DISUSUN OLEH :
- Putri Nurfadillah
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengkajian primer?
2. Apa saja komponen-komponen dalam pengkajian primer?
3. Apa saja yang dilakukan pada saat pengkajian primer?
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih spesifik pengkajian primer pada pasien
kegawatdaruratan
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud dengan pengkajian primer.
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami komponen-komponen dalam pengkajian
primer.
3. Mahasiswa mampu mengetahui apa-apa saja yang dilakukan pada saat pengkajian primer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
f. Jika terjadi bstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka
g. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang beresiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
h. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi:
Chin lift
Cara : memakai jari-jari dua tangan yang diletakkan dibawah mandibula untuk
kemudian mendorong dagu anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan
bibir bawah untuk menekan mulut.
Bila diperlukan ibu jari dapat diletakkan dalam mulut di belakang gigi seri
untuk mengangkat dagu. Tindakan chin lift ini tidak boleh mengakibatkan
hiperekstensi leher. Tindakan chin lift ini bermanfaat pada penderita trauma
karena tidak mengakibatkan kelumpuhan bila ada fraktur servikal.
Jaw thrust
Cara : tindakan ini dilakukan memakai dua tangan masing-masing satu tangan
di belakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini
dilakukan memakai face-mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut
sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik.
Head tilt
Cara : letakkan 1 telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga
kepala menjadi tengadah dan penyangga lidah tegang akhirnya lidah terangkat
ke depan.
Orofaringeal airway (guedel/mayo tube)
Orofaringeal airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang
lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah memakai tong spatel dan
masukkan alat ke arah posterior.
Alat tidak boleh mendorong lidah ke belakang dan malah menyumbat faring.
Alat ini tidak boleh dipakai pada penderita sadar karena akan menyebabkan
muntah dan kemudian aspirasi.
Cara lain adalah dengan memasukkan alat secara terbaik sampai menyentuh
palatum mole, lalu diputar 180 derajat dan diletakkan di belakang lidah. Teknik
ini tidak boleh dipakai pada anak kecil karena mungkin mematahkan gigi.
Nasofaringeal airway
Alat ini dimasukkan salah satu lubang hidung lalu secara perlahan dimasukkan
sehingga ujungnya terletak di faring.
Alat ini lebih baik dari pada orofaringeal airway pada penderita sadar karena
tidak akan menyebabkan muntah dan lebih ditolerir penderita. Alat ini harus
dilunasi dengan baik dan dimasukkan ke dalam lubang hidung yang tampak
tidak tersumbat. Bila pada saat pemasangan ditemukan hambatan, berhenti dan
pindah ke lubang hidung yang lain. Bila ujung alat ini tampak di orofaring,
mungkin akan dapat dipasang Nasogastric Tube (NGT) pada penderita dengan
fraktur tulang wajah.
Jalan nafas definitif
Jalan nafas definitif adalah suatu pipa dalam trachea dengan balon yang
berkembang dan biasanya memerlukan suatu bentuk ventilasi bantuan dengan
juga memakai oksigen. Ada tiga jenis airway definitif yakni nasotracheal,
orotracheal atau surgical (Crico-Throidomi atau Tracheostomy).
Indikasi untuk pemasangan jalan nafas definitif adalah :
Apnue.
Kegagalan menjaga jalan nafas dengan cara lain.
Proteksi jalan nafas terhadap aspirasi darah atau muntahan.
Kemungkinan terganggunya jalan nafas karena perlukaannya sendiri seperti luka
bakar inhalasi, fraktur tulang atau kejang-kejang.
Trauma kapitis yang memerlukan hiperventilasi.
Kegagalan memberikan cukup oksigen melalui face-mask.
Urgensi dan keadaan saat itu menentukan pilihan airway. Ventilasi assisted
dapat dibantu sedasi, analgesia atau muscle relaxant. Pemakaian pulse oxymeter
dapat membantu dalam menentukan indikasi jalan nafas definitif yang tersering
dipakai adalah nasotracheal dan orotracheal. Kemungkinan adanya fraktur
servikal merupakan perhatian utama.
Intubasi orotracheal
Pada setiap penderita tidak sadar dengan trauma kapitis tentukanlah perlunya
intubasi. Bila penderita dalam keadaan apnue, intubasi dilakukan oleh dua
orang, dengan satu petugas melakukan imobilisasi segaris. Setelah pemasangan
orotracheal tube, balon dikembangkan dan dimulai ventilasi assisted.
Penempatan ETT yang tepat dapat diperiksa dengan auskultasi kedua paru. Bila
terdengar bunyi pernafasan ETT sudah benar. Terdengarnya suara dalam daerah
lambung terutama pada inspirasi, memperkuat dengan bahwa ETT terpasang
dalam esofagus dan menuntut intubasi.
Intubasi nasotracheal
Intubasi nasotracheal bermanfaat pada fraktur servikal, catatan: disini
dimaksudkan “blind naso-tracheal intubations” apnue adalah kontra indikasi
yang lain adalah fraktur tulang wajah yang berat atau fraktur basis cranii
anterior. Perhatikan akan adanya fraktur servikal adalah sama seperti pada
intubasi orotracheal. Pemilihan jenis intubasi terutama tergantung pada
pengalaman dokter. Kedua cara di atas aman bila dilaksanakan dengan benar.
Penutupan kartilago krikoid oleh seorang asisten bermanfaat untuk mencegah
terjadinya aspirasi dan visualisasi jalan nafas yang lebih jelas (disebut sebagai
Sellick Maneuver).
Malposisi ETT harus dipertimbangkan pada semua penderita yang datang
dengan sudah terpasang ETT. Malposisi dapat dengan ETT terdorong lebih jauh
masuk ke bronkus, atau tercabut selama transportasi. Kembungnya daerah
epigastrium harus diwaspadai akan kemungkinan malposisi ETT. Foto toraks
dapat membantu diagnosis letak ETT yang benar, namun tidak menyingkirkan
kemungkinan intubasi esofagus.
Bila keadaan penderita memungkinkan dapat dipakai teknik endoskopi
fiberoptik dalam pemasangan ETT. Ini terutama diindikasikan pada fraktur
maksilofasial dan fraktur servikal dan penderita dengan leher pendek. Bila
keadaan-keadaan di atas menghambat intubasi oro atau nasotracheal dapat
langsung ke surgical ericothyroidotomy.
Airway surgical
Ketidakmampuan intubasi trakea adalah indikasi jelas untuk surgical airway.
Bila edema glottis, fraktur laring atau perdarahan oropharingeal airway yang
berat menghambat intubasi trakea dapat dipertimbangkan surgical airway.
Pemasangan jarum (Needle Cricothyroidotomy) merupakan cara sementara untuk dalam keadaan
emergency memberikan oksigen sampai dapat dipasang surgical airway.
1. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Penentuan adanya jalan nafas yang baik barulah langkah yang pertama yang penting, langkah
kedua adalah memastikan bahwa ventilasi yang cukup. Ventilasi dapat terganggu karena sumbatan
jalan nafas, tetapi juga dapat terganggu oleh mekanika pernafasan atau depresi Susunan Saraf
Pusat (SSP). Bila pernafasan tidak bertambah baik dengan perbaikan jalan nafas, penyebab lain
dari gangguan ventilasi harus dicari. Trauma langsung ke thoraks dapat menjadi dangkal dan
selanjutnya, hipoksemia. cedera servikal rendah dapat menyebabkan penafasan diafragma
sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi.
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan
pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang
harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax,
closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : sianosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
Perhatikan peranjakan thoraks simetris atau tidak. Bila asimetris pikirkan kelainan
intratorakal atau flail chest. Setiap pernafasan yang sesak harus dianggap sebagai
ancaman terhadap oksigenisasi.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur tulang iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada. Bising nafas yang berkurang atau
menghilang pada satu atau kedua hemi thoraks menunjukkan kelainan intra torakal.
Berhati-hatilah terhadap takipnea karena mungkin disebabkan hipoksia.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan
kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan.
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Oksigenisasi sebaiknya diberikan melalui suatu masker yang terpasang baik dengan
flow 10-12 liter/menit.
Cara memberikan oksigen lain (nasal kateter, kanul dsb) dapat memperbaiki
oksigenisasi. Karena perubahan kadar oksigen darah dapat berubah cepat, dan tidak
mungkin dikenali secara klinis, maka harus dipertimbangkan pulse oksimeter bila di
duga ada masalah intubasi atau ventilasi. Ini termasuk pada saat transport penderita
luka parah. Nilai normal saturasi O2 adalah lebih dari 95%.
Bag-Valve Masker
Ventilasi yang cukup dapat tercapai dengan teknik mouth to face atau bag-valve-face-
mask. Seringkali hanya satu petugas tersedia,namun lebih efektif bila ada petugas
kedua yang memegang face mask. Intubasi mungkin memerlukan beberapa kali usaha
dan tidak boleh menggangu oksigenisasi. Dengan demikian lebih baik pada saat mulai
intubasi petugas menarik nafas dalam dan menghentikan usaha pada saat petugas harus
inspirasi.
Bila sudah intubasi, ventilasi dapat dibantu dengan bagging, atau lebih baik memakai
respirator. Dokter harus selalu waspada terhadap baro trauma (akibat positive pressure
ventilation) yang dapat mengakibatkan pneumotorax atau malah tension pneumotorax
akibat bagging yang terlalu bersemangat.
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
2. Pengkajian Circulation
Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia
adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill,
dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang
mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus
diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
- Menentukan ada atau tidaknya
- Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
- Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
- Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi.
A - Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan.
V - Vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti.
P - responds to Pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang
digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon).
U - Unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus
verbal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien.
Pengkajian primer menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari pengkajian
primer adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada pengkajian primer antara lain (Fulde, 2009) :
B. SARAN
Penulis banyak berharap para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada
umumnya. Terima kasih.
ISU END OF LIFE DI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
BAB I
PEMBAHASAN
organ lainnya.
Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan ginjal Beberapa organ akan mati (tidak
akan tetap hidup saat terjadi mati klinis. dapat berfungsi kembali) setelah
mati biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat digunakan Organ dalam tubuh tidak dapat
Pemeriksaan Neurologis
Suhu Tubuh Hipertermia (> 36oC) dan terkadang Hipotermia (< 36oC)
ditemui Hipotermia
Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil
bantuan
4) Berhentinya aktivitas
cardiaovaskuler
Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana
dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh
pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk
menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan
yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan
tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika seorang
dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary
resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter
setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat keputusan dalam
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not Resuscitate) dengan
istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak
melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha
resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi kematian
secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008) melibatkan tiga prinsip
moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan nonmalefecience,
ketiga prinsip tersebut merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena
keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan secara optimal, tetapi
2. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien atau seseorang
yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien. Semua hal yang
didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja yang mengikuti diskusi,
dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi diskusi serta rincian perselisihan
apapun dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan orang yang paling efektif dalam
cardiopulmonary dalam konteks harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien. Formulir DNR
harus ditandatangani oleh pasien atau oleh pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya
oleh pasien jika pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas kesahatan.
Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui secara hukum mewakili pasien
seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan kesehatan,
konservator, atau pasangan / anggota keluarga lainnya. Dokter dan pasien harus
menandatangani formulir tersebut, menegaskan bahwa pasien akan diakui secara hukum
( EMSA).
Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi menentukan keputusan DNAR
prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari resusitasi (CPR), memberikan rekomendasi
berdasarkan penilaian medis tentang manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus
hadir dalam diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga dalam
Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter dalam memutuskan
DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien.Setelah rencana diagnosa DNR diambil
maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi mengenai kondisi pasien dan rencana
diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian informasi bersama- sama
dengan dokter ( Amestiasih, 2015). Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap
memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya,
perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa
mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat
memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori
keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa
sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan perawat, karena perawat tidak
dibenarkan membuat keputusan untuk pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat
keputusan (Kozier et al, 2010). Pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan
advokasi pasien dapat bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif terhadap
perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka bekerja, dan diharapkan dapat
berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah DNAR. Perawat berperan
sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga tentang keputusan yang mereka ambil
dan memberikan informasi yang relevan terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam
Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada penyakit kronis adalah
merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan perawat, karena ketidakpastian
prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang alat pendukung
kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena kurangnya kejelasan dalam peran
tenaga profesional dalam melakukan tindakan atau bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun
dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang kematian adalah sangat penting
tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien
berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi
Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP
yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu, dan lebih membawa
kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun imateril, maka pelaksanaan RJP
tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan prinsip etik yang
a. Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati secara legal, tentunya hal
kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk membicarakan
prinsip etik otonomy, perawat memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-
cara yang baik dan tidak menghakimi pasien/keluarga dengan menerima saran/masukan,
tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan
Sampurna, 2009).
bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik berdasarkan keterangan-
keterangan yang diberikan perawat. Pada etik ini, perawat memberikan informasi akurat
mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup
pasca resusitasi, termasuk efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan,
serta penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar.
Data-data dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam
Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien
mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan
otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak permanen (brain death), tingkat kerusakan
otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan
tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.Pada etik ini, perawat
membantu dokter dalam mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak
terutama pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.
masih didapatkan komunikasi yang kurang baik antara perawat dan pasien/keluarganya
keputusan pada proses menjelang kematian masih didominasi oleh perawat, sebaiknya
5. Dilema Etik
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilema bagi
tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya bahwa prosedur
pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di
ICU dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation),
dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan
pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat
akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa,
pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan
memperpanjang kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan
bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya dilakukan
tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri (Depkes, 2011).
Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan timbulnya
penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilema itu sendiri.
Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber
informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak dapat terhindar dari perasaan
dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien, membuat rencana
DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian
tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba
dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat menjadikan perawat
merasa dilemma (Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh perawat
karena DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan DNR yang ada dan
tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki perawat. Perasaan empati yang muncul
juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas pertemuan antara perawat dengan pasien
BAB I
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Trauma
1. Mekanisme Trauma
Mekanisme cedera mengacu pada bagaimana proses orang mengalami cedera. Cedera
mungkin disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, tembakan dan sebagainya.
dan tingkatan dari cedera sebagai dasar prioritas keputusan anda untuk melakukan pengkajian
a. Kinetika Trauma
Trauma sebagian besar disebabkan oleh hasil benturan dua obyek atau tubuh dengan yang
lainnya. Kinetis, adalah “cabang dari ilmu mekanika mengenai pergerakan dari suatu
benda atau badan”. Jadi mengerti akan proses kinetis sangat membantu dalam memahami
mekanisme cedera dan trauma. Seberapa parah cedera seseorang tergantung pada kekuatan
dan dengan benda apa ia berbenturan atau sesuatu yang membenturnya. Kekuatan ini
tergantung pada energi yang ada benda atau tubuh yang bergerak. Energi yang terdapat
(berat) tubuh dan kecepatan tubuh. Energi kinetis dihitung dengan cara ini: Massa (berat
dalam pounds), aktu kecepatan (speed in feet per second/ kecepatan dalam kaki perdetik)
pangkat dua dibagi dua. Secara singkat rumusnya adalah : Energi Kinetis = (Massa x
Kecepatan2)/2 Rumus ini mengilustrasikan bahwa bila massa benda yang bergerak adalah
dua kali (double) lebih besar aka energi kinetis juga akan dua kali lebih besar. Anda bisa
terluka dua kali lebih parah jika anda terkena 2 pound batu dibandingkan jika terkena 1
pound batu yang dilempar dengan kecepatan yang sama Namun kecepatan ternyata
merupakan factor yang lebih berpengaruh daripada massa. Misalkan anda terkena
lemparan batu dengan kecepatan 1 kaki per detik, kemudian terkena lemparan batu dengan
jarak 2 kaki perdetik. Batu yang dilempar 2 kaki perdetik tidak akan menyebabkan dua kali
lebih parah daripada satu kaki perdetik, tapi empat kali lebih parah karena factor kecepatan
c. Biomekanik Trauma adalah proses / mekanisme kejadian kecelakaan pada sebelum, saat
Akselerasi
sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada
luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
Deselerasi
terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan
terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti
bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang
merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau
a. Trauma kompresi atau crush injury terhadap organ viscera akibat pukulan langsung. Kekuatan
seperti ini dapat merusak organ padat maupun orang berongga dan bisa mengakibatkan ruptur,
b. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ visceral sebenarnya adalah crush injury yang
c. Trauma decelerasi pada tabrakan motor dimana terjadi pergerakan yang terfiksir dan bagian
yang bergerak, seperti suatu ruptur lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak ) dengan
ligamennya (organ yang terfiksir). Trauma tumpul pada pasien yang mengalami laparotomi.
d. Trauma Thoraks
Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma tajam, terdapat
luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot ataupun lebih
dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis. Dapat juga menembus
lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh
Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan jaringan
yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi tidak cukup besar, hanya akan menimbulkan
desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan mengambil bentuk semula
bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak dari luar mungkin tidak memberi
gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada,
yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan pembentukan hematoma inter atau intra otot,
yang kadang kala cukup luas, sehingga berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak
Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang iga,
mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi fraktur
pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi
dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan kemudi atau setir
mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan sangat tinggi
yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil tersebut mampu
Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari iga dalam
kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau pneumotoraks, bahkan tidak
tertutup kemungkinan terjadi “Tension Pneumotorax”, karena terjadi keadaan dimana alveoli
terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka pleura parietalis yang
menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga pleura. Tension pneumotoraks
selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi penurunan ventilasi antara 15 – 20
selanjutnya bahkan akan mendesak paru kontralateral yang berakibat sangat menurunnya
kapasitas ventilasi.
dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma toraks
didapati adanya darah pada rongga pleura. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi
paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang
disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
a. Trauma kepala
b. Fraktur
Terbuka : bisa dilihat dengan adanya tulang yang menusuk kulit dari dalam dan
samping, depan atau belakang. Disertai dengan nyeri gerak, nyeri tekan dan
Fraktur biasnya terjadi pada ekstremitas baik atas maupun ektremitas bawah
c. Trauma dada
Mekanisme trauma bertujuan mencari cedera lain yang saat ini belum tampak dengan
mencari tahu:
Kerusakan bag luar kendaraan: bag depan hancur, kaca depan pecah,
Mobil kijang pick-up melaju kencangnabrak tiang listrik sampai bengkokbagian depan mobil hancur
dan kaca depan pecah sopir terlempar keluar multipel trauma(kemungkinan cedera seluruh tubuh).
Pada kasus:
Fraktur iga