipertermia (> 36oC) dan terkadang Hipotermia (< 36oC)

ditemui Hipotermia
Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil

2) Berhentinya denyut nadi 2) Berhentinya semua reflek

3) Berhentinya pernafasan spontan. 3) Berhentinya respirasi tanpa

bantuan

4) Berhentinya aktivitas

cardiaovaskuler

5) Gambaran gelombang otak datar


A. Isu End Of Life

1. Konsep Do Not Resucitation

Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana

dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh

pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk

menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau

cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan

yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan

tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika seorang

dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary

resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter

setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat keputusan dalam

keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).

American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not Resuscitate) dengan

istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak

melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha

resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi kematian

secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi

yang dilakukan akan berhasil jika kita berusaha (Brewer, 2008).

Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008) melibatkan tiga prinsip

moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan nonmalefecience,

ketiga prinsip tersebut merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena

terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan asuhan

keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan secara optimal, tetapi

disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan penghentian tindakan.

2. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien atau seseorang

yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien. Semua hal yang

didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja yang mengikuti diskusi,

dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi diskusi serta rincian perselisihan

apapun dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan orang yang paling efektif dalam

membimbing diskusi dengan mengatasi kemungkinan manfaat langsung dari resusitasi

cardiopulmonary dalam konteks harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien. Formulir DNR

harus ditandatangani oleh pasien atau oleh pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya

oleh pasien jika pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas kesahatan.

Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui secara hukum mewakili pasien

seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan kesehatan,

konservator, atau pasangan / anggota keluarga lainnya. Dokter dan pasien harus

menandatangani formulir tersebut, menegaskan bahwa pasien akan diakui secara hukum

keputusan perawatan kesehatannya ketika telah memberikan persetujuan instruksi DNR

( EMSA).

Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi menentukan keputusan DNAR

yaitu, dokter harus menentukan penyakit/kondisi pasien, menyampaikan tujuan, memutuskan

prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari resusitasi (CPR), memberikan rekomendasi

berdasarkan penilaian medis tentang manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus

hadir dalam diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga dalam

pengambilan keputusan ( Breault 2011).

3. Peran Perawat dan pelaksanaan DNR

Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter dalam memutuskan

DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien.Setelah rencana diagnosa DNR diambil

maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi mengenai kondisi pasien dan rencana

diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian informasi bersama- sama

dengan dokter ( Amestiasih, 2015). Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap
memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya,

perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa

mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat

memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori

keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa

sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan kesempatan

untuk dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya (Amestiasih, 2015).

Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai keputusan pasien/keluarganya

sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan perawat, karena perawat tidak

dibenarkan membuat keputusan untuk pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat

keputusan (Kozier et al, 2010). Pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan

advokasi pasien dapat bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama

pasien/keluarganya kepada tim medis.

Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif terhadap

perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka bekerja, dan diharapkan dapat

berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah DNAR. Perawat berperan

sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga tentang keputusan yang mereka ambil

dan memberikan informasi yang relevan terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam

memutuskan cara mereka untuk menghadapi kematian.

4. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR

Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada penyakit kronis adalah

merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan perawat, karena ketidakpastian

prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang alat pendukung

kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena kurangnya kejelasan dalam peran

tenaga profesional dalam melakukan tindakan atau bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun

dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang kematian adalah sangat penting

(Adams, Bailey Jr, Anderson, dan Docherty (2011).


Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari sisi tindakan keperawatan

tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien

berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi

Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP

yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu, dan lebih membawa

kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun imateril, maka pelaksanaan RJP

tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).

Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan prinsip etik yang

digunakan dalan pelaksanan DNR yaitu:

a. Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati secara legal, tentunya hal

tersebut memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi secara baik, perawat secara

kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk membicarakan

hak otonomi pasien/keluarganya, melalui informed consent, pasien dan keluarga telah

menentukan pilihan menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun

umumnya pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Pada

prinsip etik otonomy, perawat memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-

cara yang baik dan tidak menghakimi pasien/keluarga dengan menerima saran/masukan,

tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan

Sampurna, 2009).

b. Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi mengandung arti

bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik berdasarkan keterangan-

keterangan yang diberikan perawat. Pada etik ini, perawat memberikan informasi akurat

mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup

pasca resusitasi, termasuk efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan,

serta penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar.

Data-data dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam

menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna, 2009).


c. Prinsip etik nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak

membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut Hilberman, Kutner J, Parsons dan

Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien

mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan

otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak permanen (brain death), tingkat kerusakan

otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan

tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.Pada etik ini, perawat

membantu dokter dalam mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak

terutama pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.

Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa penelitian menyebutkan bahwa

masih didapatkan komunikasi yang kurang baik antara perawat dan pasien/keluarganya

mengenai pelaksanaan pemberian informasi proses akhir kehidupan, sehingga keluarga

tidak memiliki gambaran untuk menentukan/mengambil keputusan, serta pengambilan

keputusan pada proses menjelang kematian masih didominasi oleh perawat, sebaiknya

perawat berperan dalam memberikan dukungan, bimbingan, tetapi tidak menentukan

pilihan terhadap pasien/keluarganya tentang keputusan yang akan dibuat.

5. Dilema Etik

Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilema bagi

tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan

Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya bahwa prosedur

pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di

ICU dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation),

dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan

pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat

akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa,

pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan
memperpanjang kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan

bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya dilakukan

tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri (Depkes, 2011).

Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan timbulnya

penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilema itu sendiri.

Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber

informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak dapat terhindar dari perasaan

dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien, membuat rencana

DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian

tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba

dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat menjadikan perawat

merasa dilemma (Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh perawat

karena DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan DNR yang ada dan

tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki perawat. Perasaan empati yang muncul

juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas pertemuan antara perawat dengan pasien

(Elpern, et al. 2005)


MEKANISME TRAUMA

BAB I

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Trauma

1. Mekanisme Trauma

Mekanisme cedera mengacu pada bagaimana proses orang mengalami cedera. Cedera

mungkin disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, tembakan dan sebagainya.

Kemampuan menganalisa mekanisme cedera akan membantu anda memperkirakan keadaan

dan tingkatan dari cedera sebagai dasar prioritas keputusan anda untuk melakukan pengkajian

lanjutan, penanganan kegawat daruratan dan transportasi.

a. Kinetika Trauma

Trauma sebagian besar disebabkan oleh hasil benturan dua obyek atau tubuh dengan yang

lainnya. Kinetis, adalah “cabang dari ilmu mekanika mengenai pergerakan dari suatu

benda atau badan”. Jadi mengerti akan proses kinetis sangat membantu dalam memahami

mekanisme cedera dan trauma. Seberapa parah cedera seseorang tergantung pada kekuatan

dan dengan benda apa ia berbenturan atau sesuatu yang membenturnya. Kekuatan ini

tergantung pada energi yang ada benda atau tubuh yang bergerak. Energi yang terdapat

pada tubuh yang bergerak disebut sebagai energi kinetis.

b. Massa dan Kecepatan


Besarnya energi kinetis pada tubuh yang bergerak tergantung pada dua factor: Massa

(berat) tubuh dan kecepatan tubuh. Energi kinetis dihitung dengan cara ini: Massa (berat

dalam pounds), aktu kecepatan (speed in feet per second/ kecepatan dalam kaki perdetik)

pangkat dua dibagi dua. Secara singkat rumusnya adalah : Energi Kinetis = (Massa x

Kecepatan2)/2 Rumus ini mengilustrasikan bahwa bila massa benda yang bergerak adalah

dua kali (double) lebih besar aka energi kinetis juga akan dua kali lebih besar. Anda bisa

terluka dua kali lebih parah jika anda terkena 2 pound batu dibandingkan jika terkena 1

pound batu yang dilempar dengan kecepatan yang sama Namun kecepatan ternyata

merupakan factor yang lebih berpengaruh daripada massa. Misalkan anda terkena

lemparan batu dengan kecepatan 1 kaki per detik, kemudian terkena lemparan batu dengan

jarak 2 kaki perdetik. Batu yang dilempar 2 kaki perdetik tidak akan menyebabkan dua kali

lebih parah daripada satu kaki perdetik, tapi empat kali lebih parah karena factor kecepatan

yang dipangkatkan dua.

c. Biomekanik Trauma adalah proses / mekanisme kejadian kecelakaan pada sebelum, saat

dan setelah kejadian.

 Akselerasi

Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma.

Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi);

sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada

luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.

 Deselerasi

Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya

terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan

terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti

bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang

merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau

oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.


2. Mekanisme Trauma tumpul

a. Trauma kompresi atau crush injury terhadap organ viscera akibat pukulan langsung. Kekuatan

seperti ini dapat merusak organ padat maupun orang berongga dan bisa mengakibatkan ruptur,

terutama organ-organ yang distensi, dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis.

b. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ visceral sebenarnya adalah crush injury yang

terjadi bila suatu alat pengaman tidak digunakan dengan benar.

c. Trauma decelerasi pada tabrakan motor dimana terjadi pergerakan yang terfiksir dan bagian

yang bergerak, seperti suatu ruptur lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak ) dengan

ligamennya (organ yang terfiksir). Trauma tumpul pada pasien yang mengalami laparotomi.

d. Trauma Thoraks

Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma tajam, terdapat

luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot ataupun lebih

dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis. Dapat juga menembus

lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh

darah besar di mediastinum.

Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan jaringan

yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi tidak cukup besar, hanya akan menimbulkan

desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan mengambil bentuk semula

bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak dari luar mungkin tidak memberi

gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada,

yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan pembentukan hematoma inter atau intra otot,

yang kadang kala cukup luas, sehingga berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak

seperti mengalami dispnea.

Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang iga,

mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi fraktur

pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi

unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.


Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi trauma

dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan kemudi atau setir

mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan sangat tinggi

yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil tersebut mampu

menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan rongga pericardium ataupun hematoma

dinding jantung yang akan meredam gerakan sistolik dan diastolik.

Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari iga dalam

kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau pneumotoraks, bahkan tidak

tertutup kemungkinan terjadi “Tension Pneumotorax”, karena terjadi keadaan dimana alveoli

terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka pleura parietalis yang

menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga pleura. Tension pneumotoraks

selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi penurunan ventilasi antara 15 – 20

%.Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran mediastinum kearah kontralateral dan

selanjutnya bahkan akan mendesak paru kontralateral yang berakibat sangat menurunnya

kapasitas ventilasi.

Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling sering

dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma toraks

didapati adanya darah pada rongga pleura. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi

paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang

disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga

dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak

memerlukan intervensi operasi.

Trauma yang sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas adalah

a. Trauma kepala

b. Fraktur

 Terbuka : bisa dilihat dengan adanya tulang yang menusuk kulit dari dalam dan

biasanya diikuti dengan perdarahan


 Tertutup : bisa diketahui dengan melihat bagian yang dicurigai mengalami

pembengkakkan, terdapat kelainan bentuk berupa sudut yang bisa mengarah ke

samping, depan atau belakang. Disertai dengan nyeri gerak, nyeri tekan dan

adanya pemendekan tulang

Fraktur biasnya terjadi pada ekstremitas baik atas maupun ektremitas bawah

c. Trauma dada

Paling sering adalah fraktur iga, kontusio paru, hemothoraks.

Trauma yang terjadi dalam kasus ini adalah trauma tumpul.

Mekanisme trauma bertujuan mencari cedera lain yang saat ini belum tampak dengan

mencari tahu:

 Dimana posisi penderita saat kecelakaan: pengemudi

 Posisi setelah kecelakaan: terlempar keluar, tergeletak di jalan

 Kerusakan bag luar kendaraan: bag depan hancur, kaca depan pecah,

 Kerusakan bag dalam mobil: tidak di jelaskan

 Sabuk pengaman, jarak jatuh, ledakan dll: tidak di jelaskan

Dari skenario diketahui.

Mobil kijang pick-up melaju kencangnabrak tiang listrik sampai bengkokbagian depan mobil hancur

dan kaca depan pecah sopir terlempar keluar multipel trauma(kemungkinan cedera seluruh tubuh).

Pada kasus:

 Luka lecet pada kepala  trauma ringan pada kepala

 Fraktur iga

 Memar pada dada kanan  kontusio paru

 Fraktur femur tertutup

Anda mungkin juga menyukai