Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI BANGSAL
RSJD DR ARIF ZAINUDDIN SURAKARTA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Jiwa

Disusun oleh :
Bilal Pratama Adi Shinta Nafissatul
Meylina Bunga Nofitasari Sidiq Arif Ansyah
Piranti Dewi Puspita Siti Koima
Rochma Putri N Shofura Mahmudah
Ratri Ayu P Talia Adis Kasandra
Reni Tri Utami Widya Febrianty Nur A.
Rista Nova Rahmawati Wisnu Aji Catur
Rosa Maria Puji Lestari Yosan Nurwasis Aditya
Seftina Lidya Maharani Yulia Tantri

YAYASAN PENDIDIKAN KESEHATAN KETONGGO


AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KAB NGAWI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI BANGSAL
RSJD DR ARIF ZAINUDDIN SURAKARTA

Disusun oleh:

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal ______________________

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

(............................................................) (.............................................................)
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke
rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai
bentakan dan “pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak
alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling
banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga
belum memadai sehingga selama perawatan klien dan sekeluarga mendapat
pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku
kekerasan).
Data WHO tahun 2011 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk
Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan
data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia
mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2011). Perilaku kekerasan merupakan salah
satu jenis gangguan jiwa. Dari total pasien di Ruang Ansoka Rumah Sakit
Jiwa Provinsi NTB yaitu sebayak 15 orang. Terdapat 6 orang dengan masalah
Halusinasi, 4 orang dengan masalah RPK, 3 orang dengan masalah ISOS dan
2 orang dengan masalah DPD.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa salah satu jenis gangguan jiwa
dengan Perilaku Kekerasan prevalensinya masih tinggi. Dimana Perilaku
Kekerasan tersebut merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Towsend,1998).
Atas dasar tersebut, maka kami mengganggap dengan Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) klien dengan gangguan Perilaku Kekerasan dapat tertolong
dari hal-hal yang bias membahayakan orang lain, lingkungan sekitar, bahkan
dirinya sendiri. Tentu saja klien yang mengikuti terapi ini adalah klien yang
sudah mampu membuka diri pada realitas sehingga saat TAK klien dapat
bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok lain.
Terapi aktifitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan
atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang di dapat adalah Bagaimana cara menyelesaikan
masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepada klien?.

1.3 Tujuan
Tujuan umum TAK stimulasi persepsi adalah klien mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan
stimulus kepadanya. Sementara tujuan khususnya:
1. Klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan
tepat.
2. Klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang
dihadapi.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Perilaku Kekerasan


2.1.1 Definisi Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau
amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan
gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2009).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan dimana hal tersebut untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart
& Sundeen, 2005).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI,
2000)
2.1.2 Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan yaitu :
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama
insting hidup yang di ekspresikan dengan seksualitas dan kedua
insting kematian yang di ekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh
pengikut freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang
untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan
frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agrresif
mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia
mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan
pada masa kanak-kanak,atau seduction parental, yang
mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga
diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk
child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga,
sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor soosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh
Bandura (1977) dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa
agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk
terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap kebangkitan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif
mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat
membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang
asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan
agrsif mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang
ternyata menimbulkan perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan
terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan
seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis dll. Jika kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan
perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus
temporal.
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku
agresif: serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin dan asam
amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1) Masa kanak-kanak yang mendukung
2) Sering mengalami kegagalan
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
2.1.3 Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
2.1.4 Tanda dan Gejala
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan
adalah sebagai berikut :
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam
dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat
orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
2.1.5 Rentang Respon
Menurut Yosep (2007) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu
akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panik).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Gambar 1. Rentang Respon
Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif
sampai kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang lain dan memberikan
ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat
marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif : individu tidak dapat mengungkapkan
perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan
untuk menuntut tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya kontrol. Perilaku kekerasan merupakan
suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan
proses penyampaian pesan dari individu. Orang
yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaikan pesan bahwa ia ”tidak setuju,
tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak
dituruti atau diremehkan.” Rentang respon
kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon yang tidak normal
(maladaptif).

2.1.6 Mekanisme Koping


Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/
keinginan tidak baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan
bermusuhan pada objek yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang
dianggap berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak
teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang harga diri rendah
(HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi
maka akan muncul halusinasi berupa suara-suara atau bayang-
bayangan yang meminta klien untuk melakukan kekerasan. Hal
ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain
(resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal
ini yang menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
terapeutik inefektif).

2.2 Terapi Aktivitas Kelompok


2.2.1 Pengertian
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
( Stuart & Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai
latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti
agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,
dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok,
ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang
berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
2.2.2 Tujuan
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan
orang lain serta mengubah prtilaku ynag destruktif dan maladaptif. Kekuatan
kelompok ada pada konstribusi dari setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai
tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagai pengalaman dan saling
membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan
interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota
kelompok merasa memiliki diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota
kelompok yang lain.
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam
rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu.
Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri peningkatan hubungan
interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
Terapi aktivitas kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan yaitu, stimulasi
sensoris, orientasi realita, dan sosialisasi. Terapi aktivitas kelompok dibagi empat
yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas
kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas terapi aktivitas stimulasi realita, dan
terapi aktivitas kelompok sosialisasi.

2.2.3 Jenis – Jenis Terapi Aktivitas Kelompok


1. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi
Untuk jenis terapi ini biasanya dapat dilakukan untuk para klien yang
memang sudah dalam tahap berinteraksi pada sebuah kelompok kecil.

Seperti kita ketahui, pada awalnya setiap orang memang Terkadang


kesulitan untuk melakukan interaksi dengan lingkungannya, namun setelah
dilakukan beberapa jenis terapi sedikit demi sedikit dapat dipulihkan dan menjadi
ke tahapan yang lebih baik lagi. Terapi yang stau ini pun berhubungan erat dengan
adanya psikologi social di dalam kehidupan masyarakat.

2. Terapi aktivitas kelompok stimulasi


Dalam sebuah teori – teori motivasi memang diajarkan bagaimana
seseorang dapat melalui fase dalam proses berfikir dan untuk bisa lebih
memperkecil dari adanya perilaky maladaptive.
Pasien dalam hal ini dilakukan berbagai jenis terapi dengan terdapat
sebuah gangguan yang biasanya berhubungan dengan suatu norma di dalam
lingkungannya, pada tahap yang satu ini pasien biasanya selalu emnarik diri dari
adanya realitas dan terdapat sebuah ide negative namun pada siis fisik seperti
Nampak bisa berkomunikasi dengan baik.
3. Terapi aktivitas kelompok sensori
Untuk terapi yang satu ini biasanya dilakukan pada seseorang yang
mengalami kemunduran pada fungsis ensorinya, sehingga diupayakan untuk bisa
melakukan stimulasi atau bisa juga memberikan stimulus sensori yang dikaitkan
dengan hubungan interaksi pada dirinya dan juga mengenai lingkungannya.

Tujuan dari terapi ini sebenarnya agar pasien bisa emningkatkan


kemmapuan sensori yang dimilikinya serta dapat emningkatkan focus agar bisa
lebih memusatkan perhatiannya.

4. Terapi aktivitas kelompok orientasi realitas


Dalam tahapan ini sebuah kelompok dapat dioreientasikan pada tahapan
kenyataan, namun adapun terapu yang dilakukan biasanya terdapat sebuah
amsalah pada orientasi waktu dan juga tempat, namun terapi yang satu ini juga
bisa ditandai dengan orietasi realita seperti contohnya halusinasi.

Adapun tujuan dari dilakukannya terapi ini agar bisa mengidentifikasikan


sebuah stimulus internal yang ada di dalam sensasi somatic, serta pasien yang
membedakan antara kenyataan dengan lamunan yang dia rasakan.

5. Terapi aktivitas kelompok penyaluran energy


Terapi yang satu ini lebih mengedepankan penyaluran energi untuk bisa
menyebarkan energy positif secara merata dan juga konstruktif, sehingga nnatinya
bisa meluapkan segala perasaan marah, perasaan batin ataupun berbagai hal yang
biasanya dapat merugikan dirinya sendiri serta lingkungannya. Untuk tujuannya
sendiri adalah agar pasien dapat menyalurkan energy destruktif ke konstruktif.

6. Terapi aktivitas kelompok kohesif


Untuk terapi yang satu ini, setiap anggota kelompok diberikan kebebasan
dalam mengemukakan apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka ingin
utarakan, karena dalam tahapan yang satu ini akan membuat pasien memahami
dan mengerti mengenai dirinya sendiri, sehingga dirinya pun akan jauh lebih
terbuka pada lingkungannya.
Sehingga akan lebih memeprmudah fase penyembuhan yang ada di dalam diri
pasien. Sehingga dalam hal ini dapat berhubungan dengan teori psikologi
kepribadian yang sering terjadi pada pasien.

7. Terapi aktivitas kelompok stimulasi suara


Untuk terapi yang satu ini dilakukan dengan memebrikan terapi suara-
suara pada pasien yang memiliki gangguan terhadap jiwanya, dalam teori ini juga
baisanya akan lebih menyadarkan pasien dan juga membantunya untuk tidak takut
terhadap suara-suara yang seringkali terdengar d nada di fikirannya tersebut.
terapi jenis ini juga memang sudah cukup lama digunakan dan ternyata memang
mampu mmebantu pasien dalam melakukan penyembuhan.

8. Terapi aktivitas kelompok melalui gambar


Terkadang memang tidak semua orang bisa mengeskpresikan dirinya melalui
ungkapan dan cara bicaranya, ada juga beberapa orang yang hanya bisa
mengekspresikan dirinya melalui gvisualisasi gambar, sehingga terapi jenis ini
juga dipandang cukup efektif untuk bisa membantu pasien lebih nyaman dengan
dirinya dna dapat memberikan penyembuhan dengan cepat.

9. Terapi aktifitas suara dan gambar


Dalam terapi yang stau ini caranya sendiri adalah dengan menggabungkan
kedia visualisai yaitu antara terapi gambar dna juga terapi suara, sehingga melalui
jenis terapi yang satu ini dapat memebrikan haisl yang lebih bermanfaat.

Pasien pun biasanya akan lebih memahami dan mengerti mengenai jenis
terapi yang satu ini, karena dianggap jauh bisa bekerja degan baik daripada jenis
terapi yang lainnya.

10. Terapi aktivitas kelompok minat


Untuk terapi yang stau ini pasien dikumpulan dalam satu wadah atau
lingkungan social yang di dalamnya terdapat satu minat maupun bakat yang sama,
sehingga pasien dapat menyalurkan minat yang dia miliki, dan untuk terapi yang
satu ini pun mampu memberikan kenyamanan pada pasein yang jauh lebih baik.
dalam hal ini juga bisa dikaitkan dengan psikologi lingkungan pada beberapa
kelompok dengan minat yang sama, sehingga terhubung dalam satu koneksi
nantinya.

11. Terapi aktivitas kelompk konseling


Tahapan terapi  psikologi konseling yang satu ini biasanya dilakukan apabila
beberapa jenis terapi yang sudah disebutkan tadi tidak bisa berjalan dan bekerja
dengan baik, sehingga dilakukan konseling untuk bisa membuat pasien lebih bisa
membuka dirinya pada terapis yang sedang mengobatinya, meski dalam hal ini
tidak selalu  berhasil, namun dapat memberikan  peluang yang baik agar pasien
tidak menutup dirinya kembali.

2.2.4 Kriteria Pasien


Kriteria pasien sebagai anggota yang mengikuti terapi aktifitas
kelompok iniadalah:
a. Klien dengan riwayat perilakukekerasan.
b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif
atau mengamuk, dalam keadaan tenang.
c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative)
2.2.5 Pengorganisasian
a. Leader, bertugas:
1) Mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Memimpin jalannya terapi kelompok
3) Memimpin diskusi.
b. Co-Leader, bertugas :
1) Membantu leader mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Mengingatkan leader jika ada kegiatan yang menyimpang.
3) Membantu memimpin jalannya kegiatan.
4) Menggantikan leader jika terhalang tugas.
c. Fasilitator, bertugas:
1) Memotivasi peserta dalam aktivitas kelompok.
2) Memotivasi anggota dalam ekspresi perasaan setelah kegiatan.
3) Membimbing kelompok selama permainan diskusi.
4) Membantu leader dalam melaksanakan kegiatan.
5) Bertanggungjawab terhadap program antisispasi masalah.
d. Observer, bertugas :
1) Mengobservasi persiapan dan pelaksanaan TAK dari awal sampai
akhir.
2) Mencatat semua aktivitas dalam terapi aktivitas kelompok.
3) Mengobservasi perilaku pasien

2.2.5 Setting tempat

= Leader = Fasilitator

= Co Leader = Operator

= Pasien = Observer

2.2.6 Peserta
1. Tn. S 6. Tn. Y
2. Tn. E 7. Tn. S
3. Tn. Z 8. Tn. Q
4. Tn. S
5. Tn. R
BAB III
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

Terbagi dalam 5 sesi:


Sesi 1: Mengenal Perilaku Kekerasan yang Biasa Dilakukan
A. Tujuan :
1. Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab kemarahannya.
2. Klien dapat menyebutkan respon yang dirasakan saat marah (tanda dan
gejala marah).
3. Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah (perilaku
kekerasan).
4. Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan
B. Setting :
1. Terapis dan klien dapat duduk bersama dalam lingkaran
2. Ruangan nyaman dan tenang
C. Alat :
A. Buku catatan dan pulpen
B. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader : Yosan
2. Co-leader : Reni
3. Observer : Piranti, Rosa
4. Fasilitator :
a. Widya Febrianty N.A.
b. Seftina Lidiya M.
c. Wisnu Aji Catur H.B.
d. Shofura Mahmudah S.
e. Talia Adis Kasandra
f. Sidiq Arif Ansyah
g. Meylina Bunga N.
h. Bilal Pratama Adi
C. Metode :
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran/ simulasi
D. Langkah kegiatan :
1. Persiapan
a. Memilih klien perilaku kekerasan yang sudah kooperatif
b. Membuat kontak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama).
3) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama)
b. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
2) Menanyakan masalah yang dirasakan
c. Kontak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
2) Menjelaskan aturan main berikut
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
minta izin kepada terapis.
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan penyebab marah.
1) Tanyakan pengalaman tiap klien
b. Mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar
oleh penyebab marah sebelum perilaku kekerasan terjadi.
1) Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab (tanda
dan gejala)
c. Mendiskusikan perilaku kekerasan yang pernah dilakukan klien
(verbal, merusak lingkungan, mencederai/memukul orang lain,
memukul diri sendiri)
1) Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah.
d. Melakukan bermain eran/ simulasi untuk perilaku kekerasan yang
tidak berbahaya (terapis sebagai sumber penyebab dan klien yang
melakukan perilaku kekerasan).
e. Menanyakan perasaan klien setelah selesai bermain peran /simulasi.
f. Mendiskusikan dampak/akibat perilaku kekerasan
1) Tanyakan akibat perilaku kekerasan.
g. Memberikan reinforcement pada peran serta klien.
h. Dalam menjalankan a sampai h, upayakan semua klien terlibat.
i. Beri kesimpulan penyebab; tanda dan gejala; perilaku kekerasan dan
akibat perilaku kekerasan.
j. Menanyakan kesediaan klien untuk memepelajari cara baru yang sehat
menghadapi kemarahan.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2) Memberikan reinforcement positif terhadap perilaku klien yang
positif.
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan klien menilai dan mengevaluasi jika terjadi penyebab
marah, yaitu tanda dan gejala; perilaku kekerasan yang terjadi; serta
akibat perilaku kekerasan.
2) Menganjurkan klien mengingat penyebab ; tanda dan gejala; perilaku
kekerasan dan akibatnya yang belum diceritakan.
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah perilaku
kekerasan.
2) Menyepakati waktu dan TAK berikutnya.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan
sesi 1, kemampun yang diharapkan adalah mengetahui penyebab perilaku,
mengenal tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang dilakukan dan akibat
perilaku kekerasan. Formlir evaluasi sebagai berikut.
Sesi 1: TAK
Simulasi persepsi perilaku kekerasan
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan
proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti sesi 1. TAK stimulasi
persepsi perilaku kekerasan. Klien mampu menyebutkan penyebab perilaku
kekerasannya (disalahkan dan tidak diberi uang), mengenal tanda dan gejala yang
dirasakan (“geregetan” dan “deg-degan”), perilaku kekerasan yang dilakukan
(memukul meja), akibat yang dirasakan (tangan sakit dan dibawa ke rumah sakit
jiwa). Anjurkan klien mengingat dan menyampaikan jika semua dirasakan selama
dirumah sakit.

Sesi 2: Mencegah Perilaku Kekerasan Fisik


E. Tujuan:
1. Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
2. Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang dapat mencegah perilaku
kekerasan.
3. Klien dapat mendemonstrasikan dua kegiatan fisik yang dapat mencegah
perilaku kekerasan

F. Setting:
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkungan.
2. Ruangan nyaman dan tenang

G. Alat:
1. Bantal
2. Buku catatan dan pulpen
3. Jadwal kegiatan klien
H. Pengorganisasian :
1. Leader : Yosan
2. Co-leader : Reni
3. Observer : Piranti, Rosa
4. Operator : Rohma, Shinta
5. Fasilitator :
a. Widya Febrianty N.A.
b. Seftina Lidiya M.
c. Wisnu Aji Catur H.B.
d. Shofura Mahmudah S.
e. Talia Adis Kasandra
f. Sidiq Arif Ansyah
g. Meylina Bunga N.
h. Bilal Pratama Adi

E. Metode:
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran/ stimulasi
F. Langkah kegiatan:
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1. Salam dari terapis pada pasien
2. Klien dan terapis pakai papan nama.
b. Evaluasi /validasi
1. Menanyakan perasaan klien saat ini
2. Menyanyakan apakah ada kejadian perilaku kekerasan: penyebab;
tanda dan gejala; perilaku kekerasan serta akibatnya.
c. Kontrak
1. Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu secara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
2. Menjelaskan aturan main berikut :
a. Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin
kepada terapis.
b. Lama kegiatan 45 menit
c. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.\
3. Tahap Kerja
a. Mendiskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan oleh klien
1) Tanyakan kegiatan : rumah tangga, harian, dan olahraga yang biasa
dilakukan klien
b. Menjelaskan kegiatan fisik yang dapat digunakan untuk menyalurkan
kemarahan secara sehat : tarik napas dalam, menjemur/memukul
kasur/bantal, menyikat kamar mandi, main bola, senam, memukul bantal.
c. Membantu klien memilih dua kegiatan yang dapat dilakukan.
d. Bersama klien mempraktikan dua kegiatan yang dipilih
1) Terapis mempraktikan
2) klien melakukan redemonstrasi
e. Menanyakan perasaan klien setelah mempraktikan cara penyaluran
kemarahan
f. Upayakan semua klien berperan aktif

4. Tahap Terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
2. Menanyakan ulang cara baru yang sehat mencegah perilaku kekerasan
b. Tindak lanjut
1. Menganjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari jika stimulus
penyebab perilaku kekerasan
2. Menganjurkan klien melatih secara teratur cara yang telah dipelajari
3. Memasukkan pada jadwal kegiatan harian klien
c. Kontrak yang akan datang
1. Meyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu interaksi sosial yang
asertif
2. Meyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi


Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan
TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 2, kemampuan
yang di harapkan adalah 2 kemampuan mencegah perilaku kekerasan secara
fisik. Formulir evaluasi sebagai berikut :

Sesi 2
Mencegah Perilaku Kekerasan dengan Cara Fisik
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan
proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti Sesi 2 TAK stimulasi
persepsi perilaku kekerasan, klien mampu mempraktikkan tarik napas dalam,
tetapi belum mampu mempraktikkan pukul kasus dan bantal. Anjurkan dan bantu
klien mempraktikkan di ruang rawat (buat jadwal).

Sesi 3: Mencegah Perilaku Kekerasan Sosial


A. Tujuan
1. Klien dapat mengungkapkan keinginan dan permintaan tanpa memaksa.
2. Klien dapat mengungkapkan penolakan dan rasa sakit hati tanpa
kemarahan.
B. Setting
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.
C. Alat
1. Buku catatan dan pulpen
2. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader : Yosan
2. Co-leader : Reni
3. Observer : Piranti, Rosa
4. Operator : Rohma, Shinta
5. Fasilitator :
a. Widya Febrianty N.A.
b. Seftina Lidiya M.
c. Wisnu Aji Catur H.B.
d. Shofura Mahmudah S.
e. Talia Adis Kasandra
f. Sidiq Arif Ansyah
g. Meylina Bunga N.
h. Bilal Pratama Adi
E. Metode
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran / simulasi
F. Langkah kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut Sesi 2.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien.
2) Klien dan terapis pakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini.
2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah
serta perilaku kekerasan.
3) Tanyakan apakah kegiatan fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
sudah dilakukan.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu cara sosial untuk mencegah
perilaku kekerasan.
2) Menjelaskan aturan main berikut.
a) Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta
izin kepada terapis.
b) Lama kegiatan 45 menit.
c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan dengan klien cara bicara jika ingin meminta sesuatu
dari orang lain.
b. Menuliskan cara-cara yang disampaikan klien.
c. Terapis mendemonstrasikan cara meninta sesuatu tanpa paksaan,
yaitu “Saya perlu / ingin/ minta ..., yang akan saya gunakan untuk...”.
d. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang
cara pada poin c.
e. Ulangi d. sampai semua klien mencoba.
f. Memberikan pujian pada peran serta klien.
g. Terapis mendemonstrasikan cara menolak dan menyampaikan rasa
sakit hati pada orang lain, yaitu “Saya tidak dapat melakukan ...” atau
“Saya tidak menerima dikatakan ...” atau “Saya kesal dikatakan
seperti ...”.\
h. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang
cara pada poin d.
i. Ulangi h sampai semua klien mencoba.
j. Memberikan pujian pada peran serta klien.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2. Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah
dipelajari.
3. Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b. Tindak lanjut
1. Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik dan interaksi sosil
yang asertif , jika stimulus penyebab perilaku kekerasan terjadi.
2. Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik dn interaksi sosial yang
asertif secara teratur.
3. Memasukkan interaksi sosial yang asertif pada jadwal kegiatan harian
klien.
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu kegiatan ibadah.
2. Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi


Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.
Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 3, kemampuan klien yang
diharapkan adalah mencegah perilaku kekerasan secara sosial. Formulir evaluasi
sebagai berikut.

Sesi 3: TAK
Mencegah Perilaku Kekerasan Sosial
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan
proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti sesi 3, TAK stimulasi
persepsi perilaku kekerasan. Klien mampu memperagakan cara meminta tanpa
paksa, menolak dengan baik dan mengungkapkan kekerasan. Anjurkan klien
mempraktikan di ruang rawat ( buat jadwal).
Sesi 4 : Mencegah Perilaku Kekerasan Spiritual
A. Tujuan
Klien dapat melakukan kegiatan ibadah secara teratur.
B. Setting
1. Terapis dan k lien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangannyaman dan tenang.
C. Alat
1. Buku catatan dan pulpen
2. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader : Yosan
2. Co-leader : Reni
3. Observer : Piranti, Rosa
4. Operator : Rohma, Shinta
5. Fasilitator :
a. Widya Febrianty N.A.
b. Seftina Lidiya M.
c. Wisnu Aji Catur H.B.
d. Shofura Mahmudah S.
e. Talia Adis Kasandra
f. Sidiq Arif Ansyah
g. Meylina Bunga N.
h. Bilal Pratama Adi
E. Metode
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan Tanya jawab
3. Bermain peran /simulasi
F. Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi
b. Menyiapkan alat dan tempat
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Klien dan terapis pakai papan nama
b. Evaluas/validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah, serta
perilaku kekerasan
3) Tanyakan apakah kegiatan fisik dan interaksi social yang asertif untuk
mencegah perilaku kekerasan sudah dilakukan.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu kegiatan ibadah untuk mencegah
perilaku kekerasan.
2) Menjelaskan aturan main berikut.
a. Jika ada klien yang meninggalkan kelompok, harus meminta izin
kepada terapis.
b. Lama kegiatan 45 menit
c. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Menanyakan agama dan kepercayaan masing masing klien.
b. Mendiskusikan kegiatan ibadah yang biasa dilakukan masing masing klien.
c. Menuliskan kegiatan ibadah masing masing klien.
d. Meminta klien untuk memilih satu kegiatan ibadah.
e. Meminta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih.
f. Memberikan pujian pada penampilan klien.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2) Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah
dipelajari.
3) Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik, interaksi sosial yang
asertif, dan kegiatan ibadah jika stimulus penyebab perilaku kekerasan
terjadi.
2) Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik, interaksi social yang
asertif, dan kegiatan ibadah secara teratur.
3) Memasukkan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan harian klien.
c. Kontrak yang akan dating
1) Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu minum obat
teratur.
2) Menyepakati waktu dan tempat pertemuan berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi


Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan
TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 4, kemampuan klien
yang diharapkan adalah perilaku 2 kegiatan ibadah untuk mencegah kekerasan.
Formulir evaluasi sebagai berikut:

Sesi 4 : TAK
Mencegah Perilaku Kekerasan Sosial
Kemampuan mencegah perilaku kekerasan spiritual
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimilki klien saat TAK pada catatan
proses keperawatan tiap klien.Contoh : klien mengikuti sesi 4 , TAK stimulasi
persepsi perilaku kekerasan. Klien mampu memperagakan dua cara ibadah.
Anjurkan klien melakukannya secara teratur di ruangan( buat jadwal).
Sesi 5 : Mencegah Perilaku Kekerasan dengan Patuh Mengkonsumsi Obat
A. Tujuan :
1. Umum : Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasan dengan
patuh mengkonsumsi obat.
2. Khusus :
a) Klien dapat menyebutkan keuntungan patuh minum obat.
b) Klien dapat menyebutkan akibat/kerugian tidak patuh minum obat.
c) Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.
B. Setting :
1. Terapis dan Klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.
C. Alat :
1. Buku catatan dan pulpen
2. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
6. Leader : Yosan
7. Co-leader : Reni
8. Observer : Piranti, Rosa
9. Operator : Rohma, Shinta
10. Fasilitator :
a. Widya Febrianty N.A.
b. Seftina Lidiya M.
c. Wisnu Aji Catur H.B.
d. Shofura Mahmudah S.
e. Talia Adis Kasandra
f. Sidiq Arif Ansyah
g. Meylina Bunga N.
h. Bilal Pratama Adi
E. Metode :
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
F. Langkah kegiatan :
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut Sesi 4
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Klien dan terapis pakai papan nama
b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah,
serta perilaku kekerasan.
3) Tanyakan apakah kegiatan fisik, interaksi social yang asertif dan
kegiatan ibadah untuk mencegah perilaku kekerasan sudah
dilakukan.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu patuh minum obat untuk
mencegah perilaku kekerasan.
2) Menjelaskan aturan main berikut :
a) Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
meminta izin kepada terapis
b) Lama kegiatan 45 menit.
c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan macam obat yang dimakan klien : nama dan warna
(upayakan tiap klien menyampaikan)
b. Mendiskusikan waktu minum obat yang biasa dilakukan klien.
c. Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu
minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat,
benar dosis obat.
d. Menjelaskan tentang prinsip 5 benar dan meminta klien menyebutkan
lima benar cara minum obat, secara bergiliran.
e. Berikan pujian pada klien yang benar.
f. Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat
g. Mendiskusikan peranan klien jika teratur minum obat
h. Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara
mencegah perilaku kekerasan/kambuh.
i. Menjelaskan akibat/kerugian jika tidak patuh minum obat, yaitu
kejadian perilaku kekerasan/kambuh.
j. Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan
kerugian tidak patuh minum obat.
k. Member pujian setiap kali klien benar.

4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menyanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2) Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang
telah dipelajari.
3) Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik, interaksi social
asertif, kegiatan ibadah, dan patuh minum obat untuk mencegah
perilaku kekerasan.
2) Memasukkan minum obat dalam jadwal kegiatan harian klien.
c. Kontrak yang akan datang
Mengakhiri pertemuan untuk TAK perilaku kekerasan, dan disepakati
jika klien perlu TAK yang lain.
Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung khususnya pada tahap
keraj. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.
Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 5, kemampuan yang
diharapkan adalah mengetahui lima benar cara minum obat, keuntungan minum
obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Formulir evaluasi sebagai berikut :
Sesi 5 : TAK
Mencegah Perilaku Kekerasan dengan Patuh Mengkonsumsi Obat
Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien pada cartatan proses
keperawatan tiap klien. Contoh : klien mengikuti sesi 5, TAK stimulasi persepsi
perilaku kekerasan. Klien mampu menyebutkan lima benar cara minum obat,
belum dapat menyebutkan keuntungan minum obat dan akibat tidak minum obat.
Anjurkan klien mempraktikan lima benar cara minum obat, bantu klien merasakan
keuntungan minum obat, dan akibat tidak minum obat.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna dan Akemat.2005.Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas


Kelompok.Jakarta:EGC
Farida Kusumawati,dkk.2010.Buku Ajar KeperawatanJiwa.Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai