Tekanan darah
Tekanan nadi
Tanda:
Nyeri dada
Sesak
Distres pernafasan
Takikardi
Hypotensi,
Defiasi trahea
Hilangnnya suara nafas pada suatu sisi
Distensi vena leher
Sianosis
Tindakan :
Berikan oksigen 15 liter
Lakukan dekompresi dengan insersi jarum (Needle thoracocentesis)
Pemasangan chest tube untuk :
Patofisiologi
Trauma thorax sering mengakibatkan keadaan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis.
Hipoksia disebabkan oleh karena tidak adekuatnya transfer oksigen menuju jaringan
karena hipovolemi, pulmonary ventilation dan perubahan dalam tekanan intrathorax.
Sedangkan keadaan hiperkarbia sering disebabkan oleh karena perubahan tekanan intra
thorax sehingga terjadi gangguan ventilasi serta adanya gangguan kesadaran yang
seringkali menyertai penderita dengan trauma tumpul thorax Sedangkan keadaan
metabolik asidosis pada penderita dengan trauma tumpul thorax terjadi akibat adanya
hipoperfusi jaringan.
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya adalah akibat:
Kegagalan ventilasi dan distribusi udara
Kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolus atau kegagalan difusi.
Kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik berakibat gangguan perfusi
jaringan organ.
Initial Assessment dan pengelolaan
Survei primer, resusitasi fungsi vital, survei sekunder, perawatan definitif. Hipoksia
adalah keadaan yang sangat serius pada setiap trauma thorax, jadi semua tindakan awal
ditujukan untuk mencegah dan mengkoreksi hipoksia. Keadaan yang mengancam jiwa
pada trauma thorax harus cepat dilakukan tindakan pertolongan dengan cara yang
sesederhana mungkin. Mayoritas tindakan pertolongan yang dikerjakan pada trauma
thorax adalah dengan cara kontrol jalan nafas, pemasangan thorax drain dan pemasangan
jarum torakostomi. Survei sekunder lebih ditekankan pada anamnesa trauma dan
pemeriksaan yang lebih detil untuk mengetahui adanya cedera yang spesifik.
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa
trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera
thoraks sering disertai dengan cedera perut, kepala dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk. Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan
nafas, hematothoraks besar, tamponade jantung, pneumothoraks desak, flail chest,
pneumothoraks terbuka dan kebocoran udara trakeabronkus.
Pendarahan jaringan interstitium, perdarahan intra alveolar, diikuti kolaps kapiler-kapiler
kecil dan atelektasis, sehingga tahanan perifer pembuluh darah naik, aliran darah turun.
Hal ini menyebabkan pertukaran gas berkurang. Sekret terkumpul karena batuk kurang.
Terjadi kompresi dan dekompresi karena coup en contre coup.
Gejala klinisnya:
1. Sesak nafas, pernafasan asimetri
2. Nyeri, nafas berkurang ekskursi turun
3. Ada jejas atau trauma (luka)
4. Emfisema kutis
Pembagian trauma thorax:
1. Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
a) Tension pneumothoraks
b) Open pneumothoraks
c) Massive hematothoraks
d) Flail chest
e) Cardiac tamponade
2. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa
a) Kontusio pulmonum dengan atau tanpa flail chest
b) Rupture aorta thorakalis
c) Cedera trakea dan Bronkus
d) Perforasi esofagus
e) Robekan diafragma
f) Contusio miokard
3. Trauma thoraks yang berat
a) Subcutaneus emphysema
b) Pneumothoraks
c) Hemothoraks
d) Fraktur costa
Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey
a) Tension Pneumothorax
Patofisiologi
Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk kedalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk
kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, terjadi displacement mediastinum dan trachea. Pada
sisi yang berlawanan vena cava superior atau vena cava inferior terjadi gangguan venus
return ke jantung, terjadi kompresi paru kontralateral, terjadi hypoxia, hypotensi.
Etiologi
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan
pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari
pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan
parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia
atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga
dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka
tersebut dengan pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan
mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang
belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Gejala klinis
Tension pneumothorax di tandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan,
takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena
leher.
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
Diagnosis
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi.
Pemeriksaan penunjang
- Radiologis : foto polos thoraks
Penatalaksanaan
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar (ukuran 14 atau 16 gauge) pada
sela iga dua garis mid-clavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini
akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana (catatan :
kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi
ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan thorax
drain dan WSD.
b) Open pneumothoraks (sucking chest wound)
Patofisiologi
Adanya defek atau luka yang besar yang tetap terbuka pada dinding thorax dan paru
menimbulkan Sucking chest wound around sehingga terjadi keseimbangan antara
tekanan intra thorax dengan tekanan udara atmosfir. Jika defek pada dinding dada
mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalul defek
karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan bila terdapat sucking chest wound, hypoxia, dan hipoventilasi.
Penanganan
Penanganannya, langkah awal dengan menutup luka. Gunakan kasa steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek
Flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah
kebocoran udara, dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan
udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus
berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya
udara didalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika
selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara, yang dapat dipergunakan adalah
Plastic Wrap atau Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan
cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.
c) Hematothorax
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
- Minimal / ringan 350 ml
- Sedang 350 ml - 1500 ml
- masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Tingkat perdarahan setelah evakuasi hemothorax secara klinis lebih penting. Jika kondisi
ini terjadi, maka disebut sebagai hemopneutoraks.
Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan terjadi penurunan
suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen dada. Di tangan dokter yang
berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa pneumotoraks dan hemotoraks, namun
teknik ini jarang dilakukan sekarang ini. Tuba torakstomi harus dipasang secara hati-hati
untuk semua jenis hemathorax dan pnemuothorak. Dalam 85%, tube toraktomi adalah
satu-satunya metode yang dapat dilakukan. Jika pendarahan terus terjadi maka lebih baik
dari sistemik daripada arteri pulmonary.
Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya pembuluh darah
hilus atau sistemik.
i. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka.
ii. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah.
iii. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi tegang karena
efek mekanis dari darah di dalam thorax.
iv. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat mengakibatkan
shock.
Diagnosa
i. Shock hemorrhagic.
ii. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral.
iii. Pekak unilateral pada perkusi.
iv.Vena leher menjadi datar.
v. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral.
Pengobatan
i. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan bernafas.
ii. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi sebelum terjadi
dekompresi.
iii. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest tube.
iv. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau 40F) pada celah
intercostal keempat.
Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan hemothorax dengan
lebih adekwat.
Indikasi thoracotomy :
a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung akibat
perdarahan dada.
b. Perdarahan yang 1500 mL sejak permulaan.
c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama 4jam.
d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun telah
menggunakan 2 chest tube yang berfungsi dan diposisikan secara benar.
vi. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk hemothorax
yang tidak tuntas di drainase atau hemothorax yang menggumpal.
d). Flail Chest
Patofisiologi
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua
atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
Anesthesia).
c. Blok nervus intercostal.
5. Monitor pulse oximetry dan jika tersedia monitor secara continu tidal CO2.
6. Sediakan pulmonary hygiene, termasuk insentif spirometri dan batuk-napas dalam.
Analgesik yang adekwat dan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) memudahkan
intubasi.
e). Cardiac Temponade
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma
tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh
darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur
jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah
dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan
darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis
akan segera memperbaiki hemodinamik.
Diagnosa
i. Jika sadar, pasien sangat gelisah melawan dan tidak mau berbaring.
ii. Kecurigaan tamponade pada mereka dengan hipotensi yang menetap, asidosis dan
kadar basa yang rendah, walaupun resusitasi darah dan resusitasi cairan telah adekwat,
khususnya apabila tidak sedang terjadi perdarahan keluar.
iii. Tanda-tanda klasik. JVD (terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan
arteri dan suara jantung menjauh) tampak pada 33% pasien yang mengalami tamponade.
JVD dapat tidak tampak pada hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah penurunan tekanan
sistolik lebih dari 10mmHg selama inspirasi dan mengarah ke tamponade. Kussmaul sign
merupakan tanda yang nyata dari tamponade; inspirasi pada pernafasan spontan pasien
mengakibatkan peningkatan JVD. Tanda-tanda klasik dari tamponade jantung tidak khas.
Shock atau hipotensi yang terus berlangsung tanpa kehilangan darah adalah pemicu yang
biasanya mengarahkan ke cedera ini.
iv. Jika tersedia kateter arteri pulmonary. Tekanan jantung kanan atau kiri dapat tampak
untuk diseimbangkan. Tekanan vena sentral hampir mendekati tekanan arteri pulmonary
dan keduanya akan meningkat.
v. Jika tersedia, test ultrasound FAST dapat dilaksanakan untuk mengidentifikasi cairan
pericardial.
a. Gambaran positif pericardial yang tampak pada FAST adalah pasien Unstable, yang
merupakan indikasi untuk melakukan tindakan sternotomy median atau thoracotomy
anterolateral sinistra.
b. Gambaran yang meragukan dari pericardial yang tampak pada FAST atau test positif
pada pasien yang stabil menuntut dilakukannya operasi pericardial window.
c. Gambaran FAST negative pada luka tusuk dapat menunjukkan false negative
secondary hingga dekompresi dari cairan pericardial kedalam rongga pleura.
serta pemeriksaan penunjang:
X-foto thorax : tampak bayangan mediastinum melebar
Ekokardiogram : tampak terlihat bekuan darah dan cairan di sekeliling jantung
Punksi pericard (pericardiosentesis) : keluar darah.
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
10
Penatalaksanaan
Pada umumnya multiple intervensi berikut ini dilakukan secara bersamaan. Pengobatan
ini dapat di lakukan baik di Emergency Department (ED) atau di Operating Room (OR),
tergantung kondisi klinis pasien.
i. Tentukan kebutuhan intubasi, oxigenasi, dan volume awal resusitasi.
ii. Pericardiosentesis dapat digunakan sebagai maneuver sementara untuk mengurangi
tamponade hingga pengobatan definitive dapat dilakukan. Hal ini sering sulit
dilaksanakan karena prosedurnya yang sulit dan jumlah darah yang sedikit di dalam
kantung.
iii. Jika pasien dalam keadaan Extreme, thoracotomy anterolateral sinistra dapat
dilakukan guna mengurangi tamponade.
iv. Jika pasien Unstable, sternotomy segera dilakukan di OR.
v. Jika pasien Stable, pemeriksaan pericardial window dapat dilakukan di dalam OR
untuk meyakinkan diagnosis. Jika masih meninggalkan darah di dalam kantung/sac
perluas insisi menjadi sternotomy.
Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa
a) Kontusio Pulmonum dengan atau tanpa flail chest
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera
tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat. Etiologinya dapat
dikarenakan trauma thorax, kecelakaan lalu lintas, terjadi terutama setelah trauma tumpul
thorax dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema
parenkim. Manifestasi Klinis, dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah
trauma, dispnea, PO arteri, infiltrat terlokalisir pada foto thorax, pada kondisi berat
dapat disertai : sekret trakeobronkial yang banyak, hemoptisis, dan edema paru.
Berikan analgetik (intermitten atau kontinyu dengan morphine parenteral dapat juga
dengan thoracic epidural) dan tindakan toilet pulmonalis sangatlah penting. Penderita
harus dimonitor di ICU untuk 24 48 jam. Monitoring dengan pulse oximeter,
pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan
diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu
ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu. Faktor
predisposisi dilakukan intubasi atau ventilasi mekanis
1. Kontusi berat dengan hypoxia (Pa02 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan,
Sa02< 90 %)
2. Pre-existing chronic pulmonary disease
3. Gangguan tingkat kesadaran
4. Trauma abdomen mengakibatkan ileus atau explorasi laparotomi.
5. Trauma tulang yang memerlukan imobilisasi
6. Renal failure
7. Poor cough effort, atelektasis, lobar collapse.
b) Rupture Aorta Thoracalis
Pada mumnya penyebab tersering kematian tiba-tiba setelah kecelakaan atau jatuh
(trauma deselerasi hebat) 90% dari keadaan di atas adalah fatal, ini adalah prioritas
didalam emergency room. Separuh dari penderita meninggal karena tidak terdiagnosa
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
11
atau tidak mendapatkan terapi. Robekan biasanya terjadi di belakang dari muara a.
subclavia pada tempat insersi dari ligamentum arteriousum.
Diagnosa
i. Tanda-tanda klinis
a. Tekanan darah ekstremitas atas yang asimetri dan hypertensi ekstremitas atas.
b. Tekanan nadi yang meningkat.
c. Robekan pada dinding dada.
d. Nyeri scapula posterior. Murmur intrascapula.
e. Separuh dari pasien dengan cedera pembuluh darah besar dari trauma tumpul tidak
menunjukkan gejala.
ii. Tanda-tanda pada foto thorax
a). Mediastinum yang melebar (> 8cm) ini merupakan tanda yang paling sering
ditemukan.
b). Fraktur dari tiga costa pertama, scapula atau sternum.
c). Obliterasi dari aorta knob.
d). Deviasi dari trachea ke kanan.
e). Tampak pleura cap, biasanya pada sisi kiri tapi kadang-kadang bilateral.
f). Peninggian dan pergeseran ke kanan dari bronchus utama kanan.
g). Depresi dari bronchus utama kiri lebih dari 40% dari horizontal.
h). Obliterasi dari jendela aorta pulmonary.
i). Deviasi dari nasogastric tube (oesophagus) ke kanan jarang terjadi, tetapi merupakan
tanda yang mendukung.
j). Efusi pleura kiri.
k).Tidak ada satu-satunya tanda yang dapat meyakinkan atau menyingkirkan dugaan
cedera aorta. Tetapi bagaimanapun, pelebaran mediastinum adalah tanda yang paling
sering ditemukan pada foto thorax dan harus dievaluasi lebih lanjut.
- 15% pasien dengan traumatik ruptur aorta memiliki foto thorax yang normal.
iii. Berdasarkan sejarah, aorthography adalah gold standar untuk diagnosa. Hingga 10%
dari semua angiogram menunjukkan positif saat ada indikasi umum dan hanya 2-3% yang
menunjukkan false negatif.
iv. Chest Computed Tomography (CCT) telah menjadi alat diagnosa yang penting bagi
cedera aorta. Standar CT scanner dapat menunjukkan hematoma mediastinal yang
mengarah ke cedera aorta. Helical dan kecepatan tinggi, resolusi tinggi dari scanner dapat
menunjukkan diagnosa definitif dari cedera aorta, melebihi angiography dan segala
kelebihannya. Waktu untuk melakukan scan dan injeksi bolus sangat berperan untuk
pembelajaran yang tepat.
a). Non specifik mediastinum hematoma ditemukan pada CT Thorax untuk diagnosa
yang tepat.
b). Definitif diagnosa dari cedera aorta yang ditemukan dengan helical scanners. Juga
membutuhkan aortography, bergantung dari kemampuan ahli bedah yang melakukan
terapi perbaikan.
c). Negatif scan menentukan cedera aorta dengan sensitivitas 92%.
v. Transesophageal Echocardiogram (TEE) tidak dapat lebih diandalkan daripada
angiogram untuk mendiagnosa cedera aorta. TEE yang positif meyakinkan lokasi cedera
dan mempercepat managemen. Jika TEE negatif, dibutuhkan aortogram untuk
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
12
meyakinkan tidak adanya cedera. TEE adalah pilihan sempurna untuk pasien yang :
a). Harus dipindahkan langsung ke OR untuk perdarahan lainnya.
b). Memiliki mediastinum yang sangat lebar dan sangat dicurigai memiliki cedera aorta
thoracalis.
c). Memiliki resiko tinggi untuk dibawa ke radiologi.
Saat telah stabil TEE negatif diikuti oleh CT thorax atau aortography.
Penatalaksanaan
i. Bebaskan jalan nafas, sesuai yang dibutuhkan.
ii. Kendalikan dan cegah hipertensi. Upaya mengurangi tekanan dinding aorta sebelum
operasi dapat meningkatkan resiko ruptur. Beta blocker dapat dipakai untuk terapi
pengganti hanya bila ada kemungkinan perdarahan yang signifikan dan cedera yang lain
telah disingkirkan. Sasaran dan tekanan darah sistolik harus mendekati 100mmHg.
iii. Jika pasien memiliki hematoma mediastinum yang stabil disertai cedera abdomen,
pertama-tama lakukan laparatomy. Hati-hati jangan sampai menutup abdomen terlalu
kencang atau menjepit aorta, yang dapat meningkatkan tekanan aorta proximal.
Intraoperatif TEE dapat digunakan untuk mengevaluasi aorta thoracalis.
iv. Beberapa tehnik yang ada untuk melakukan perbaikan definitive.
a) Perbaikan full cardiac bypass sering membutuhkan heparin dalam dosis yang besar dan
tidak dapat dilakukan pada kasus dengan banyak cedera organ, fraktur pelvis, atau cedera
otak traumatic.
b) Perbaikan selama pasif bypass dengan heparin bonded shunt atau tidak melakukan
bypass sama sekali, dapat dilakukan, walaupun jarang. Angka kejadian paraphlegia
dilaporkan lebih rendah dengan full ataupun passive bypass.
c) Endovascular aorta stent graft kini ada di beberapa pusat kesehatan dan menawarkan
kelebihan menghindari thoracotomy pada pasien yang memiliki hubungan pulmonary
compromise yang signifikan. Penggunaan jangka panjang dan ketahanan stent ini belum
diketahui.
c) Cedera trakea dan Bronkus.
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus,
manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,
hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas.
trauma trakea: Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul /trauma
tusuk.
manifestasi klinisnya : Fraktur larynx adanya trias suara serak, subcutaneus emphysema
dan teraba fraktur dan krepitasi larynx
Diagnosa: fiberoptic laryngoscopy
Diperlukan terapi operasi definitif
Trauma bronchus: biasanya trauma benda tumpul
Terjadi 1 inci dr carina tampak terjadi hemoptysis, subcutaneus emphyema/tension
pneumothorax, khas adanya pneumothorax dgn kebocoran udara
Bronchoscopy
Penanganan thoracotomy
13
14
b. Trauma tembus
Luka kecil, tapi lebih sering pada kepala.
Ketika terdiagnosa trauma tersebut membutuhkan perbaikan operasi, oleh karena trauma
tersebut tidak sembuh spontan dan dapat menyebabkan hernia atau strangulasi dari usus
dalam waktu yang lama.
c. Diagnosa
i. Diagnosa dapat sangat sulit, tetapi berdasarkan mekanismenya terdapat index
kecurigaan:
a. Deselerasi cepat atau kerusakan langsung pada abdomen bagian atas.
b. Trauma dada sebagian, fraktur rusuk bagian bawah.
c. Luka tembus pada dada dan abdomen.
ii. foto thorax hanya mendiagnosa 25-50% kasus trauma tumpul. Beberapa
kemungkinannya adalah:
a. Elevasi hemidiafragma atau atelektasis lobus bagian bawah.
b. Hemithorax pada nasogastric kiri.
c. Lambung, colon, atau usus pada bagian bawah dada.
d. Trauma tembus dan kerusakan usus, diafragma terlihat normal.
e. Tekanan positif menyebabkan tamponade hernia alat dalam dan memperlihatkan foto
thorax normal setelah extubasi, herniasi akan tampak pada foto thorax.
iii. Pada hemidiafragma kanan jarang di diagnosa dengan foto thorax oleh karena adanya
hepar.
iv. CT scan dapat salah, pada luka diafragma terlihat gambaran kosong hernia alat-alat
dalam.
v. Diagnosa Peritoneal Lavage (DPL) menghasilkan negatif palsu pada 25-34% luka
diafragma. Jika tampak pada rongga dada ipsilateral, cairan DPL dapat diteliti diluar
rongga dada.
vi. Visualisasi secara langsung luka dengan laparatomi, laparoskopi, atau thoracoskopi
merupakan diagnosa utama.
d. Penatalaksanaan
i. Perbaikan diafragma.
ii. Perbaikan awal dilakukan dengan laparatomi, pada kebanyakan kasus dengan tidak ada
penyerapan, masalah potongan horizontal sutura.
iii. Thorakotomi dibutuhkan untuk mengembalikan kerusakan yang besar pada hernia.
iv. Peralatan prostetik atau flaps terkadang dibutuhkan untuk menutup kerusakan.
v. Tingkat kematian sekitar 25-40% oleh karena berkaitan dengan trauma keras.
f). Kontusio Miocard
Istilah trauma tumpul pada jantung biasanya menggambarkan berbagai tingkatan trauma
pada jantung. Ini dapat dari memar pada otot jantung yang asimptomatis, sampai dengan
disaritmia dengan gejala klinis yang signifikan, gagal jantung akut, trauma katub atau
rupture kardia. Walaupun jarang, trauma jantung dapat menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik.
Komplikasi yang sering dari trauma tumpul pada otot jantung adalah disaritmia seperti
takikardi, kontraksi premature atrium, atrial fibrilasi, dan kontraksi premature ventricular.
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
15
Perubahan EKG lainnya yang mungkin dapat terlihat adalah Right Bundle Branch Block
atau trauma akut dengan ST elevasi dan gelombang T yang datar.
a. Diagnosis
Dari beberapa literature masih terdapat perdebatan tentang kriteria diagnosa secara
signifikan i. 12 lead EKG dapat dilakukan sebagai screaning test pada pasien yang
dicurigai ii. ECG dinyatakan positif jika menunjukkan gambaran disaritmia, atrial atau
ventrikuler ektopi, perubahan ST, Bundle Branch Block, atau block hemifasciculer.
iii. Ecochardiography (Echo) dapat digunakan untuk memperkirakan gerak dinding dada
dan kompetensi katub. Trans Thoracic Echocardiogram (TTE) lebih nyaman bagi pasien
dan non infasif walaupun kadang secara teknis terbatas. TEE lebih infasif dan digunakan
ketika TE tidak adekwat.
iv. Bukti baru level cardiac troponin 1 (cTn1) berhubungan dengan resiko aritmia dan
komplikasi BCI. Penelitian oleh Rajan dan Zellweger level yang menurun sampai 0,05
g/L, 6 jam setelah trauma pada pasien tanpa gejala klinis menunjukkan resiko
komplikasi, hasil tersebut specific untuk BCI.
v. Presentasi fraktur sternum tidak berhubungan dengan presentasi.
b. Tatalaksana
a. Pasien dengan iskemia pada EKG atau elevasi cardia level enzim sama dengan infark
miocard.
b. Jika ekokardiografi menunjukkan memar (hipokinesis atau pergerakan abnormal
dinding dada) kirim pasien ke ICU.
c. Jika tanda-tanda penderita berkembang dan gejala dari gagal jantung akut. Mulai
monitoring secara invasive dengan pemasangan arteri kateter.
ii. Lanjutan EKG dilakukan pada gambaran awal abnormal atau tanda-tanda baru.
iii.Trauma tumpul kardia bukan kontra indikasi absolute untuk operasi.
16
observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang
dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan
untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi
dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumothorax
traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumothorax
intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumothorax
sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya
tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Thorax penderita harus
dikompresi sebelum penderita dirujuk.
3. Hemothorax
Penyebab utama dari hemothorax adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma
tumpul.
Tampak efusi pada thorax foto dan hilangnya suara nafas. Dislokasi fraktur dari vertebra
torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemothorax. Biasanya perdarahan berhenti
spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemothorax akut yang cukup banyak
sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya diterapi dengan selang dada (Thorax tube)
kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura,
mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau
fibrothorax), dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang
berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax, status
fisiologi dan volume darah yang kelur dari selang dada merupakan faktor utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml, Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan di
atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam,
atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
4. Fraktur costae
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma,
perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga
terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk
yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan
pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paruparu.
Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma
tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling
sering mengalami trauma adalah iga bagian tengah (iga ke 4 sampai ke 9).
Costae bagian atas (costae ke-1 sampai ke-3 ) dilindungi oleh struktur tulang dari lengan
bagian atas, tulang skapula, humerus dan klavikula dengan seluruh otot-otot yang
merupakan pelindung terhadap trauma costae tersebut. Bila ditemukan fraktur tulang
skapula, costae pertama dan kedua atau sternum harus curiga akan adanya trauma yang
luas yang meliputi kepala, leher, medula spinalis, paru-paru dan pembuluh darah besar.
Karena adanya trauma-trauma penyerta tersebut, mortalitas akan meningkat menjadi
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
17
Merupakan suatu hal yang menyedihkan jika kita melihat pasien trauma meninggal akibat
tindakan penanganan yang kurang memadai atau terlambat. Untuk korban trauma
berat,waktu sangat menentukan. Hubungan antara waktu sampai tindakan pembedahan
dengan penyelamatan pasien sebaiknya dalam waktu 1 jam (Golden hour) maka angka
penyelamatan mencapai 80%.
Kita mempertaruhkan setiap menit dalam Golden hour untuk setiap tindakan sebelum
mencapai kamar operasi. Untuk itu hendaknya setiap tindakan yang kita lakukan bersifat
"life saving".
Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pasien trauma tidak diterapi definitif di lapangan,tapi di Unit Gawat Darurat atau
kamar operasi,walaupun intervensi klinis sudah dimulai di lapangan.
Keadaan fatal yang dapat dicegah (preventable death) disebabkan kelambatan
mecapai kamar operasi. Pelayanan trauma harus dapat membuat pasien dirujuk
segera ke rumah sakit terdekat untuk segera mendapatkan perawatan definitif.
Peranan Emergency Medicine menempati posisi kritis,karena nasib pasien ditentukan
oleh kecepatan.keterampilan dan keputusan petugas lapangan. Golden hour dimulai dari
saat kejadian. Keterlambatan umumnya disebabkan oleh organisasi yang tidak baik.
Tindakan cepat bukan berarti terburu-buru,tetapi memaksimumkan harapan hidup pasien
dengan melakukan 6 tahap panggilan ambulan secara tepat,yaitu:
1.Predispatch
Merupakan tahap pertama yang sering diremehkan.Kemampuan menemukan tempat
Primary Survey Trauma Thorac. Doc
RE. Jan 2002
18
19
20
21
penting tapi anda juga harus memperhatikan volumenya. Semua pasien dengan cedera
multisistem harus diberi tambahan oksigen dalam kadar tinggi.
Periksa Pernapasan dan Sirkulasi
Pemeriksaan pernapasan dan sirkulasi dilakukan bersamaan. Letakkan 1 tangan pada
leher untuk palpasi denyut karotis dan tangan lain diletakkan di dada untuk menilai
respirasi. Bila tidak ada pulsasi karotis dan tidak ada pernapasan,segera lakukan
Resusitasi Jantung Paru.. Setelah leher di imobilisasi,segera lakukan "Jaw thrust",lakukan
evaluasi pernapasan dan sirkulasi sebagai berikut:
1. Letakkan telinga diatas mulut pasien sehingga dapat dinilai jumlah dan kualitas
pernapasan. Pernapasan tidak boleh lebih dari 24 x / menit atau di bawah 8 x /
menit. Apakah volume udara pernapasan mencukupi ? Lakukan "look,listen,and
feel" .
2. Setelah memeriksa jumlah dan kualitas pernapasan,nilai jumlah dan pulsasi
karotis dan bandingkan pulsasi radialis atau brachialis pada anak. Pemeriksaan
selanjutnya adalah warna kulit dan suhu. Informasi ini dihubungkan dengan
tingkat kesadaran untuk menilai keadaan syok tidaknya pasien.. Perkiraan tekanan
darah bila ke-2 pulsasi teraba (carotis dan radialis) tekanan darah > 80 mmHg,jika
hanya teraba pulsasi leher 60-80 mm Hg. Tanda yok yang lain adalah denyut
jantung yang lebih cepat
(>100x/menit),dingin,berkeringat,pucat,bingung,,lemah,haus. Korban dengan
syok spinal bisa tidak mengalami tanda-tanda ini.,yang tersering adalah paralisis
dan penurunan tekanan darah.
3. Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan secara cepat di leher dengan cara
melihat,meraba ada tidaknya cedera berupa: perubahan
warna,pembengkakan,enfisema subkutis. Lihat vena leher apakah flat atau
distensi dan perhatikan posisi trakea apakah terjadi deviasi.. Selanjutnya segera
pasang rigid extrication collar.
4. Selanjutnya segera evaluasi dinding dada. Jika terdapat kesulitan bernapas,baju
harus dibuka untuk pemeriksaan. Lihat apakah terjadi
deformitas,memar,lecet,luka tembus,gerakan paradoxal,luka bakar,laserasi dan
pembengkakan,nyeri raba,instabilitas,krepitasi. Catat gerakan iga atau pernapasan
diafragma. Dengarkan suara napas kanan & kiri,dengarkan di tepi dinding
setinggi iga ke-4 kiri pada garis mid axilla. Atau pada dinding depan pada sela iga
ke-2 kiri dan kanan. Yang terpenting adalah membedakan suara napas ada/tidak &
sama/tidak di sebelah kiri dan kanan. Jika suara napas tidak sama,lakukan perkusi
untuk membedakan tension pneumothorax dengan hemothorax. Jika ditemukan
kelainan seperti luka terbuka pada dinding dada,flail chect,kesulitan
bernapas,lakukan tindakan yang sesuai seperti menutup luka,stabilisasi
flail,oksigen,bantuan ventilasi, atau dekompresi tension pneumothorax.
Pemeriksaan Abdomen,Pelvis,Ekstremitas.
1. Buka dan segera lihat abdomen (distensi,kontusi,penetrasi) dan palpasi secara
lembut ke-4 kuadran abdomen ada tidaknya nyeri tekan.
22
23
4.Pemeriksaan neurologi
-Tingkat kesadaran (AVPU)
Alert (sadar penuh)
Verbal (menjawab rangsangan)
Pain (bereaksi atas rangsangan nyeri)
Unresponsive (tidak memberi reaksi)
-Motorik: Tidak dapat menggerakan jari tangan dan kaki.
-Sensorik : dapat merasa sentuhan/cubitan
-Pupil (Ada tidaknya refleks pupil terhadap cahaya)
5.Jika mungkin,selesaikan balut bidai
6.Monitor terus-menerus dan evaluasi ulang.
Penderita Kritis Dan Pemeriksaan Ulang
Tindakan kritis merupakan semua intervensi dan prosedur yang dikerjakan berdasarkan
pemeriksaan. hal ini dikerjakan mulai di tempat kejadian hingga selama transportasi.
1. Penatalaksaan jalan napas.Semua penderita kritis harus mendapat oksigen.Dengan
memperhatikan tindakan selanjutnya (intubasi,tambahan
oksigen,dekompresi,suction,stabilisasi flail chest)
2. Pasang monitor (dikerjakan selama transpor)
3. Pasang infus (IV) harus dikerjakan selama transpor.
4. Balut bidai harus dikerjakan selama transpor untuk menghemat waktu Golden
hour,kecuali ada bperdarahan yang harus ditangani segera maka dilakukan balut
tekan. Penderita kritis dibidai di atas long spine board.
Pemeriksaan ulang dikerjakan setiap 5 menit pada pasien kritis dan setiap 15 menit pada
pasien stabil. Pemeriksaan ini dilakukan setiap saat jika terdapat/memburuknya keadaan.
24