Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan kesehatan di negara berkembang yang dikeluhkan oleh
masyarakat adalah kesehatan fisik dan jiwa. Masyarakat dihadapkan dalam
berbagai permasalahan kehidupan yang sangat konfliks, hal ini membuat
sebagian masyarakat harus berjuang mengatasi tekanan hidup serta mampu
beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Bahkan dengan banyaknya
tekanan tersebut, tidak sedikit masyarakat akhirnya memiliki tingkat
frustasi,depresi dan stres yang tinggi sehingga menyebabkan masalah
kesehatan jiwa. Sehat merupakan kondisi dimana seseorang sejahtera dari
segi fisik maupun rohani. Kesehatan harus dilihat secara keseluruhan dimana
kesehatan jiwa merupakan salah satu aspek yang penting (Sulistiowati,2015).
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seseorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat berkerja secara produktif
dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (UU No. 18 tahun
2014).
World Health Organization (WHO) Menyebutkan masalah utama
gangguan jiwa didunia adalah Skizofrenia (Stuart & Laraia 2005).
Skizofrenia merupakan gangguan psikis yang ditandai dengan penyimpangan
realitas,resiko menyakiti diri sendiri dan orang lain, penarikan diri dari
interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognitif (Stuart,
2013). Salah satu gejala Skizofrenia sendiri adalah Resiko Perilaku
Kekerasan, Resiko Perilaku kekerasan timbul akibat rasa tidak nyaman dan
panik yang terjadi akibat stressor dari dalam dan luar lingkungan. Perilaku
kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dangan adanya perasaan
tidak berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang
lain. (Wahyuni,2010;fauziah,2010). Resiko Perilaku Kekerasan adalah ketika
individu beresiko melakukan perilaku yang dapat membahayakan orang lain
secara fisik, emosional maupun seksual (NANDA,2012)

1
2

Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena


depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5
juta terkena dimensia. Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami
peningkatan yang sangat signifikan di berbagai belahan dunia. Data dari
WHO dalam Yosep (2013) menunjukkan hampir 24 juta orang di seluruh
dunia menderita gangguan skizofrenia dengan angka kejadian 1 per 1000
penduduk. Data yang didapatkan dari WHO menunjukkan di Amerika Serikat
300.000 orang setiap tahun menderita skizofrenia dan Eropa berkisar 250.000
orang (VOA, 2016).
Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia cukup banyak,
diperkirakan prevalensi gangguan jiwa berat dengan psikosis/ skizofrenia
diIndonesia pada tahun 2014 adalah 1.728 orang. Adapun proposi rumah
tangga yang pernah memasung gangguan jiwa berat sebesar 1.655 rumah
tangga dari 14,4% terbanyak tinggal di pedasaan, sedangkan yang tinggal
diperkotaan sebanyak 10,8%. Selain itu prevalensi gangguan mental
emosional pada penduduk umur lebih dari 15 tahun di Indonesia secara
nasional adalah 6.0% (37.728 orang dari subjekyang dianalisis). Provinsi
dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi
Tengah (11,4%), Sedangkan yang terendah dilampung (1,2 %)(Riset
Kesehatan Dasar, 2018).
Di Provinsi Bengkulu Khususnya Di Rumah sakit Khusus Jiwa
Soeprapto (RSJK) jumlah penduduk bengkulu tahun 2018 yang mengalami
gangguan jiwa sebanyak 57.128 jiwa, 4707 orang di antaranya di rawat inap
RSJK Soeprapto dan 28.777 orang lainya menjalani rawat jalan di RSJK
Bengkulu. Berdasarkan buku rigister tahun 2018 di ruang inap Murai A
pasien yang menglami Resiko Perilaku Kekerasan(RPK) sebanyak 6.8%, di
ruang Murai B sebanyak 7,9%, di ruang Murai C sebanyak 5,8% dan di
Ruang Angrek sebanyak 8.7%. Pada penanganan masalah gangguan jiwa
terdapat salah satu diagnosa keperawatan yaitu risiko perilaku kekerasan.
Dampak yang dapat ditimbulkan pada pasien resiko perilaku kekerasan
adalah kehilangan kontrol, Membahayakan diri sendiri dan orang lain. Pada
situasi ini pasien dengan Perilaku kekerasan bisa Resiko bunuh diri dan
3

membunuh orang lain,bahkan merusak lingkungan sekitar untuk itu dampak


perilaku kekerasan dibutuhkan penanganan yang khusus dan tepat, Maka dari
itu dibutuhkan peran perawat yang cermat untuk melakukan pendekatan dan
membantu klien dalam memecahkan masalah(Muthin 2015).
Peran perawat yang dapat dilakukan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan yaitu melakukan
latihan relaksasi atau latihan nafas dalam,membantu pasien mengendalikan
prilaku kekerasan dengan cara fisik (pukul kasur/bantal), membantu pasien
latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara social/verbal,bantu pasien
latihan mengendalikan perilaku kekerasan cara spiritual,bantu pasien
melakukan Latihan Komunikasi Asertif. Membantu pasien latihan
mengendalikan perilaku kekerasan dengan patuh minum obat(bantu pasien
minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar, disertai penejelasan
guna obat dan akibat berhenti minum obat, susun jadwal minum obat secara
teratur).
Tindakan perawat untuk membantu pasien mengontrol marah dan
berkomunikasi asertif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, perilaku yang baik, peningkatan kemampuan mencari
pemecahan masalah dan perubahan pikiran menjadi positif (Dyah
Wahyuningsih 2008). Komunikasi Asertif merupakan salah satu cara untuk
melatih kemampuan komunikasi interpersonal dalam berbagai situasi (Stuart
& Laraia, 2005). Penerapan Komunikasi asertif yang merupakan penelitian
dari Dyah Wahyuningsih Dkk (2008), jika pasien melakukan komunikasi
asertif, pasien dapat menunjukan peningkatan berkomunikasi, perilaku yang
baik, peningkatan kemampuan mencari pemecahan masalah dan perubahan
pikiran menjadi positif. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai Penerapan Komunikasi Asertif pada
Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di RSKJ Soeprapto Bengkulu.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat penulis angkat dalam karya tulis ilmiah
ini adalah Bagaimana Penerapan Komunikasi Asertif pada pasien dengan
Resiko Perilaku Kekerasan ?
4

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan penerapan komunikasi asertif pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan di RSKJ Seoprapto Bengkulu 2019.
2. Tujuan Khusus
a. Mendiskripsikan pengkajian pada pasien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan menerapan komunikasi asertif di RSKJ
soeprapto Bengkulu
b. Dideskripsikan diagnosa atau masalah keperawatan sesuai prioritas
mengenai penerapan komunikasi asertif pada pasien dengan Resiko
Perilaku Kekerasan di RSKJ soeprapto Bengkulu
c. Dideskripsikan rencana keperawatan dengan menerapan
komunikasi asertif pada pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di RSKJ soeprapto Bengkulu
d. Dideskripsikan implementasi penerapan komunikasi asertif yang
nyata pada pasien Risiko Perilaku Kekerasan dengan menerapkan
komunikasi asertif di RSKJ Soeprapto Bengkulu
e. Dideskripsikan evaluasi penerapan komunikasi asertif pada pasien
Risiko Perilaku Kekerasan di RSKJ Soeprapto Bengkulu
f. Mendiskripsikan pendokumentasian keperawatan jiwa pada pasien
dengan gangguan resiko perilaku kekerasan
D. Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan informasi dari penerapan
komunikasi asertif pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan
2. Bagi Klien dan Keluarga
Sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang perawatan
gangguan jiwa dan masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan, juga
dapat memberikan kepuasan bagi keluarga klien atas asuhan keperawatan
yang dilakukan.
3. Bagi pelayanan kesehatan
5

a. Hasil tugas akhir ashan ini dapat dipergunakan terhadap hasil dari
penerapan komunikasi asertif pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan yang telah diberikan.
b. Hasil tugas akhir atau keperawatan ini dapat dijadikan sebagai
bahan acuan dalam menentukan kebijaksanaan oprasional
pelayanan kesehatan sebagai langkah untuk memajukan mutu
pelayanan keperawatan.
4. Bagi Akademi
Dapat meningkatkan kualitas dan pengembangan ilmu pengetahuan
tentang asuhan keperawatan jiwa khususnya penerapan komunikasi
asertif pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan dan dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan serta masukan sehingga dapat
mengetahui lebih banyak jenis pelayanan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai