Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar


a) Kebutuhan Psikososial
Manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan
system terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang
dipertahankan oleh setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, keadaan ini disebut sehat. Sedangkan seseorang dikatakan
sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan
lingkungannya (Tarwoto dan Wartonah, 2011).
Psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang
mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan
sosial dalam masyarakat yang menimbulkan gangguan jiwa (Depkes,
2011). Ada banyak teori yang berupaya menjelaskan perilaku manusia,
kesehatan, dan gangguan jiwa. Masing-masing mengajukan bagaimana
perkembangan normal terjadi berdasarkan keyakinan dan asumsi para ahli
teori serta pandangan dunia (Videbeck, 2009).
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang
tersebut terpaksa mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk
menanggulangi stresor (tekanan mental) yang timbul. Namun tidak semua
orang mampu melakukan adaptasi sehingga timbullah keluhan-keluhan
jiwa salah satunya adalah skizofrenia. Salah satu gejala skizofrenia adalah
risiko perilaku kekerasan.

7
8

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan


1. Masalah utama
a. Pengertian risiko perilaku kekerasan
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau
lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual, dan verbal (Sutejo, 2017).
Berbeda dengan risiko perilaku keekrasan, perilaku kekerasan memiliki
definisi sendiri. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai suatu keadaan hilang
kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan(Sutejo, 2017).

b. Faktor risiko perilaku kekerasan


Menurut Sutejo (2017), menyatakan faktor-faktor risiko dari risiko perilaku
kekerasan terhadap diri sendiri dan risiko perilaku kekerasan terhardap orang
lain.
1) Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed
violence)
a) Usia 45> tahun
b) Usia 15-19 tahun
c) Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan
pesan bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak
individu tersebut, dll).
d) Konflik mengenai orientasi sosial
e) Konflik dalam hubungan interpersonal
f) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
g) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotik
h) Sumber daya personal yang tidak memadai
i) Status perkawinan (sendiri,menjanda,bercerai)
j) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepdibadian,
penyalahgunaan zat)
k) Pekerjaan (profesional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis)
9

l) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang


bersifat kekerasan atau konfliktual)
m) Isu kesehatan fisik
n) Gangguan psikologis
o) Isolasi sosial
p) Ide bunuh diri
q) Rencana bunuh diri
r) Riwayat upacara bunuh diri berulang
s) Isyarat verbal (membicarakan kematian, menanyakan tentang dosis
mematikan suatu obat, dll).

2) Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed


violence)
a) Akses atau ketersediaan senjata
b) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
c) Perlakuan kejam terhadap binatang
d) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis, maupun
seksual
e) Riwayat penyalahgunaan zat
f) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
g) Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (seperti, pelanggaran
lalu lintas, penggunaan kendaraan bermotor untuk melampiaskan
amarah)
h) Bahasa tubuh negatif (seperti, kekakuan, mengepalkan tinju/pukulan,
hipersktivitas)
i) Gangguan neurologis trauma kepala, gangguan serangan, kejang, dll)
j) Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing dilantai,
menyobek objek dinding, melempar barang, memecahkan kaca,
membanting pintu)
10

k) Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain ( menendang, memukul,


menggigit, mencakar, upaya perkosaan, memperkosa, pelecehan
seksual)
l) Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek atau
orang lain, menyumpah serapah, gestur, atau catatan mengancam,
ancaman seksual)
m) Pola perilaku kekerasan antisosial (mencuri, meminjam, dengan
memaksa)
n) Perilaku bunuh diri.

c. Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan


Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan dan didukung
dengan hasil obsevasi (SDKI, 2017)
1) Data subjektif
a) Ungkapan berupa ancaman
b) Ungkapan kata-kata kasar
c) Ungkapan ingin memukul/melukai

2) Data objektif
a) Wajah memerah dan tegang
b) Pandangan tajam
c) Mengatupkan rahang dengan kuat
d) Mengepalkan tangan
e) Bicara kasar
f) Bicara mengancam
g) Suara tinggi
h) Mondar mandir
i) Melemparkan atau memukul benda/orang lain.
11

d. Perilaku Risiko Perilaku Kekerasan


Menurut Sutejo (2017), pasien dengan gangguan perilaku kekerasan
memiliki beberapa perilaku yang perlu diperhatikan, perilaku pasien dengan
gangguan perilaku kekerasan dapat membahayakan bagi dirinya sendiri, orang
lain, maupun lingkungan sekitar. Adapun perilaku yang harus dikenali dari
pasien gangguan resiko perilaku kekerasan, antara lain :
1) Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatannya system syaraf
otonom bereaksi terhadap sereaksi terhadap sekresi ephineprin yang
menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah,pupil
melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltic gaster menurun,
pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan
meningkat, diserta ketegangan otot seperti: rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2) Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya, yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif
merupakan cara terbaik individu untuk mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Dengan perilaku
tersebut, individu juga dapat mengambangkan diri.
3) Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
4) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditunjukkan kepada diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan.
12

FAKTOR PREDISPOSISI

Biologis Psikologi Sosiokultural

FAKTOR PRESIPITASI

Sifat Asal Waktu Jumlah

PENILAIAN TERHADAP STRESOR

Kognitif Afektif Fisiologi Perilaku Sosial


s

SUMBER KOPING

Kemampuan Dukungan sosial Aset materi Keyakinan


personal positif
MEKANISME KOPING

Konstruktif Desktruktif

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresif Amuk

2.1 Model Stres Adaptasi Dalam Asuhan Keperawatan Jiwa (Stuart, 2016)
13

e. Rentang Respon Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan
dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai mal adaptif. Rentang respon
marah menurut stuart dan sundeen, dimana agresif dan amuk (perilaku
kekerasan) berada pada rentang respon mal adaptif.
1) Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaika sesuatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihan normal dari
individu yang lainnya dengan tepat sesuai situasi. Pada saat berbicara
kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam
berbicara tidak mengancam.
2) Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan pada
dirinya.
3) Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan.
4) Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Seseorang yang
agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal
5) Amuk
Amuk atau perilaku adalah pearasaan marah dan bermusuhan yang kuat
yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.
14

f. Pengkajian Perilaku Pasif, Asertif, Agresif.


Perawat perlu memahami dan membedakan berbagai perilaku yang
ditampilkan klien, hal ini dapat dianalisa dari perbandingan berikut:

Tabel 2.1 Pengkajian Perilaku Pasif, Asertif, dan Agresif


Aspek Pasif Asertif Agresif
Isi pembicaraan Negatif, merendahkan Positif menawarkan Menyombongkan diri,
diri, misalnya : diri, misalnya : “Saya merendahkan orang
“Bisakah saya mampu, saya bias, anda lain, misalnya: “Kamu
melakukan hal itu? boleh, anda dapat”. pasti tidak bisa, kamu
Bisakah anda selalu melanggar, kamu
melakukannya! tidak pernah menurut,
kamu tidak akan bisa “
Tekanan suara Lambat, mengeluh Sedang Keras ngotot
Posisi badan Menundukkan kepala Tegap dan santai Kaku, condong
kedepan
Jarak Menjaga jarak dengan Mempertahankan jarak Siap dengan jarak akan
sikap mengabaikan yang nyaman menyerang orang lain
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/ sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan
tidak kontak mata sesuai dipertahankan.
dengan hubungan
Sumber: (Yosep, 2010)

2. Proses terjadinya masalah


Menurut model stress adaptasi (Stuart, 2016), tentang asuhan keperawatan
jiwa memandang perilaku manusia dari pengkajian holistik yang di mulai dari
faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping,
mekanisme koping, rentang respon koping.
a. Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2016), masalah perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh
adanya faktor predisposisi (faktor yang (melatarbelakangi) munculnya
masalah dan faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah).Di
dalam faktor presidisposisi, terdapatbeberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya masalah perilaku kekerasan seperti biologis, psikologis, dan
sosiokultural.
15

1) Faktor Biologis
Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit, dan trauma
kepala (Yosep, 2009).
2) Faktor psikologis
Pada pasien yang mengalami risiko perilaku kekerasan, terdapat asumsi
bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang mengalami hambatan
akan timbul dorongan asertif yang dapat memicu pasien untuk melakukan
perilaku kekerasan (Sutejo, 2017).
3) Faktor sosialbudaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori mnurut
Bandura nahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respons yang lain.
Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya
juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak
dapat diterima. (Farida,2012).

b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi berhubungan dengan pengaruh stresor yang mencetuskan
perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stressor dapat disebabkan dari luar
maupun dari dalam. Stressor yang berasal dari luar dapat berupa serangan fisik,
kehilangan, kematian. Stressor yang berasal dari dalam dapat berupa, kehilangan
keluarga atau sahabat dalam, dan lain-lain. Selain itu lingkungan yang kurang
kondusif, seperti penuh penghinaan, tindak kekerasan, dapat memicu timbulnya
perilaku kekerasan (Sutejo, 2017).
Menurut Yosep (2010) dalam Damayanti (2012), terhadap beberapa faktor
yang dapat mencetus perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan:
16

1) Ekspresi diri, ingin menunjukan ekstensi diri atau simbolis solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal
dan sebagainya.
2) Ekspresi diri tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi social ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengonsumsikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Adanya riwayat perilaku anti social meliputi penyalahgunaan obat dan
alcoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahan perkembangan keluarga.

c. Penilaian terhadap stressor


1) Kognitif
Respons kognitif merupakan bagian kritis dari model ini. Faktor kognitif
memainkan peran sentral dalam adaptasi. Faktor kognitif mecatat kejadian
yang menekan, memilih pola koping yang digunakan, serta emosional,
fisiologis, perilaku, dan reaksi sosial seseorang (Yusuf, 2015)
2) Afektif
Respon afektif adalah membangun perasaan. Dalam penilaian terhadap
stresor respons afektif utama adalah reaksi tidak spesifik atau umunya
merupakan reaksi kecemasan, yang hal ini diekpresikan dalam bentuk emosi.
Respons afektif meliputi sedih, takut, marah, menerima,tidak
percaya,antisipasi, atau kaget. Emosi juga menggambarkan tipe, durasi dan
karakter yang berubah sebagai hasil dari suatu kejadian (Yusuf, 2015)
3) Fisiologi
Respons fisiologi melawan atau menghindar (the fight-or-fligh) menstimulasi
divisi simpatik dari system saraf autonomi dan meningkatkan aktvitas
kelenjar adrenal. Sebagai tambahan, stress dapat memengaruhi system imun
dan mengaruhi kemampuan seseorang untuk melawan penyakit (Yusuf, 2015)
17

4) Perilaku
Respons perilaku hasil dari respons emosional dan fisiologis (Yusuf, 2015)
5) Sosial
Menurut Yusuf (2011), pengkajian resiko perilaku kekerasan pada faktor
sosial, meliputi :
a) Menarik diri
b) Pengasingan
c) Penolakan
d) Kekerasan

d. Sumber-sumber koping
Menurut Widi Astuti (2017), mengungkapkan bahwa sumber koping dibagi
menjadi 4, yaitu:
1) Kemampuan personal
Meliputi kemampuan untuk mencari informasi terkait masalah,
kemampuan mengidentifikasi masalah, pertimbangan alternative, kemampuan
untuk untuk mengungkapkan masalah, tidak semangat menyelesaikan
masalah, kemampuan mempertahankan hubungan interpersonal, dan identitas
ego tidak adekuat.
2) Dukungan sosial
Meliputi dukungan dari keluarga dan masyarakat, keterlibatan atau
perkumpulan dimasyarakat dan pertentangan nilai budaya.
3) Aset meteri
Meliputi penghasilan yang layak, tidak mempunyai tabungan untuk
mengantisipasi hidup, tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan.
4) kinan positif
Adanya motivasi dan penilaian terhadap pelayanan kesehatan.
18

e. Mekanisme koping
1) Konstruktif
Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan untuk
menyelesaikan masalah, menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti
dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada
individu (Yusuf, 2015)
2) Destruksif
Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa
menyelesaikan konflik. Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan ,
apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan
tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf, 2015).

3. Pohon Masalah
Risiko perilaku kekerasan (pada
diri sendiri, orang lain,lingkungan,
dan verbal)
Effect

Perilaku kekerasan
Core problem

Harga diri rendah kronis


Causa

Sumber: Damayanti, 2012


Gambar 2.2 Pohon Masalah Risiko Perilaku Kekerasan
19

4. Diagnosa Keperawatan
Menurut Damayanti (2010), adapun diagnosa keperawatan pasien yang
muncul pasien dengan gangguan risiko perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Risiko perilaku kekerasan
b. Harga diri rendah kronik
c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan verbal)
Masalah keperawatan
a. Risiko Perilaku Kekerasan, (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal)
b. Perilaku kekerasan
c. Harga diri rendah kronik

5. Rencana Tindakan Keperawatan Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan


Rencana keperawatan pada risiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk
susunan perencanaan tindakan keperawatan untuk mengatasi dengan risiko
perilaku kekerasan. Tindakan keperawatan diantaranya adalah strategi
pelaksanaan tindakan keperawatan, Tindakan tindakan ini dapat ditujukan pada
tindakan keperawatan untuk individu dan keluarga (Sutejo, 2017). Adapun
rencana tindakan strategi pelaksanaan individu dan keluarga risiko perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Tujuan umum: pasien dapat mengontrol perilaku kekerasan.
1) Strategi pelaksana tindakan keperawatan untuk individu pada risiko
perilaku kekerasan:
a) Tujuan khusus: Pasien mampu mengenal perilaku kekerasan yang dialami
dan mengontrol dengan cara fisik.
(1) Bina hubungan saling percaya
(2) Identifikasi penyebab, tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang
dilakukan, dan akibat perilaku kekerasan.
(3) Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik nafas
dalam dan pukul bantal.
(4) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik.
20

b) Tujuan khusus: pasien mampu menggunakan obat sesuai program yang


telah ditetapkan untuk mengontrol perilaku kekerasan
(1) Evaluasi kegiatan latihan fisik. Beri pujian
(2) Latih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan obat (jelaskan 6 benar
: jenis, guna, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat).
(3) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik dan minum obat.
c) Tujuan khusus : pasien mampu mengontrol dengan cara verbal/sosial.
(1) Evaluasi kegiatan latihan fisik dan minum obat. Beri pujian.
(2) Latih cara mengontrol perilaku kekerasan secara verbal (3 cara, yaitu :
mengungkapkan, meminta, dan menolak dengan benar).
(3) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat, dan
verbal.
d) Tujuan khusus : pasien mampu mengontrol dengan cara spiritual .
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik, minum obat, dan verbal. Beri pujian.
2) Latih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual.
3) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat,
verbal, dan spiritual.

2) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan untuk keluarga pada dengan


risiko perilaku kekerasan:
a) Tujuan khusus : pasien mendapat dukungan untuk mengontrol perilaku
kekerasan : keluarga mampu mengenal masalah RPK dan melatih cara
fisik.
(1)Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat
(2)Jelaskan pengertian, tanda gejala, dan proses terjadinya perilaku
kekerasan
(3)Jelaskan cara merawat perilaku kekerasan
(4)Latih satu cara merawat perilaku kekerasan : latihan fisik
(5)Anjurkan membantu sesuai jadwal dan member pujian.
21

b) Tujuan khusus : pasien mendaptkan dukungan untuk mengontrol perilaku


kekerasan : keluarga mampu membimbing minum obat
(1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih dengan latihan fisik.
Beri pujian
(2) Jelaskan 6 benar cara minum obat
(3) Latih cara memberikan/membimbing minum obat
(4) Anjurkan untuk membantu sesuai jadwal dan member pujian.
c) Tujuan khusus : Mendapatkan dukungan untuk mengontrol perilaku
kekerasan: keluarga mampu membimbing minum obat
(1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih dengan latihan fisik
dan memberikan obat. Beri pujian.
(2) Latih carabimbing verbal/bicara.
(3) Latih cara membimbing kegiatan spiritual.
(4) Anjurkan membantu sesuai jadwal dan memberikan pujian.
d) Tujuan khusus :keluarga mampu melakukan follow up ke pusat kesehatan
masyarakat (PMK), mengenali tanda kambuh, melakukan rujukan.
(1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/ melatih dengan latihan
fisik, memberikan obat, verbal dan spiritual dan follow up. Beri pujian
(2) Jelaskan follow up ke Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM), tanda
kambuh, rujukan.
(3) Anjurkan membantu sesuai jadwal dan memberikan pujian. Diatas
adalah strategi pelaksanaan untuk masalah keperawatan risiko perilaku
kekerasan, dan rencana tindakan keperawat.

6. Implementasi
Proses implementasi adalah melaksanaan rencana tindakan yang sudah
disusun dan disesuaikan dengan kondisi saat itu. Pelaksanaan tindakan
keperawatan bisa lebih dari apa yang telah direncanakan atau lebih sedikit
dari apa yang sudah direncanakan bahkan mampu memodifikasi dari
perencanaan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pada saat asuhan
keperawatan diberikan.
22

Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa


menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit
meningkat, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan fisik dan mental
(Damayanti, 2012)

7. Evaluasi
Pada evaluasi perawat mengevaluasi respon berdasarkan kemampuan yang
sudah diajarkan pada, berupa evaluasi yang dapat dilakukan untuk menilai
respon verbal dan non verbal yang dapat diobservasi oleh perawat berdasarkan
respon yang ditunjukkan oleh.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekataan SOAP :
1) S : Respon subyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
2) O : Respon Obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
3) A : Analisa terhadap data subjektif dan obyektif untuk menyimpulkan
apakah masalah manis ada atau telah teratasi atau muncul masalah baru
4) P : Perencanaan tindakah lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien
(Yusuf, 2015).

8. Dokumentasi
Perawat kesehatan jiwa mendokumentasikan keseluruh proses
keperawatan yang dilakukan pada pasien mulai dari awal sampai akhir
rangkaian proses asuhan keperawatan. Dokumentasi keperawatan adalah
suatu catatan yang memuat seluruh informasi yang di butuhkan untuk
menentukan diagnosa keperawatan, menyusun rencana keperawatan,
melaksanakan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang disusun secara
sitematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hokum
(Damaiyanti & Iskandar, 2012)
23

C. Tinjauan Konsep Penyakit


1. Penyakit Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Menurut
Nancy Andreasen (2008) dalam Yosep (2010), Mendefinisikan Skizofrenia
merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan penyimpangan yang sangat
dasar dan adanya perbedaan dari pikiran, disertai dengan adanya ekspresi
emosi yang tidak wajar. Gangguan skizofrenia juga dikarakteristikan dengan
gejala positif (delusi dan halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, dan
perubahan daya pikir, dan penurunan efek) dan gangguan kognitif seperti,
memori, perhatian, pemecahan masalah dan sosial (Sutejo, 2017)

2. Jenis – Jenis Skizofrenia


Maramis Willy F (2009), membagikan skizofrenia menjadi beberapa
jenis. Penderita digolongkan kedalam salah satu jenis menurut gejala utama
yang terdapat padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak
jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak
dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis. Sebagai berikut:
a. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain
dalam jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik bercampur.
Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak
konstan. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai
dengan waham-wahan sekunder dan halusinasi. Baru dengan pemeriksaan
yang teliti ternyata ada juga gangguan proses berfikir, gangguan afek, emosi
dan kemauan.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan presos berfikir, gangguan kemauan, gangguan psikomotor
seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia
hebefrenik. Waham dan halusinasi banyak sekali.
24

c. Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya
akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
1) Muka tanpa mimik.
2) Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama,
beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
3) Bila diganti posisinya penderita menderita
4) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul didalam
mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
d. Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berfikir biasanya suka ditermukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan
keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin
mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi
pengangguran. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis atau penjahat.
e. Skizofrenia Residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat
sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala
berkembangnya kearah gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala
negatif terdiri dari keterlambatan psikomotor, penurunan aktifitas, pasif
dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi non verbal
menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
25

3. Penyebab Skizofrenia
Menurut Maramis Willy F (2009), penyebab skizofrenia terdiri atas
genetic, neurokimia,hipotesis perkembangan saraf.
a. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor ada faktor genetik yang turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tetapi
pengaruh genetik tidak sederhana hukum mendel. Diperkirakan bahwa
yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui
gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi
selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi
manifestasi skizofrenia atau tidak.
b. Neurokimia Hipotesis dopamine
Menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh overaktivitas pada
jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didiukung oleh temuan bahwa
amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamine, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia: obat antipsikotik (terutama
antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja
dengan mengeblok reseptor dopamine.
c. Hipotesis perkembangan syaraf
Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan
abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia, antara
lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil dari pada otak normal,
pembesaran ventrikel otak yang nonspesifik, gangguan metabolisme
didaerah frontal dan temporal, dan kelainan susunan seluler pada struktur
saraf dibeberapa daerah kortex dan subkortex tanpa adanya gliosis yang
menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan.
Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan saraf
yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada
awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik, dan kemudian
dimodifikasi oleh faktor maturasi dan lingkungan.
26

4. Tanda Gejala Skizofrenia


Menurut Yosep (2009), secara general tanda gejala serangan skizofrenia
dibagi menjadi dua yaitu:
a. Tanda gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak
mampu menginterprestasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang
dating. Pasien skizofrenia kemungkinan mendengar suara-suara atau
melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mengalami suatu sensasi
yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucination gejala yang
biasanya timbul yaitu pasien merasakan ada suara dari dalam dirinya.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam
menginterprestasikan suatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan.
Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi seseorang paranoid.
Mereka merasa selalu sedang diamati, diintai, atau hendak diserang.
Kegagalan berfikir mengarah kepada masalah dimana pasien
skizofrenia tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Pasien
skizofrenia tidak mampu mengantuk pikirannya sehingga membuat
mereka berbicara sendiri dan tidak bisa ditangkap secara logika.
Ketidakmampuan dalam berfikir mengakibatkan ketidakmampuan
mengendalikan emosi dan perasaan.
b. Tanda gejala negatif
Pasien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti
kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat pasien menjadi
orang yang malas. Perasaan yang tumpul membuat emosi pasien
skizofrenia menjadi datar. Pasien skizofrenia tidak memiliki ekspresi
baik dari raut muka maupun gerakan tangannya. Tapi ini tidak berarti
bahwa pasien skizofrenia tidak bisa merasakan perasaan apapun. Mereka
mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang lain, tetapi tidak
bisa mengekspresikan perasaan mereka.
Perasaan depresi adalah suatu yang sangat menyakitkan mereka,
tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina
27

hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal cinta. Di samping
itu, perubahan otak secara biologis juga member andil dalam depresi.
Depresi yang berkelanjutan akan menyebabkan pasien menarik diri dari
lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sendirian.

5. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Famakologi
Menurut Videbeck (2009), terapi medis utama untuk skizofrenia
ialah psikofarmakologi. Antipsikotik yang juga dikenal sebagai
neuroleptik, di programkan terutama karena keefektifannya dalam
mengurangi gejala psikotik. Obat-obatan ini tidak menyembuhkan
skizofrenia, tetapi digunakan untuk mengatasi gejala penyakit tersebut.
Antipsikotik tipikal mengatasi tanda-tanda positif skizofrenia, seperti
waham, halusinasi, gangguan pikir, gejala psikotik lainnya, tetapi tidak
memiliki efek yang tampak pada tanda-tanda negatif. Antipsikotik tipikal
tidak hanya mengurangi tanda-tanda negatif tetapi untuk banyak pasien,
obat-obatan ini juga mengurangi tanda-tanda negative seperti tidak
memiliki kemauan dan motivasi, menarik diri dari masyarakat (Littrel,
1998 dalam Videbeck, 2009).
Antipsikotik juga tersedia dalam bentuk injesi dengan pot untuk
terapi rumatan, flufenazin dalam sediaan dekanoat dan enantat dan
haloperidol dekanoat (Spratto&Woods, 2000 dalam Videbeck, 2009). Efek
obat-obatan ini berlangsung dua hari sampai empat minggu sehingga
antipsikotik tidak perlu diberikan setiap hari. Terapi oral dengan obat-obat
ini untuk mencapai kadar dosis yang stabil memerlukan beberapa minggu
sebelum menggantinya dengan injeksi. Dengan demikian, sediaan ini tidak
cocok untuk mengatasi episode akut psikosis, akan tetapi sediaan ini akan
bermanfaat untuk pasien yang perlu diawasi kepatuhan minum obat dalam
jangka panjang (Videbeck, 2009).
28

b. Nonfarmakologi
Selain terapi farmakologi ada juga terapi non-farmakologi banyak metode
terapi yang dapat bermanfaat bagi penderita skizofrenia yaitu terapi
kelompok dan individu, terapi lingkungan dan terapi keluarga dapat
dilaksanakan pada pasien di lingkungan rawat inap maupun lingkungan
masyarakat. Berikut penjelasannya.
1) Sesi terapi kelompok dengan individu seringkali bersifat suportif,
dengan memeberi kesempatan kepada pasien untuk kontak sosial dan
menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain. Kelompok yang
berfokus pada topik masalah seperti penatalaksanaan pengobatan,
penggunakan dukungan masyarakat, dan masalah keluarga juga
bermanfaat bagi pasien penderita skizofrenia (Fenton & Cole, 1995
dalam Videback, 2009)
2) Lingkungan yang terstruktur tersebut dapat menyediakan kelompok
aktivitas, sumber-sumber untuk menyelesaikan konflik, dan kesempatan
untuk mempelajari keterampilan baru. Perawat juga dapat
menggunakan musik dan menggambar untuk mengurangi perilaku
pasien menarik diri dari masyarakat, mengurangin ansietas, dan
meningkatkan motivasi dan lebih percaya diri (Videback, 2009)
3) Penyuluhan dan terapi keluarga diketahui mengurangi efek negative
skizofrenia sehingga mengurangi angka relaps (McFarlane, 1995 dalam
Videback, 2009). Selain itu anggota keluarga dapat memperoleh
manfaat dari lingkungan sportif yang membantu mereka melakukan
koping terhadap banyak kesulitan yang terjadi ketika seorang yang
dicintai menderita skizofrenia (Videback, 2009)

Anda mungkin juga menyukai