Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

DI RUANG ARJUNA

RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

Disusun Oleh :

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

UNGARAN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yang terus menerus membutuhkan adanya orang
lain di sekitarnya. Salah satu kebutuhan manusia untuk melakukan interaksi dengan
sesama manusia. Interaksi ini dilakukan tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh individu, sehingga mungkin terjadi suatu gangguan
terhadap kemampuan individu untuk interaksi dengan orang lain (Azizah, 2010).
Kelompok adalah kumpulan individu yang memilih hubungan satu dengan yang
lain. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus
ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif,
kesamaan ketidaksamaan, kesukaan dan menarik diri (Stuart dan Laraia, 2006). Terapi
kelompok adalah suatu psikoterapi yang dilakukan oleh sekelompok penderita bersama-
sama dengan jalan diskusi satu sama lain yang dipimpin, diarahkan oleh terapis/petugas
kesehatan yang telah dilatih (Keliat, 2009).
Terapi aktivitas kelompok itu sendiri mempermudah psikoterapi dengan sejumlah
pasien dalam waktu yang sama. Manfaat terapi aktivitas kelompok yaitu agar pasien
dapat belajar kembali bagaimana cara bersosialisasi dengan orang lain, sesuai dengan
kebutuhannya memperkenalkan dirinya. Menanyakan hal-hal yang sederhana dan
memberikan respon terhadap pertanyaan yang lain sehingga pasien dapat berinteraksi
dengan orang lain dan dapat merasakan arti berhubungan dengan orang lain (Bayu,
2011).
Pada pasien dengan perilaku kekerasan selalu cenderung untuk melakukan
kerusakan atau mencederai diri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan dimulai
dari kemarahan. Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Ekspresi marah yang segera
karena suatu sebab adalah wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural
ekspresi marah yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering diekspresikan
secara tidak langsung (Sumirta, 2013).
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan tidak konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan
membantu mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah
(Yosep, 2010).
Berdasarkan hasil observasi selama bertugas di Bangsal Arjuna RSJD dr. Arif
Zainudin, sebagian besar klien masuk karena pasien memiliki riwayat melakukan
perilaku kekerasan. Terdapat pasien yang memiliki kriteria perilaku kekerasan, Oleh
karena itu, penulis akan melakukan “Terapi Aktivitas Kelompok Perilaku Kekerasan
(TAK PK)” agar Klien tidak menciderai diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan.
Pasien yang mengikuti terapi ini adalah pasien yang mampu mengontrol dirinya dari
perilaku kekerasan sehingga saat TAK pasien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu
anggota kelompok lain.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep teori klien dengan Perilaku Kekerasan?
b. Apa pengertian dari Terapi Aktivitas Kelompok?
c. Apa saja macam-macam Terapi Aktivitas Kelompok?
d. Apa tujuan Terapi Aktivitas Kelompok?
e. Apa manfaat Terapi Aktivitas Kelompok?
f. Bagaimana tahap-tahap dalam Terapi Aktivitas Kelompok?
g. Bagaimana peran perawat dalam Terapi Aktivitas Kelompok?
h. Bagaimana kerangka teoritis Terapi Aktivitas Kelompok?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui teori pasien dengan Perilaku Kekerasan
b. Untuk mengetahui pengertian dari Terapi Aktivitas Kelompok
c. Untuk mengetahuimacam-macam Terapi Aktivitas Kelompok
d. Untuk mengetahui tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
e. Untuk mengetahui manfaat Terapi Aktivitas Kelompok
f. Untuk mengetahuitahap-tahap dalam Terapi Aktivitas Kelompok
g. Untuk mengetahui peran perawat dalam Terapi Aktivitas Kelompok
h. Untuk mengetahui kerangka teoritis Terapi Aktivitas Kelompok
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan (Fitria, 2009). Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang
ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran
perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasarkan keadaan emosi yang
mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang
dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau destruktif (Yoseph, Iyus, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan baik verbal maupun non verbal yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang muncul akibat perasaan
jengkel / kesal / marah.

2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh (Purba dkk,
2008) adalah :
 Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku :
o Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus
frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
o Biokimia
Berbagai neurotransmiter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan
oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
o Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
o Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik
dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
 Teori Psikologik
 Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan
arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan  perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan
dan rendahnya harga diri.
 Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang
tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
b. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari
bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.
Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.
c. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009) :
 Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
 Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
 Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
 Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
 Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
 Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap
Rentang Respon
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menetang
merupakan respon maladaptive, yaitu agresif-kekerasan perilaku yang menampakkan
mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu:
 Asertif: mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa
lega
 Frustasi: merasa gagal mencpai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis
 Pasif: diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami
 Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain
mengancam, memberi kata-kata ancaman tanpa niat menyakiti
 Kekerasan: sering juga disebut gaduh - gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan
ditandai dengan menyentuh orang lain dengan menakutkan, memberi kata – kata
ancaman, disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah
merusak secara serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri.

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1. Rentang Respon

3. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut (Yoseph, 2009):
a. Fisik
 Muka merah dan tegang
 Mata melotot/ pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Postur tubuh kaku
 Jalan mondar-mandir
b. Verbal
 Suara tinggi, membentak atau berteriak
 Mengancam secara verbal atau fisik
 Mengumpat dengan kata-kata kotor
 Suara keras
 Ketus
 Bicara kasar
c. Perilaku
 Melempar atau memukul benda/orang lain
 Menyerang orang lain
 Melukai diri sendiri/orang lain
 Merusak lingkungan
 Mengamuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

4. Psikopatologi
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan
perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.
Berikut ini digambarkan proses kemarahan (Keliat, 2011) :
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan
secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah
konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan
bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri
dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan
ngamuk.
5. Pohon masalah

Pohon masalah perilaku kekerasan sumber: Fitria (2009)

Perilaku kekerasan GPS: halusinasi

regimen terapeutik interaktif Harga diri rendah kronis isolasi sosial: menarik diri

Koping keluarga tidak efektif Berduka disfungsional


TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

1. Definisi.
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain,
saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart, 2009).  Terapi kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan
berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas
kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep, 2013). Terapi kelompok adalah terapi
psikologi yangg dilakukan secara kelompok  untuk memberikan  stimulasi  bagi  pasien 
dengan  gangguan interpersonal (Setyoadi, 2011).

2. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok (Setyoadi, 2011).


Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat yaitu :
a. Umum
 Meningkatkan  kemampuan  menguji  kenyataan (reality  testing)  melalui
komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
 Membentuk sosialisasi.
 Meningkatkan  fungsi  psikologis,  yaitu  meningkatkan  kesadaran  tentang hubungan
antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap
stress) dan adaptasi.
 Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan
afektif.
b. Khusus
 Meningkatkan identitas diri.
 Menyalurkan emosi secara konstruktif.
 Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.
 Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial,
kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang
masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.
3. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok (Yusuf, 2015).
Tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
 Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan
cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
 Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
 Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan
prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak
karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
 Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi
kognitif dan afektif.
b. Tujuan Khusus
 Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri
tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
 Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh
seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu
bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh
anggota kelompok lainnya.
 Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat
kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang
memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.

4. Dampak Teraupetik Dari Kelompok.


Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat memberikan
dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985) dalam tulisannya
mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang terlibat dalam efek terapeutik
dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai
masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat
dimengerti oleh orang lain.
b. Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang
telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang
diberikan oleh kelompok lainnya.
c. Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu
sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang
lainnya.
d. Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk
kebanyakan klien merupakan suatu masalah atau persoalan. Baik terapis maupun
anggota lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat
dilakukan. 
e. Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk
menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat
memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih
cara baru berinteraksi.
f. Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi tentang
ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan
pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
g. Identifikasi, prilaku tiruan (imitative) dan modeling dapat dihasilkan dari terapis
atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
h. Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan
seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan
persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima
yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
i. Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar
pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai
pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
j. Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi
ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok.
k. Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan
seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang
(Setyoadi, 2011).

5. Indikasi Dan Kontraindikasi TAK


Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Yusuf, 2015) adalah :
a. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas
kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic,
delusi tak terkontrol, mudah bosan.
b. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas
kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak
terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga
bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
c. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis
klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman
relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan masalah yang sama.

6. Komponen Kelompok.
Kelompok terdiri dari (Yosep, 2013):
a. Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam
kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu
oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibatnya
tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi.
c. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat
direncanakan sesuai dengan kebutuhan.

7. Proses Terapi Aktivitas Kelompok.


Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam
psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya
dan menyerahkan kepada kelompok (Yusuf, 2015).
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang
tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari
suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena
prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan
mereka dihadapkan dengan orang lain (Yusuf, 2015).
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan kemudian mempersilakan anggota untuk
memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis
memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur
terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau
masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas
membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya
bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah
(Yusuf, 2015).
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara.
Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkat oleh
karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi
bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis
merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak
bicara (Yusuf, 2015).
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan
dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan
kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari
anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-
sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak
pasif. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu
kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu – individu (Yusuf,
2015).
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat
pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin
dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk
pertemuan berikutnya. (Yusuf, 2015).

8. Tahapan dalam Terapi Aktivitas Kelompok.


Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh
dan berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase
prakelompok; fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok (Stuart,
2009).
a. Fase Prakelompok.
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukanpemimpin (leader), jumlah
anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan.
Menurut Yosep (2013),jumlah anggota kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi
biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria
anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah: sudah punya diagnosa
yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep,
2013).
b. Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peran
baru. Yosep (2013) membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan
kohesif. 
1) Tahap Orientasi.
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-
masing, pemimpin menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak
dengan anggota.
2) Tahap Konflik.
Merupakan  masa  sulit  dalam  proses  kelompok.  Pemimpin  perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu
kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku
yang tidak produktif.
3) Tahap Kohesif.
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih
intim satu sama lain.
c. Fase Kerja Kelompok.
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil
dan realistis. Pada  akhir  fase  ini,  anggota  kelompok  menyadari produktivitas 
dan  kemampuan  yang  bertambah  disertai  percaya  diri  dan kemandirian.
d. Fase Terminasi
Terminasi  yang  sukses  ditandai  oleh  perasaan  puas  dan  pengalaman
kelompok  akan  digunakan  secara  individual  pada  kehidupan  sehari-
hari.Terminasi dapat bersifat sementara atau akhir.

9. Macam Terapi Aktivitas Kelompok.


Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat yaitu :
a. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi
yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan
atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Fokus terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang  mengalami  kemunduran  orientasi 
dengan  karakteristik:  pasien  dengangangguan persepsi; halusinasi, menarik diri
dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif, sehat fisik, dan dapat
berkomunikasi verbal (Yosep, 2013).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai
kemampuan  untuk  menyelesaikan  masalah  yang  diakibatkan  oleh 
paparan stimulus kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat
mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat dan
menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami (Yusuf, 2015).
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam
kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam lima sesi yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1. Sesi I : Klien mengenal halusinasi
2. Sesi II : Mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
3. Sesi III : Mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat
4. Sesi IV : Mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan
orang lain
5. Sesi V : Mengontrol halusiansi dengan cara melakukana ktivitas
terjadwal

b. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori.


TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus
tertentu kepada klien sehingga terjadi perubahan perilaku menurut Yosep (2013) :
Bentuk stimulus :
 Stimulus suara: musik
 Stimulus visual: gambar
 Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video
Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami:
 Peningkatan kepekaan terhadap stimulus.
 Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
 Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan
Jenis TAK yaitu :
 TAK Stimulasi Suara
 TAK Stimulasi Gambar
 TAK Stimulasi Suara dan Gambar

c. Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita.


Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya
untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain,
lingkungan/ tempat, dan waktu (Yusuf, 2015).
Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas
(reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu, dan orang-orang di
sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi pencetus
terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini, maka perlu ada
aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien tentang realitas di
sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri
sendiri, orang lain, waktu, dan tempat (Yosep, 2013).
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai dengan
kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
 Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada.
 Klien mengenal waktu dengan tepat.
 Klien dapat mengenal diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya dengan tepat
Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan
waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi,
dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mengenal orang lain, tempat, dan
waktu.
Tahapan kegiatan :
Sesi I    : Orientasi Orang.
Sesi II   : Orientasi Tempat.
Sesi III  : Orientasi Waktu.

d. Terapi aktifitas kelompok sosialisasi.


Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar
klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien dalam
melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan social (Yusuf, 2015).
Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :
 Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal.
 Memberi tanggapan terhadap orang lain.
 Mengekspresikan ide dan tukar persepsi.
 Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan

a) Tujuan umum :
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok,
berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain,
mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.

b) Tujuan khusus :
 Penderita mampu menyebutkan identitasnya.
 Menyebutkan identitas penderita lain.
 Berespon terhadap penderita lain.
 Mengikuti aturan main.
 Mengemukakan pendapat dan perasaannya.
Karakteristik :
 Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan
ruangan.
 Penderita sering berada ditempat tidur, menarik diri, kontak sosial kurang.
 Penderita dengan harga diri rendah, gelisah, curiga, takut dan cemas.
 Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunyajawaban sesuai
pertanyaan.
PRE PLANNING TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

PERILAKU KEKERASAN

1. TOPIK
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
Sesi 1 : Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Sesi 2 : Mencegah Perilaku Kekerasan Secara Fisik
Sesi 3 : Mencegah Perilaku Kekerasan dengan obat
Sesi 4 : Mencegah Perilaku Kekerasan secara verbal
Sesi 5 : Mencegah Perilaku Kekerasan secara spiritual

2. TUJUAN
a. Tujuan umum
Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dan merubah perilaku destruktif
maupun maladaptif
b. Tujuan Khusus
1) Klien mampu mengenali perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
2) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan secara fisik
3) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan dengan obat
4) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan secara verbal
5) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan secara spiritual

3. KLIEN
Kriteria klien
Kriteria pasien sebagai anggota yang mengikuti terapi aktifitas kelompok ini adalah:
 Klien dengan riwayat perilaku kekerasan.
 Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif atau mengamuk,
dalam keadaan tenang.
 Klien dapat diajak kerjasama (cooperative)
4. Proses seleksi
Proses Seleksi
1) Perawat mengidentifikasi jumlah pasien dan masalah keperawatan yang ada di
ruangan. Pasien di ruang berjumlah ..... orang dengan masalah perilaku
kekerasan
2) Perawat mengidentifikasi jenis terapi aktivitas kelompok yang akan dilakukan,
yaitu Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) : Perilaku kekerasan
3) Perawat mengidentifikasi pasien yang akan mengikuti Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) : Perilaku kekerasan. Dimana pasien yang akan mengikuti
TAK Perilaku kekerasan tersebut adalah pasien dengan masalah keperawatan
Perilaku kekerasan, dengan ketentuan sebagai berikut :
 Klien tidak disorientasi
 Klien tidak inkoheren
 Sehat fisik
 Klien cukup kooperatif (kerjasama)
 Dapat memahami pesan yang diberikan atau mampu berkonsentrasi lebih
dari 15 menit
 Mengklarifikasi pasien sesuai kriteria dan bekerjasama dengan perawat di
ruangan
 Mengadakan kontrak dengan klien
5. Jumlah klien
Klien dengan perilaku kekerasan yang mengikuti TAK berjumlah .......... orang,
No.
Nama Klien Ruang

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

6. PENGORGANISASIAN
1) Waktu dan Tempat
Hari/ tanggal : Sabtu, 01 Februari 2020
Jam : 09.00 WIB - selesai
Tempat : Ruang Arjuna RSJD dr. Arif Zainudin
2) Tim Terapis
a. Pimpinan Kelompok (Leader) :
Tugas :
 Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal)
 Mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan
 Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan perasaan,
mengajukan pendapat dan memberikan umpan balik
 Sebagai “role model”
 Memotivasi kelompok untuk mengemukakan pendapat dan memberikan
umpan balik, mengungkapkan perasaan dan pikiran
 Menciptakan suasana dimana anggotanya dapat menerima perbedaan
dalam perasaan dan perilaku dengan anggota lain
 Membuat tata tertib bagi kelompok demi kelancaran diskusi
b. Pembantu pimpinan kelompok (Co Leader) :
Tugas :
 Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal)
 Membantu leader dalam mengorganisir anggota kelompok
 Menyampaikan informasi dari fasilitator kepimpinan
 Mengingatkan pimpinan bila diskusi menyimpang
 Bersama leader menjadi contoh untuk kerjasama yang baik
c. Fasilitator :
Tugas :
 Membantu leader memfasilitasi dan memotivasi anggota untuk
berperan aktif
 Menjadi aktif bagi klien selama proses kegiatan
d. Observer :
Tugas :
 Mengobservasi setiap respon klien
 Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku
klien
 Memberikan umpan balik pada kelompok

3) Setting tempat
Keterangan:
: Leader : Fasilitator

: co-leader : observer dan dokumentasi


SESI 1 : Kemampuan Memperkenalkan Diri

1. Sesi I : Mengenal Perilaku Kekerasan Yang Biasa Dilakukan


Leader : Jefry Andryansyah
Co leader : Agus Susanto
Observer : Ninik, Habibatuzzakiyah
Fasilitator : Giyas, Andina, Juvenalda
2. Tujuan
 Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab kemarahannya
 Klien dapat menyebutkan respon yang dirasakan saat marah (tanda dan gejala
marah)
 Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah ( perilaku kekerasan)
 Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan
3. Setting
 Klien dan terapis/leader duduk bersama dalam lingkaran.
 Ruangan nyaman dan tenang
4. Alat
 Handphone
 Musik
 Buku catatan dan pulpen
 Jadwal kegiatan klien
5. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab
 Bermain peran/simulasi
6. Langkah kegiatan
a) Persiapan
 Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu resiko perilaku kekerasan
 Membuat kontrak dengan klien
 Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
 Memberi salam terapeutik : salam dari terapis
 Perkenalkan nama dan panggilan terapis
 Evaluasi/validasi : menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak :
 Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
 Menjelaskan aturan main/terapi :
 Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus minta izinkepada terapis.
 lama kegiatan 15 menit.
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
7. Tahap kerja
1) Mendiskusikan penyebab marah
 Tanyakan pengalaman tiap klien
 Tulis di papan tulis/ whiteboard
2) Mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar oleh penyebab
marah sebelum perilaku kekerasan terjadi.
 Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab (tanda dan gejala)
 Tulis di papan tulis/ flipchart/whiteboard
3) Mendiskusikan perilaku kekerasan yang pernah dilakukan klien (verbal, merusak
lingkungan, mencederai/memukul orang lain, memukul diri sendiri)
 Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah.
 Tulis di papan tulis/ flipchart/whiteboard.
4) Membantu klien memilih salah satu perilaku kekerasan yang paling sering
dilakukan untuk diperagakan
5) Melakukan bermain peran/ simulasi untuk perilaku kekerasan yang tidak berbahaya
(terapis sebagai sumber penyebab dan klien yang melakukan perilaku kekerasan).
6) Menanyakan perasaan klien setelah selesai bermain peran /simulasi.
7) Mendiskusikan dampak/akibat perilaku kekerasan
 Tanyakan akibat perilaku kekerasan.
 Tulis di papan tulis/ flipchart/whiteboard.
8) Memberikan reinforcement pada peran serta klien.
 Dalam menjalankan a sampai h, upayakan semua klien terlibat.
 Beri kesimpulan penyebab; tanda dan gejala; perilaku kekerasan dan akibat
perilaku kekerasan.
8. Tahap terminasi
a) Evaluasi
 Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti tak
 Memberi pujian atas keberhasilan kelompok
b) Rencana tindak lanjut
 Menganjurkan klien menilai dan mengevaluasi jika terjadi penyebab marah,
yaitu tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang terjadi, serta akibat perilaku
kekerasan.
 Menganjurkan klien mengingat penyebab; tanda dan gejala; perilaku kekerasan
dan akibatnya yang belum diceritakan.
c) Kontrak yang akan datang
 Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah perilaku kekerasan.
 Menyepakati waktu dan TAK berikutnya
9. Tahap terminasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.
Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 1, kemampun yang diharapkan
adalah mengetahui penyebab perilaku, mengenal tanda dan gejala, perilaku kekerasan
yang dilakukan dan akibat perilaku kekerasan.
10. Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti sesi 1. TAK stimulasi persepsi
perilaku kekerasan. Klien mampu menyebutkan penyebab perilaku kekerasannya
(disalahkan dan tidak diberi uang), mengenal tanda dan gejala yang dirasakan
(“geregetan” dan “deg-degan”), perilaku kekerasan yang dilakukan (memukul meja),
akibat yang dirasakan (tangan sakit dan dibawa ke rumah sakit jiwa). Anjurkan klien
mengingat dan menyampaikan jika semua dirasakan selama dirumah sakit.

SESI 2 : Mencegah Perilaku Kekerasan Secara Fisik

1. Sesi II : Mencegah perilaku kekerasan secara fisik


Leader : Agus Susanto
Co leader : Jefry Andriansyah
Observer : Ninik, Habibatuzzakiyah
Fasilitator : Giyas, Andina, Juvenalda
2. Tujuan
 Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
 Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang dapat mencegah perilaku kekerasan
 Klien dapat mendemonstrasikan 2 kegiatan fisik yang dapat mencegah perilaku
kekerasan
3. Setting
 Klien dan terapis/leader duduk bersama dalam lingkaran.
 Ruangan nyaman dan tenang
4. Alat
 Handphone
 Musik/ lagu
 Bantal
 Buku catatan dan pulpen
 Jadwal kegiatan klien

5. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab
 Bermain peran/simulasi
6. Langkah kegiatan
a) Persiapan
 Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 1 TAK
 Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

b) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
 Memberi salam terapeutik
 Salam dari terapis
 Peserta dan terapis memakai papan nama
c) Evaluasi/validasi
 Menanyakan apakah ada kejadian perilaku kekerasan, penyebab, tanda dan
gejala, perilaku kekerasan serta akibatnya.
 Menanyakan perasaan klien saat ini
d) Kontrak
 Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu secara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
 Menjelaskan aturan main berikut :Jika ada klien yang meninggalkan kelompok
harus minta izin kepada terapis, lama kegiatan 15 menit, setiap klien mengikuti
kegiatan dari awal sampai selesai
7. Tahap kerja
1) Mendiskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakuakn oleh klien
2) Mendiskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan oleh klien
 Tanyakan kegiatan : rumah tangga, harian, dan olahraga yang biasa dilakukan
klien
 Tulis di papan tulis/ flipchart/whiteboard
3) Menjelaskan kegiatan fisik yang dapat digunakan untuk menyalurkan kemarahan
secara sehat : tarik napas dalam, menjemur/memukul kasur/bantal, menyikat kamar
mandi, main bola, senam, memukul bantal pasir tinju, dan memukul gendang.
4) Membantu klien memilih dua kegiatan yang dapat dilakukan.
5) Bersama klien mempraktikan dua kegiatan yang dipilih
6) Terapis mempraktikan
7) klien melakukan redemonstrasi
8) Menanyakan perasaan klien setelah mempraktikan cara penyaluran kemarahan
9) Upayakan semua klien berperan aktif

8. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
 menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
 menanyakan ulang cara baru yang sehat mencegah perilaku kekerasan
 memberi pujian atas keberhasilan kelompok
b) Rencana tindak lanjut
 Menganjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari jika stimulus
penyebab perilaku kekerasan.
 Menganjurkan klien melatih secara teratur cara yang telah dipelajari
 memasukan kegiatan berkenalan pada jadwal kegiatan harian klien
c) Kontrak yang akan datang
 menyepakati kegiatan berikut, yaitu bercakap-cakap tentang kehidupan pribadi
 menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.
9. Tahap Terminasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja.
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK
stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 2, kemampuan yang di harapkan adalah 2
kemampuan mencegah perilaku kekerasan secara fisik
10. Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti Sesi 2 TAK stimulasi persepsi perilaku
kekerasan, klien mampu mempraktikkan tarik napas dalam, tetapi belum mampu
mempraktikkan pukul kasus dan bantal. Anjurkan dan bantu klien mempraktikkan di
ruang rawat (buat jadwal).
SESI 3 : Mencegah Perilaku Kekerasan Dengan Patuh Mengkonsumsi Obat

1. Sesi III : Mencegah perilaku kekerasan dengan patuh mengkonsumsi obat


Leader : Giyastuti Dewi A
Co leader : Juvenalda F C
Observer : Rini, Nuke
Fasilitator : Andina, Jefry, Agus
2. Tujuan
 Klien dapat menyebutkan keuntungan patuh minum obat
 Klien dapat meyebutkan akibat/kerugian tidak patuh minum obat
 Klien dapat menyebutkan lima benar minum obat
3. Setting
 Klien dan terapis/leader duduk bersama dalam lingkaran.
 Ruangan nyaman dan tenang
4. Alat
 Handphone
 Musik/ lagu
 Obat
 Buku catatan dan pulpen
 Jadwal kegiatan klien
5. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab
6. Langkah kegiatan
1) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 2 TAK
2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
3) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
 Salam terapeutik
 Memberi salam terapeutik
 Peserta dan terapis memakai papan nama
 Evaluasi/validasi
 Menanyakan perasaan klien saat ini
 Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah, serta
perilaku kekerasan.
4) Kontrak
 Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu patuh minum obat untuk mencegah perilaku
kekerasan.
 Menjelaskan aturan main berikut :Jika ada klien yang meninggalkan kelompok
harus minta izin kepada terapis, lama kegiatan 15 menit dan setiap klien
mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
7. Tahap kerja
a) Mendiskusikan macam obat yang dimakan klien: nama dan warna (upayakan tiap
klien menyampaikan)
b) Mendiskusikan waktu minum obat yang biasa dilakukan klien.
c) Tuliskan di whiteboard hasil a dan b.
d) Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat,
benar orang yang minum obat, benar cara minum obat, benar dosis obat.
e) Menjelaskan tentang prinsip 5 benar dan meminta klien menyebutkan lima benar
cara minum obat, secara bergiliran.
f) Berikan pujian pada klien yang benar.
g) Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard)
h) Mendiskusikan peranan klien jika teratur minum obat (catat di whiteboard).
i) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah
perilaku kekerasan/kambuh.
j) Menjelaskan akibat/kerugian jika tidak patuh minum obat, yaitu kejadian perilaku
kekerasan/kambuh.
k) Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian
tidak patuh minum obat.
l) Member pujian setiap kali klien benar.

8. Tahap terminasi
a) Evaluasi
 Terapis menyanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
 Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah dipelajari.
 Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b) Tindak lanjut
 Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik, interaksi social asertif,
kegiatan ibadah, dan patuh minum obat untuk mencegah perilaku kekerasan.
 Memasukkan minum obat dalam jadwal kegiatan harian klien.
c) Kontrak yang akan datang
Mengakhiri pertemuan untuk TAK perilaku kekerasan, dan disepakati jika klien
perlu TAK yang lain.
9. Tahap Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung khususnya pada tahap keraj.
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk
TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 5, kemampuan yang diharapkan adalah
mengetahui lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh
minum obat.
SESI 4 : Mencegah Perilaku Kekerasan Secara verbal

1. Sesi IV : Mencegah Perilaku Kekerasan Sosial


Leader : Juvenalda F C
Co leader : Andina Ema R
Observer : Rini, Nuke
Fasilitator : Giyas, Jefry, Agus
2. Tujuan
Klien mampu menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok :
 Klien dapat mengungkapkan keinginan dan permintaan tanpa memaksa.
 Klien dapat mengungkapkan penolakan dan rasa sakit hati tanpa kemarahan
3. Setting
 Klien dan terapis/leader duduk bersama dalam lingkaran.
 Ruangan nyaman dan tenang
4. Alat
 Handphone
 Musik/ lagu
 Buku catatan dan pulpen
 Jadwal kegiatan klien
 Flipchart/white board dan spidol
5. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab
 Bermain peran/simulasi
6. Langkah kegiatan
a) Persiapan
 Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 3 TAK
 Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a. Salam terapeutik
 Memberi salam terapeutik
 Peserta dan terapis memakai papan nama
b. Evaluasi/validasi
 Menanyakan perasaan klien saat ini
 Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah serta
perilaku kekerasan.
 Tanyakan apakah kegiatan fisik untuk mencegah perilaku kekerasan sudah
dilakukan
c. Kontrak
 Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menyampaikan, memilih, dan memberi
pendapat tentang topik percakapan.
 Menjelaskan aturan main berikut :
 Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus minta izin kepada
terapis
 Lama kegiatan 15 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selasai
7. Tahap kerja
a. Mendiskusikan dengan klien cara bicara jika ingin meminta sesuatu dari orang lain.
b. Menuliskan cara-cara yang disampaikan klien.
c. Terapis mendemonstrasikan cara meninta sesuatu tanpa paksaan, yaitu “Saya perlu /
ingin/ minta ..., yang akan saya gunakan untuk...”.
d. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang cara pada poin c.
Ulangi sampai semua klien mencoba.
e. Memberikan pujian pada peran serta klien.
f. Terapis mendemonstrasikan cara menolak dan menyampaikan rasa sakit hati pada
orang lain, yaitu “Saya tidak dapat melakukan ...” atau “Saya tidak menerima
dikatakan ...” atau “Saya kesal dikatakan seperti ...”.\
g. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang cara pada poin d.
Ulangi sampai semua klien mencoba.
h. Memberikan pujian pada peran serta klien

8. Tahap Terminasi
a. Evaluasi
 menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
 memberi pujian atas keberhasilan kelompok
b. Rencana tindak lanjut
 Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik dan interaksi sosil yang
asertif , jika stimulus penyebab perilaku kekerasan terjadi.
 Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik dn interaksi sosial yang asertif
secara teratur.
 Memasukkan interaksi sosial yang asertif pada jadwal kegiatan harian klien.
c. Kontrak yang akan datang
 menyepakati kegiatan berikut, yaitu mengevaluasi kegiatan TAKS.
 menyepakati waktu dan tempat
SESI 5 : Mencegah Perilaku Kekerasan Dengan Spiritul

1. Sesi V : Mencegah perilaku kekerasan dengan spiritual


Leader : Andina Ema R
Co leader : Giyastuti Dewi A
Observer : Rini, Nuke
Fasilitator : Juvenalda, Jefry, Agus
2. Tujuan
Klien dapat melakukan kegiatan ibadah secara teratur
3. Setting
 Klien dan terapis/leader duduk bersama dalam lingkaran.
 Ruangan nyaman dan tenang
4. Alat
 Handphone
 Musik
 Buku catatan dan pulpen
 Jadwal kegiatan klien
5. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab
 Bermain peran/simulasi
6. Langkah kegiatan
a. Persiapan
 Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu resiko perilaku kekerasan
 Membumengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi
 Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b. Orientasi
 Memberi salam terapeutik
 Salam dari terapis kepada klien
 Klien dan terapis pakai papan nama
c. Evaluasi/validasi
 Menanyakan perasaan klien saat ini
 Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah, serta
perilaku kekerasan
 Tanyakan apakah kegiatan fisik dan interaksi social yang asertif untuk
mencegah perilaku kekerasan sudah dilakukan.
d. Kontrak
 Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu kegiatan ibadah untuk mencegah perilaku
kekerasan
 Menjelaskan aturan main/terapi :
 Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus minta izinkepada terapis.
 lamakegiatan 15 menit.
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
7. Tahap kerja
 Menanyakan agama dan kepercayaan masing masing klien.
 Mendiskusikan kegiatan ibadah yang biasa dilakukan masing masing klien.
 Menuliskan kegiatan ibadah masing masing klien.
 Meminta klien untuk memilih satu kegiatan ibadah.
 Meminta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih.
 Memberikan pujian pada penampilan klien.
8. Tahap terminasi
a. Evaluasi
 Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
 Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah dipelajari.
 Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b. Tindak lanjut
 Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik, interaksi sosial yang asertif,
dan kegiatan ibadah jika stimulus penyebab perilaku kekerasan terjadi.
 Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik, interaksi social yang asertif, dan
kegiatan ibadah secara teratur.
 Memasukkan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan harian klien.
c. Kontrak yang akan datang
 Menyepakati untuk mengulangi cara cara yang sudah diajarkan
 Menyepakati waktu dan tempat pertemuan berikutnya.
9. Tahap Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk
TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 4, kemampuan klien yang diharapkan
adalah perilaku 2 kegiatan ibadah untuk mencegah kekerasan.
10. Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimilki klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien.Contoh : klien mengikuti sesi 4 , TAK stimulasi persepsi perilaku
kekerasan. Klien mampu memperagakan dua cara ibadah. Anjurkan klien melakukannya
secara teratur di ruangan( buat jadwal).

Anda mungkin juga menyukai