Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

RISIKO PERILAKU KEKERASAN


KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II

Dosen Pengampu :
Ns. Diah Sukaesti, M.Kep., Sp.Kep.J

Disusun Oleh :
Kelompok 5_Kelas D
1. Novi Nursifa 2010711021
2. Kholil Lailatus 20107110109

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Mahasa Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Risiko Perilaku Kekerasan” tepat pada waktunya. Penulisan Makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu mata kuliah yaitu Keperawatan Jiwa II.
Pada kesempatan yang baik ini, kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima
kasih kepada Ns. Diah Sukaesti, M.Kep., Sp.Kep.J selaku dosen pengampu mata kuliah
Keperawatan Jiwa II yang telah membimbing dan membantu pembuatan makalah ini. Tidak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah berkontribusi terhadap makalah yang
kami buat.
Kami menyadari bahwa begitu banyaknya kekurangan pada penulisan makalah ini. Demi
kesempurnaan makalah ini, kritik serta saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah pengetahuan
mengenai Asuhan Keperawatan Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan.

Penulis

25 Oktober 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan permasalahan kesehatan yang disebabkan oleh gangguan
biologis, sosial, psikilogis, genetik, fisik atau kimiawi dengan jumlah penderita yang terus
meningkat dari tahun ketahun (WHO, 2015). World Health Organisation (WHO)
menyebutkan masalah utama gangguan jiwa di dunia adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah
gangguan pada otak dan pola pikir, skizofrenia mempunyai karateristik dengan gejala positif
dan negatif. Gejala positif antara lain : delusi, halusinasi, waham,disorganisasi pikiran.
Gejala negatif seperti : sikap apatis, bicara jarang, afek tumpul, menarik diri dari masyarakat
dan rasa tidak nyaman (Ruti,dkk 2010).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan risiko perilaku kekerasan?


2. Bagaimana etiologi dari risiko perilaku kekerasan?
3. Bagaimana rentang respon risiko perilaku kekerasan?
4. Apakah yang dimaksud dengan faktor predisposisi?
5. Apakah yang dimaksud faktor presipitasi?
6. Bagaimana penilaian stressor dari risiko perilaku kekerasan?
7. Bagaimana sumber koping dari risiko perilaku kekerasan?
8. Bagaimana mekanisme koping dari risiko perilaku kekerasan?
9. Bagaimana pohon masalah dari risiko perilaku kekerasan?
10. Bagaimana asuhan keperawatan dari risiko perilaku kekerasan?
11. Bagaimana strategi komunikasi dari risiko perilaku kekerasan?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian risiko perilaku kekerasan
2. Memahami etiologi risiko perilaku kekerasan
3. Memahami rentang respon dari risiko perilaku kekerasan
4. Mengetahui faktor predisposisi keperawatan jiwa
5. Mengetahui faktor presipitasi keperawatan jiwa
6. Mengetahui penilaian stressor dari risiko perilaku kekerasan
7. Memahami sumber koping risiko perilaku kekerasan
8. Memahami mekanisme koping dari risiko perilaku kekerasan
9. Mengetahui pohon masalah dari risiko perilaku kekerasan
10. Memahami asuhan keperawatan dari risiko perilaku kekerasan
11. Mengetahui strategi komunikasi dari risiko perilaku kekerasan
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Risiko Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat berlangsung
kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif
dari marah akibat tidak mampu klien untuk mengatasi stressor lingkungan yang dialaminya
(Pardede, Laia, 2020) Perilaku kekerasan merupakan salah satu respons marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, atau merusak lingkungan.
Respon tersebut muncul akibat adanya stressor, respon ini dapat menimbulkan kerugian baik
pada diri sendiri orang lain maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang
timbul sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman individu. Amuk
merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah
dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol yang individu dapat merusak diri sendiri,
orang lain atau lingkungan (Yusuf, 2015).
Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain adalah rentan melakukan perilaku yang
menunjukkan dapat membahayakan orang lain secara fisik dan emosional (NANDA-1, 2018).
Perilaku kekerasan dapat berupa verbal, fisik dan lingkungan. Menurut Keliat, dkk., Perilaku
kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seorang secara fisik
maupun psikologis (Keliat. dkk., 2011). Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
memperlihatkan individu tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual
kepada orang lain (Herdman, 2012)
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan:
1) Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan
dirasakan sebagai ancaman (diejek/dihina).
2) Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa, keinginan
tidak tercapai, tidak puas).
3) Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain
dan lingkungan
B. Etiologi
Perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku
kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku
kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan
ketergantungan pada orang lain. Pada pasien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa
disebabkan adanya perubahan sensori persepsi berupa halusinasi, baik audio, visual maupun
lainnya. Pasien merasa diperintah oleh suara-suara atau bayangan yang dilihatnya untuk
melakukan kekerasan atau pasien merasa marah terhadap suara-suara atau bayangan yang
mengejeknya. Menurut Yosep (2009), kemarahan berawal dari stressor yang berasal dari
internal seperti penyakit, hormonal, dendam, dan kesal. Hal tersebut akan mengakibatkan
gangguan pada sistem individu, tergantung bagaimana individu memaknai setiap kejadian
yang menyedihkan atau menjengkelkan. Bila seseorang memaknai hal tersebut dengan positif,
maka akan tercapai perasaan lega. Akan tetapi jika tidak, maka individu akan memaknai hal
tersebut dengan munculnya perasaan tidak berdaya dan sengsara. Perasaan itu akan
menimbulkan gejala psikosomatik.

C. Rentang Respon

1. Perilaku Asertif : Perilaku individu yang mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa
marah atau tidak setuju tanpa menyakiti atau menyalahkan orang lain. Perilaku ini dapat
melegakan individu
2. Perilaku Frustasi : respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan.
3. Perilaku pasif : perilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan
marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntutan nyata.
4. Perilaku Agresif : suatu perilaku yang menyertai marah, merupakan dorongan mental untuk
bertindak dan masih terkontrol. Individu tidak mempedulikan hak orang lain. Dan biasanya
individu kurang percaya diri. Harga dirinya ditingkatkan dengan cara menguasai orang lain
untuk membuktikan kemampuan yang dimilikinya.
5. Perilaku amuk (Violent) : rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan disertai kehilangan
control, yang dapat merusak diri dan lingkungan.

D. Pengkajian
1. Faktor Predisposisi

Faktor Predisposisi Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan


adalah faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural.

a. Faktor Biologis
1) Instinctual drive theory (teori dorongan naluri). Teori ini menyatakan bahwa
perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Psychosomatic theory (teori psikosomatik) Pengalaman marah adalah akibat dari
respons psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.
b. Faktor Psikologis
1) Frustration aggression theory ( teori agresif frustasi ) Teori ini menerjemahkan
perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi. Hal ini dapat terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan
frustasi dapat mendorong individu untuk berperilaku agresif karena perasaan
frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku) Kemarahan adalah proses belajar. Hal ini dapat
dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung. Reinforcement yang
diterima saat melakukan kekerasan sering menimbulkan kekerasan di dalam
maupun di luar rumah.
3) Existential theory (teori eksistensi) Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah
bertindak sesuai perilaku. Apabila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui
perilaku konstruktif, maka individu akan memenuhi kebutuhannya melalui perilaku
destruktif.
c. Faktor Sosiokultural
1) Social environment theory (teori lingkungan) Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan
membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap
perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
2) Social learning theory (teori belajar sosial) Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung maupun melalui proses sosial.
2. Faktor presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stressor
tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh stressor yang berasal dari luar
antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian dan lain-lain. Sedangkan stressor yang
berasal dari dalam adalah putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta,
ketakutan terhadap penyakit fisik dan lain lain. Selain itu lingkungan yang terlalu rebut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu
perilaku kekerasan.
3. Penilaian stressor
Secara spesifik proses perilaku kekerasan melibatkan respon kognitif, respon afektif,
respon fisiologis/fisik, respon psikomotor/perilaku dan respon sosial (Stuart, 2009)
a. Respon kognitif
Pada individu dengan perilaku agresif atau perilaku kekerasan yang dikaitkan dengan
kondisi biologis ditemukan tanda-tanda
1) Iritabilitas/mudah marah
2) Hipersensitif terhadap provokasi
3) Mengancam
4) Bicara keras
5) Kebingungan
6) Disorientasi dan gangguan memori
7) Kesulitan kontrol diri
8) Gangguan penilaian (Stuart, 2009).
b. Respon afektif
Kekerasan adalah merupakan salah satu dari respon afektif (emosi) marah yang
maladaptif. Seseorang yang marah merasa:
1) Merasa tidak nyaman
2) Merasa tidak berdaya
3) Jengkel
4) Merasa ingin berkelahi
5) Mengamuk
6) Bermusuhan
7) Sakit hati
8) Menyalahkan, menuntut
9) Mudah tersinggung
10) Euphoria yang berlebihan atau tidak tepat
c. Afek labill (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009)Respon fisiologis Menurut Stuart
(2009), perilaku kekerasan dapat dilihat:
1) wajah tegang
2) tidak bisa diam
3) mengepalkan atau memukul tangan
4) rahang mengencang
5) peningkatan pernapasan
d. Respon psikomotor/perilaku
Perilaku yang ditampilkan klien perilaku kekerasan yaitu
1) agitasi motorik berupa bergerak cepat
2) mondar-mandir
3) ketidakmampuan untuk duduk tenang atau diam
4) mengepalkan tangan
5) mengencangkan rahang atau otot wajah
6) kata-kata menekan
7) memerintah
8) suara keras (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009)
e. Respon social
Tanda sosial perilaku kekerasan yaitu:
1) Menarik diri
2) Pengasingan
3) Penolakan
4) Kekerasan
5) Ejekan
6) Sindiran
4. Sumber koping

a. Kemampuan personal : kemampuan untuk mencapai informasi terkait masalah


kemampuan mengidentifikasi masalah, mempunyai pengetahuan dalam memecahkan
masalah secara asertif, intelegensi kurang dalam menghadapi stressor dan identitas ego
tidak adekuat
b. Dukungan sosial : meliputi dukungan dan keluarga serta masyarakat, keterlibatan atas
perkumpulan di masyarakat dan pertentangan nilai budaya
c. Aset Material : penghasilan yang layak, tidak ada benda atau barang yang bisa
dijadikan aset, tidak mempunyai tabungan untuk mengantisipasi hidup, tidak mampu
menjangkau pelayanan kesehatan
d. Kemampuan positif : distress spiritual adanya motivasi, penilaian terhadap kesehatan
5. Mekanisme Koping
Menurut Prastya, & Arum (2017). Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping
klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan koping yang konstruktif
dalam mengekspresikan kemarahannya.Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial dan
reaksi formasi.
Perilaku yang berkaitan dengan resiko perilaku kekerasan antara lain:
a. Menyerang atau menghindar: Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan
sistem saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah marah, pupil melebar, mual, sekresi HCL
meningkat, peristaltik gaster menurun, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal,
tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif: Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam
mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan perilaku
asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan dengan perilaku tersebut
individu juga dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak: Perilaku muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Kasus

Seorang laki-laki usia 34 tahun, di bawa ke IGD dengan keluhan marah-marah, klien mengatakan
kesal dengan tetangga karena sering menyindir klien atas sakit klien. Klien mengatakan dirinya
sudah jarang keluar karena tidak mau tetangganya selalu mengejek klien, ekspresi wajah tegang
klien tampak bicara kasar dan mengancam, serta mengatakan bahwa semua orang sudah tidak
pernah ada lagi yang menghargainya sejak klien mengalami gangguan jiwa, klien mengatakan
malas bertemu dengan tetangganya dan lebih banyak diam di rumahnya saja. Klien sudah 1 bulan
terakhir tidak mau minum obat karena menurutnya tidak ada gunanya.

Klien mengalami gangguan jiwa Setelah di PHK dari perusahaannya 2 tahun yang lalu. Kakak
klien juga mengalami gangguan jiwa dengan gejala suka bicara sendiri. klien di rawat di ruang
elang, kondisi klien masih marah-marah klien difiksasi di ruang isolasi dengan 4 fiksasi, TD
120/80 MMHg, Nadi 100 X permenit, suhu 36, hasil pemeriksaan laboratorium :Scening Covid
Igg dan Igm non reaktif, thorak foto normal, klien masih kesal dengan orang yang memasukan
klien ke rumah sakit, difiksasi berontak terus, Kolaborasi dengan dr pasien dapat injeksi Lodomer
1 amp ( 5 mg) Diazepan 1 amp (10 Mg) mobilisasi gerak dilakukan oleh perawat setiap 2 jam.
observasi ikatan fiksasi dan tanda-tanda vital tiap 30 menit . Setelah 4 jam di rawat di ruang isolasi
dan fiksasi klien klien lebih tenang, klien mengatakan masih kesal dengan keluarga yang
mengantar dan mengatakan bahwa dirinya tidak pernah di hargai, klien anak ke dua dari tiga
bersaudara, Ayah klien sudah meninggal klien tinggal bersama ibu dan adik klien yang perempuan,
Pola komunikasi dalam keluarga klien kurang baik, keluarga jarang mengajak klien
berkomunikasi, pola asuh klien diasuh dengan cara otoriter.
klien mengatakan malu karena adiknya sudah bekerja namun klien masih belum bekerja. Dan
selalu merepotkan orang tua klien. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan adalah saat
klien SMA klien tawuran dan klien melihat temannya dipukul sehingga klien menjadi pemarah
terutama bila melihat orang banyak. Berdasarkan observasi didapatkan data: klien tampak ekspresi
tegang dan mudah sekali tersinggung, pandangan tajam, suara keras dan kadang berbicara kasar
pada Perawat bila keinginannya tidak terpenuhi. Klien mampu makan sendiri, mampu melakukan
mandi secara mandiri. Klien belum mampu melakukan personal hygiene secara mandiri, sulit
bersosialisasi dengan orang lain. Terapi yang diberikan Clozapin 1 X 100 Mg, Risperidone 2 X 2
mg Trihexyphenidyl 2 X 2 mg Diagnosa Medik yang ditegakan Skizofrenia Paranoid
A. Pengkajian
1. Faktor predisposisi
Klien mengalami PHK dari perusahaannya 2 tahun yang lalu, saat klien SMA klien
tawuran dan klien melihat temannya dipukul sehingga klien menjadi pemarah terutama
bila melihat orang banyak. Kakak klien juga mengalami gangguan jiwa dengan gejala
suka bicara sendiri.

2. Faktor presipitasi
Klien sudah 1 bulan terakhir tidak mau minum obat karena menurutnya tidak ada gunanya

3. Penilaian stressor
a. Kognitif : Klien dibawa ke IGD dengan keluhan marah-marah, klien mengatakan
bahwa semua orang sudah tidak pernah ada lagi yang menghargainya sejak klien
mengalami gangguan jiwa,
b. Afektif : Klien mengatakan kesal dengan tetangga karena sering menyindir klien atas
sakit klien, klien mengatakan malu karena adiknya sudah bekerja namun klien masih
belum bekerja
c. Fisiologi : Ekspresi wajah tegang, pandangan tajam
d. Perilaku : klien tampak bicara kasar, suara keras dan kadang berbicara kasar pada
Perawat bila keinginannya tidak terpenuhi, klien dapat makan sendiri dan mandi
sendiri
e. Sosial : klien mengatakan dirinya sudah jarang keluar karena tidak mau tetangganya
selalu mengejek klien, klien mengatakan malas bertemu dengan tetangganya dan lebih
banyak diam di rumahnya saja, sulit bersosialisasi dengan orang lain.
4. Sumber koping
a. Kemampuan Personal : tidak ada
b. Dukungan Sosial : Klien dibawa ke rumah sakit oleh keluarga
c. Aset Material : Adik klien bekerja, namun klien merasa malu karena membebankan
orang tuanya
d. Kepercayaan yang Positif : tidak ada
5. Mekanisme koping
a. Displacement: Klien berbicara kasar pada Perawat bila keinginannya tidak terpenuhi.
b. Isolasi sosial: Klien mengatakan dirinya sudah jarang keluar dan sulit bersosialisasi
dengan orang lain.
c. Menyatakan secara asertif: Pandangan tajam, suara keras dan kadang berbicara kasar
pada Perawat bila keinginannya tidak terpenuhi, ekspresi wajah tegang klien tampak
bicara kasar dan mengancam.
d. Memberontak: klien masih kesal dengan orang yang memasukan klien ke rumah sakit,
difiksasi berontak terus.
B. Analisa Data

No. Analisa Data Diagnosa Keperawatan Etiologi

1. DS: Perilaku Kekerasan Ketidakmampuan


- Klien mengatakan masih kesal (SDKI D.0132 Hal 288) mengendalikan
dengan keluarga yang dorongan marah
mengantar dan mengatakan
bahwa dirinya tidak pernah di
hargai
DO:
- Ekspresi wajah tegang klien
tampak bicara kasar dan
mengancam
- Klien di rawat di ruang elang,
kondisi klien masih marah-
marah klien difiksasi di ruang
isolasi dengan 4 fiksasi
- Pandangan tajam, suara keras
dan kadang berbicara kasar
pada Perawat bila
keinginannya tidak terpenuhi.
2. DS: Isolasi Sosial (SDKI Ketidaksesuaian
- Klien mengatakan dirinya D.0121 Hal 268) perilaku sosial
sudah jarang keluar karena
tidak mau tetangganya selalu
mengejek klien
- Klien mengatakan malas
bertemu dengan tetangganya
dan lebih banyak diam di
rumahnya saja
DO:
- Klien sulit bersosialisasi
dengan orang lain

3. DS : Koping Tidak Efektif Ketidakadekuatan


(SDKI D.0096 Hal 2010) sistem pendukung
- klien masih kesal dengan
orang yang memasukan klien
ke rumah sakit
- klien mengatakan masih kesal
dengan keluarga yang
mengantar dan mengatakan
bahwa dirinya tidak pernah di
hargai

DO :

- Pola komunikasi dalam


keluarga klien kurang baik
- keluarga jarang mengajak
klien berkomunikasi
- Pola asuh klien diasuh dengan
cara otoriter.
- Klien belum mampu melakukan
personal hygiene secara
mandiri
A. Pohon Masalah

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku Kekerasan (SDKI D.0132 Hal 288) berhubungan dengan ketidakmampuan
mengendalikan dorongan marah ditandai dengan Klien mengatakan masih kesal dengan
keluarga yang mengantar dan mengatakan bahwa dirinya tidak pernah di hargai, Ekspresi
wajah tegang klien tampak bicara kasar dan mengancam.
2. Isolasi Sosial (SDKI D.0121 Hal 268) berhubungan dengan ketidaksesuaian perilaku
sosial ditandai dengan Klien mengatakan dirinya sudah jarang keluar karena tidak mau
tetangganya selalu mengejek klien, Klien sulit bersosialisasi dengan orang lain, Klien
mengatakan malas bertemu dengan tetangganya dan lebih banyak diam di rumahnya saja
3. Koping Tidak Efektif (SDKI D.0096 Hal 2010) berhubungan dengan ketidakadekuatan
sistem pendukung ditandai dengan Pola komunikasi dalam keluarga klien kurang baik,
keluarga jarang mengajak klien berkomunikasi, Pola asuh klien diasuh dengan caraotoriter.
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Perencanaan
Keperawatan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional

Perilaku TUM: klien dan Setelah pertemuan Bina hubungan saling Kepercayaan
Kekerasan keluarga mampu pertama klien percaya dengan: dari klien akan
(SDKI D.0132 mengatasi resiko menunjukkan tanda- a. Beri salam saat memudahkan
Hal 288) perilaku kekerasan tanda percaya pada akan interaksi perawat dalam
perawat b. Perkenalkan nama melakukan
TUK: a. Wajah tidak tegang dan tujuan perawat pendekatan
1. Klien dapat b. Mau kontak mata berinteraksi keperawatan
membina hubungan c. Mau berkenalan c. Tanyakan nama untuk
saling percaya d. Bersedia dan nama dilakukannya
menceritakan panggilan kesukaan intervensi
perasaannya d. Tunjukkan sikap selanjutnya
empati, jujur, dan
menepati janji
e. Tanyakan perasaan
klein secara
perlahan
f. Dengarkan dengan
penuh perhatian
tentang perasaan
klein
g. Buat kontrak yang
jelas

TUK: Setelah pertemuan Bantu dan diskusikan Menentukan


2. Klien dapat kedua klien dapat dengan klien tentang mekanisme
mengidentifikasi menceritakan penyebab, tanda dan koping yang
penyebab, tanda dan penyebab, tanda dan gejala, serta akibat dari dimiliki oleh
gejala, serta akibat gejala, serta akibat dari perilaku kekerasan klien dalam
dari perilaku perilaku kekerasan yang dilakukannya menghadapi
kekerasan yang yang dilakukannya a. Motivasi klien masalah. Selain
dilakukannya a. Klien dapat untuk menceritakan itu, juga sebagai
menceritakan penyebab rasa kesal langkah awal
penyebab jengkel atau jengkelnya dalam menyusun
dan marahnya b. Motivasi klien strategi
b. Dapat menjelaskan menceritakan berikutnya
tanda fisik, kondisi fisik
emosional, dan (tanda-tanda fisik),
sosial ketika emosional, dan
sedang marah sosial saat perilaku
c. Mengetahui akibat kekerasan terjadi
seperti melukai diri c. Diskusikan dengan
sendiri maupun klien akibat
orang sekitar ketika negatif(kerugian)
terjadi perilaku cara yang
kekerasan dilakukan pada diri
sendiri maupun
orang sekitar
d. Dengarkan tanpa
menyela atau
memberi penilaian
setiap ungkapan
perasaan klien

TUK Setelah pertemuan Diskusikan dengan Menurunkan


3. Klien dapat ketiga klien dapat: klien: perilaku yang
mengidentifikasi a. Menjelaskan cara- a. Apakah klien mau destruktif yang
cara konstruktif cara sehat mempelajari cara berpotensi
dalam mengungkapkan baru mencederai klien
mengungkapkan marah mengungkapkan dan lingkungan
kemarahan dan b. Memperagakan marah yang sehat sekitar
mendemonstrasikan cara mengontrol b. Jelaskan berbagai
cara mengontrol perilaku kekerasan alternatif pilihan
perilaku kekerasan secara: untuk
- Fisik: tarik mengungkapkan
nafas dalam, marah selain
memukul perilaku kekerasan
bantal/kasur yang diketahui
- Verbal: klien.
mengungkapka c. Latih klien
n perasaan memperagakan cara
kesal/jengkel yang dipilih:
pada orang lain - Peragakan cara
tanpa menyakiti melaksanakan
- Spiritual: cara yang
zikir/doa, dipilih.
meditasi sesuai - Jelaskan
agamanya manfaat cara
tersebut
- Anjurkan klien
menirukan
peragaan yang
sudah
dilakukan.
- Beri penguatan
pada klien,
perbaiki cara
belum
sempurna
Diagnosa Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)

Perilaku Kekerasan Setelah dilakukan perawatan, Manajemen Pengendalian Marah


(SDKI D.0132 Hal 288) diharapkan perilaku kekerasan dapat (I.09290)
menurun dengan kriteria hasil : Observasi
Kontrol Diri (L.09076) - Identifikasi penyebab/pemicu
- Verbalisasi ancaman pada orang kemarahan
lain menurun - Identifikasi harapan perilaku
- Tidak ada perilaku menyerang terhadap ekspresi kemarahan
- Tidak ada perilaku melukai diri - Monitor potensi agresi tidak
sendiri dan orang lain konstruktif
- Tidak ada perilaku merusak Terapeutik
lingkungan - Gunakan pendekatan yang tenang
- Tidak mengamuk dan meyakinkan
- Berbicara dengan suara normal - Fasilitasi mengungkapkan rasa
- Berbicara dengan santai dan marah secara adaptif
nyaman - Cegah kerusakan fisik akibat
Harapan (L.09068) marah
- Mengikuti perawatan dengan - Cegah aktivitas pemicu marah
tekun - Dukung penerapan strategi
- Menunjukkan keinginan pengendalian marah
positif untuk sembuh - Berikan penguatan atas
- Minat berkomunikasi secara keberhasilan penerapan strategi
verbal pengendalian marah
- Perilaku pasif menurun Edukasi
- Jelaskan makna, fungsi, dan
respon marah
- Anjurkan meminta bantuan
perawat atau keluarga selama
ketegangan marah
- Ajarkan strategi untuk mencegah
marah maladaptif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat jika
perlu

Isolasi Sosial (SDKI Setelah dilakukan perawatan, Promosi Sosialisasi (I.13498)


D.0121 Hal 268) diharapkan isolasi sosial dapat Observasi
berhubungan dengan menurun dengan kriteria hasil : - Mengidentifikasi kemampuan
ketidaksesuaian perilaku Keterlibatan Sosial (L.13116) melakukan interaksi dengan
sosial - Verbalisasi tujuan yang jelas orang lain
minat terhadap aktivitas - Mengidentifikasi hambatan
meningkat melakukan interaksi dengan
- Perilaku menarik diri menurun orang lain
- Perilaku bermusuhan menurun Teraupetik
- Afek murung menurun - Memotivasi meningkatkan
- Kontak mata membaik keterlibatan dalam suatu
Interaksi Sosial (L.13115) hubungan
- Perasaan mudah menerima atau - Memotivasi kesabaran dalam
mengkomunikasikan perasaan mengembangkan suatu hubungan
meningkat - Memotivasi berinteraksi diluar
- Minat melakukan kontak fisik lingkungan misalnya jalan jalan
meningkat - Berikan umpan balik positif pada
- Perasaan tertarik pada orang lain setiap peningkatan kemampuan
meningkat Edukasi
- Ekspresi wajah responsif - Menganjurkan berinteraksi
dengan orang lain secara bertahap
- Menganjurkan ikut serta dalam
kegiatan sosial dan
kemasyarakatan
- Melati mengekpresikan marah
Koping Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan Promosi Koping (I. 13494)
(SDKI D.0096 Hal 2010) perawatan, diharapkan masalah Observasi
berhubungan dengan koping tidak efektif dapat menurun - Mengidentifikasi kegiatan jangka
ketidakadekuatan sistem dengan kriteria hasil : pendek dan panjang sesuai tujuan
pendukung Status Koping (L. 09086) - Mengidentifikasi metode
- Perilaku koping adaptif penyelesaian masalah
meningkat - Mengidentifikasi kebutuhan dan
- Verbalisasi kemampuan keinginan terhadap dukungan
mengatasi masalah meningkat sosial
- Verbalisasi pengakuan masalah Teraupetik
meningkat - Mendiskusikan perubahan peran
- Verbalisasi menyalahkan orang yang dialami
lain menurun - Mendiskusikan alasan mengkritik
- Hipersensitif terhadap kritik diri sendiri
menurun - Mendiskusikan konsekuensi tidak
Dukungan Sosial (L. 13113) menggunakan rasa bersalah dan
- Kemampuan meminta bantuan rasa malu
pada orang lain meningkat - Mendiskusikan risiko yang
- Bantuan yang ditawarkan oleh menimbulkan bahaya pada diri
orang lain meningkat sendiri
- Dukungan emosi yang - Memotivasi untuk menentukan
disediakan oleh orang lain harapan yang realistis
meningkat - Memperkenalkan dengan orang
atau kelompok yang berhasil
mengalami pengalaman yang
sama
Edukasi
- Menganjurkan menjalin
hubungan yang memiliki
kepentingan dan tujuan yang
sama
- Menganjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
- Menganjurkan keluarga terlibat
- Melatih penggunaan teknik
relaksasi
- Melatih keterampilan sosial
A. Strategi Komunikasi
1. Individu
a. SP I
1) Mengidentifikasi penyebab PK
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
3) Mengidentifikasi PK yang dilakukan
4) Mengidentifikasi akibat PK
5) Menyebutkan cara mengontrol PK
6) Membantu pasien mempraktikkan latihan cara fisik I: Nafas Dalam
7) Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian
b. SP II
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien mengontrol PK dengan cara fisik II: Pukul Bantal/Kasur
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
c. SP III
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Menjelaskan cara mengontrol PK dengan memanfaatkan/minum obat
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
d. SP IV
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien mengontrol PK dengan cara verbal Meminta, menolak,
mengungkapkan dengan asertif
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
e. SP V
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien mengontrol PK dengan cara spiritual
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
2. Keluarga
a. SP I
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya PK
3) Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK
b. SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien PK
c. SP III
1) Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
B. Evaluasi
Evaluasi keperawatan yang diharapkan pada klien yang mendapatkan asuhan keperawatan
yaitu:

1. Penurunan tanda dan gejala kekerasan.


2. Peningkatan kemampuan klien mengatasi perilaku kekerasan.
3. Peningkatan kemampuan keluar dalam merawat klien.
C. Telaah Jurnal

Jurnal : Jurnal Keperawatan


Judul : Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien dengan
Resiko Perilaku Kekerasan
Penulis : Gede Harsa Wardana, Alfiery Leda Kio, A.A. Gede Rai Arimbawa
Tahun : 2020

Latar Belakang
Gangguan jiwa diseluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, prilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala atau perubahan prilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa No 36, 2014).
Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu,
termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi dan menunjukkan emosi dan gaduh gelisah. Gejala gaduh gelisah
pada pasien skizofrenia dijadikan dasar profesi keperawatan dalam menegakkan diagnosis keperawatan yaitu
perilaku kekerasan (Keliat, 2015). Prilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang yang ditunjukan dengan prilaku kekerasan baik pada diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan baik
secara verbal maupun non-verbal. Bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan bisa yaitu amuk, bermusuhan yang
berpotensi melukai, merusak baik fisik maupun kata-kata (Stuart & Laraia, 2009).
Salah satu upaya penting mencegah kekambuhan pada penderita dengan perilaku kekerasan adalah dengan
adanya dukungan keluarga yang baik (Keliat, 2015). Dukungan keluarga merupakan strategi koping penting untuk
dimiliki keluarga saat mengalami stress. Dukungan keluarga juga dapat berfungsi sebagai strategi preventif untuk
mengurangi stress dan konsekwensi negatifnya sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah (Suprajitno, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan Budiana (2009), bahwa ada korelasi yang kuat antara peran keluarga dengan
periode tidak kambuh klien skizofrenia dengan prilaku kekerasan. Penelitian juga dilakukan oleh Ambari (2010),
yang menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan klien.

Tujuan penelitian
Untuk menentukan hubungan antara dukungan keluarga dan tingkat kekambuhan klien dengan risiko
perilaku kekerasan

Metode
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif korelasional yaitu peneliti mencoba mencari
hubungan atau korelasi antar variabel. Penelitian ini melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, serta
seberapa besar hubungan antar variabel yang ada, oleh karena itu penelitian ini perlu hipotesis

Hasil
Berdasarkan hasil uji Rank Spearman didapatkan angka p value sebesar 0,000<dari tingkat signifikansi
ditentukan yaitu 0,05, hasil ini menunjukkan ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan tingkat kekambuhan
pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Dukungan yang diterima pasien skizofrenia dari orang lain
yang dipercaya, sehingga pasien akan mengetahuai bahwa keluargamemperhatikan, menghargai, dan
mencintainya. Setiap bentuk dukungan sosial yang diberikan keluarga mempunyai 4 bentuk antara lain: dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Dimana keempat bentuk
dukungan ini memiliki peran penting dalam proses penyembuhan penderita skizofrenia. Bentuk dukungan keluarga
yang diberikan oleh keluarga kepada pasien skizofrenia adalah dengan tetap memberikan kasih sayang, perhatian,
memberikan semangat dan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh pasien skizofrenia. Keluarga
juga membantu pasien untuk kembali bersosialisasi dengan anggota keluarga yang lain serta lingkungannya
dengan mengenalkan pasien skizofrenia kepada anggota keluarga yang berkunjung.
Menurut peneliti, keluarga merupakan support system yang berarti keluarga dapat memberikan petunjuk
tentang kesehatan mental pasien, peristiwa dalam hidupnya dan sistem dukungan yang diterima, sistem dukungan
adalah penting bagi kesehatan pada sistem gangguan jiwa, terutama secara fisik dan emosi. Bagi pasien dengan
gangguan jiwa keluarga merupakan sumber dari segala sumber yang mereka anggap sebagai sumber kepuasan.
Para pasien merasa bahwa keluarga merupakan penyemangat hidup yang memberikan dorongan serta dukungan
yang dibutuhkan baik berupa formal, maupun informal, akan tetapi kelurga juga dapat menjadi hambatan dari
pasien, dimana keluarga sendiri kurang merespon dan memberikan dukungannya kepada pasien yang seolah
mereka anggap bukan bagian keluarga bahkan menganggap sama sekali tidak ada.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada pendekatan pasien gangguan jiwa dengan resiko perilaku kekerasan selain
diperlukan komunikasi terupetik dalam menjalin hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien tetapi diperlukan antisipasi untuk pencegahan adanya tindakan perilaku kekerasan dari
pasien untuk keselamatan dan perawat jaga. Pasien dengan gangguan jiwa dengan resiko
perilaku kekerasa memerlukan pendidikan kesehatan tentang pencegahan perilaku kekerasan
(PKPPK) untuk mencegah perilaku kekerasan. Keluarga sangat penting dalam proses
penyembuhan pada gangguan jiwa sehingga penatalaksanaan regimen dan perawatan
berkesinambungan sehingga angka kekambuhan dan lama inap bisa turun.

B. Saran

Bagi mahasiswa keperawatan yang melkukan asuhan keperawatan jiwa pada pasien
dengan resiko perilaku kekerasan maka harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan
sehingga asuhan keperawatan bias berjalan sesuai kreteria waktu yang dintentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Anggit Madhani, A. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko Perilaku
Kekerasan (Doctoral dissertation, Universitas Kusuma Husada Surakarta).

Putri, V. S., & Fitrianti, S. (2018). Pengaruh Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik
Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Jambi. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, 7(2), 138-147.

Moomina, Siauta., Hani, Tuasikal., & Selpina. Embuai. (2020). UPAYA MENGONTROL
PERILAKU AGRESIF PADA PERILAKU KEKERASAN DENGAN PEMBERIAN
RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY. Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No
1, Hal 27.
Leda, Alfiery., dkk. (2020). Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien
dengan Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Keperawatan. Bali : Stikes Bina Usada Bali

Yusuf, Fitryasari,dkk (2015).Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Edisi 1. Salemba Medika:


Jakarta
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai