Anda di halaman 1dari 7

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES TANJUNGKARANG


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
Bandar Lampung
Jl. Soekarno Hatta No. 1 Hajimena Bandar Lampung

LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO

PERILAKU KEKERASAN

I. Kasus ( masalah utama )

Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukkan bahwa ia dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual dan
verbal (NANDA, 2016). Resiko perilaku kekerasan dibagi menjadi dua, yaitu resiko perilaku
kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan resiko perilaku kekerasan
terhadap orang lain (risk for other-directed violence).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba, dkk:
2008). Menurut Stuart dan Sundeen (2005), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau
marah yang tidak konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang
rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons
terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart &
Sundeen: 2005). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik
yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat. Pada saat marah ada perasaan ingin
menyerang, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal
ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk: 2008).

II. Proses TerjadinyaMasalah (Preddisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor,

sumberkoping, mekanisme koping)

1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (2005) adalah:
a. Teori biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik,
lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam
memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan
meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus
frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi
timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokomia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini
sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang
respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan
genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma
otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.

b. Teori psikologi
1) Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri.
2) Teori pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua
mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki
persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang
lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.

c. Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku
tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan
kekerasan dalam hidup individu.

2. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering
kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai
seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak
mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

3. Stressor
NANDA (2016) menyatakan faktor-faktor resiko dari resiko perilaku kekerasan terhadap diri
sendiri (risk for self-directed violence) dan resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for
other-directed violence).
a. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence
1. Usia ≥ 45 tahun.
2. Usia 15-19 tahun.
3. Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan perasaan bernada
kemarahan kepada orang tertentu yang menolak individu tersebut, dll).
4. Konflik mengenai orientasi seksual.
5. Konflik dalam hubungan interpersonal.
6. Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan).
7. Terlibat dalam tindakan seksual autoerotic.
8. Sumber daya personal yang tidak memadai.
9. Status perkawianan (sendiri, menjanda, bercerai).
10. Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian, penyalahgunaan zat)
11. Pekerjaan ( professional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis)
12. Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang bersifat kekerasan atau
konfliktual)
13. Isu kesehatan fisik
14. Gangguan psikologis
15. Isolasi social
16. Ide bunuh diri
17. Rencana bunuh diri
18. Riwayat upacara bunuh diri berulang
19. Isyarat verbal (membicarakan kematian, mananyakan tentang dosis obat, dll)

b. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence.
 Akses atau ketersediaan senjata
 Altersi (gangguan) fungsi kognitif
 Perlakuan kejam terhadap binatang
 Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis maupun seksual
 Riwayat penyalahgunaan zat
 Riwayat menyaksikan kekerasan dalam rumah keluarga
 Impulsive
 Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (pelanggaran lalu lintas, penggunaan
kendaraan bermotor untuk melampiaskan amarah)
 Bahasa tubuh negative (kekakuan, mengepalkan tinju/pukulan, hiperaktivitas dll)
 Gangguan neurologis (trauma kepala, gangguan serangan, kejang dll)
 Intoksikasi patologis
 Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing dilantai, menyobek objek
didinding, melempar barang, memecahkan kaca, membanting pintu)
 Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain (menendang, memukul, menggigit, mencakar,
upaya pemerkosaan, pelecehan seksual, mengencingi oranglain dll)
 Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek atau orang lain,
menyumpah serapah, gesture atau catatan mengancam, ancaman seksual, dll)
 Pola perilaku kekerasan antisosail (mencuri, meminjam dengan paksa, penolakan terhadap
medikasi, dll)
 Komplikasi perinatal
 Komplikasi prenatal
 Menyalakan api
 Gangguan psikosis
 Perilaku bunuh diri

4. Mekanisme koping
Menurut Iyus Yosep (2009) kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari
internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan
stressor eksternal bisa berasal dari lingkungan seperti ledekan, cacian, makian, hilangnya benda
berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan
kehilangan atau gangguan pada sistem individu (disruption and loss). Hal yang terpenting adalah
bagaimana individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut
(personal meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan adalah waktu untuk beristirahat,
penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih persyarafan telinga maka ia
akan dapat melakukan kegiatan secara positif (compensatory act) dan tercapai perasaan lega
(resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai
ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif misalnya: olah raga, menyapu atau baca
puisi saat ia marah dan sebagainya. Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara
(helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan yang
diekspresikan keluar (exspressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif dapat menyelesaikan
masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan
bersalah dan menyesal (guilt). Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis
(painfull symptom).
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan
oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang adaptif dan mal adaptif.

A. MasalahKeperawatan dan Data yang PerluDikaji

NO DATA MASALAH
1 DS Perilaku kekerasan
Klien mengatakan benci atau kesal pada
seseorang. Klien suka membentak dan menyerang
orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau
marah.
DO
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi
dan keras, pandangan tajam
2. DS Gangguan konsep diri:
Klien merasa tidak berguna, merasa kosong dan harga diri rendah
menolak penilaian positif
DO
Kehilangan minat melakukan aktivitas dan sulit
membuat keputusan

B. PohonMasalah

Resiko mencederai orang lain/lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan harga diri : harga diri rendah

C. DiagnosaKeperawatan
1. Perilaku kekerasan b.d perubahan status mental
2. Harga diri rendah b.d penguatan negative berulang

D. Intervensi keperawatan
1. Perilaku kekerasan b.d perubahan status mental

Intervensi Rasional
a. Kaji pemicu klien marah a. Mengidentifikasi pemicu klien marah
b. Gunakan pendekatan yang tenang b. Melakukan perawatan pada klien agar
c. Hindari aktivitas pemicu klien menjadi mengurrangi emosianalnya atau marahnya
emosional
d. Dukung menerapkan strategi
pengendalian marah
e. Jelaskan makna marah
f. Ajarkan strategi atau metode untuk
memodulasi pengalaman emosi yang kuat
misal latihan asertif, teknik relaksasi, dan
aktifitas penyaluran energy yang
bermanfaat
2. Harga diri rendah b.d penguatan negative berulang

Intervensi Rasional
a. Kaji harapan untuk mengendalikan perilaku a. Mengidentifikasi perilaku klien
b. Bicara dengan nada yag rendah b. Melakukan perawatan agar mengurangi
c. Cegah perilakuu agresif perilakuu yang negative terhdap klien
d. Hindari sifat mengancam dan
menyudutkan serta berdebat
e. Informasikan keluarga bahwa keluarga
sebagai dasar pembentukan kognitif

E. Daftar Pustaka

Kusumo, Satrio, dkk. 2015. BUKU AJAR KEPERAWATAN JIWA. Bandar Lampung : Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)
http://www.academia.edu/34368570/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_PASIEN_DENGAN_RISIK
O_PERILAKU_KEKERASAN (Diakses, 18 Februai 2020)
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperrawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai