Anda di halaman 1dari 21

Penanganan Cedera Kepala di Puskesmas

ASRA AL FAUZI
PPDS I Ilmu Bedah Saraf FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Pendahuluan

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala
setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri
memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15–44
tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab
cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh
(terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh
kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada,
khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan
penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang
lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di
antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan
alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini
memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma,
khususnya trauma kepala.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan
diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan
penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit.
Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan
pemulihan fungsi.

Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk kepentingan praktis
di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya cedera. Penilaian derajat
beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan Glasgow Coma Scale, yaitu suatu
skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis
yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi
berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons)1,3.

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15


2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12
3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8

Glasgow Coma Scale


I. Reaksi membuka mata
4 Buka mata spontan
3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 Buka mata bila dirangsang nyeri
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
II. Reaksi berbicara
5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
III. III.Reaksi gerakan lengan/tungkai
6 Mengikuti perintah
5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS total sebesar 15. Sedang
pada keadaan koma yang dalam, dengan keseluruhan otot-otot ekstremitas flaksid dan
tidak ada respons membuka mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 31.

Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak
primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
(on going process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik3,4.

Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi, bila ada
faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah atau
menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir pada
kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan berakhir dengan
kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang
merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera
(neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena
penyebab sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera otak primer, banyak yang
bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak sekunder3,4,5.

Penyebab cedera otak sekunder di antaranya3,4,5:

1. Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan


hiponatremia.
2. Penyebab intrakranial: tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.

Bagi petugas kesehatan di daerah, tugasnya adalah mencegah, mendeteksi, dan melakukan
penanganan dini terhadap kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan6: (1) Memantau sedini
mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan
‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan
penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat
cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua
kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan
menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa
stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya1.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis5: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi; (2)


Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4)
Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum sampai
di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan
hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation)
dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh
yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis3,6.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama
beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah,
sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-
kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati,
tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup
menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan6.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat
berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda
asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam
hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas
yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas
selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat,
perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada
penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal1,3,5,6,7,8.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut
nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya
berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,
cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan
vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial3,5,8,10.

Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan
penanganan selanjutnya.

Rujukan

Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi, pemilihan alat
transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan, keadaan geografis, dan cepatnya
mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan. Prinsipnya adalah ‘To get 0a definitif care in
shortest time’. Dengan demikian, bila memungkinkan sebaiknya semua penderita dengan
trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf.
Tetapi, melihat situasi dan kondisi di negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi
yang mempunyai fasilitas tersebut (khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu
sulit dilaksanakan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan3:

1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita, sebaiknya langsung
dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah saraf (rumah sakit propinsi).
2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit terdekat yang ada
fasilitas bedah.
3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk
mendapatkan penanganan lebih baik.

Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang, apnea,
obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam perjalanan, keadaan ABC pasien
harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko selama transportasi, maka
perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal
perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat (di antaranya
ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%,
infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc, diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain
itu, juga surat rujukan yang lengkap dan jelas3.

Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita untuk merujuk
penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita untuk menentukan keputusan yang
terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di
rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu5 :

1. Orientasi waktu dan tempat masih baik


2. Tidak ada gejala fokal neurologis.
3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.
4. Tidak ada fraktur tulang kepala.
5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.
6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu.
Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi secara aktif
(menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri kepala
bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan adanya
kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat5.

Penutup

Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat mencegah terjadinya cedera
otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Dua hal penting
dalam penanganan awal ini adalah penanganan segera di tempat kejadian dan proses
transportasi saat merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi. Tujuan dari penanganan cedera
kepala bukan lagi sekadar menolong jiw,a tetapi menyembuhkan penderita dengan sequele
yang seminimal mungkin. Petugas medis di puskesmas sebagai ujung tombak penyedia
pelayanan kesehatan terdepan, memiliki tanggung jawab yang penting untuk melakukan
penanganan awal seoptimal mungkin dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat
fasilitas yang lebih tinggi.

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American
College of Surgeon, 1997 : 195-227.
2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1998 : 147-176.
3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.
4. Darmadipura MS. Cedera otak primer dan cedera otak sekunder tinjauan mekanisme
dan patofisiologis. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.
5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In : Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.
6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar penanganan
cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.
7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head Injury.
Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.
8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10: 802-
804.
9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured patient. In:
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 103-
117.
10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In:
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 331-
344.

3. PATOLOGI PENINGGIAN T.I.K


HUBUNGAN ANTARA TEKANAN DAN VOLUME

Karena sutura tengkorak telah mengalami fusi, volume intra

kranial total tetap konstan. Isi intrakranial utama adalah otak,

darah dan CSS yang masing-masing tak dapat diperas. Karenanya

bila volume salah satu bertambah akan menyebabkan peninggian TIK

kecuali terjadi reduksi yang bersamaan dan ekual volume lainnya.

TIK normal pada keadaan istirahat adalah 10 mmHg (136 mmH2O).

Sebagai pegangan , tekanan diatas 20 mmHg adalah abnormal, dan

diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah.

Semakin tinggi TIK pada cedera kepala, semakin buruk outcomenya.

KONSEKUENSI DARI LESI DESAK RUANG

Bila timbul massa yang baru didalam kranium seperti tumor, abses

atau bekuan darah, pertama-tama ia akan menggeser isi

intrakranial normal.

Doktrin Monro-Kellie

Konsep vital terpenting untuk mengerti dinamika TIK. Dinyatakan

bahwa volume total isi intrakranial harus tetap konstan. Ini

beralasan karena kranium adalah kotak yang tidak ekspansil. Bila

V adalah volume, maka

VOtak + VCSS + VDarah + V Massa = Konstan


Karena ukuran lesi massa intrakranial, seperti hematoma,

bertambah, kompensasinya adalah memeras CSS dan darah vena

keluar. Tekanan intrakranial tetap normal. Namun akhirnya tak ada

lagi CSS atau darah vena yang dapat digeser, dan mekanisme

kompensasi tak lagi efektif. Pada titik ini, TIK mulai naik

secara nyata, bahkan dengan penambahan sejumlah kecil ukuran

massa intrakranial. Karenanya TIK yang normal tidak menyingkirkan

kemungkinan adanya lesi massa.

Pergeseran CSS

CSS dapat dipaksa dari rongga ventrikel dan subarakhnoid kerongga

subarakhnoid spinal melalui foramen magnum. Rongga subarakhnoid

spinal bersifat distensibel dan mudah menerima CSS ekstra. Namun

kemampuan ini terbatas oleh volume CSS yang telah ada dan oleh

kecenderungan jalur CSS untuk mengalami obstruksi. Sekali hal ini

terjadi, produksi CSS diatas bendungan yang tetap berlangsung

akan menambah peninggian TIK.

Jalur subarakhnoid mungkin terbendung di tentorium atau

foramen magnum. Jalur CSS intraventrikular mungkin terbendung

pada ventrikel tiga atau akuaduktus yang akan menyebabkan temuan

yang khas pada sken CT dimana ventrikel lateral kolaps pada sisi

massa, sedangkan ventrikel lateral disisi berlawanan akan tampak

distensi.

Pergeseran VDS
Vena besar serebral permukaan dan dalam segera tertekan dan

mengalirkan sebagian darah ke sinus vena dural yang kaku dan

selanjutnya kevena ekstrakranial. Seperti halnya CSS,

mekanismenya terbatas oleh volume yang tersedia. Distorsi atau

kompresi vena mungkin menghalangi aliran vena. Frekuensi kejadian

ini tidak diketahui namun diduga rendah.

Pergeseran Volume Otak

Pergeseran otak sendiri oleh lesi massa hanya dapat terjadi pada

derajat yang sangat terbatas. Pada tumor yang tumbuh lambat

seperti meningioma, pergeseran otak mungkin sangat nyata,

terdapat kehilangan yang jelas dari volume otak, mungkin akibat

pengurangan cairan ekstraselular dan kandung lemak otak sekitar

tumor. Bagaimanapun dengan massa yang meluas cepat, otak segera

tergeser dari satu kompartemen intrakranial ke kompartemen

lainnya atau melalui foramen magnum.

Bila massa terus membesar, volume yang dapat digeser

terpakai semua dan TIK mulai meningkat. Selama fase kompensasi,

terjadi penggantian volume yang hampir ekual dan sedikit saja

perubahan pada TIK. Pada titik dekompensasi, peninggian volume

selanjutnya akan menyebabkan penambahan tekanan yang makin lama

makin besar. Peninggian TIK yang persisten diatas 20 mmHg

tampaknya berhubungan dengan peninggian tahanan aliran CSS. Hasil

CT menampakkan bagian yang tahanannya meningkat adalah pada

tentorium. Karenanya temuan CT yang menampakkan obliterasi

sisterna perimesensefalik merupakan bukti penting bahwa TIK


meninggi atau pertanda bahwa bahaya segera datang.

Perlu disadari bahwa segala sesuatu yang mencegah atau

menghalangi pergeseran volume kompensatori akan menyebabkan

peningkatan TIK yang lebih segera. Misalnya tumor fossa posterior

adalah merupakan lesi massa sendiri, namun juga memblok aliran

CSS dari ventrikel atau melalui foramen magnum. Karenanya volume

CSS bertambah dan kompensasi untuk massa tumornya sendiri akan

terbatas. Selanjutnya penderita dengan massa yang terus meluas

akan mendadak sampai pada titik dekompensasi bila aliran vena

serebral dibatasi oleh peninggian tekanan vena jugular akibat

kompresi leher atau obstruksi pernafasan.

Perubahan volume sendiri bersifat penjumlahan. Efek tumor

otak akan sangat meningkat oleh edema otak.

Pada banyak keadaan klinis, perubahan volume sangat kompleks. Ini

terutama pada cedera kepala dimana mungkin terdapat bekuan darah,

edema otak serta gangguan absorpsi CSS akibat perdarahan

subarakhnoid atau perdarahan intraventrikuler. Mungkin dapat

ditambahkan vasodilatasi akibat hilangnya autoregulasi atau

hiperkarbia.

Perubahan volume tersebut juga dinamik. Pasien dengan lesi

otak mungkin berada pada tepi bencana dekompensasi, dapat

diselamatkan dengan cara menambah cadangan kompensasi atau

diperburuk oleh tindakan yang tak adekuat, terlambat atau yang

berbahaya.

Walau urut-urutan kejadian berakibat perubahan yang terjadi

dengan peninggian TIK progresif karena sebab apapun, hubungan


antara tingkat TIK dan keadaan neurologik juga tergantung pada

tingkat perubahan dan adanya pergeseran otak. Tumor tumbuh lambat

seperti meningioma mungkin tumbuh hingga ukuran besar tanpa

adanya tanda peninggian TIK. Sebaliknya hematoma ekstradural akut

yang lebih kecil mungkin menyebabkan kompresi otak yang berat dan

cepat.

Peninggian TIK sangat baik ditolerasi bila tak ada

pergeseran otak. Contohnya adalah hipertensi intrakranial jinak

dimana terdapat hubungan bebas CSS dan tidak ada pergeseran otak.

Tingkat TIK yang sangat tinggi, cukup untuk menimbulkan edema

papil, mungkin dapat ditolerasi tanpa ada gangguan kesadaran

apapun.

Konsekuensi Klinik dari Peninggian TIK

Untuk lesi yang membesar cepat seperti hematoma epidural,

perjalanan klinik dapat diprediksi dari hubungan volume-tekanan

yang sudah dijelaskan terdahulu. Pada tahap awal ekspansi massa

intrakranial, perubahan TIK sedikit dan pasien tetap baik dengan

sedikit gejala. Bila massa terus membesar, mekanisme kompensasi

berkurang dan TIK meningkat. Pasien mengeluh nyeri kepala yang

memburuk oleh faktor-faktor yang menambah TIK seperti batuk,

membungkuk atau berbaring terlentang, dan kemudian menjadi

mengantuk. Saat ini, penambahan volume massa sedikit saja

menyebabkan peninggian TIK secara cepat dan terjadi gelombang

tekanan (dP2 melebihi dP1). Penderita menjadi lebih mengantuk.

Kompresi atau pergeseran batang otak menyebabkan peninggian


tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat.

Dengan ekspansi dan peninggian TIK selanjutnya, pasien

menjadi tidak responsif. Pupil tak berreaksi dan berdilatasi,

serta tak ada refleks batang otak. Akhirnya fungsi batang otak

berhenti. Tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi menjadi

lambat dan tak teratur serta akhirnya berhenti.

Efek klinik tingkat peninggian tertentu TIK sangat

bervariasi. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemi.

Karenanya dalam usaha untuk mengerti hubungan antara TIK dan

kegagalan otak, perlu memikirkan hubungan antara TIK, ADS dan

metabolisme otak, serta antara TIK dan pergeseran otak.

Tekanan Intrakranial dan Aliran Darah Otak

Peninggian TIK mungkin mempengaruhi ADS melalui cara:

1. Melalui kompresi arteria serebral, yaitu herniasi subfalsin,

menyebabkan oklusi arteria serebral anterior, atau herniasi

tentorial menyebabkan obstruksi arteria serebral posterior.

2. Dengan meregang dan merobek arteria dan vena batang otak.

Karena batang otak digeser kebawah, arteria basilar ditahan

diposisinya oleh cabang-cabang besar. Arteria perforantes yang

kecil menjadi teregang dan menyempit, menyebabkan iskemi batang

otak.

3. Dengan mempengaruhi perfusi serebral. Otak walau hanya 2 %

dari berat badan, menerima 15 % curah jantung dan menggunakan 20


% dari catu total gula tubuh. Bahkan periode singkat iskemi akan

menyebabkan kerusakan neuronal yang tak dapat pulih.

Total ADS tetap konstan 50 ml/100 g menit-1 pada wilayah yang

lebar dari tekanan perfusi, meski ADS regional berreaksi secara

cepat sesuai kebutuhan metabolik. ADS lebih tinggi pada

kebanyakan substansi kelabu yang aktif secara metabolik (80

ml/100 g menit-1 lebih rendah pada substansi putih yang kurang

selular (20 ml/100 g menit-1). Fenomena ini, yang disebut

autoregulasi, diduga kerja pembuluh yang mempunyai tahanan, yaitu

arteriola. Ketika tekanan darah meningkat, arteriola

berkonstriksi, meningkatkan tahanannya (resistensi

serebrovaskular), dan mencegah peningkatan ADS. Sebaliknya,

penurunan tekanan darah menyebabkan dilatasi arteriola. Pada

setiap bed vaskular, aliran darah tergantung pada perbedaan

tekanan antara arteria dan vena, tekanan perfusi dan tahanan

vaskular. Jadi:

aliran darah = (tekanan arterial - tekanan vena) : tahanan


vaskular

Dan dalam kranium yang tertutup:

ADS = (tekanan arterial - tekanan sinus sagital) : tahanan


serebrovaskular

Dalam praktek, tekanan sinus sagital adalah 1-2 mmHg lebih rendah
dari TIK dan hubungan ini tetap konstan pada wilayah yang luas

dari tekanan, jadi TIK dapat disubstitusikan untuk tekanan sinus

sagital. Jadi formulanya dapat ditulis sebagai:

ADS = (tekanan arterial - TIK) : tahanan serebrovaskular

Sekarang tampak bagaimana kritisnya TIK terhadap ADS. Peningkatan

TIK akan merendahkan tekanan perfusi. Bila pembuluh darah mampu

mengautoregulasi ketika tahanan serebrovaskular berkurang, akan

dipertahankan ADS yang konstan.

Integritas autoregulasi, melalui pengaruhnya pada VDS, juga

mempunyai arti yang penting terhadap TIK. Bila auto regulasi

hilang, tahanan pembuluh serebral mungkin berdilatasi secara

pasif karena pengaruh tekanan perfusi. Jadi darah mungkin

digerakkan melawan tahanan yang rendah ke bed vaskular serebral,

mempertinggi VDS. Ini kadang-kadang dapat menjelaskan

pembengkakan otak akut yang sering tampak setelah cedera kepala

tertutup pada anak-anak serta setelah tindakan menghilangkan

kompresi otak akut pada usia berapapun.

ADS DAN METABOLISME OTAK

ADS regional segera berubah sesuai kebutuhan metabolik lokal,

melalui autoregulasi. Jadi ADS dipengaruhi oleh:


1. tekanan darah arterial

2. tekanan intrakranial

3. autoregulasi

4. stimuli metabolik

5. distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa intrakranial

atau oleh herniasi yang mungkin langsung merusak kapasitas

autoregulasi, menyebabkan bendungan vena lokal (kompresi vena)

atau iskemia (kompresi arterial).

TIK DAN PERGESERAN OTAK

Pada kenyataannya, banyak dari akibat klinis dari peninggian TIK

adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.

Transtentorial

Lateral

Massa yang terletak lebih kelateral menyebabkan pergeseran bagian

medial lobus temporal (unkus) melalui hiatus tentorial serta akan

menekan batang otak secara transversal. Saraf ketiga terkompresi

menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral. Penekanan pedunkel

serebral menyebabkan hemiparesis kontralateral. Pergeseran

selanjutnya menekan pedunkel serebral yang berseberangan terhadap

tepi tentorial menyebabkan hemiparesis ipsilateral hingga terjadi

kuadriparesis. Sebagai tambahan, pergeseran pedunkel yang

berseberangan pada tepi tentorial sebagai efek yang pertama akan


menyebabkan hemiparesis ipsilateral. Indentasi pedunkel serebral

ini disebut 'Kernohan's notch'. Arteria serebral posterior

mungkin tertekan pada tepi tentorial, menyebabkan infark lobus

oksipital dengan akibat hemianopia.

Sentral

Bila ekspansi terletak lebih disentral seperti tumor bifrontal,

masing-masing lobus temporal mungkin menekan batang otak.

Kompresi tektum berakibat paresis upward gaze dan ptosis

bilateral.

Tonsilar

Mungkin merupakan tahap akhir kompresi otak supra-tentorial

progresif, dan menampakkan tahap akhir dari kegagalan batang

otak. Kadang-kadang pada tumor fossa posterior, herniasi

tonsilar berdiri sendiri, menyebabkan tortikolis, suatu refleks

dalam usaha mengurangi tekanan pada medulla. Kesadaran mungkin

tidak terganggu, namun gangguan respirasi terjadi berat dan

cepat.

Subfalsin

Pergeseran permukaan medial hemisfer (girus singulata) didekat

falks mungkin menekan arteria serebral anterior menimbulkan

paralisis tungkai kontralateral. Ini jarang ditemukan berdiri

sendiri.

Pergeseran kebawah terus bertambah berat dan dipercepat oleh


pungsi lumbar; CSS keluar melalui luka pungsi dural dalam

jumlah yang besar untuk beberapa hari, tidak peduli berapa banyak

atau berapa sedikit CSS diambil untuk analisis.

HUBUNGAN PERBEDAAN TEKANAN DENGAN HERNIASI

Pada keadaan normal terdapat hubungan bebas cairan melalui jalur

CSS, dan tekanan dihantarkan secara ekual sepanjang neuraksis.

Namun bila jalur tersumbat, hal tersebut tidak lagi berlaku.

Bila massa mulai meluas dalam kranium, peninggian TIK mula-

mula dihantarkan kecairan spinal dan mungkin dicatat dengan

pungsi lumbar. Sekali tentorium atau foramen magnum terobstruksi

oleh pergeseran jaringan otak, tekanan dibawah sumbatan tidak

lagi benar-benar menunjukkan tekanan diatasnya sehingga cenderung

turun dibawah tekanan normal. Pungsi lumbar pada pasien dengan

lesi intrakranial yang meluas bukanlah indikator yang benar dari

TIK. Ini juga sangat berbahaya. Seperti disebut diatas,

pengambilan cairan dibawah massa, bahkan kebocoran melalui lubang

dural yang diakibatkan jarum pungsi lumbar, akan menambah

perbedaan tekanan dan mempercepat herniasi dan kompresi otak.

Perbedaan Tekanan yang terjadi didalam Kranium

Perbedaan tekanan didalam kranium dikarenakan perluasan massa

lesi. Ketika massa meluas, otak tergeser menjauhi daerah dengan

tekanan rendah dalam usaha menyeimbangkan tekanan. Perbedaan


tekanan ini tidak besar dan biasanya sementara. Sekali terjadi

pergeseran otak, TIK mungkin segera berkurang, karena massa untuk

sementara menyesuaikan diri.

Perbedaan tekanan juga pernah diukur pada jaringan otak pada

penelitian pembentukan edema otak. Tekanan intravaskular

mendorong cairan edema kerongga ekstraselular.

Tekanan jaringan juga tampak lebih tinggi dari TIK

keseluruhan selama pembentukan edema. Untuk kegunaan praktis, TIK

yang dicatat dengan meletakkan kateter atau baud pada cairan yang

berhubungan bebas, akan serupa pada tempat-tempat didalam

kranium, membuktikan tidak ada herniasi tentorial.

EDEMA OTAK

Edema otak didefinisikan sebagai peningkatan volume otak

diakibatkan bertambahnya kandung air jaringan. Istilah

'pembengkakan otak' juga umum, dimana volume bertambah mungkin

pada air jaringan (edema otak), atau pada volume intravaskular

(pembengkakkan otak kongestif). Istilah-istilah ini tak

seluruhnya dapat dipertukarkan.

Kandung air otak normal adalah 80 % dari berat bersih pada

substansi kelabu, dan 68 % berat bersih substansi putih. Pada

otak yang edema, nilainya adalah 77 % pada substansi putih dan 82

% pada substansi kelabu. Jadi kebanyakan peningkatan jumlah air

adalah pada substansi putih, yang kini dapat dipastikan in vivo


dengan CT dan MRI.

Ada beberapa jenis edema otak; vasogenik, sitotoksik,

hidrostatik, hipo-osmolar dan interstitial. Pada konteks bedah

saraf, jenis terpenting adalah edema vasogenik yang khas dengan

penambahan permeabilitas sel kapiler otak. Ini tampak pada

keliling kontusi otak, tumor, abses, dan tepi infark serebral.

Bentuk edema ini paling efektif ditindak dengan steroid.

Pada edema sitotoksik, semua elemen serebral otak (neuron,

glia, sel endotel) mungkin menjadi bengkak, dengan pengurangan

rongga cairan ekstraselular. Hipoksia dan hipo-osmolalitas akut

seperti tampak pada keracunan air, mungkin dipisahkan kedalam

subgrup dari edema sitotoksik.

Edema hidrostatik merupakan penjelasan atas pembengkakan

otak dan peninggian TIK yang parah terkadang tampak setelah

dekompresi hematoma intrakranial yang besar. Penambahan utama

tekanan intravaskular intrakranial dihantarkan pada bed kapiler

yang tak terlindung, dan cairan merembes ke rongga ekstraselular.

Penjelasan lain pembentukan pembengkakan otak adalah bendungan

karena hilangnya autoregulasi dan ekspansi VDS.

Bila terdapat hidrosefalus obstruktif, sering terdapat

daerah radiolusen periventrikular pada CT. Kadangkala ini disebut

edema interstitial, menunjukkan peninggian TIK mendorong air

melintasi ependima dari CSS ke substansi putih periventrikular.

Ini didukung tampilan MRI.

Efek merusak edema otak digambarkan melalui tiga mekanisme


yang saling berhubungan. Pertama adalah peninggian TIK yang

terjadi bila volume air yang me- ngalami ekstravasasi melebihi

batas kompensasi spasial. Akhirnya terjadi pengurangan ADS,

menyebabkan iskemia. Kedua, akumulasi air akan menambah tahanan

serebrovaskuler karena distorsi atau kompresi bed vaskuler, dan

ini akan mengurangi juga ADS regional. Akhirnya efek massa daerah

edema memperparah distorsi dan pergeseran otak. Karena iskemi

serebral sendiri menyebabkan edema otak, mudah untuk melihat

bagaimana siklus visius dapat timbul, dimana edema dan iskemi

otak menjadi progresif.

KEKAKUAN OTAK

Kapasitas kandung intrakranial untuk mengakomodasi perubahan

volume tergantung pada tingkat TIK dan kekakuan otak. Penambahan

volume V menyebabkan penambahan tekanan P1 atau P2 tergantung

pada kemiringan kurva volume-tekanan.

Pengukur kekakuan otak adalah elastance, dimana perubahan

tekanan per unit volume (dP/dV) atau sebaliknya, compliance

(dV/dP).

Kekakuan otak bertambah sebagai pegeseran kekanan sepanjang

kurva volume-tekanan. Namun kekakuan otak juga berubah pada

kelainan patologis yang berbeda. Misalnya edema otak atau

perdarahan intrakranial akan menambah kekakuan otak dan

menggerakkan kurva volume-te- kanan kekiri. Jadi kekenyalan otak


mungkin berubah tanpa tergantung TIK.

Steroid dan mannitol menurunkan TIK namun mengurangi

kekakuan otak pada keadaan yang bahkan pada tingkat yang lebih

besar dari pengurangan TIK sendiri. Hipokarbia dilain fihak

mengurangi kekakuan hanya dengan mengurangi TIK hingga kurva

volume-tekanan tidak berubah.

Kekauan otak dapat diukur dengan menyuntikkan 1 ml cairan

melalui kateter ventrikular dan mencatat peningkatan TIK. Tes

ini disebut sebagai respons volume-tekanan.

Tes ini digunakan sebagai tes klinik untuk menentukan posisi

pasien pada kurva volume-tekanan, dan karenanya dapat menduga

dekompensasi yang mengancam.

OBAT-OBAT ANESTETIK DAN TIK

Obat hipnotik seperti barbiturat menurunkan baik metabolisme

serebral maupun ADS, karenanya juga TIK. Tiopental mampu

memaksimumkan perfusi pada daerah iskemi dengan mengurangi ADS

pada jaringan otak normal dan ini bersama dengan penurunan TIK

menjelaskan aksi protektif.

Obat inhalasional seperti N2O dan obat volatil seperti

halotan, trikloretilen dan metoksifluran meninggikan TIK melalui

vasodilatasi pada pasien dengan jalur CSS normal dan dengan lesi

desak ruang intrakranial. Halotan juga mengurangi tekanan darah

sistemik hingga tekanan perfusi mungkin berkurang jauh.


Peninggian TIK mungkin diminimalkan bila didahului dengan

hipokapnia. Enfluran dan isofluran mempunyai efek serupa halotan,

namun isofluran kurang menimbulkan pembengkakan otak dibanding

halotan dan itu akan mengurangi metabolisme serebral yang

menyebabkannya pantas untuk bedah saraf.

Anda mungkin juga menyukai