Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA SEDANG


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Syaraf di RSUD Ambarawa

Pembimbing :
dr. Takdir

Setiawan, Sp.S

Disusun oleh :
Emiliana
H2A008

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMMADIYAH SEMARANG
2015

LAPORAN KASUS
BAB I

1. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. Tri dedi candra
Umur
: 23 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: wiraswata
Alamat
: durensawit 1/6, pringsurat
Status
: Belum menikah
Tgl masuk RS
: 10 Maret 2015
No RM
: 075952
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 12 Maret 2015 di bangsal melati
Anamnesis
a. Keluhan utama
Nyeri kepala
b. Riwayat Penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUD ambarawa dengan penurunan kesadaran, pasien
merupakan korban kecelakaan lalu lintas, saat pasien dibonceng dengan
kendaraan bermotor, motor yang dinaiki pasien menabrak dari arah depan,
dengan posisi pasien tidak memakai helm, lalu pasien dibawa ke RSUD
Ambarawa.
Saat pasien di UGD, pasien masih mengalami penurunan kesadaran, pasien
juga sempat 1 kali muntah, memuntahkan isi makanan. Dari tubuh pasien
juga tercium bau alkohol (+) dan menduga bahwa sebelum kecelakaan pasien
mengonsumsi alkohol. Selaiin itu juga terdapat luka robek di dagu, luka lecet
di tangan kanan, lutut kaki kiri dan tato (+).
Saat dilakukan pemeriksaan di bangsal pada tanggal 12 Maret dimana pasien
sebelumnya sudah dirawat selama 2 hari di bangsal, pasien masih

mengeluhkan kepalanya sakit dan keluar darah melalui telinga kiri, darah
yang dikeluarkan agak kental dan jumlahnya sedikit tapi keluar terus.
Keadaan umum dan kesadaran pasien saat ini sudah membaik dengan GCS
15.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma sebelumnya disangkal
Riwayat konsumsi narkotika dan obat obatan terlarang disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga
Disangkal adanya sakit serupa
Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal

: pusing

Sistem kardiovaskuler

: tidak ada keluhan

Sistem respirasi

: tidak ada keluhan

Sistem gastrointestinal

: tidak ada keluhan

Sistem muskuloskeletal

: tidak ada keluhan

Sistem integumen

: tidak ada keluhan

Sistem urogenital

: tidak ada keluhan

Resume anamnesis:
Seorang laki laki usia 23 tahun datang dengan riwayat kecelakaan lalu lintas, pasien
mengalami penurunan kesadaran. Pasien tidak ingat saat kejadian berlangsung,
muntah (+) 1 kali, dari tubuh pasien juga tercium bau alkohol (+). Terdapat luka
robek di dagu, luka lecet di tangan kanan, lutut kaki kiri dan tato (+).
DISKUSI I
Dari anamnesis tersebut didapatkan seorang pasien laki laki usia 23 tahun
datang ke RSUD Ambarawa dengan penurunan kesadaran setelah kecelakaan
lalu lintas, pasien juga muntah 1 kali saat di IGD dengan luka di dagu dan
beberapa bagian di tubuh. Pasien tidak bisa kooperatif karena pasien hanya

bisa meronta kesakitan, pada saat dilakukan pemeriksaan juga tercium bau
alkohol dari tubuh pasien. Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap
kepala secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen. Cedera kepala dapat menyebabkam cedera pada
kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak, oleh karenanya dinamakan
juga cedera kranioserebral yang masuk dalam lingkup neurotraumatologi
yang menitikberatkan cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah otak.
Pada pasien ini diambil diagnosis cedera kepala sedang dikarenakan pada
pasien tersebut penilaian GCS masih bernilai 11 (E3V3M5). Untuk
penentuan diagnosis secara pasti, dapat dilihat dari hasil pemeriksaan ct scan
untuk melihat apakah ada kelainan atau tidak.

BAB II
LANDASAN TEORI
CEDERA KEPALA
A. Definisi
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan


fungsi fisik.
B. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi
deselarasi.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

C. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal


3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

nilai ai
4
3
2
1

5
4
3
2
1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah
6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal


Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

3
2
1

c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus
fasialis
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap

berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada


sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf

b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,

ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta


biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak
ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.
Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens
c. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis

10

dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

d. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan
dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai
amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon,
1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk
11

beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,


pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama
dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi atau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara
klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi
bersamaan.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5
cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala
(dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi
jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi
syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos
posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.

12

3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah


disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /
iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan,
sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
13

c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Penurunan tingkat kesadaran


Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktura tengkorak
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial


b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
tanda fokal neurologis semakin berat
terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

Diagnosis Sementara
Diagnosis Klinik

: Nyeri kepala

Diagnosis Topik

: Intrakranial

Diagnosis Etiologik

: Cedera kepala sedang

PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggan 12 Maret 2015)


1. Status Pasien

14

KU
Kesadaran
TD
Nadi
RR
Suhu
Status gizi
Kepala
Leher
Jantung
Inspeksi
Palpasi

: tampak sakit ringan


: Compos mentis, GCS : E4 M6 V5: 15
: 138/840 mmHg
: 76x / menit, regular, isi dan tegangan cukup
: 20x / menit, regular
: 36,7 oC
: kesan gizi cukup
: Kesan mesochepal
: Pembesaran limfonodi (-) dan tiroid (-)

: ictus cordis tidak terlihat


: ictus cordis teraba di ICS V linea midklavikularis
kiri, tidak kuat angkat, thrill (-)
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Suara jantung (SI dan SII normal) reguler, gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris
Palpasi : Stem fermitusnormal, nyeri tekan (-) dan massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, ronkhi (-) dan wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna seperti kulit sekitar.
Auskultasi : Peristaltik 7 kali/ menit (Normal)
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan diseluruh regio abdomen (-), Massa (-)
2. Status Psikis
Tingkah laku
: normoactive
Perasaan hati
: euthymic
Orientasi
: orientasi baik
Daya ingat
: baik
Kecerdasan
: baik
3. Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk
: Kesan mesosefal
Nyeri tekan
: (+)
Simetris
: (+)
B. Leher
Sikap
: normal
Gerakan
: normal
Kaku kuduk
: (-)

15

C. Nervi Cranialis
N I. (OLFAKTORIUS)

Kanan

Kiri

Subjektif
Dengan bahan

Tdl
Kopi dan Teh

Tdl
Kopi dan Teh

N II. (OPTIKUS)

Kanan

Kiri

Tajam Penglihatan
Lapang Pengelihatan
Penglihatan Warna
Pem. Fundus okuli

Tdl
Tdl
Tdl
Tdl

Tdl
Tdl
Tdl
Tdl

N III.
(OKULOMOTORIUS)

Kanan

Kiri

Palpebra
Pergerakan bulbus
Strabismus
Nystagmus
Exophtalmus
Pupil, besarnya
Bentuknya
Reflek cahaya langsung
Reflek cahaya tak langsung
Diplopia

Normal
Normal
(-)
(-)
(-)
3 mm
Bulat isokor
(+)
(+)
(-)

Normal
Normal
(-)
(-)
(-)
3 mm
Bulat isokor
(+)
(+)
(-)

N IV. (TROKHLEARIS)

Kanan

Kiri

Pergerakan mata
(kebawah keluar)
Sikap bulbus

Normal
(-)
Normal

Normal
(-)
Normal

N V. (TRIGEMINUS)

Kanan

Kiri

16

Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Sensibilitas muka

(+)
(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)
(+)

N VI. (ABDUSEN)

Kanan

Kiri

Pergerakan mata ke

Normal

Normal

lateral
Sikap bulbus
Diplopia

(-)
(-)

(-)
(-)

N VII. (FASIALIS)
Kerutan kulit dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Lipatan naso-labia

Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal

kiri
Normal
Normal
Normal
Normal

N VIII. (AKUSTIKUS)
Suara bisik
Tes Weber
Tes Rinne

Kanan
Normal

kiri
Berkurang
Tdl
Tdl

Tdl
Tdl

N IX.

Kanan

kiri

(GLOSOFARINGEUS)
Perasaan lidah
Bagian belakang
Sensibilitas pharynx

Normal
Normal
Normal

Normal
Normal
Normal

N X. (VAGUS)
Arcus faring
Bicara
Bersuara
Menelan

Kanan
Simetris
(+)
(+)
(+)

kiri
Simetris
(+)
(+)
(+)

Kanan

kiri

N XI. (AKSESORIUS)
17

Memalingkan kepala

kontur otot tegas

kontur otot tegas

dan konsistensi

dan konsistensi

keras, adekuat

keras, adekuat

adekuat
simetris
(-)

adekuat
simetris
(-)

Kanan
deviasi (-)
kuat (+)
jelas
(-)
(-)
lurus (+)

Kiri
deviasi (-)
kuat (+)
jelas
(-)
(-)
lurus (+)

mengangkat bahu
Sikap bahu
trofi otot bahu

N XII. (HIPOGLOSUS)
Sikap lidah
kekuatan lidah
Artikulasi
trofi otot lidah
Tremor lidah
Menjulurkan lidah

D. ANGGOTA GERAK ATAS


Motorik
Inspeksi:
Drop hand
Claw hand
Pitchers hand
Kontraktur
Warna kulit
Palpasi:
Lengan atas
Lengan bawah dan tangan
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Reflek fisiologik
Bisep
Trisep
Reflek Patologis

18

Kanan

Kiri

(-)
(-)
(-)
(-)
Normal

(-)
(-)
(-)
(-)
Normal

Tidak ada

Tidak ada

kelainan
Tidak ada

kelainan
Tidak ada

kelainan
Normal
5-5-5
Normal
Eutrofi

kelainan
Normal
5-5-5
Normal
Eutrofi

(+)
(+)

(+)
(+)

(+)
(+)

(+)
(+)

(-)

(-)

Reflek Hofman
Reflek Trommer

(-)

(-)

Kanan

kiri

(-)
(-)
(-)
(-)
Normal
Normal
5-5-5
Normal
eutrofi

(-)
(-)
(-)
(-)
Normal
Normal
5-5-5
Normal
eutrofi

(+)
(+)

(+)
(+)

(+)
(+)
(-)

(+)
(+)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

E. ANGGOTA GERAK BAWAH


Motorik
Inspeksi:
Drop foot
Claw foot
Pitchers foot
Kontraktur
Warna kulit
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Reflek Fisiologik
Patella
Achilles
Perluasan reflek
Reflek Patologis
Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Gonda
Rossolimo
Mandel- Bechtrew

19

F. FUNGSI VEGETATIF
Miksi
: retensio urin (-), anuria (-), dan poliuria(-)
Defekasi : inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin
Hemoglobin 14,2
Leukosit 20,3 H
Eritrosit 4,87
Hematokrit 42,5
MCV 87,3
MCH 29,2
MCHC 33,4
Trombosit 223
Kimia Klinik:
Gula darah sewaktu 156 H
SGOT 81 H
SGPT 112 H
Ureum 27,3
Kreatinin 0,9

2. CT Scan

20

Kesan:
Tak tampak perdarahan maupun gambaran peningkatan tekanan
intra kranial
Pada CT Scan kepala tanpa kontras saat ini tak tampak garis
fraktur pada os cranium.

DISKUSI II
Pada kasus diatas termasuk dalam cedera kepala sedang, karena saat pertama kali
pasien masuk rumah sakit ditemukan adanya penurunan GCS (E3V3M5) disertai
dengan perdarahan yang keluar melalui telinga kiri. Pada saat dilakukan
pemeriksaan di bangsal pada tanggal 12 Maret keadaan pasien sudah membaik
dimana GCS 15, tetapi memang pada pemeriksaan nervus kranial VIII ditemukan
gejala penurunan pendengaran dengan keadaan klinis keluar darah dari telunga
kiri. Keadaan membaik pasien juga didukung oleh hasil CT Scan dimana hasilnya
memberi kesan tak tampak perdarahan maupun gambaran peningkatan tekanan
intra kranial dan juga tak tampak garis fraktur pada os cranium.
DIAGNOSA AKHIR

21

Diagnosis Klinik :
Nyeri kepala
Diagnosis Topik :
Intracranial
Diagnosis Etiologik :
Cedera kepala sedang
Rencana Terapi
Farmakologi

Infus RL 20 tpm
Inj piracetam 2x3 gram
Inj citicolin 2x500 mg IV
Inj ranitidin 2x1 ampul
Inj metilprednisolon 3x125

Citicolin berperan untuk perbaikan membran sel melalui peningkatan


sintesis phosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik yang rusan melalui
potensial dari produksi asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan kemampuan
untuk meningkatkan kemampuan kognitif, citicoline diharapkan mampu
membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala dengan cara
membantu dalam pemulihan darah ke otak
Piracetam berperan meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktifitas
adenyl kinase yang merupakan kunci metabolisme energi dimana mengubah ADP
menjadi ATP dan AMP. Piracetam juga digunakan untuk perbaikan defisit
neurologi khususnya kelemahan motorik dan keampuan bicara pada kasus kasus
cerebral iskemia.
Ranitidin diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan
interaksi dari obat lain.
Metilprednisolon

digunakan

untuk

efek

glukokortikoid

(sebagai

antiinflamasi) yaitu menurunkan ata mencegah respon jaringan terhadap proses


inflamasi termasuk makrofag dan laukosit pada lokasi inflamasi.

Monitoring
22

Monitoring KU dan TV
Monitoring kejang dan penurunan kesadaran
Monitoring vulnus laseratum (post hetting)
Edukasi
Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit, komplikasi
serta penanganannya
Memberitahu pemeriksaan penunjang yang diberikan.
Menyarankan kepada keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien.

Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanam

: dubia
: dubia
: dubia

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK UNIKA ATMAJAYA. 2009. Panduan
praktis diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: egc
2. Price sa, wilson lm. 2005. Anatomi dan fisiologi sistem saraf.
Jakarta : EGC
3. Harsono. 2005. Kapita selekta neurologi. Yogyakarta: gadjah mada
universiti press

23

4. Mahar mardjono, priguna sidharta. 2004. Neurologi klinis dasar. Jakarta:


dian rakyat
5. American College of Surgeons, 1997,

Advance Trauma Life Suport.

United States of America: Firs Impression


6. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC
7. De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai