OLEH : KELOMPOK 3a
A11-A
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widh Wasa
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat Beliaulah penulis bisa membuat dan
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Konsep Asuhan Keperawatan SLE dan
Cholelitiasis“.
Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat untuk
meningkatkan penguasaan kompetensi mahasiswa sesuai dengan standar
kompetensi yang diharapkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah ini dimasa mendatang dan diakhir
kata penulis ucapkan terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
(batu empedu). Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan
yang penting di Negara barat sedangkan di indonesia baru mendapatkan
perhatian klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai kluhan. Resiko
penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relative
kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan
nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit
akan terus meningkat. Batu empedu umumnya ditemukan didalam kandung
empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam
saluran empedu menjadi batu saluran empedu disebut batu saluran empedu
sekunder.
Dinegara barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai
saluran empedu. Pada eberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk
primer didalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan
kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada
pasien diwilayah asia dibandingkan dengan pasien dinegara barat. Perjalanan
batu slauran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi lebih sering
dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimptoatik.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan SLE (Sistemic Lupus
Erythematosus).
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan cholelitiasis.
2
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan yang penulis dapatkan dalam pembuatan makalah ini yaitu
sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat wajib mengetahui dan mampu
memahami konsep asuhan keperawatan SLE (Sistemic Lupus Erythematosus)
dan Cholelitiasis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
B. Etiologi
Etiologi penyakit SLE yaitu:
1) Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human
Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA –
4
DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan
pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu
faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90%
orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2) Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
3) Faktor Hormonal
5
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah resiko SLE,
sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
4) Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan
bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar
Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan
sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran pebuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat
dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
6
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazi
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor – faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reprodujtif). Dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat- obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniasid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat – obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
7
D. Pathway
Genetik, Kuman/Virus, Sinar
Ultraviolet, Obat-Obatan Tertentu
Autoimun yang
berlebihan
Penyakit Lupus
Gangguan
ATP Tumbuh Defisit
Kembang nutrisi
Keletihan
8
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik SLE yaitu:
1) Pemeriksaan Laboratorium
a. Tes Anti ds-DNA
- Batas normal : 70 – 200 IU/mL
- Negatif : < 70 IU/mL
- Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan
SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah
yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan
yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit
SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi
antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang
menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik
(Pagana and Pagana, 2002).
b. Tes Antinuclear antibodies (ANA)
- Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun
yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi
menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi
9
adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang
tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif
maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain,
tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi
yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP
(anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La)
(Pagana and Pagana, 2002).
2) Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang
diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain
adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs
test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation
Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi
hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Ruam kulit atau lesi yang khas
b. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
c. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung
d. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari
0,5 mg/hari atau +++
e. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis
sel darah
f. Biopsi ginjal
g. Pemeriksaan saraf
10
F. Terapi
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE yaitu:
1) Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan
oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri.
Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik
yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi
kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara
langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan
diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya
osteoporosis.
2) Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh
pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi
fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan
lain-lain.
3) Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID
(Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang
dialami.
a. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada
tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit
pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen,
baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan
efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah,
diare dan perdarahan lambung.
11
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau
tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian
penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral,
injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon.
Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi,
namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama. Beberapa
efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari
meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis,
meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
c. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih
sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping
pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan
gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa
meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata
berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama
dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan
untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
d. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk
menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.
12
G. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) yaitu:
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan:
a. Perubahan sirkulasi
b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)
c. Kekurangan/kelebihan volume cairan
d. Penurunan mobilitas
e. Bahan kimia iritatif
f. Suhu lingkungan yang ekstrem
g. Faktor mekanis (mis penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau
faktor elektris (elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi)
h. Efek samping dari radiasi
i. Kelembaban
j. Proses penuaan
k. Neuropati perifer
l. Perubahan pigmentasi
m. Perubahan hormonal
n. Kurang terpapar informasi tentang upaya
mempertahankan/melindungi integritas jaringan
13
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan:
a. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
b. Tirah baring
c. Kelemahan
d. Imobilitasn
e. Gaya hidup monoton
14
f. Stres berlebihan
g. Depresi
15
k. Sindrom hipoventilasi
l. Kerusakan inersi diafragma (kerusakan saraf C5 keatas)
m. Cedera pada medula spinalis
n. Efek agen farmakologis
o. Kecemasan
16
d. Pengabaian
e. Terpisah dari orang tua dan atau orang terdekat
f. Difisiensi stimulus
17
Yang ditandai dengan:
a. Gejala dan tanda mayor
Subjektif: -
Objektif :
- Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
b. Gejala dan tanda minor
Subjektif :
- Cepat kenyang setelah makan
- Kram/nyeri abdomen
- Nafsu makan menurun
Objektif:
- Bising usus hiperaktif
- Otot pengunyah lemah
- Otot menelan lemah
- Membran mukosa pucat
- Sariawan
- Serum albumin turun
- Rambut rontok berlebihan
- Diare
18
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung
empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung
empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu
disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk
dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari
kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70%
batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol
dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat,
komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu
empedu mengandung kolesterol lebih dari 80%.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa
kolelitiasis adalah endapan satu atau lebih komponen empedu berupa
kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu, kalsium dan protein, yang
kemudian menghambat aliran empedu dan menyebabkan proses inflamasi
akut.
B. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan
asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein
dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah
kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi
jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu (Denis, 2005)
19
Menurut Lesmana (2000), Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa
faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1) Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2) Usia lebih dari 40 tahun
3) Kegemukan (obesitas)
4) Faktor keturunan
5) Aktivitas fisik
6) Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7) Hiperlipidemia
8) Diet tinggi lemak dan rendah serat
9) Pengosongan lambung yang memanjang
10) Nutrisi intravena jangka lama
11) Dismotilitas kandung empedu
12) Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13) Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,
pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus
(kekurangan garam empedu)
14) Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit
putih, baru orang Afrika)
C. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: pembentukan
empedu yang supersaturasi, nukleasi atau pembentukan inti batu, dan
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,
kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut
dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk
cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol,
20
dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi
sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau
terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu
pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri,
fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain
diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat
anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin)
pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin
terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak
terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil
tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari
bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut
dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi
pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu
tapi ini jarang terjadi.
21
D. Pathway
F. Terapi
Terapi yang dapat dilakukan pada kolelitiasis yaitu:
1) Ranitidin
Komposisi : Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50
mg/ml injeksi.
Indikasi : ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap
simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung ( Dalam kasus
23
kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti
emetik).
Perhatian : pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala
karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
2) Buscopan (analgetik /anti nyeri)
Komposisi : Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi
Indikasi : Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih
wanita.
Kontraindikasi : Glaukoma hipertrofiprostat.
3) Buscopan Plus
Komposisi : Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg,.
Indikasi : Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri
spastik pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.
4) NaCl
- NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana
kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di
dalam plasma tubuh.
- NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam
plasma tubuh
.
G. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Batu Empedu (cholelitiasis) yaitu:
1) Nyeri Akut berhubugan dengan:
a. Agen Pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasa)
b. Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bakan kimia iritan)
c. Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
24
- Mengeluh nyeri
Objektif :
- Tampak meringis
- Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
- Gelisah
- Frekuensi nadi meningkat
- Sulit tidur
b. Gejala dan tanda minor
Subjektif : -
Objektif :
- Tekanan darah meningkat
- Pola nafas berubah
- Nafsu makan berubah
- Proses berfikir terganggu
- Menarik diri
- Berfokus pada diri sendiri
- Diaforesis
25
Subjektif :
- Cepat kenyang setelah makan
- Kram atau nyeri abdomen
- Nafsu makan menurun
Objektif :
- Bising usus hiperaktif
- Otot pengunyah lemah
- Otot menelan lemah
- Membran mukosa pucat
- Sariawan
- Serum albumin turun
- Rambut rontok berlebihan
- Diare
26
Yang ditandai dengan:
a. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : -
Objektif :
- Kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit
b. Gejala dan tanda minor
Objektif :
- Nyeri
- Perdarahan
- Kemerahan
- Hematoma
27
Objektif :
- Tampak gelisah
- Tampak tegang
- Sulit tidur
b. Gejala dan tanda minor
Subjektif :
- Mengeluh pusing
- Anoreksia
- Palpitasi
- Merasa tidak berdaya
Objektif :
- Frekuensi nafas meningkat
- Frekuensi nadi meningkat
- Tekanan darah meningkat
- Diaforesis tremor
- Muka tampak pucat
- Suara bergetar
- Kontak mata buruk
- Sering berkemih
- Berorientasi pada masa lalu
28
j. Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan
k. Proses keganasan
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan. Adapun beberapa penyebab dari lupus yaitu faktor genetik,
faktor imunologi (antigen, kelainan intrinsik sel T dan sel B, kelainan antibodi),
faktor hormonal, serta faktor lingkungan (infeksi virus dan bakteri, paparan
sinar ultra violet, stress, obat-obatan). Kolelitiasis adalah endapan satu atau
lebih komponen empedu berupa kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu,
kalsium dan protein, yang kemudian menghambat aliran empedu dan
menyebabkan proses inflamasi akut.
3.2 Saran
Karena setiap hari kita hidup dilingkungan yang selalu dikelilingi oleh
berbagai ancaman bibit penyakit maka memiliki dan memelihara sistem imun
yang sehat dan optimal menjadi sangat penting.
30
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta : EGC
31