Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum
tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang
berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat darurat yang cepat dan tepat,
maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan
bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan
pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai
kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat
untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial
mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di
perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang
mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap orang medis harus berkompeten
dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap
penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam
melakukan pengkajian awal yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan
diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula
dapat dilakukan pengkajian awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat
pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu :
pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat
darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah
selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A:
Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol
servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan
agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol
perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental
control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).

1 PRIMARY SURVEY
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang
mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai
dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo
waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing
Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab
kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem
pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain.
Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat
darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan
oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit
akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).

2 PRIMARY SURVEY
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kegawatdaruratan

Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang


dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau
evaluasi tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American
College of Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan
kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan
menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga
sebelumnya serta penyakit lainnya (Stone, Humphries, 2008).
Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih
dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-
kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda
yang tersedia pada saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji
sampai korban dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan
peralatan yang layak tersedia (Skeet, 1995).
Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
1. Mempertahankan hidup

2. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk

3. Meningkatkan pemulihan

Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :


1. Mengkaji sesuatu

2. Memnentukan diagnosis untuk setiap korban

3. Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa


korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban
akan membutuhkan perhatian dari pada yang lain

4. Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan


kondisi serius

3 PRIMARY SURVEY
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan
adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial
aassesment (penilaian awal) dan meliputi (ATLS, 2004) :

1. Persiapan

2. Triase

3. Primary survey (ABCDE)

4. Resusitasi

5. Tambahan terhadap primary survey dan resutisasi

6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

7. Tambahan terhadap secondary survey

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

9. Penanganan definitif

2.1.1 Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas,
yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan lahan dan
sebagian, dan progresif dan/atau berulang. Menurut ATLS 2004, Kematian-
kematian dini karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat
disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway

2. Ketidakmampuan untuk membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi

6. Aspirasi isi lambung


4 PRIMARY SURVEY
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi.
Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas
harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau
melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini
dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian
terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau
Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan
airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan
perlunya airway definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan
harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan
tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat
hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke
arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan
airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan
prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization)
(ATLS, 2004)
Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan
muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan
di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain
diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi
ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif
secara intermittena (Alkatri, 2007).
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
5 PRIMARY SURVEY
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu
jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena
tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.

Gambar 1. Chin Lift, Head Tilt, Jaw Thrust

3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula
sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian
mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).

6 PRIMARY SURVEY
Gambar 2. Jaw-thrust maneuver

4. Oropharingeal Airway (OPA)


Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas
pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan
pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah
terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara
melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal
pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara
gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan
jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi
pasien (Arifin, 2012)

Gambar 3. Oropharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill


Companies 2006)

7 PRIMARY SURVEY
5. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima
dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-
faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly
(gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara
memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan
perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar,
rasa) ( Arifin, 2012).

Gambar 4. Nasopharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill


Companies 2006).

6. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan
airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS,
2004):
a. Adanya apnea

b. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara cara


yang lain

c. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus

8 PRIMARY SURVEY
d. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway

e. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)

f. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan


Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering


digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus
diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling
menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan
dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang
jelas untuk melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

2.1.2. Breathing

Tindakan pemberian napas bantuan dilakukan keadaan penderita hentijantung


setelah satu siklus kompresi selesai dilakukan (30 kali kompresi). Pemberian napas
bantuan bisa dilakukan dengan metode:

1. Mulut ke Mulut

Gambar 5. Pernapasan mulut ke mulut

9 PRIMARY SURVEY
Metode pertolongan ini merupakan metode yang paling mudah dan cepat.
Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan oleh penolong. Cara
melakukan pertolongan adalah :

a) Mempertahankan posisi head tilt chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit
hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan.
b) Buka sedikit mulut penderita, tarik napas panjang dan tempelkan rapat bibir
penolong melingkari mulut penderita, kemudian hembuskan lambat, setiap
tiuapan selama 1 detik dan pastikan sampai dada terangkat.
c) Tetap pertahankan head tilt - chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut
penderita, lihat apakahdada penderita turun waktu ekshalasi.

2. Mulut ke Hidung

Gambar 6. Pernapasan mulut ke hidung

Napas bantuan ini dilakukan bila pernapasan mulut-ke-mulut sulit dilakukan,


misalnya karena trismus. Caranya adalah katupkan mulut penderita disertai chin lift,
kemudian hembuskan udara seperti pernapasan mulut-ke-mulut. Buka mulut
penderta waktu ekshalasi.

10 PRIMARY SURVEY
3. Mulut ke Sungkup

Gambar 7. Pernapasan mulut ke sungkup

Penolong menghembuskan udara melalui sungkup yang diletakkan di atas dan


melingkupi mulut dan hidung penderita. Sungkup ini terbuat dari plastic transparan,
sehingga muntahan dan warna bibir penderita dapat terlihat. Cara melakukan
pemberian napas mulut ke sungkup :

a) Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang dengan kedua ibu jari.
b) Lakukan head tilt chin lift / jaw thrust, tekan sungkup ke muka penderita
dengan rapat, kemudian hembuskan udara melalui lubang sungkup sampai dada
terangkat.
c) Hentikan hembusan dan amati turnnya pergerakan dinding dada.

4. Dengan Kantung Pernapasan


Alat ini terdiri dari kantung yang berbentuk balon dan katup satu arah yang
menempel pada sungkup muka. Volume kantung napas ini 1600 ml. alat ini
digunakan untuk pemberian napas bantuan dengan disambungkan ke sumber
oksigen.

11 PRIMARY SURVEY
Gambar 8. E-C clamp

Bila alat tersebut disambungkan ke sumber oksigen, maka kecepatan aliran


oksigen bisa sampai 12 L/menit (memberikan konsentrasi oksigen yang diinsipirasi
sebesar 74,0%). Penolong hanya memompa sekitar 400 600 ml (6 7 ml/kg)
dalam 1 detik ke penderita. Bila tanpa oksigen dipompakan 10 ml/kg berat badan
penderita dalam 1 detik. Caranya dengan menempatkan tangan untuk membuka jalan
napas dan meletakkan sungkup menutupi muka dengan teknik E-E Clamp (bila
seorang diri), yaitu jari-jari ketiga, keempat, dan kelima membentuk huruf E dan
diletakkan di bawah rahang untuk mengekstensi dagu dan rahang bawah, ibu jari dan
jari telunjuk penolong membentuk huruf C untuk mempertahankan sungkup di
muka penderita. Tindakan ini akan mengakat lidah dari belakang faring dan
membuka jalan napas. Hal yang harus diperhatikan pada tindakan ini antara lain :

1. Bila dengan 2 penolong, 1 penolong pada posisi di atas kepala penderita


menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan untuk mencegah agar
tidak terjadi kebocoran sekitar sungkup dan mulut, jari-jari yang lain
mengangkat rahang bawah dengan mengekstensikan kepala sambil melihat
pergerakan dada. Penolong kedua secara perlahan memompa kantung sampai
dada terangkat

12 PRIMARY SURVEY
Gambar 9. Ventilasi dengan kantung napas 1 dan 2 penolong

2. Bila 1 penolong, dengan ibu jari dan jari telunjuk melingkari pinggir sungkup
dan jari-jari lainnya mengangkat rahang bawah (E-C Clamp), tangan yang lain
memompa kantung napas sembari melihat dada terangkat.

2.1.3. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,
2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status
hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan
nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg
sistol

2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol

13 PRIMARY SURVEY
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol

4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60
mmHg sistol

Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan
dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan
menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang
sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan
Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (ATLS, 2004).

Tabel 2.1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentase


Penderita Semula

14 PRIMARY SURVEY
2.1.4.. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara
cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU,
sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam
mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder
(Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung
kuku jari tangan)
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi

b. Disorientasi atau bingung

c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat

d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)

e. Tidak memberikan respon \

3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1)

Perhatikan apakah penderita :

15 PRIMARY SURVEY
a. Melakukan gerakan sesuai perintah

b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri

c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri

d. Fleksi abnormal (decorticated)

e. Ektensi abnormal (decerebrate)

f. Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran) Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat
kemungkinan penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak

2. Trauma pada sentral nervus sistem

3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol

4. Gangguan atau kelainan metabolik

2.1.5. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi.

16 PRIMARY SURVEY
2.2. Aspek Medikolegal dalam Pelayanan Kegawatdaruratan
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan medikolegal,
pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena
memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat
membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan
hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Pada keadaan gawat
darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
1. Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
2. Perubahan klinis yang mendadak
3. Mobilitas petugas yang tinggi

17 PRIMARY SURVEY
BAB 3
KESIMPULAN

Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary
assessment, secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic procedure.
Konsep primary assessment merupakan proses evaluasi awal yang sistematis dan
penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang
meliputi Airway maintenance, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol
perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure.

18 PRIMARY SURVEY
DAFTAR PUSTAKA
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support
and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat
Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita


Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Gilbert, Gregory., DSouza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency
.
Setyawati, MKK, Sp.OK, Maya, dr., Training Basic Life Support. Diambil dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31633/Chapter%20I.p
df;jsessionid=769E19D272A45A25CDF1E614B5E91872?sequence=5.,
Diakses 7 November 2017.

Primary Survey dan ABCDE. Tim Pelatihan Kegawatdaruratan Anastesi dan Terapi
Intensif. RSUD. Saiful Anwar Malang. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya di ambil dari : https://id.scribd.com/doc/278887172/PRIMARY-
SURVEY-SECONDARY-SURVEY-pdf , Diaskes 7 November 2017

19 PRIMARY SURVEY

Anda mungkin juga menyukai