Oleh:
1. (Febriyanti 196070300111006)
2. (Liana 196070300111096)
3. Sigit Yulianto (196070300111007)
4. Yosef Andrian Beo (196070300111045)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
Kata Pengantar
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga saya
pada akhirnya bisa menyelesaikan laporan tugas kelompok tepat pada waktunya.
Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang selalu
memberikan dukungan serta bimbingannya sehingga laporan tugas kelompok ini dapat
disusun dengan baik.
Semoga laporan tugas kelompok yang telah kami susun ini turut memperkaya
khazanah ilmu dalam bidang keperawatan serta bisa menambah pengetahuan dan
pengalaman para pembaca.
Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna.
Kami juga menyadari bahwa laporan tugas kelompok ini juga masih memiliki banyak
kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca
sekalian demi penyusunan dengan bahasan serupa yang lebih baik lagi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang
ditujukan untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan
tingkah laku tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat
dibatasi (Kusumawati & Hartono, 2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan sengaja fisik kekuatan atau
kekuasaan, terancam atau aktual, melawan diri sendiri, orang lain atau terhadap
kelompok atau komunitas yang baik menghasilkan atau memiliki kemungkinan
tinggi yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, malfungsi
pembangunan atau kekurangan.
Departemen Kesehatan dan WHO pada tahun 2010 memperkirakan masalah
gangguan jiwa tidak kurang dari 450 juta penderita yang ditemukan di dunia.
Khususnya Indonesia mencapai 2,5 juta atau 60% yang terdiri dari pasien resiko
perilaku kekerasan. Setiap tahunnya lebih dari 1,6 juta orang meninggal dunia akibat
perilaku kekerasan, terutama pada laki-laki yang berusia 15-44 tahun, sedangkan
korban yang hidup mengalami trauma fisik, seksual, reproduksi dan gangguan
kesehatan mental. Indikator taraf kesehatan mental masyarakat semakin memburuk
(Hawari 2012).
North American nursing diagnosis association (NANDA) menyatakan
bahwa perilaku kekerasan merupakan salah satu gangguan perilaku dimana
seseorang berisiko melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa tindakan individu
dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain secara fisik, emosional, dan atau
seksual yang tidak sesuai dengan norma lokal, kultural dan menganggu fungsi
sosial, kerja dan fisik individu (NANDA, 2014). 3
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart dalam Yusuf, 2014). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya
kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk
bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan
pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh
orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak
lingkungan, melempar kaca, genting dan semua yang ada di lingkungan. Perilaku
kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling maladaptif,
yaitu amuk
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah, bagaimana penerapan
asuhan keperawatan pada klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk :
1. Mengetahui definisi dan konsep tentang risiko perilaku kekerasan
2. Mengidentifikasi jenis terapi psikoterapi individu, keluarga dan kelompok, terapi
komplementer serta psikodinamic therapy yang tepat untuk pasien risiko
perilaku kekerasan
3. Menjelaskan alasan pemilihan terapi risiko perilaku kekerasan
4. Menjelaskan prinsip etik dan hukum yang harus diperhatikan dalam pemberian
terapi yang dipilih
D. Manfaat
1. Mahasiswa memahami definisi dan konsep tentang risiko perilaku kekerasan
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi jenis terapi psikoterapi individu, keluarga
dan kelompok, terapi komplementer serta psikodinamic therapy yang tepat untuk
pasien risiko perilaku kekerasan
3. Mahasiswa mampu menjelaskan alasan pemilihan terapi risiko perilaku
kekerasan
4. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip etik dan hukum yang harus
diperhatikan dalam pemberian terapi yang dipilih
BAB II
ISI
Rentang Respon
E. Sumber Koping
1. Personal ability
Ketidakmampuan pemecahan masalah, Gangguan dari kesehatanya,
Kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak adekuat, Pengetahuan
dan intelegensi rendah, Identitas ego tidak adekuat
2. Sosial support
Menurut Stuart & Laraia (2005) terkadang ada beberapa orang yang ketika
ada masalah mereka mendapat dukungan dari keluarga dan teman yang
membantunya dalam mencari jalan keluar, tetapi ada juga sebagian orang
yang memiliki masalah, tetapi menghadapinya dengan menyendiri dan
tidak mau menceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga dan
temannya
3. Material aset
Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misal boros atau sangat pelit,
Tidak punya uang untuk berobat, tidak ada tabungan, Tidak memiliki
kekayaan dalam bentuk barang
4. Positive belief
Distres spiritual, Tidak memiliki motivasi, Penilaian negatif terhadap
pelayanan kesehatan, Tidak menganggap itu suatu gangguan
F. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanime koping pasien, sehingga
dapat membantu pasien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan masalahnya. Mekanisme koping yang
umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement
(dapat menggungkapkan kemarahan pada objek yang salah, misalnya pada
saat marah pada dosen, mahasiswa mengungkapkan kemarahan dengan
memukul tembok). Proyeksi yaitu kemarahan dimana secara verbal
mengalihkan kesalahan diri sendiri pada orang lain yang dianggap berkaitan,
misalnya pada saat nilai buruk seorang mahasiswa menyalahkan dosennya
atau menyalahkan sarana kampus atau menyalahkan administrasi yang tidak
becus mengurus nilai. Mekanisme koping yang lainnya adalah represi, dimana
individu merasa seolah-olah tidak marah atau tidak kesal, ia tidak mencoba
menyampaikannnya kepada orang terdekat atau ekpress feeling, sehingga rasa
marahnya tidak terungkap dan ditekan sampai ia melupakannya
G. Diagnosis
Risiko perilaku kekerasan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
Seorang pria (18 tahun) dikunjungi oleh perawat jiwa dan masyarakat
dengan keluhan marah-marah, membanting piring, ekspresi wajah tegang,
tangan tampak mengepal, saat bicara suara keras. Pasien mengatakan kesal
karena orang tuanya tidak juga membelikan motor. Menurutnya orang tuanya
berjanji membelikan motor sejak 6 bulan yang lalu.
B. Analisis
Berdasarkan kasus diatas kita mendapatkan data pasien marah-marah,
membanting piring, ekspresi wajah tegang, tangan tampak mengepal, saat
bicara suara keras. Tanda dan gejala yang dialami pasien tersebut
menunjukkan tanda dan gejala dari risiko perilaku kekerasan. Menurut
(Stuart, 2005), tanda dan gejala dari risko perilaku kekerasan adalah agitasi
motorik; mondar-mandir, ketidakmpuan untuk duduk diam, mengepalkan
tinju, mengencangkan rahang atau otot-otot wajah, kemampuan verbal; terlihat
seperti ancaman terhadap kondisi nyata, menganggu perhatian atau
mengumpat, berbicara dengan nada keras dan tertekan dan posisi tubuh yang
mengancam, afek (alam perasaan); ekspresi marah, mudah tersinggung,
kegembiraan yang meluap-luap, kondisi emosi yang labil sehingga klien
kesulitan mengontrol emosinya dan tingkat kesadaran; bingung, perubahan
status mental tiba-tiba, disorientasi, kerusakan memori, tidak bisa diarahkan.
Data selanjutnya yang ditemukan adalah pasien mengatakan kesal
karena orang tuanya tidak juga membelikan motor. Menurutnya orang tuanya
berjanji membelikan motor sejak 6 bulan yang lalu. Hal ini merupakan faktor
predisposisi yang memicu klien melakukan tindakan resiko perilaku
kekerasan. Berdasarkan faktor predisposisi menurut (Stuart, 2016) yaitu factor
predisposisi merupakan factor resiko dan protektif yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat digunakan seseorang untuk mengatasi stress
meliputi biologis, psikologis, dan social.
Menurut pendapat kelompok kami, faktor presipitasi dari kasus diatas
adalah pasien kesal karena orang tuanya tidak juga membelikan motor hingga
saat ini dan sudah memenuhi batas kesabaran pasien untuk menunggu waktu
di belikan motor sehingga pasien meluapkan kekesalannya dengan melakukan
tindakan risiko perilaku kekerasan. Menurut Menurut Stuart (2016) steresor
presipitasi adalah stimulus yang menantang, mengancam, yang memerlukan
energy tambahan dan mengakibatkan suatu ketegangan dan stress. Stressor ini
dapat bersifat biologis, psikologis, dan soial budaya. Stimulus ini bisa berasal
baik dari lingkungan internal maupun eksteral manusia.
Berdasarkan kasus terlihat bahwa sumber koping pasien sudah cukup
bagus terlihat dari perawat yang mendatangi rumah pasien dan juga
masyarakat yang ikut mengunjungi pasien. Hal ini serupa dengan pengertian
sumber koping menurut Stuart & Laraia (2005) dalam sosial support yang
mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman,
kelompok, kader kesehatan. Penilaian terhadap stressor individu sangat
penting dalam hal ini. Respon ini lebih mungkin terjadi jika individu
mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan yang berkaitan dengan
hubungan sehingga individu menolak membina hubungan dengan orang lain.
Strategipencegahanpenahanan strategiantisipasi
d. Terapi Komplementer
Relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi yang dilakukan
dengan cara pasien menegangkan dan melemaskan otot secara berurutan
dan memfokuskan perhatian pada perbedaan perasaan yang dialami antara
saat otot rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, et al., 2010, hlm.314).
Perubahan yang diakibatkan oleh relaksasi otot progresif yaitu dapat
mengurangi ketegangan otot, menurunkan laju metabolisme,
meningkatkan rasa kebugaran, dan konsentrasi, serta memperbaiki
kemampan untuk mengatasi stressor (Potter & Perry, 2005, hlm.491)
D. Kode Etik
Pada hakikatnya keperawatan sebagai profesi senantiasa mengabdi
kepada kemanusiaan, mendahulukan kepentingan masyarakat diatas
kepentingan pribadi, bentuk pelayanannya bersifat humanistic, menggunakan
pendekatan secara holistic, dilaksanakan berdasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan serta menggunakan kode etik sebagai tuntutan utama dalam
melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan. Dengan memahami
konsep etik, setiap perawat akan memperoleh arahan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan yang merupakan tanggung jawab moralnya dan tidak
akan membuat keputusan secara sembarangan. Perawat profesional harus
menghadapi tanggung jawab etik dan konflikyang mungkin mereka alami
sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional.
Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial danhukum
telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik.
Dalam profesi keperawatan, ada 8 prinsip etika keperawatan yang
harus diketahui oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
penerima layanan keperawatan, baik individu, kelompok, keluarga atau
masyarakat. Pertama Autonomy (Kemandirian) Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembelaan diri, dan
perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai kemandirian ini.
Beneficence (Berbuat Baik) Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan
hal yang baik sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan dalam melakukan
pelayanan keperawatan. Justice (Keadilan) Nilai ini direfleksikan ketika
perawat bekerja sesuai ilmu dan kiat keperawatan dengan memperhatikan
keadilan sesuai standar praktik dan hukum yang berlaku. Contoh ketika
perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta ada juga
klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut kemudian bertindak
sesuai dengan asas keadilan. Non-Maleficence (Tidak Merugikan) Prinsip ini
berarti seorang perawat dalam melakukan pelayanannya sesuai dengan ilmu
dan kiat keperawatan dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien. Veracity (Kejujuran) Prinsip ini tidak hanya dimiliki
oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan
untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar klien
mengerti. Fidelity (Menepati Janji)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan
penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen menepati
janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain. Confidentiality
(Kerahasiaan) Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna
keperluan pengobatan, upaya peningkatan kesehatan klien dan atau atas
permintaan pengadilan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan harus
dihindari. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah standar yang
pasti bahwa tindakan seorang professional dapat dinilai dalam berbagai
kondisi tanpa terkecuali.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil analisis pada pasien (18 Tahun) yang menunjukan perilaku
marah-marah, membanting piring, ekspresi wajah tegang, tangan tampak
mengepal, saat bicara suara keras merupakan tanda dan gejala dari risiko
perilaku kekerasan. Faktor predisposisi yang dapat melatarbelakangi pasien
menunjukan perilaku risiko perilaku kekerasan adalah orang tua pasien
berjanji membelikan motor sejak 6 bulan yang lalu. Psikoterapi pada
individu Sesuai kasus diatas psikoterapi yang cocok untuk individu yakni
assertive training (AT), Cognitive Behavioral therapy(CBT), Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT) dan Progressive Muscular Relaxation (PMR)
B. Saran
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan sesuai dengan
perkembangan kondisi pasien dan situasi pasien terkini. Pemberian intervensi
ners generalis dapat dipadukan dengan terapi ners spesialis.
DAFTAR PUSTAKA
Epigee. (2009). CBT for post traumatic stress disorder. 10 Februari 2020.
http://www.epigee.org/ptsd-cbt.html