Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, psikologi, spiritual maupun

sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial

dan ekonomis (UU No. 36 tahun 2009). Kesehatan jiwa adalah berbagai

karakteristik positif yang mengambarkan keselarasan dan keseimbangan

kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Menurut World

Health Organization (WHO dalam Kusumawati, 2011). Kesehatan Jiwa

adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang

optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan/atau masyarakat. Manusia akan beradaptasi terhadap

keseimbangan melaluimekanisme penanganan yang dipelajari pada masa

lampau. Apabila manusia berhasil beradaptasi dengan masa lampau, berarti ia

telah mempelajari aktivitas mekanisme penanganan yang adekuat untuk

beradaptasi terhadap kesulitan yang lebih kompleks dimasa mendatang dan

bisa menyebabkan terjadinya keadaan yang mernpunyai pengaruh buruk

terhadap kesehatan jiwa atau gangguan jiwa. (UU No. 18 tahun 2014 pasal 1

ayat 4).

Gangguan jiwa adalah perubahan respon menjadi maladaptif dalam pikiran,

perasaan, perilaku yang menyebabkan distress, ketidakmampuan yang

1
Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung
2

mengakibatkan gangguan personal, gangguan fungsi sosial, penderitaan serta

kematian. Stressor sosiokultural, stress yang menumpuk dapat menunjang

terhadap awitan skizophrenia dan gangguan psikotik lainnya (Stuart, 2013

dalam jurnal Dilfera, 2018).

(World Heatlh Organisation, 2009 dalam Nita, 2012) memperkirakan

sebanyak 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental,

terdapat sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan

25% penduduk di perkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia

tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara

keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030.

Gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu

juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa, ini termasuk

dampak dari gangguan jiwa yg mana dapat melukai diri sendiri, orang lain

danlingkungan (Badan PPSDM, 2012). Penderita gangguan jiwa berat dengan

usia diatas 15 tahun di Indonesiamencapai 0,4%. Hal ini berarti terdapat lebih

dari satu juta orang diindonesia yang mengalami gangguan jiwa berat.

Berdasarkan data tersebutdiketahui 11,6% penduduk indonesia mengalami

gangguan mentalemosional (Riskesdas, 2007). Pada tahun 2013 jumlah

penderita gangguan jiwa berat mencapai 1,7% per 1000 penduduk atau

sekitar400.000 jiwa (Riskesdas, 2013). Salah satu gangguan jiwa yang kita

jumpai diIndonesia adalah skizofrenia (Keliat, dkk. 2011).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


3

Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau

ketidak mampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham),

afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir

abstrak) dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang

yang mengalami skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar,

memahami dan menerima realita, gangguan emosi/perasaan, tidak mampu

membuat keputusan, serta gangguan dalam melakukan aktivitas atau

perubahan perilaku (Keliat,2012 dikutip dalam Nurma,2018). Salah satu yang

termasuk dalam skizofrenia cenderung memiliki resiko perilaku kekerasan

yang merupakan suatu tanda dan gejala positif dari gangguan skizofrenia

yang lebih dari satu persen (WHO, 2012).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku

yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan

barang-barang (Maramis dalam Yosep, 2009 dalam jurnal Puji 2013).

Sedangkan dari kasus kedaruratan psikiatrik, data yang paling banyak

ditemukan adalah bunuh diri dan perilaku kekerasan (Yosep, 2009 dalam

jurnal Puji, 2013). Resiko perilaku kekerasan merupakan salah suatu diagnosa

yang memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain, karena jika

pasien tersebut kambuh maka dapat membahayakan diri sendiri, orang lain,

dan lingkungan baik secara fisik maupun emosional, seksual, dan verbal.

Resiko perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu resiko perilaku

kekerasan yang sedang berlangsung dan maupun resiko perilaku kekerasan

yang terdahulu atau memiliki riwayat resiko perilaku kekerasan (Keliat, 2012).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


4

Berdasarkan hasil penelitian (Welton, 2008 dalam Volavka, 2012) dalam

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah dengan

pemberian psikofarmaka, psikoterapi dan modifikasi lingkungan.

Psikofarmaka yang diberikan pada klien perilaku kekerasan berupa

pemberian obat antipsikotik baik typical, atypical, maupun kombinasi typical

dan atypikal. Antipsikotik atipikal bekerja memblok efek dopamin dan

serotonin pada post sinap reseptor. Antipsikotik atypikal mengatasi gejala

positif maupun gejala negatif Skizofrenia. Antipsikotik atypikal juga dapat

mengatasi gejala mood, perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri, kesulitan

dalam sosialisasi, dan gangguan kognitif pada Skizofrenia. Obat antipsikotik

typikal adalah antagonis dopamin yang berfungsi untuk menurunkan gejala

posif Skizofrenia. Pemberian psikofarmaka antipsikotik tersebut berfungsi

menurunkan gejala perilaku kekerasan pada klien Skizofrenia. Tindakan

keperawatan yang dilakukan dalam bentuk asuhan keperawatan kesehatan

jiwa yang diberikan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

pada keadaan sehat, resiko dan gangguan jiwa dengan melakukan strategi

preventif, strategi antisipasi dan strategi pengekangan. Strategi tersebut

dilakukan sebagai upaya untuk pencegahan perilaku kekerasan, untuk

mencegah terulangnya perilaku kekerasan dan dilakukan pada fase akut

gangguan jiwa (Stuart, 2013).

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuahan Keperawatan pada klien resiko perilaku kekerasan

dirumah sakit jiwa Provinsi Lampung 2020?

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk melaksanakan Asuhan Keperawatan yang akan di berikan untuk

klien dengan masalah resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hasil pengkajian keperawatan terhadap klien dengan

masalah perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Lampung.

b. Mengetahui hasil diagnosis keperawatan terhadap klien dengan

masalah perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Lampung.

c. Mengetahui hasil rencana keperawatan terhadap klien dengan masalah

perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

d. Mengetahui hasil pemberian intervensi keperawatan terhadap klien

dengan masalah perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Lampung.

e. Mengetahui hasil evaluasi keperawatan terhadap klien dengan masalah

perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan pada proposal ini dapat memberikan informasi dan

pencegahan masalah dalam keperawatan jiwa khususnya tentang Asuhan

keperawatan pada resiko perilaku kekerasan.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


6

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Proposal ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk memberikan Asuhan

Keperawatan dan memberikan intervensi dalam pemberian secara

tepat untuk pasien resiko perilaku kekerasan.

b. Bagi Rumah Sakit

Proposal ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi untuk

pemberian intervensi dalam pelaksanaan pemberian asuhan

keperawatan dirumah sakit.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Proposal ini dapat menambah referensi, informasi dan sebagai ilmu

pengetahuan tambahan untuk mahasiswa-mahasiswi Fakultas

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu lampung.

d. Bagi Klien

Klien dapat menerima asuhan keperawatan yang diberikan secara tepat

dan komperhensif.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Resiko Perilaku Kekerasan

1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang

melakukantindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada

diri sendiri maupun orang lain (Afnuhazi, 2015). Resiko perilaku

kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu tersebut

dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada orang

lain. (NANDA-I, 2012-2014, Herdman, 2012).Resiko perilaku kekerasan

adalah suatu keadaan di mana seorang melakukan tindakan yang dapat

membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah

berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak

terkontrol (Yosep, 2013).

2. Tahapan Resiko Perilaku Kekerasan

a. Tahap 1 : Tahap memicu

Perasaan : Kecemasan

Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindarikontak

Tindakan perawat : Mengidentifikasi faktor pemicu, mengurangi

kecemasan, memecahkan masalah bila

memungkinkan.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


8

b. Tahap 2 : Tahap Transisi

Perasaan : Marah

Perilaku : Agitasi meningkat

Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga

pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan

pengarahan, mengajak kompromi, mencari

dampak agitasi atau meminta bantuan.

c. Tahap 3 : Krisis

Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi

Perilaku : Agitasi, gerakkan mengancam, menyerang orang

sekitar, berkata kotor dan berteriak.

Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga

jarak pribadi, hangat (tidak mengancam)

konsekuensi, cobalah untuk menjaga komunikasi.

d. Tahap 4 : Perilaku Merusak

Perasaan : Marah

Perilaku : Menyerang, merusak

Tindakan perawat : Lindungi klien lain, menghindar, melakukan

pengekangan fisik.

e. Tahap 5 : Tahap Lanjut

Perasaan : Agresi

Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan

Destruktif, pengurangan tingkat gairah.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


9

Tindakan perawat : Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru

masih memungkinkan, hindari pembalasan atau

balas dendam.

f. Tahap 6 : Tahap Peralihan

Perasaan : Marah

Perilaku : Agitasi, mondar-mandir

Tindakan perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama

(Fontaine, 2009 di kutip dalam Satrio, dkk, 2015)

3. Proses Terjadinya Resiko Perilaku Kekerasan

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktoryang mendasari atau mempermudah

terjadinya perilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, niali-nilai

kepercayaan maupun keyakinan berbagai pengalaman yang dialami

setiap orang merupakan faktor prdisposisi yang artinya mungkin terjadi

dan mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan (Direja, 2011 dalam

jurnal Dwi, 2015) sejalan dengan pendapat (Muhith, 2015) Faktor

prediposisi merupakan faktor yang mempermudah dalam menyebabkan

terjadinya perilaku seorang seperti keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,

tradisi dan sebagainya. Berbagai pengalaman yang dialami seorang

mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika

faktor berikut dialami oleh individu seperti: faktor biologis, faktor

psikologis, dan sosial budaya .

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


10

1) Faktor Biologis

Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor

penyebab (predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi)

terjadinya perilaku kekerasan pada individu. Faktor predisposisi

yang berasal daei biologis dapat dilihat sebagai suatu keadaan atau

faktor risiko yang dapat mempengaruhi peran manusia dalam

menghadapi stressor (Stuart, 2016) sejalan dengan pendapat

(Purwanto, 2015) Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan

disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat,

akibat dari psikologis terhadap stimulus eksternal, internal,

maupun lingkungan.

a) Struktur Otak (Neuroanatomi)

Penelitian ini di fokuskan pada tiga area yang diyakini

terlibat dengan perilaku agresif adalah system limbik,

lobus frontal, dan hypothalamus. Neurotransmitter juga

diusulkan memberikan peran dalam munculnya resiko

perilaku kekerasan untuk menekankan dalam masalah tersebut

(Stuart, 2016). Neuroanatomi mempunyai peran dalam

menghambat rangsangan, yang akan mempengaruhi sifat

agresif, sistem limbik sangat berpengaruh dalam menstimulasi

timbulnya perilaku bermusuhan dan reaspon agresif (Yosep,

2013).Kerusakan struktur pada limbik dan lobus frontal serta

lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu

untuk memodulasi agresif sehingga menyebabkan perilaku

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


11

kekerasan/agresif (Videbeck, 2008, dikutip dalam Satrio, dkk,

2015).

b) Genetik

Adanya faktor gen yang di turunkan melalui orang tua. Secara

genetik ditemukan pada kromosom 5 dan 6 yang dapat

menyebabkan individu tersebut mengalami skizofrenia.

Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian

anak kembar yang menunjukan anak kembar identik beresiko

mengalami skizofrenia sebesar 50% sedangkan pada kembar

non identik /fraternal beresiko 15% mengalami skizofrenia.

resiko 15% jika salah satu orang tua menderita skizofrenia,

angka ini meningkat 40%-50% jika kedua orang tua biologis

menderita skizofrenia (Stuart, 2016). Faktor genetik tipe

karyoype XYY, dimana pada umumnya dimiliki oleh orang-

orang yang tersangkut dalam hukum akibat dari perilaku agresif

(Damaiyanti, 2012).

c) Neurotransmiter

Neurotransmiter adalah zat kimia yang ditransmisikan

keseluruh neuron sinapsis, sehingga menghasilkan

komunikasi antara otak dan struktur otak yang lain.

Peningkatan atau penurunan zat ini dapat memperburuk

atau menghambat perilaku agresif (Stuart, 2016) sejalan

dengan pendapat (Sedock, 2007 dalam Townsend, 2009,

dikutip dalam Satrio, dkk, 2015) Neurotransmiter adalah zat

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


12

kimia otak yang ditransmisikan ke seluruh neuron sinapsis,

sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan struktur

otak yang lain. Peningkatan atau penurunan zat ini dapat

mempengaruhi perilaku, perubahan keseimbangan zat ini dapat

memperburuk atau menghambat perilaku agresif. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa berbagai neurotransmiter

(epinefrin, nerophinefrin, dopamine, acetycholine dan

serotinin) berperan dalam fasilitas dan inhibisi rangsangan

agresif.

d) Imunovirologi

Karakteristik biologis yang berhubungaan dengan perilaku

kekerasan adalah riwayat dalam pengunaan NAPZA.

Pengunaan obat NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak,

mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikaan (Satrio,

2015) sejalan dengan pendapat (Stuart, 2016)Klien dengan

gangguan penyalahgunaan zat, prevalensi kekerasan 12 kali

lebih besar bagi mereka dengan penyalahgunaan atau

ketergantungan alkohol dan 16 kali lebih besar bagi mereka

dengan ketergantungan obat lain dibandingkan dengan mereka

yang tidak memiliki diagnosis gangguan jiwa. penyalahgunaan

obat memiliki efek tambahan dalam meningkatkan faktor risiko

perilaku kekerasan bagi orang-orang yang memiliki masalah

utama gangguan kesehatan jiwa.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


13

2) Faktor Psikologis

Pandangan psikologis terhadap perilaku agresif menunjukan

pentingnya dalam faktor prediposisi, perkembangan atau pengalaman

hidup membatasi kemampuan seorang dalam mengunakan mekanisme

koping tanpa kekerasan (Stuart, 2016).

a) Teori Psikoanalitik

Suatu pandangan psikologi tentang resiko perilaku agresif

menyatakan bahwa pentingnya mengetahui predisposisi faktor

perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi

kemampuan individu untuk memilih koping mekanisme yang

bukan resiko perilaku kekerasan. Teori ini menjelaskana bahwa

adanya ketidak puasan fase oral pada usia 0-2 tahun, dimana anak

tidak mendapatkan kasih sayang dan tidak terpenuhinya

kebutuhannya seperti air susu yang cukup (Damaiyanti, 2012)

sejalan dengan pendapat (Stuart dan Laraia, 2009, dikutip dalam

Satrio, dkk, 2015)ketidakmampuan belajar karena kerusakan

kapasitas bertindak secara efektif terhadap frustasi, perilaku

emosional yang berat atau penolakan terhadap anak, orang tua

yang terlalu penyayang dan berkontribusi pada kurang rasa

percaya diri dan HDR : mengalami kekerasan bertahun-tahun,

korban childabuse atau sering melihat kekerasan dalam keluarga

dapat menanamkan pola penggunaan kekerasan sebagai cara

menyelesaikan masalah.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


14

b) Teori Permbelajaran

Teori pembelajaraan menjelaskan bahwa perilaku agresif dapat

dipelajari secara internal maupun eksternal. Perilaku secara internal

melalui penguatan seorang pada saat berperilaku agresif, hal

tersebut disebabkan akibat gagal dalam pencapaian tujuan yang

diinginkan, dan faktor eksternal terjadi melalui pengamatan seperti

orang tua, saudara, model peran dan ragawa (Stuart, 2016) sejalan

dengan pendapat (Stuart dan Laraia, 2005; Stuart 2009, dikutip

dalam Satrio, dkk, 2015)Pembelajaran internal terjadi selama

individu mendapat penguatan pribadi ketika melakukan perilaku

agresif, kemungkinan sebagai kepuasan dalam mencapai tujuan

atau pengalaman merasakan penting. Mempunyai kekuatan dan

kontrol terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi selama

observasi model peran seperti peran sebagai orang tua, teman

sebaya, saudara dan tokoh hiburan.

3) Faktor Sosial Budaya

Faktor budaya dapat mempengaruhi perilaku agresif, dimana norma

budaya dapat menentukan cara yang dapat diterima atau tidak dalam

mengekspresikan perasaan agresif, dengan cara mengontrol perilaku

kekerasan dalam masyarakatnya untuk mempertahankan lingkungan

yang aman dan nyaman. Faktor budaya juga dapat menyebabkan

perilaku kekerasan dimana kondisi budaya tersebut masih dalam

pengangguaran, kesulitan menjaga hubungan interpersonal, kondisi

kemiskinan, struktur keluarga, kontrol sosial dan ketidak mampuan

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


15

dalam memenuhi kebutuhan dasar kehidupan (Stuart, 2016)

sehubungan dengan pendapat (Satrio, 2015) Faktor budaya merupakan

faktor prediposisi yang terjadi pada individu terhadap perilaku

kekerasan, karakteristik yang termasuk dalam sosial yaitu: jenis

kelamin, tingkat sosial ekonomi dan ras atau suku.

a) Jenis Kelamin

Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelamin

merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis

kelamin merupakan ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda.

Laki-laki lebih sering melakukan perilaku agresif. Namun

berdasarkan penelitian (Keliat dkk, 2012) pada penelitian

karakteristik klien yang dirawat di bangsal MPKP

menyebutkan ada 63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5%

terdapat pada golongan umur dewasa yaitu umur 33 tahun

sampai 55 tahun.

b) Tingkat Sosial Ekonomi

Kondisi sosial yang dapat menyebabkan resiko perilaku

kekerasan seperti: kemiskinan dan ketidak mampuan memenuhi

kebutuhan hidup, masalah perkawinan, keluarga single parent,

pengangguran, kesulitan memepertahankan hubungan

interpersonal dalam keluarga, struktur keluarga, dan kontrol

social (Townsend, 2010 dalam Satrio, 2015).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


16

c) Ras atau Suku

Faktor sosiokultural merupakan norma budaya yang dapat

membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat

mendorong untuk mengekspresikan marah secara asertif

sehingga dapat membantu mejaga kesehatan diri. Hukuman

diterapkan terhadap resiko perilaku kekerasan melalui norma

hukum atau adanya kontrol sosial. Norma yang

mereinforcement resiko perilaku kekerasan akan berakibat

ekspresi marah dengan cara destruktif (Satrio, 2015).

b. Faktor Presipitasi

Faktor prespitasi adalah stimulus internal atau eksternal yang

mengancam klien antara lain dikarena adanya ketegangan peran,

konflik peran, peran yang tidak jelas, peran berlebihan, perkembangan

transisi, situasi transisi peran dan transisi peran sehat-sakit (Stuart,

2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Stresor yang mencetuskan perilaku

kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stresor tersebut dapat

disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh stresor yang berasal dari

luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian dan lain-lain.

Sedangkan stresor yang berada dari dalam adalah putus hubungan

dengan orang yang berarti , kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap

penyakit fisik dan lain-lain. Selain itu lingkungan yang terlalu ribut,

padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan

dapat memicu perilaku kekerasan (Purwanto, 2015).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


17

1) Faktor Biologi

Stessor presipitasi yang di dapat pada individu sebagai tantangan,

ancaman atau tuntutan. Setressor tehadap perilaku kekerasan dapat

disebabkan oleh gangguan umpan balik pada otak yang mengatur

jumlah dan waktu daam proses berfikir, stimuli pendengaran pada

awalnya disaring oleh hipotalamus lalu di kirim dan diperoses oleh

lobus frontal, dan apabila informasi tersebut terlalu banyak pada

suatu waktu jika informasi tersebut salah lobus frontal mengirim

pesan keoverload keganglia lalu diingatkan lagi oleh hipotalamus

untuk dapat memperlambat transmisi ke lobus frontal. Penurunan

fungsi lobus menyebabkan gangguan dalam proses umpan balik

dalam penyampaian informasi (Satrio, 2015).

2) Faktor Psikologi

Pemicu terhadap perilaku kekerasan dapat di sebabkan oleh frustasi

yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan

secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh

atau kehedupannya. Perilaku kekerasan dapat terjadi karena

perasaan seperti marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi, dan

kecurigaan (Townsend, 2009 dalam Satrio, 2015) sejalan dengan

pendapat (Fontaine, 2009, dikutip dalam Satrio, dkk, 2015)

Toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu tidak

efektif, dan membayangkan secara nyata adanya ancaman terhadap

keberadaan dirinya.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


18

3) Faktor Sosial Budaya

Kekerasan terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang

besar, penuh sesak, kurang privasi, dan tidak bebas. Petugas

mungkin secara sengaja atau tidak dapat menyebabkan perilaku

klien untuk melakukan tindakan kekerasan, manajemen

lingkungan yang buruk, ketidak pahaman petugas, pertemuan fisik

yang terlalu dekat, pendekatan batasan yang tidak konsisten dan

budaya kekerasan dapat mempengaruhi perilaku kekerasan pada

klien. Dengan demikian banyak sekali stressor sosialcultural yang

dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus

perilaku kekerasan (Satrio, 2015).Beberapa penelitian telah

menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih besar terjadi

ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh,

sesak, kurang privasi atau tidak bebas (Fagan-Pyor et al, 2003

dalam Stuart, 2009, dikutip dalam Satrio, dkk, 2015).

c. Penilaian Stressor

Model Stres Diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan

rekan (1994) menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang

berdasarkan pada hubungan antara jumlah stres dalam pengalaman

seseorang dan toleransi internal terhadap ambang stres. Ini adalah

model penting karena mengintegrasikan faktor budaya biologis,

psikologis, dan sosial (Stuart,2009, dikutip dalam Satrio, dkk, 2015).

Respon perilaku kekerasan merupakan hasil dari respon emosional,

fisiologis, dan analisis seorang tentang situasi stres. Respon perilaku

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


19

individu mempunyai empat fase dalam menghadapi stres menurut

(Satrio, 2015) yaitu:

1) Perilaku yang mengubah lingkungan stres atau memungkinkan

individu untuk melarikan diri.

2) Perilaku individu yang memungkinkan untuk dapat mengubah

keadaan.

3) Perilaku intrapsikis berfungsi untuk mempertahankan rangsangan

emosional yang tidak menyenangkan.

4) Perilaku intrapsikis membantu untuk berdamai dengan masalah

dan gejala sisa dengan penyesuaian internal.

d. Sumber Koping

Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit yang sangat menakutkan dan

menjengkelkan yang perlu penyesuaian baik klien maupun kelurga,

proses dalam penyesuaian pasca psikotik terdiri dari dionansi

kongnitif (psikosis aktif), pencapaian wawasan, stabilitas dalam

semua aspek kehidupan, dan bergerak dalam semua aspek prestasi

atau tujuan pendidikan. Proses multifase penyesuaian berlangsung 3-6

tahun (Satrio, 2015) sejalan dengan pendapat (Damaiyanti, 2012)

Sumber koping dapat berupa aset ekonomi, kemampuan dan

keterampilan, dukungan sosial dan motivasi. Hubungan antar individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat sangat berperan penting pada saat

ini. Sumber koping lainya termasuk kesehatan dan energi, dukungan

spiritual, keyakinan positif, keterampilan menyelesaikan masalah dan

sosial, sumber daya sosial, dan kesejahteraan fisik.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


20

e. Mekanisme Koping

Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme

pertahanan diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman

menakutkan yang disebabkan oleh penyakit meraka. Pada klien dalam

penyesuaian postpsychotic proses aktif mengunakan mekanisme

koping adaptif, ini sudah termasuk kongnitif, emosional, interpersonal,

fisiologis, dan spiritual merupakan strategi penanggulangan yang

berfungsi sebagai dasar dalam penyusunan intervensi keperawatan

(Stuart, 2016). Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping

klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan

mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan

marahnya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah

mekanisme pertahanan ego seperti “Displacement”, sublimasi,

proyeksi, represi dan reaksi formasi (Dermawan, 2013).

1) Displacement merupakan perasan yang tertekan biasanya

bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti pada

mulanya yang membangkitkan emosi, contohnya anak yang

berusia 4 tahun marah karena baru saja mendapatkan hukuman

dari ibunya, dan da akan bermain perang- perangan dengan

temannya (Damaiyanti, 2012).

2) Sublimasi adalah menerima suatu sasaran pengganti yang mulia

artinya di mata masyarakat suatu dorongan yang mengalami

hambatan penyalurannya secara normal, contohnya seoraang yang

sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


21

seperti meremas adonan kue, meninju tembok, dan sebagainya,

tujuannya untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah

(Damaiyanti, 2012).

3) Proyeksi adalah orang lain mengenai kesukarannya atau keinginan

yang tidak baik, contohnya seorang wanita muda yang

menyangkal bahwa dia mempunyai perasan seksual terhadap rekan

kerjanya, malah berbalik menuduh bahwa temannya tersebut

mencoba merayu, mencumbunya (Muhith, 2015).

4) Resepsi yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau yang

membahayakan masuk dalam alam sadar. Misalnya seorang anak

yang yang sangat membenci pada orang tuanya yang tidak

disukainya (Muhith, 2015).

5) Reaksi formasi merupakan mencegah keinginan yang berbahaya

bila diekpresikan dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku

yang berlawanan dan mengunakan sebagi rintangan , contohnya

orang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan

orang tersebut dengan kasar (Damaiyanti, 2012).

f. Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan

Terdapat beberapa tanda dan gejala yang di alami klien dengan

masalah resiko perilaku kekerasan:

1) Fisik, dilihat dari fisik klien dengan masalah resiko perilaku

kekerasan menunjukan tanda dan gejala seperti muka merah dan

tegang, mata melotot atau pandangan kedepan, tanggan

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


22

mengepal, rahang megatup, jalan mondar-mandir, dan postur

tubuh kaku (Yosep, 2013).

2) Verbal, beberapa tanda dan gejala verbal yang terjadi pada pasien

resiko perilaku kekerasan seperti bicara mengancam dengan

objek yang nyata atau tidak nyata, meminta perhatian yang

mengganggu, berbicara kasar dan dengan penekanan, mengalami

waham atau curiga (Stuart, 2016).

3) Perilaku, terdapat beberapa tanda dan gejala pada prilaku pasien

yang mengalami masalah resiko perilaku kekerasan seperti

melempar atau memukul benda/ orang lain, merusak barang atau

benda, amuk atau agresif, menyerang orang lain, dan tidak

mempunyai kemampuan mencegah atau mengontrol perilaku

kekerasan (Muhith, 2015).

4) Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada tingkat kesadaran

klien dengan masalah resiko perilaku kekerasan seperti klien

terlihat bingung, adanya perubahan status mental yang tiba-tiba,

terjadinya kerusakan memori, dan klien tidak dapat diarahkan

(Stuart, 2016).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


23

B. Rentang Respon Risiko Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan memrupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat

berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maldaptif. Rentang respon marah

dijelaskan dari beberapa poin seperti agresif dan amuk (perilaku kekerasan)

berada pada rentang respon yang maladaftif.

Bagan 2.1
Rentang Respon Marah

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustrasi Agresif Amuk

Rentang Respon Marah Menurut (Purwanto, 2015).

1. Asertif

Perilaku asertif adalah sikap yang berada di tengah pada rentang perilaku

pasif atau perilaku agresif. Perilaku asertif merupakan sikap yang

menunjukaan rasa yakin tentang diri sendiri, dan dapat berkomunikasi

secara hormat pada orang lain. Seorang dengan perilaku asertif dapat

bicara dengan orang lain secara langsung dan jelas, dan sikap tubuh dapat

menekankan tentang topik pembicaraan tetapi tidak terkesan menganggu

atau mengancam orang lain (Stuart, 2016). Perilaku asertif merupakan

perilaku individu yang mampu menyatakanmenyatakan atau

mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyakiti atau

menyakiti orang lain. Dengan perilaku ini dapat melegakan perasaan pada

individu (Purwanto, 2015).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


24

2. Pasif

Seorang yang berperilaku pasif berubah menjadi marah, mereka mencoba

untuk menyembunyikannya sehingga dapat meningkatkan ketegangan

terhadap diri mereka sendiri. Orang yang berperilaku pasif biasanya bicara

dengan lembut, seringkali dengan cara kekanak-kanakan, adanya kontaak

mata, lalu posisi klien yang ditunjukan badan membungkuk dengan

tanggan menggapit erat ketubuh (Stuart, 2016) sejalan dengan pendapat

(Purwanto, 2015) Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak

mampu untuk mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami,

dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntutan nyata.

3. Frustasi

Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan

yang kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan kepuasan

(Damaiyanti, 2012) sejalan dengan pendapat (Muhith, 2015) frustasi juga

bisa dikatakan sebagai respon kegagalan dalam mencapai sebuah tujuan

dan melarikan diri dalam melawan atau menantang.

4. Agresif

Orang dengan perilaku agresif akan menunjukan perilakunya yang agresif

dan mengabaikan hak asasi orang lain, mereka berpikir bahwa mereka

harus berjuang dalam mencapai kepentingan mereka sendiri. Perilaku ini

dapat ditunjukan dengan fisik atau verbal, dan menunjukan sikap dalam

menutupi rasa kurang percaya diri, orang tersebut akan menunjukan harga

diri mereka dengan menguasai orang lain dengan demikian membuktikan

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


25

superioritasnya pada orang lain (Stuart, 2016) sejalan dengan pendapat

(Purwanto, 2015) Agresif merupakan suatu perilaku yang menyertai

marah, merupakan dorongan mental untuk bertindak dan masih terkontrol.

Individu agresif tidak memedulikan hak orang lain. Bagi individu ini

hidup adalah medan peperangan. Biasanya individu kurang percaya diri.

Harga diri nya ditingkatkan dengan caramenguasai orang lain untuk

membuktikan kemampuan yang dimilikinya.

5. Amuk

Amuk atau resiko perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan

bermusuhan yang kuat dan kehilangan kontrol disertai amuk, sehingga

individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Resiko

perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi

yaitu yang disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan

(Satrio & Laraia, 2015) sejalan dengan pendapat (Purwanto, 2015) Violent

(amuk) adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan disertai

kehilangan kontrol, yang dapat merusak diri dan lingkungan.

C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Konsep Model

a. Adaptasi Roy

1) Manusia adalah keseluruhan dari biopsikososial yang terus

menerus berinteraksi dengan lingkungan

2) Manusia menggunakan mekanisme pertahanan tubuh untuk

mengatasi perubahan biopsikososial yang bertujuan untuk

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


26

membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan

fisiologi, konsep diri, fungsi peran, hubungan interependen

selama sehat sakit.

b. Pengkajian

pengkajian keperawatan merupakan catatan tentang hasil pengkajian

yang dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien,

membuat data dasar tentang pasien, dan membuat catatan tentang

respons kesehatan pasien. Pengkajian yang komprehensif atau

menyeluruh, sistematis yang logis akan mengarah dan mendukung

pada identifikasi masalah-masalah pasien. Masalah-masalah ini

dengan menggunakan data penkajian sebagai dasar formulasi yang

dinyatakan sebagai diagnosa keperawatan (Kemenkes, 2017). Pada

dasarnya pengkajian pada klien perilaku kekerasaan ditunjukan pada

semua aspek yaitu biopsikologi-kultural- spiritual yang bisa dilihat

dari data subyektif dan data obyektif (Yosep, 2013).

a. Data Subyektif

Data subyektif diperoleh dari hasil pengkajian terhadap pasien

dengan teknik wawancara, keluarga, konsultan, dan tenaga

kesehatan lainnya serta riwayat keperawatan. Data ini berupa

keluhan atau persepsi subjektif pasien terhadap status

kesehatannya.

b. Data Obyektif

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


27

Informasi data objektif diperoleh dari hasil observasi,

pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang dan hasil

laboratorium. Fokus dari pengkajian data obyektif berupa status

kesehatan, pola koping, fungsi status respons pasien terhadap

terapi, risiko untuk masalah potensial, dukungan terhadap pasien.

Karakteristik data yang diperoleh dari hasil pengkajian

seharusnya memiliki karakteristik yang lengkap, akurat, nyata dan

relevan. Data yang lengkap mampu mengidentifikasi semua

masalah keperawatan pada pasien (Kemenkes, 2017).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


28

D. Pohon Masalah

Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Konsep Diri

Koping Individu Tidak Efektif

Pohon masalah Resiko Perilaku Kekerasan menurut (Dalami, 2014).

E. Diagnosa Keperawatan

1. Koping individu tidak efektif

2. Harga Diri Rendah

3. Risiko Perilaku Kekerasan

F. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan adalah suatu rangkaian kegiatan penentuan langkah-

langkah pemecahan masalah dan prioritasnya, perumusan tujuan, rencana

tindakan dan penilaian asuhan keperawatan pada pasien/klien berdasarkan

analisis data dan diagnosa keperawatan (Kemenkes, 2017).

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


29

Tabel 2.1
Rencana Keperawatan

Diagnosa
Sp/Kemampuan Klien
Keperawatan
Resiko perilaku SP 1:
kekerasan - Identifikasi penyebab tanda dan gejala, PK
yang dilakukan, akibat Pk
- Jelaskan cara mengontrol PK, fisik, obat, verbal
spiritual.
- Latihan cara mengontrol PK jelaskan scera
fisik: tarik nafas dalam dan pukul kasur atau
bantal
- Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan
Fisik

SP 2 :
- Evaluasi kegiatan latihan fisik, beri pujian
- Latih cara mengontrol PK dengan obat
(jelaskan 6 benar :jenis, guna, dosis, frekuensi,
cara, kontinuitas minum obat)
- Masukan pada jadwal kagiatan untuk latihan
fisik dan minum obat

SP 3 :
- Evaluasi kegiatan latihan fisik dan obat, beri
pujian
- Latih cra mengontrol PK secara verbal (3 cara
yaitu, mengungkapkan, meminta, menolak dengan
benar)
- Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan
fisik, minum obat dan verbal

SP 4 :
- Evaluasi kegiatan latihan fisik dan obat, verbal,
berikan pujian
- Latih cara mengontrol spritul (2 kegiatan)
- Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan
fisik, minum obat, verbal dan spiritual

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


30

G. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi

kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada

kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan

keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi

(Kemenkes, 2017) sejalan dengan pendapat (Farida & Yudi, 2012)

Implementasi merupakan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana

tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang

sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan

keperawatan masih dibutuhkan dan disesuikan dengan kondisi klien saat ini.

H. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah membandingkan secara sistematik dan terencana tentang

kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan kenyataan yang

ada pada klien, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan

klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi keperawatan merupakan tahap

akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah tujuan dari

tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain

(Kemenkes, 2017) sejalan dengan pendapat (Farida & Yudi, 2012) Evaluasi

merupakan proses yang berkelanjutan dan dilakukan terus-menerus untuk

menilai efek dari tindakan keperawatan yang telah yang telah dilaksanakan,

evaluasi dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


31

a. Evaluasi proses (formatif) yang dilakukan setiap selesai melaksanakan

tindakan keperawatan.

b. Evaluasi hasil (sumatif) dilakukandengan cara membandingkan klien

dengan tujuan yang telah ditentukan, evaluasi dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir:

S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang

telah dilaksanakan.

O : Respon subjektif terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

A : Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih ada atau telah teratasi

atau muncul masalah baru.

P : Perencanaan tindakan lanjut berdasarkan hasil analisis respon

klien.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah model atau yang digunakan penelitian untuk

melakukan sesuatu penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya

penelitian (Dharma, 2011).

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, studi yang

mengeksplorasi suatu masalah atau fakta nyata dengan batasan terperinci,

memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai

sumber informasi. Studi kasus ini adalah studi yang mengeksplorasi masalah

gambaran asuhan keperawatan pada satu klien dengan resiko perilaku

kekerasan di Ruang Melati Rumah Sakit jiwa Daerah Provinsi Lampung.

B. Batasan Istilah

Definisi opersional mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan

karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek

atau fenomena (Hidayat, 2008 dalam jurnal Adinda, 2016).

Tabel 3.1
Batasan Istilah

Variabel Batasan Istilah Cara Ukur


Resiko Perilaku Suatu bentuk perilaku yang Wawancara,observa
kekerasan bertujuan melukai seseorang,baik si,
secara fisik maupun Dokumentasi
psikologis,diruang melati rumah
sakit jiwa provinsi lampung.

32
Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung
33

C. Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini yaitu dua klien dengan masalah keperawatan

yaitu resiko perilaku kekerasan di Ruang Melati Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Lampung tahun 2020.

D. Lokasi dan Waktu

1. Penelitian ini akan dilakukan di ruang Melati Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Lampung tahun 2020.

2. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret tahun 2020.

E. Pengumpulan Data

Model pengumpulaan data yang digunakan yaitu:

1. Wawancara

Mengadakan tanya jawab dengan pihak yang terkait dan klien maupun

tim kesehatan mengenai data klien dengan resiko perilaku kekerasan,

wawancara dilaksanakan selama proses keperawatan berlangsung.

2. Observasi Partisipan

Dengan mengadakan pendekatan secara bertahap dan melaksanakan

asuhan keperawatan secara langsung dengan klien selama dirumah

sakit.

3. Studi Dokumetasi

Dokumentasi ini diambil serta dipelajari dari catatan medis dan

keperawatan untuk mendapatkan data-data yang relevan mengenai

perawatan maupun pengobatan.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


34

F. Analisa data

Analisia data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data

sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan cara

mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada

dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang

digunakan dengan cara menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari

hasil interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan untuk menjawab

rumusan masalah. Teknik analisis digunakan dengan cara :

observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk

selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan dengan teori yang ada sebagai

bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan

dalam analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi, dokumen).

Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam

bentuk transkip (catatan terstruktur). Data yang dikumpulkan terkait

dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan dan evaluasi.

2. Mereduksi Data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data

subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan

diagnostik kemudian dibandingkan dengan nilai normal.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


35

3. Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, bagan maupun teks naratif.

Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas dari

klien.

4. Kesimpulan

Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan

dengan hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan

perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode

induksi.

G. Etika Penelitian

Pada penelitian ini dicantumkan etika yang menjadi dasar penyusunan studi

kasus yang terdiri dari :

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuannya

agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui

dampaknya. Jika subyek bersedia, maka peneliti harus menghormati

hak pasien (Hidayat, 2008 dalam jurnal Adinda, 2016) sejalan dengan

pendapat (Hanafiah, 2012) Merupakan bentuk persetujuan antara

peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar

persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


36

agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian serta megetahui

dampaknya.

2. Anonimity

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau tidak mencantumkan nama responden pada lembar

alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data

atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2008 dalam jurnal

adinda, 2016) sejalan dengan pendapat (Hidayat, 2011) Masalah etika

keperawatan merupakan masalah yang memberikan yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat

ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau

hasil peneliti yang disajikan.

3. Confidentiality

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiannya oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang

akan dilaporkan pada hasil penelitian (Hidayat, 2008 dalam jurnal

adinda, 2016) sejalan dengan pendapat (Dharma, 2011) Manusia

sebagai subjek penelitian memiliki privasi dan hak asasi untuk

mendapatkan kerahasiaan informasi. Peneliti perlu merahasiakan

berbagai informasi yang menyangkut privasi subjek dan tidak ingin

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


37

identitas dan segala informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain,

prinsip ini dapat diterapkan dengan cara meniadakan identitas seperti

nama dan alamat subjek kemudian diganti dengan kode tertentu.

Dengan demikian segala informasi yang menyangkut identitas subjek

tidak terekpos secara luas.

4. Non-maleficiance (Tidak Melukai Orang)

Bearti tidak melukai atau atau tidak menimbulkan bahaya/cidra bagi

yang lain (Suhaemi, 2014).

5. Justice (Keadilan)

Setiap orang harus di perlakukan sama (tidak deskriminatif) dalam

memperoleh haaknya, prinsip etik keadilan terutama menyangkut

keadilan distribusi yang mempersyaratkan pembagian seimbang dalam

hal beban dan manfaat. Hal ini dilakukan dengan distribusi usia, gen,

status ekonomi, budaya dan etnik (Dharma, 2011) sehubungan dengan

pendapat (Hanafiah,2012) Setiap orang harus diperlakukan sama tidak

diskriminatif dalam memperoleh hak nya. Prinsip etik keadilan

terutama menyangkut keadilan, hal ini dilakukan dengan

memperhatikan distribusi usia, gender, status, ekonomi, budaya dan

etnik.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


38

DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, Ns.Ridhyalla. (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan


Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Dalami, dkk. (2014). Asukan keperawatan klien dengan gangguan jiwa.


Jakarta:TIM

Damaiyanti, M. (2012). Asuhan keperawatan jiwa. Bandung: PT Refika Andika.


Danubina, 25(1), 30. Retrieved from
http://www.embase.com/search/results?
subaction=viewrecord&from=export&id=L368595138\nhttp://www.hdbp.
org/psychiatria_danubina/pdf/dnb_vol25_no1/dnb_vol25_no1_24.pdf\nhtt
p://sfx.library.uu.nl/utrecht?
sid=EMBASE&issn=03535053&id=doi:&atitle=Violence+in+schi

Depkes RI. (2012). Pedoman pelayanan kesehatan jiwa komunitas. Jakarta: Ditjen
BUK.

Depkes RI. (2012). Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2012. Dalam :
http://www.depkes.go.id

Dermawan. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing

Dharma. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan : Panduan Melaksanakan


dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta : Trans Info Media

Dilfera. (2018). faktor yang berhubungan dengan kasus skizofrenia pada pasien
rawat inap rumah sakit khusus jiwa soeprapto provinsi bengkulu. Jurnal
Keperawatan Silampari (JKS)

Dinarti, dkk. (2017). Dokumentasi Keperawatan Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan
Pengembangan dan Pemberdsyaan Sumber Daya Kemanusian. Edisi
Cetakan Pertama

Farida & Yudi. (2012). Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika

Gupita, Nurma.(2018). Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gangguan


Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran Terhadap Kemampuan
Menghardik Tutup Telinga Di Wisma Arimbi RSJ Prof Dr Soerojo
Magelang. Program Studi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong

Hanafiah. (2012). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung : Refika Aditama

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


39

Hidayat. (2011). Metode penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.


Jakarta : Salemba Medika

Keliat, B. A, et al. (2012). Keperawatan kesehatan jiwa komuitas:CMHM Basic


cours. Jakarta:EGC

Keliat, dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.


Kemenkes RI. (2017). Kesehatan jiwa. Ditjen bina kesehatan masyarakat
direktorat kesehatan jiwa masyarakat. Jakarta.

Kemenkes. (2017). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI

Kusumawati, F. (2011). Buku ajaran keperawatan jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa. Teori dan Aplikasi:
Yogyakarta.Pearsoneducation,Inc.

Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku


Kedokteran : EGC.

Nita, F. (2012). Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan


dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika

Puji, P. (2013). asuhan keperawatan pada ny. s dengan gangguan perilaku


kekerasan di ruang sumbadra rumah sakit jiwa daerah surakarta

Purwanto, T. (2015). Buku ajaran keperawatan jiwa. Yogyakarta: Pustaka

Riskesdas. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jurnal Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Satrio,K.L. (2015). Buku ajaran keperawatan jiwa lampung : Pusat Penelitian dan
Penerbit LP2M Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Stuart, G.W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi
Indonesia Pertama. Elsevier singapore.

Suhaemi. (2014). Gangguan jiwa dalam perspektif kesehatan mental islam.


Jurnal Risalah, 26 (4).

UU no. 18 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 4

UU No. 36 Tahun 2009

Volavka, J. (2015). Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria

Yosep, I. (2013). Keperawatan jiwa (Edisi revisi). PT Refika Aditama. Bandung

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


40

Yuni, Dwi. (2015). Asuhan Keperawatan Pada Ny. H Dengan Risiko Perilaku
Kekerasan Di Ruang Nakula Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.
Thesis (diploma) tidak dipublikasikan. Purwokerto: Program Studi Ilmu
Keperawatan D3, FIK UMP.

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung


41

Satrio & Laraia, 2015

Adinda. 2016

WHO. 2012

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung

Anda mungkin juga menyukai