Anda di halaman 1dari 27

LTK

“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA

RISIKO PERILAKU KEKERASAN”

Oleh:

1. (Febriyanti 196070300111006)
2. (Liana 196070300111096)
3. Sigit Yulianto (196070300111007)
4. Yosef Andrian Beo (196070300111045)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020

Kata Pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga saya
pada akhirnya bisa menyelesaikan laporan tugas kelompok tepat pada waktunya.

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang selalu
memberikan dukungan serta bimbingannya sehingga laporan tugas kelompok ini dapat
disusun dengan baik.

Semoga laporan tugas kelompok yang telah kami susun ini turut memperkaya
khazanah ilmu dalam bidang keperawatan serta bisa menambah pengetahuan dan
pengalaman para pembaca.

Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna.
Kami juga menyadari bahwa laporan tugas kelompok ini juga masih memiliki banyak
kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca
sekalian demi penyusunan dengan bahasan serupa yang lebih baik lagi.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang
ditujukan untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan
tingkah laku tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat
dibatasi (Kusumawati & Hartono, 2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan sengaja fisik kekuatan atau
kekuasaan, terancam atau aktual, melawan diri sendiri, orang lain atau terhadap
kelompok atau komunitas yang baik menghasilkan atau memiliki kemungkinan
tinggi yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, malfungsi
pembangunan atau kekurangan.
Departemen Kesehatan dan WHO pada tahun 2010 memperkirakan masalah
gangguan jiwa tidak kurang dari 450 juta penderita yang ditemukan di dunia.
Khususnya Indonesia mencapai 2,5 juta atau 60% yang terdiri dari pasien resiko
perilaku kekerasan. Setiap tahunnya lebih dari 1,6 juta orang meninggal dunia akibat
perilaku kekerasan, terutama pada laki-laki yang berusia 15-44 tahun, sedangkan
korban yang hidup mengalami trauma fisik, seksual, reproduksi dan gangguan
kesehatan mental. Indikator taraf kesehatan mental masyarakat semakin memburuk
(Hawari 2012).
North American nursing diagnosis association (NANDA) menyatakan
bahwa perilaku kekerasan merupakan salah satu gangguan perilaku dimana
seseorang berisiko melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa tindakan individu
dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain secara fisik, emosional, dan atau
seksual yang tidak sesuai dengan norma lokal, kultural dan menganggu fungsi
sosial, kerja dan fisik individu (NANDA, 2014). 3
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart dalam Yusuf, 2014). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya
kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk
bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan
pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh
orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak
lingkungan, melempar kaca, genting dan semua yang ada di lingkungan. Perilaku
kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling maladaptif,
yaitu amuk

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah, bagaimana penerapan
asuhan keperawatan pada klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk :
1. Mengetahui definisi dan konsep tentang risiko perilaku kekerasan
2. Mengidentifikasi jenis terapi psikoterapi individu, keluarga dan kelompok, terapi
komplementer serta psikodinamic therapy yang tepat untuk pasien risiko
perilaku kekerasan
3. Menjelaskan alasan pemilihan terapi risiko perilaku kekerasan
4. Menjelaskan prinsip etik dan hukum yang harus diperhatikan dalam pemberian
terapi yang dipilih

D. Manfaat
1. Mahasiswa memahami definisi dan konsep tentang risiko perilaku kekerasan
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi jenis terapi psikoterapi individu, keluarga
dan kelompok, terapi komplementer serta psikodinamic therapy yang tepat untuk
pasien risiko perilaku kekerasan
3. Mahasiswa mampu menjelaskan alasan pemilihan terapi risiko perilaku
kekerasan
4. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip etik dan hukum yang harus
diperhatikan dalam pemberian terapi yang dipilih
BAB II
ISI

A. Konsep Resiko perilaku kekerasan


Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol (Yosep, 2009). Yosep (2009), menambahkan Resiko mencederai diri
yaitu suatu kegiatan yang dapat menimbulkan kematian baik secara langsung
maupun tidak langsung yang sebenarnya dapat dicegah. Perilaku kekerasan adalah
tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu
lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2014).
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Ningrum,dkk (2012), perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau
marah yang tidak konstruktif.
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik.

Rentang Respon

Respon adaptif ………………………………………….............. Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Asertif klienmampumengungkapkanmarahtanpamenyalahkan orang


lain dan memberikankelegaan
Frustasi Kliengagalmencapaitujuankepuasan/saatmarah dan
tidakdapatmenemukan alternative
Pasif Klienmerasadapatmengungkapkanperasaannya, tidakberdaya
dan menyerah
Agresif Klienmengekspresikansecarafisik, tapimasihterkontrol,
mendorong orang lain denganancaman
Amuk Perasaanmarah dan bermusuhan yang kuat dan hilang control,
dan merusaklingkungan

(Iyus Yosep & Titin Sutini, 2007)

B. Predisposisi Resiko perilaku kekerasan


1. Faktor Biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif,
dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra
penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respon agresif. Kedua, Pengaruh biokimia, menurut Goldstein
dalam Townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter
(epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan
dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada
cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang. Ketiga, pengaruh genetik, menurut
penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk
genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara
tindak kriminal (narapidana). Keempat, Gangguan otak, sindrom otak organik
berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbik dan lobus temporal) trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi
lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2. Faktor Psikologis
Permasalahan Psikologis pada orang dengan resiko perilaku kekerasan
dapat ditijau dari dua jenis teori yaitu teori psikoanalitik dan teori pembelajaran.
Dalam Teori Psikoanalitik dijelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri. Dalam teori pembelajaran
dijelaskan bahwa Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut
diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang
tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang
lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang
tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewas
3. Faktor Sosial Budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan
teori menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon
yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan
terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima. Kontrol masyarakat yang rendah
dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

C. Presipitasi Resiko perilaku kekerasan


Menurut Stuart (2016) steresor presipitasi adalah stimulus yang menantang,
mengancam, yang memerlukan energy tambahan dan mengakibatkan suatu
ketegangan dan stress. Stressor ini dapat bersifat biologis, psikologis, dan
soial budaya. Stimulus ini bisa berasal baik dari lingkungan internal maupun
eksteral manusia. Juga penting untuk mengkaji stressor, yang mencakup
kejadian steresor, berapa lama orang terpapar pada steresor dan seberapa
sering terjadinya steresor. Factor terkhir adalah jumlah steresor yang dialami
individu dalam masa tertentu karena kejadian yang menimbulkan steresor
mungkin lebih sulit siatasi apabila terjadi beberapa kali dalam waktu
berdekatan. Ketentuan kurun waktu factor presipitasi tidak ledih 6 bulan darri
mulai terjadinya gejala.
Biologi: Dalam enam bulan terakhir mengalami penyakit infeksi otak
(enchepalitis) atau trauma kepala yang mengakibatkan lesi daerah frontal,
temporal dan limbic sehingga terjadi ketidakseimbangann dopamin dan
serotonin neurotransmitter
Psikologis: Dalam enam bulan terakhir terjadi trauma atau kerusakan struktur
di lobus frontal dan terjadi suplay oksigen dan glukosa terganggu sehingga
mempengaruhi kemampuan dalam memahami informasi atau mengalami
gangguan persepsi dan kognitif.
Sosial budaya: Usia, dalam enam bulan terakhir alami ketidaksesuaian tugas
perkembangan dengan usia, atau terjadi perlambatan dalam penyelesaian tugas
perkembangan atau regresi ketahap perkembangan sebelumnya.

D. Penilaian Terhadap Stresor


Penilaian terhadap stressor individu sangat penting dalam hal ini. Rasa sedih
karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar sehingga
individu tidak tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan, bukan
mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih
mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan
yang berkaitan dengan hubungan sehingga individu menolak membina
hubungan dengan orang lain (Stuart, 2013).
1. Kognitif
Persepsi negative, Gangguan berpikir, Gangguan, penilaian, Kemampuan,
mengembangkan, koping yang tidak efektif, Bingung, disorientasi waktu,
gangguan daya ingat, adanya kepribadian yang terpisah dalam diri orang
yang sama
2. Afektif
Emosi yang tidak stabil, Perasaan tidak aman, takut Ketidakmampuan
mencari, kesenangan atau perasaan mencapai sesuatu, Kurang rasa
kesinambungan dalam diri, Mengalami kehilangan identitas, Perasaan
tidak mampu
3. Fisiologis
Sulit tidur menjadi respon fisiologis yang paling umum dalam kasus
Resiko perilaku kekerasan. Respon fisiologis menggambarkan interaksi
antara beberapa aksis neuroendokrin termasuk hormon pertumbuhan,
prolaktin, hormon adrenokortikotropik (ACTH), luteinizing and follicle-
stimulating hormone, thyroid-stimulating hormone, vasopressin, oxytocin,
insulin, epinephrine, norepinephrine, dan berbagai neurotransmitter lain di
otak. Respon fisiologis fight-or-flight menstimulasi saraf simpatik di
sistem saraf otonomik dan meningkatkan aktivitas aksis pituitary-adrenal.
4. Perilaku
Menjauh dari masalah atau menekan masalah, Gangguan dalam
berhubungan, Afek yang tumpul, Keadaan emosi yang pasif dan tidak
berespon, Komunikasi yang tidak sesuai, Kurang spontanitas dan animasi,
Ketidakmampuan mandiri secara sosial. Penyalahgunaan zat, menarik diri
dari realitas
5. Sosial
Respon sosial terhadap stres dan penyakit sangat beragam. Pada dasarnya
respon sosial seseorang dapat didasari tiga hal (Mechanic, 1977 dalam
Stuart, 2013), yaitu mencari makna, atribut sosial, dan perbandingan
sosial. Dalam kasus Resiko perilaku kekerasan terjadi Ketidakmampuan
untuk berkomunikasi, Acuh dengan lingkungan, Kemampuan sosialnya
mengalami penurunan, Paranoid, Personal hygiena jelek, Sulit
berinteraksi, Tidak tertarik dengan kegiatan yang sifatnya Menghibur,
Penyimpangan seksual, Menarik diri.

E. Sumber Koping
1. Personal ability
Ketidakmampuan pemecahan masalah, Gangguan dari kesehatanya,
Kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak adekuat, Pengetahuan
dan intelegensi rendah, Identitas ego tidak adekuat
2. Sosial support
Menurut Stuart & Laraia (2005) terkadang ada beberapa orang yang ketika
ada masalah mereka mendapat dukungan dari keluarga dan teman yang
membantunya dalam mencari jalan keluar, tetapi ada juga sebagian orang
yang memiliki masalah, tetapi menghadapinya dengan menyendiri dan
tidak mau menceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga dan
temannya
3. Material aset
Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misal boros atau sangat pelit,
Tidak punya uang untuk berobat, tidak ada tabungan, Tidak memiliki
kekayaan dalam bentuk barang
4. Positive belief
Distres spiritual, Tidak memiliki motivasi, Penilaian negatif terhadap
pelayanan kesehatan, Tidak menganggap itu suatu gangguan
F. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanime koping pasien, sehingga
dapat membantu pasien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan masalahnya. Mekanisme koping yang
umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement
(dapat menggungkapkan kemarahan pada objek yang salah, misalnya pada
saat marah pada dosen, mahasiswa mengungkapkan kemarahan dengan
memukul tembok). Proyeksi yaitu kemarahan dimana secara verbal
mengalihkan kesalahan diri sendiri pada orang lain yang dianggap berkaitan,
misalnya pada saat nilai buruk seorang mahasiswa menyalahkan dosennya
atau menyalahkan sarana kampus atau menyalahkan administrasi yang tidak
becus mengurus nilai. Mekanisme koping yang lainnya adalah represi, dimana
individu merasa seolah-olah tidak marah atau tidak kesal, ia tidak mencoba
menyampaikannnya kepada orang terdekat atau ekpress feeling, sehingga rasa
marahnya tidak terungkap dan ditekan sampai ia melupakannya

G. Diagnosis
Risiko perilaku kekerasan
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus
Seorang pria (18 tahun) dikunjungi oleh perawat jiwa dan masyarakat
dengan keluhan marah-marah, membanting piring, ekspresi wajah tegang,
tangan tampak mengepal, saat bicara suara keras. Pasien mengatakan kesal
karena orang tuanya tidak juga membelikan motor. Menurutnya orang tuanya
berjanji membelikan motor sejak 6 bulan yang lalu.

B. Analisis
Berdasarkan kasus diatas kita mendapatkan data pasien marah-marah,
membanting piring, ekspresi wajah tegang, tangan tampak mengepal, saat
bicara suara keras. Tanda dan gejala yang dialami pasien tersebut
menunjukkan tanda dan gejala dari risiko perilaku kekerasan. Menurut
(Stuart, 2005), tanda dan gejala dari risko perilaku kekerasan adalah agitasi
motorik; mondar-mandir, ketidakmpuan untuk duduk diam, mengepalkan
tinju, mengencangkan rahang atau otot-otot wajah, kemampuan verbal; terlihat
seperti ancaman terhadap kondisi nyata, menganggu perhatian atau
mengumpat, berbicara dengan nada keras dan tertekan dan posisi tubuh yang
mengancam, afek (alam perasaan); ekspresi marah, mudah tersinggung,
kegembiraan yang meluap-luap, kondisi emosi yang labil sehingga klien
kesulitan mengontrol emosinya dan tingkat kesadaran; bingung, perubahan
status mental tiba-tiba, disorientasi, kerusakan memori, tidak bisa diarahkan.
Data selanjutnya yang ditemukan adalah pasien mengatakan kesal
karena orang tuanya tidak juga membelikan motor. Menurutnya orang tuanya
berjanji membelikan motor sejak 6 bulan yang lalu. Hal ini merupakan faktor
predisposisi yang memicu klien melakukan tindakan resiko perilaku
kekerasan. Berdasarkan faktor predisposisi menurut (Stuart, 2016) yaitu factor
predisposisi merupakan factor resiko dan protektif yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat digunakan seseorang untuk mengatasi stress
meliputi biologis, psikologis, dan social.
Menurut pendapat kelompok kami, faktor presipitasi dari kasus diatas
adalah pasien kesal karena orang tuanya tidak juga membelikan motor hingga
saat ini dan sudah memenuhi batas kesabaran pasien untuk menunggu waktu
di belikan motor sehingga pasien meluapkan kekesalannya dengan melakukan
tindakan risiko perilaku kekerasan. Menurut Menurut Stuart (2016) steresor
presipitasi adalah stimulus yang menantang, mengancam, yang memerlukan
energy tambahan dan mengakibatkan suatu ketegangan dan stress. Stressor ini
dapat bersifat biologis, psikologis, dan soial budaya. Stimulus ini bisa berasal
baik dari lingkungan internal maupun eksteral manusia.
Berdasarkan kasus terlihat bahwa sumber koping pasien sudah cukup
bagus terlihat dari perawat yang mendatangi rumah pasien dan juga
masyarakat yang ikut mengunjungi pasien. Hal ini serupa dengan pengertian
sumber koping menurut Stuart & Laraia (2005) dalam sosial support yang
mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman,
kelompok, kader kesehatan. Penilaian terhadap stressor individu sangat
penting dalam hal ini. Respon ini lebih mungkin terjadi jika individu
mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan yang berkaitan dengan
hubungan sehingga individu menolak membina hubungan dengan orang lain.

C. Intervensi dan Alasannya


a. Psikoterapi, individu, keluarga dan kelompok pada Kasus
Perawat dapat melakukan tindakan keperawatan untuk mencegah
dan menangani perilaku agresif. Tindakan keperawatan tersebut berbeda-
beda di setiap fase/ siklus agresif. Menurut Sheila L. Videbeck (2008),
pada fase pemicu perawat harus mendekati klien dengan tenang, tidak
mengancam dan menunjukkan empati terhadap kemarahan klien. Klien
dibawa ke tempat yang tenang atau memindahkan klien dari stimulus yang
membuat klien marah. Dalam Stuart 2016 langkah ini disebut dengan
kesadaran diri.
Apabila tehnik diatas tidak berhasil, perawat harus mengendalikan
situasi tersebut. Perawat harus memberikan arahan yang jelas dan tegas.
Ketika klien menjadi agresif (fase krisis), restrain menjadi salah satu
tindakan yang dapat diambil. Ketika klien ke fase pemulihan, klien
didorong untuk mengungkapkan factor stimulus atau pemicu
kemarahannya. Pada fase pasca krisis klien dibebaskan dari restrain setelah
ia memenuhi criteria perilaku untuk dibebaskan.( Sheila L. Videbeck,
2008)
Pelaksanaan tindakan keperawatan lebih singkatnya sebagai berikut
(Stuart, 2016):

Strategipencegahanpenahanan strategiantisipasi

Kesadarandiri Pendidikan klien Komunikasiperubahanlingkunganterapiperilakupsikofarm

Adapun tindakan keperawatn spesialis untuk perilaku kekerasan


selain assertive training (AT), juga bisa digunakan terapi spesialis yang
lainnya seperti Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT), dan Progressive Muscular Relaxation (PMR).
Cognitive Behavioral therapy(CBT)merupakan terapi perilaku
kognitif merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada
teori bahwa tanda dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi atara
pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault,2008). Sedangkan menurut Epigee
(2009) CBT merupakan terapi yang didasari dari gabungan beberapa
intervensi yang dirancang untuk merubah cara berfikir dan memahami
situasi dan perilaku sehingga mengurangi frekuensi reaksi negative dan
emosi yang mengganggu.
Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)merupakan salah satu
psikoterapi yang dapat diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan
dengan tujuan umumnya adalah untuk mengurangi keyakinan irrasional
dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif pada anak dan
dewasa yang marah dan agresif melalui pembelajaran dan latihan kognitif,
emosi dan perilaku. Dengan demikian diharapkan klien dengan perilaku
kekerasan yang mempunyai keyakinan dan pikiran yang irrasional menjadi
individu yang berkeyakinan dan berpikir rasional sehingga akan memiliki
emosi dan perilaku yang positif dan lebih sehat.
Progressive Muscular Relaxation (PMR) atau relaksasi otot
progresif menggunakan proses mengencangkan dan merelaksasikan
sekelompok otot untuk mendapatkan control yang merangsang pikiran dan
ketegangan. PMR juga digunakan dalam hubungannya dengan imajinasi
terpimpim, latihan napas berulang, latihan autogenic dan biofeedback.
Terapi spesialis keperawatan jiwa lainnya yang dapat digunakan
adalah terapi assertive training (AT).

Konsep Dasar Assertiveness Training


Assertiveness Training:
Assertive Training (AT) merupakan latihan yang diberikan kepada
klien perilaku kekerasan dengan menggunakan keterampilan interpersonal
dasar yang meliputi berkomunikasi langsung dengan orang lain, berani
mengatakan tidak untuk permintaan yang tidak rasional, mampu
menyatakan keberatan dengan baik, mengekspresikan apresiasi yang
sesuai dan menerima pujian dengan wajar.(Stuart, 2007). Assertiveness
Training merupakan tindakan untuk melatih seseorang mencapai perilaku
asertif (Kaplan & Saddock, 2005). Assertiveness Training merupakan
program latihan perilaku untuk melatih seseorang menyampaikan
kebutuhan, hak, dan menentukan pilihan tanpa mengabaikan hak orang
lain (Forkas,1997). Menurut Hopkins (2005), Assertiveness Training yaitu
terapi untuk melatih kemampuan seseorang untuk mengungkapkan
pendapat, perasaan, sikap dan hak tanpa disertai adanya perasaan cemas.
Tujuan Assertiveness Training (AT)
1. Meningkatkan penilaian terhadap diri dan orang lain
2. Meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan
3. Meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan hidup
4. Mengekspresikan sesuatu secara verbal, nonverbal, mengekspresikan
kebutuhan dan hak.
5. Melatih ketrampilan interpersonal dasar seseorang.
6. Mempelajari prosedur kognitif, afektif dan perilaku untuk
meningkatkan kemampuan interpersonal
7. Mengurangi penghalang secara kognitif dan afektif untuk berperilaku
asertif seperti kecemasan, pikiran tidak rasional, perasaan bersalah dan
marah.
8. Membantu individu memahami : (1) bahwa agresif merupakan bentuk
perilaku yang harus dipahami, diterima, dimodifikasi dan dikontrol, (2)
ekspresi marah untuk satu situasi belum tentu tepat untuk situasi yang
lain dan (3) metode untuk mengatasi perilaku agresif digunakan untuk
menurunkan agresif secara lebih baik.
Indikasi Assertiveness Training (AT)
Assertiveness Training dapat diterapkan pada klien : Manipulatif,
Agresif, marah, Risiko perilaku kekerasan, Kecemasan, Keterbatasan
hubungan social, Depresi, Konsep diri rendah.
Prinsip Assertiveness Training (AT)
Prinsip yang diperhatikan dalam Assertiveness Training yaitu
ketrampilan yang dilatih dan tehnik komunikasi yang digunakan.
1. Keterampilan
Ketrampilan yang dilatih dalam Assertiveness Training yaitu:
a. Melatih individu memahami perilaku asertif dan agresif
b. Membantu mengidentifikasi hak personal dan orang lain
c. Meningkatkan ketrampilan asertif melalui praktek secara langsung.
d. Melatih kemampuan berkomunikasi secara langsung pada orang
lain
e. Mengekspresikan sesuatu dengan tepat
f. Menyampaikan perasaan dan pikiran
g. Menyampaikan kebutuhan dan keinginan
h. Mengekspresikan kemarahan
i. Mengatakan tidak untuk permintaan yang tidak rasional
j. Kemampuan untuk menyampaikan komplain, opini dan
kontradiksi
2. Tehnik Komunikasi
Tehnik komunikasi yang diperhatikan dalam pelaksanaan
Assertiveness Training yaitu:
a. Menggunakan bahasa tubuh yang asertif yaitu kontak mata yang
tepat, ekspresi wajah sesuai dengan pembicaraan. volume bicara
sesuai, postur tubuh tegak dan relaks, memperhatikan jarak
terapeutik.
b. Menggunakan pernyataan ”saya” pernyataan ini berfokus pada
problem bukan menyalahkan orang lain seperti ”saya menyukai
untuk menyampaikan cerita saya tanpa interupsi.”
c. Penggunakan fakta bukan kesimpulan sepihak seperti ”kamu
membutuhkan kegiatan yang terencana”.
d. Mengekspresikan pikiran, perasaan dan opini yang kita miliki.
e. Membuat penjelasan.
Pelaksanaan Assertiveness Training
Pelaksanaan Assertiveness Training yang dilakukan dalam penelitian ini
dibagi menjadi lima sesi yaitu :
1. Sesi I : Mengidentifikasi kejadian/peristiwa yang menyebabkan marah
dan sikap saat marah serta latihan cara mengungkapkan kebutuhan
dankeinginan secara asertif.
Mengidentifikasi kejadian/ peristiwa penyebabmarah (dari dalam diri
atau di luar diri)
Menilai kejadian/ peristiwa penyebab marah (kebutuhanataukeinginan)
Mengenal sikapsaatmarah terhadap kejadian/peristiwa penyebab marah
(Agresif, Pasif, Asertif)
Melatih sikap asertif terhadap kejadian/peristiwa
Latihan sikap asertif terhadap kejadian/peristiwa secara terjadwal
(jadwal kegiatan harian)
Latihan sikap asertif jika terjadi kejadian/peristiwa penyebab marah
yang tidak terduga dengan catatan harian(jurnal)
2. Sesi II : Latihan cara mengungkapkan kebutuhan dan keinginan secara
asertif
Evaluasi (Sesi 1)
Latihan mengungkapkan kebutuhan secara asertif (memilih kebutuhan
yang menjadi penyebab marah dan latihan mengungkapkan kebutuhan
secara asertif)
Latihan mengungkapkan keinginan secara asertif (memilih keinginan
yang akan dilatih dan latihan mengungkapkan keinginan secara asertif
Latihan mengungkapkan kebutuhan dan keinginan secara asertif sesuai
jadwal (jadwal kegiatan harian)
Latihan mengungkapkan kebutuhan dan keinginan yang menimbulkan
rasa marah secara asertif dengan menggunakan catatan harian (jurnal)
Catatan: Sesi 1 – 2 dilatih sampai kebutuhan dan keinginan yang
menimbulkan rasa marah diungkapkan secara asertif.
3. Sesi III: Latihan mengatakan “tidak” untuk permintaan yang
tidakrasional
Evaluasi (Sesi 1 dan Sesi 2)
Mengidentifikasipermintaanyang tidakrasional
Memilih permintaan yang tidak rasional
Latihanmenolakpermintaan yang tidakrasional secara asertif
Latihan menolak permintaan yang tidak rasional secara asertif sesuai
jadwal (jadwal kegiatan harian)
Latihan menolak permintaan yang tidak rasional yang menimbulkan
rasa marah secara asertif dengan menggunakan catatan harian (jurnal)
4. Sesi IV : Latihan menerima perbedaan pendapat dan menyampaikan
pendapat secara asertif
Evaluasi (sesi 1,2, dan 3)
Mengidentifikasipendapat orang lain yang berbeda yang menimbulkan
rasa marah
Memilih perbedaan pendapat
Latihan menerima pendapat orang lain yang berbeda dan
menyampaikan pendapatpribadi secara asertif
Latihan menerima pendapat orang lain yang berbeda dan
menyampaikan pendapatpribadi secara asertifsesuai jadwal (jadwal
kegiatan harian)
Latihan menerima pendapat orang lain yang berbeda yang
menimbulkan rasa marah dan menyampaikan pendapatpribadi secara
asertif dengan menggunakan catatan harian (jurnal)
5. Sesi V : Mengevaluasi manfaat latihan asertif
Sikap asertif terhadap kebutuhan yang menimbulkan rasa marah
Sikap asertif terhadap keinginan yang tidak terpenuhi
Sikap asertif terhadap permintaan yang tidak rasional
Sikap asertif terhadap penerimaan perbedaan pendapat

b. Terapi Keluarga : Family Psychoeducation (FPE) Hasil Penelitian


Nancye,
Hamid, dan Mulyono (2007) menyatakan terapi keluarga mampu
meningkatakan kemampuan merawat klien dengan masalah perilaku
kekerasan Hasil penelitian Sari, Keliat dan Mustikasari (2009) menyatakan
terapi psikoedukasi keluarga dapat menurunkan beban dan meningkatkan
kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan pasung

c. Terapi Kelompok : Supportive Therapi (ST) dan Self Heip Group


(SHG)
Terapi kelompok suportif dapat menurunkan tanda dan gejala perilaku
kekerasan pada klien skizofrenia

d. Terapi Komplementer
Relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi yang dilakukan
dengan cara pasien menegangkan dan melemaskan otot secara berurutan
dan memfokuskan perhatian pada perbedaan perasaan yang dialami antara
saat otot rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, et al., 2010, hlm.314).
Perubahan yang diakibatkan oleh relaksasi otot progresif yaitu dapat
mengurangi ketegangan otot, menurunkan laju metabolisme,
meningkatkan rasa kebugaran, dan konsentrasi, serta memperbaiki
kemampan untuk mengatasi stressor (Potter & Perry, 2005, hlm.491)

e. Interpersonal Therapy Pada RPK


IPT sebagai intervensi dukungan sosial pada pasien akan memeriksa
dukungan sosial sebagai mediator perubahan yang terjadi pada pasien.
Pengaruh sosial pada kesehatan mental dan perilaku (latihan, nutrisi, tidur,
dsb.) didapatkan dari perbandingan sosial dan tekanan positif dari
sekitarnya yang menjadikan persahabatan bagi pasien sendiri akan
menghasilkan efek yang positif. Adapun masalah interpersonal pada IPT
seperti peran transisi (perceraian,pensiunan, penyakit) yang merubah
kehidupan sehingga mengganggu kehidupan sosial. Deficit interpersonal
ini menyebabkan pengurungan secara umum dan berkurangnya hubungan
interpersonal dan dukungan (Lipsitza, D.J., Markowitzb, C.J. 2013).
Terdiri dari 4 mekanisme yaitu:
Mekanisme Interpersonal 1: meningkatkan dukungan sosial
Istilah dukungan sosial (sosial support) memicu reaksi negatif dalam
psikoterapi yang akan berfokus atau menyentuh aspek hubungan dengan
manusia. Dukungan sangat penting dalam menjalin hubungan yang dekat
dengan pasien yang dikemukakan oleh teori Sullivan dan teori attachment
dari John Bolby.
Mekanisme Interpersonal 2: mengurangi Stres Interpersonal
Target pada pengurangan stres interpersonal ini adalah pasien dapat lebih
baik
mengatur dan memiliki koping yang bagus terhadap situasi yang
dialaminya.
Sesuai yang dijelaskan diatas IPT berfokus pada perasaan stres yang
dialami saat ini.
Mekanisme Interpersonal 3: Proses Emosi: Emosi adalah bahasa yang
utama dari hubungan interpersonal, dan tudah pokok dalam menghadapi
masalah interpersonal dalam IPT yang terdiri dari identifikasi, proses dan
ekspresi emosi.
Mekanisme Interpersonal 4: mengembangkan keahlian Interpersonal:
Dengan meningkatkan fungsi interpersonal pasien pada IPT (yang
mencakup belajar untuk mengkomunikasikan perasaan pasien secara
langsung, menggunakan pola yang jelas, atau belajar pada suasanya
ketegangan).
1. Psychodinamic terapy pada RPK
Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang terdiri
dari 3 fase yaitu (Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. 2019):
Fase 1 (sesi 1-4)
Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari fase awal.
Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya
dan memiliki riwayat negative dengan para profesional kesehatan. Satu-
satunya cara bagi terapis untuk melakukannya melawan perasaan ini
adalah dengan validasi empati dan perasaan kuat dari pembatalan pasien,
dalam kombinasi dengan mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian
dicapai oleh terapis dan pasien memutuskan bersama pada focus terapi
yang akan dijalankan. mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif
kognitif berulang yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala
pasien.
Fase 2 (sesi 5-12)
terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di sesi awal
dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan proses
bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan
interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada
kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang
diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc
interpersonal terapi, terapis secara aktif mendorong dan mendukung
perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan rangkuman penuh
intervensi psikodinamik: (1) mendukung intervensi (jaminan, dukungan,
dan empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi
ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada
hubungan transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis.,
mendorong pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang
lain)
Fase 3 (sesi 13-16)
Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses perubahan
terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi draft "selamat tinggal" surat
yang ditulis oleh terapis. Surat ini memberikan gambaran umum tentang
(1) masalah yang muncul, (2) focus terapi, (3) apa yang telah dicapai
dalam hal berubah, dan (4) apa yang belum tercapai. Surat ini sering
memancing reaksi emosional yang sangat kuat pada pasien.

D. Kode Etik
Pada hakikatnya keperawatan sebagai profesi senantiasa mengabdi
kepada kemanusiaan, mendahulukan kepentingan masyarakat diatas
kepentingan pribadi, bentuk pelayanannya bersifat humanistic, menggunakan
pendekatan secara holistic, dilaksanakan berdasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan serta menggunakan kode etik sebagai tuntutan utama dalam
melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan. Dengan memahami
konsep etik, setiap perawat akan memperoleh arahan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan yang merupakan tanggung jawab moralnya dan tidak
akan membuat keputusan secara sembarangan. Perawat profesional harus
menghadapi tanggung jawab etik dan konflikyang mungkin mereka alami
sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional.
Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial danhukum
telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik.
Dalam profesi keperawatan, ada 8 prinsip etika keperawatan yang
harus diketahui oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
penerima layanan keperawatan, baik individu, kelompok, keluarga atau
masyarakat. Pertama Autonomy (Kemandirian) Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembelaan diri, dan
perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai kemandirian ini.
Beneficence (Berbuat Baik) Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan
hal yang baik sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan dalam melakukan
pelayanan keperawatan. Justice (Keadilan) Nilai ini direfleksikan ketika
perawat bekerja sesuai ilmu dan kiat keperawatan dengan memperhatikan
keadilan sesuai standar praktik dan hukum yang berlaku. Contoh ketika
perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta ada juga
klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut kemudian bertindak
sesuai dengan asas keadilan. Non-Maleficence (Tidak Merugikan) Prinsip ini
berarti seorang perawat dalam melakukan pelayanannya sesuai dengan ilmu
dan kiat keperawatan dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien. Veracity (Kejujuran) Prinsip ini tidak hanya dimiliki
oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan
untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar klien
mengerti. Fidelity (Menepati Janji)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan
penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen menepati
janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain. Confidentiality
(Kerahasiaan) Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna
keperluan pengobatan, upaya peningkatan kesehatan klien dan atau atas
permintaan pengadilan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan harus
dihindari. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah standar yang
pasti bahwa tindakan seorang professional dapat dinilai dalam berbagai
kondisi tanpa terkecuali.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hasil analisis pada pasien (18 Tahun) yang menunjukan perilaku
marah-marah, membanting piring, ekspresi wajah tegang, tangan tampak
mengepal, saat bicara suara keras merupakan tanda dan gejala dari risiko
perilaku kekerasan. Faktor predisposisi yang dapat melatarbelakangi pasien
menunjukan perilaku risiko perilaku kekerasan adalah orang tua pasien
berjanji membelikan motor sejak 6 bulan yang lalu. Psikoterapi pada
individu Sesuai kasus diatas psikoterapi yang cocok untuk individu yakni
assertive training (AT), Cognitive Behavioral therapy(CBT), Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT) dan Progressive Muscular Relaxation (PMR)

B. Saran
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan sesuai dengan
perkembangan kondisi pasien dan situasi pasien terkini. Pemberian intervensi
ners generalis dapat dipadukan dengan terapi ners spesialis.

DAFTAR PUSTAKA
Epigee. (2009). CBT for post traumatic stress disorder. 10 Februari 2020.
http://www.epigee.org/ptsd-cbt.html

Kusumawati dan Hartono. (2010) . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :


Salemba Medika

Lipsitza, D.J., Markowitzb, C.J. (2013). Mechanisms of Change in Interpersonal


Therapy (IPT). Clin Psychol ; 33(8): 1134–1147. doi:10.1016/j.cpr.
2013.09.002.

Ningrum, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. (2012). Kajian Asuhan Keperawatan


Jiwa Resiko perilaku kekerasan Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd
Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti Mulia.

Ruti,W, Dhyah, Wahyuningsih, dan Widyawanti. (2010) Pengaruh psikoedukasi


keluarga terhadap peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat
klien resiko perilaku kekerasan dan Harga Diri Rendah. Jurnal
Pendidikan Keperawatan Indonesia.

Stuart, G.W& Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric


Nursing. (9 th Ed) St. Louis: Mosby

Stuart, G. W. 2013. Principles and practice of psychiatric nursing, Missouri,


Elsevier mosby.

Widyawati., (2016): Efektivitas terapi senam terhadap klien dengan resiko


perilaku kekerasan di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia

Wahyuni, S., Keliat, B. A. dan Yusron, Susanti, H. (2010): Pengaruh cognitive


behaviour therapy terhadap resiko perilaku kekerasan klien di Rumah
Sakit Jiwa Pempropsu Medan. Jurnal Pendidikan Keperawatan
Indonesia
Yosep, Iyus, et all. (2009). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Reflika
Aditama

Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Akbar, Amar.L.M, I.Z. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.


Yokyakarta : Indomedia Pustaka

IyusYosep& Titin Sutini. 2007. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung:


RefikaAditama

Kaplan &Saddock. 2010. Buku Ajar PsikiatriKlinis. Jakarta: EGC

Muhith, Abdul. 2015. Pendidkan keperawatan. Jiwa. Yogyakarta: Andi offset

Videbeck, L Sheila. 2008. Buku Ajar Keperwatan Jiwa. Jakarta: EGC

Stuart, Gail W. .Prinsip dan PraktikKeperawatanKesehatan Jiwa Buku 2 edisi


Indonesia. Indonesia: Elsivier

Nihayati.HE, AHY, RF.2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta


Selatan. Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai