Anda di halaman 1dari 92

LAPORAN PENDAHULUAN

Praktik Profesi Stase Keperawatan Jiwa

PERILAKU KEKERASAN

Oleh:
Audiensia Dolbiestri Evlang Olini
NIM. 2014901020

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES NGUDIA HUSADA MADURA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa pada mulanya dianggap suatu yang gaib, sehingga penanganannya secara
supranatural spiristik yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan gaib, gangguan jiwa
merupakan suatu gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang manifestasinya pada kesadaran.
Emosi, persepsi dan intelegensi. Salah satu gangguan jiwa tersebut gangguan perilaku
kekerasan.
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai suatu respon terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman individu, pengungkapan kemarahan dengan langsung dan
konstruksif pada saat terjadi dapat melegakan individu dan membanty orang lain untuk
mengerti perasaan yang sebenarnya sehingga indivisu tidak mengalami kecemasan , stress, dan
merasa bersalah dan bahkan merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, Dalam hal ini
peran serta keluarga sangat penting, namun perawatan merupakan ujung tombak dalam
pelayanan Kesehatan jiwa.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi perilaku kekerasan?
2. Apa penyebab terjadinya perilaku kekerasan?
3. Apa tanda dan gejala perilaku kekerasan?
4. Bagaimana proses terjadinya masalah pada perilaku kekerasan?
5. Bagaimana rentang respon pada pasien perilaku kekerasan?
6. Apa saja pemeriksaan dasar dan penunjang untuk pasien perilaku kekerasan?
7. Apa diagnose medis yang tepat untuk perilaku kekerasan?
8. Apa saja penatalaksanaan medis untuk pasien perilaku kekerasan?
9. Apa komplikasi dan prognosis nya?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan?

1.3 TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi perilaku kekerasan
2. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab terjadinya perilaku kekerasan
3. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Mahasiswa mampu mengerti proses terjadinya perilaku kekerasan
5. Mahasiswa mengerti tentang rentang respon yang terjadi pada pasien perilaku
kekerasan
6. Mahasiswa mampu mengetahui pemmeriksaan dasar dan penunjang
7. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja diagnosa pada pasien perilaku kekerasan
8. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan untuk pasien perilaku kekerasan
9. Mahasiswa mampu mengerti komplikasi dan prognosisnya
10. Mahasiswa mampu mengerjakan asuhan keperawatan dengan pasien perilaku
kekerasan

1.4 MANFAAT
1. Mendapatkan kemuliaan dan ridha’ dari Allah SWT sebab Allah dalam banyak
ayatnya melarang manusia berbuat kekerasan
2. Dijauhkan dari permusuhan dan konflik antara sesame manusia.
3. Hati menjadi lebih tenang, hidup menjadi lebih tentram sebab tidak memiliki banyak
musuh
4. Dijauhkan dari iri dan dengki juga dendam dari orang lain sehingga hidup menjadi
lebih aman
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau
marah yang tidak konstruktif (Towsend,1998). Dalam Suhron (2017)
Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko
menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito,
2000) Dalam Suhron, (2017).
Perilaku Kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan.
Respons tersebut biasanya muncul akibat adanya stresor. Respons ini dapat
menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan
Keliat,dkk, (2011:180). Dalam Suhron, (2017)
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun
orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Keliat,dkk,
2011:180).
Menurut Erwina (2012) perilaku kekerasan adalah merupakan bentuk
kekerasan dan pemaksaan secara fisik maupun verbal ditunjukkan kepada diri sendiri
maupun orang lain. Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologi menurut (Habbi et
al., 2017).

2.2 ETIOLOGI
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan konsep diri: harga diri
rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga
diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan
berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang
lain, memecahkan perabot, membakar rumah dll. Sehingga klien dengan perilaku
kekerasan beresiko untuk mencederai diri orang lain dan lingkungan.

2.3 TANDA DAN GEJALA


Faktor Predisposisi Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan
faktor predisposis, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu : (K and Imelda, 2018)
1. Psikologis Menurut Townsend (1996, dalam jurnal penelitian) Faktor psikologi
perilaku kekerasan meliputi:
a) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan meningkatkan citra diri
(Nuraenah,2012:30) dalam K and Imelda (2018).
b) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajarai,
individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh peran eksternal (Nuraenah, 2012: 31) dalam K and
Imelda, (2018)
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstiumulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 142) dalam K and
Imelda, (2018).
3. Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi
lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan
dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress (Nuraenah, 2012: 31)
dalam K and Imelda,(2018).
4. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal
dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku
kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 143) dalam K and Imelda, (2018).
Faktor Presipitasi Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa
terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri. Beberapa
faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Konsis klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik internal
dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3) Lingkungan : panas, padat dan bising menurut K and Imelda, (2018).

Faktor Predisposisi Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan


perilaku kekerasan adalah menurut K and Imelda,( 2018).
1. Teori Biologis
a) Neurologic Faktor Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem
limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100) dalam K and Imelda, (2018).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara perilaku yang
berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak dimana terdapat
interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat
menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012: 29) dalam K and
Imelda, (2018).
b) Genetic Faktor Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia
terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi
oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada
umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang
tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100)
dalam K and Imelda, (2018).
c) Cycardian Rhytm Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut
penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih
mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100) dalam K and
Imelda, (2018).
d) Faktor Biokimia Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam
penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada
stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan
dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui
serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif ( Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100) dalam K and Imelda, (2018).
e) Brain Area Disorder Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom
otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100) dalam K and Imelda, (2018).

2) Teori Psikogis
a) Teori Psikoanalisa Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri perilaku tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101) dalam
K and Imelda, (2018).
b) Imitation, modelling and information processing theory Menurut teori ini
perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir kekerasan.
Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa
anak dikumpulkan untuk menontn tayangan pemukulan pada boneka dengan
reward positif ( semakin keras pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan
tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka tersebut
dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah anak – anak keluar
dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontnan
yang pernah dilihatnya (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101) dalam K and Imelda,
(2018).
c) Learning Theory Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 101) dalam K and Imelda, (2018).
Resiko terjadinya perilaku kekerasan diakibatkan keadaan emosi yang mendalam
karena penggunaan koping yang kurang bagus.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab perilaku kekerasan yaitu :
Keliat,dkk,( 2011:180) dalam K and Imelda (2018).
1) Frustasi Seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan yang
diharapkan menyebabkan ia menjadi frustasi, jika ia tidak mampu
mengendalikannya maka ia akan berbuat kekerasan disekitarnya (Keliat,dkk,
2011:180). dalam K and Imelda (2018).
2) Hilangnya harga diri Pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang
sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi akibatnya individu
tersebut mungkin akan merasa rendah diri, lekas marah dan mungkin
melakukan tindakan kekerasan disekitar (Keliat,dkk, 2011:180). dalam K and
Imelda (2018).
3) Kebutuhan penghargaan status dan prestise Manusia pada umumnya
mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan
diakui. Jika tidak mendapat pengakuan individu tersebut maka dapat
menimbulkan resiko perilaku kekerasan (Helena,dkk.2011:80) (Keliat,dkk,
2011:180) dalam K and Imelda (2018).
a) Perasaan malu terhadap diri sendiri
b) Rasa bersalah terhadap diri sendiri
c) Merendahkan martabat
d) Gangguan hubungan sosial
e) Percaya diri kurang
f) Mencederai diri
Seorang Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan
gejala perilaku kekerasan : (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97) dalam K and
Imelda, (2018)
a) Muka merah dan tegang
b) Mata melotot atau pandangan tajam
c) Tangan mengepal
d) Rahang mengatup
e) Wajah memerah dan tegang
f) Postur tubuh kaku
g) Pandangan tajam
h) Jalan mondar mandir Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan
adanya : (Kartika Sari, 2015: 138) dalam K and Imelda, (2018)
i) Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
j) Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
k) Klien mengungkapkan perasaan jengkel
l) Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebardebar,
rasa tercekik dan bingung
m) Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
n) Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
2.4 PROSES PENYAKIT
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah. Marah
adalah emosi yang kuat ketika ditolak atau dipendam dapat memicu masalah fisik
seperti sakit kepala migran, radang usus dan bahkan penyakit jantung koroner ketika di
tunjukkan kedalam diri sendiri, marah dapat mengakibatkan depresi dan harga diri
rendah ketika diungkapkan tidak dengan tepat, dapat memperburuk hubngan ketika
ditekan/supresi, marah dapat berubah menjadi kebencian yang sering dimanifestikan
dengan perilaku diri yang negative, pasif sampai agresif Menurut Townsend, (2009).
Dalam townsend (2016).
Perilaku kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan
(panik), alasan khusus dari perilaku agresif bervariasi dari setiap orang Stuart & Laraia,
2005; Stuart, (2009). Dalam Habibie (2017)
Penyebab kemarahan atau risiko perilaku kekerasan secara umum adalah
kebutuhan yang tidak terpenuhi, menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai
dengan kenyataan. Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang
perilaku manusia dalam perpektif yang holistic terdiri atas biologis, psikologis dan
sosiokultural dan aspek-aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan.
Komponen biopsikososial dari model tersebut termasuk dalam factor predisposisi,
presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping Menurut
Stuart & Laria, 2005; Stuart,(2009), Dalam Habibie (2017)
Penyebab kemarahan atau risiko perilaku kekerasan secara umum adalah
kebutuhan yang tidak terpenuhi, menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai
dengan kenyataan. Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan
dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presitipasi (Damayanti, 2012).
1. Faktor predisposisi
Menurut Stuart, (2016) masalah perilaku kekerasan disebabkan oleh adanya
faktor predisposisi (faktor yang melatarbelakangi) munculnya masalah dan
faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah). Didalam faktor
predisposisi terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya masalah
perilaku kekerasan seperti biologis, psikologis, dan sosiokultural.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi berhubungan dengan pengaruh stresor yang mencetuskan
perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stressor dapat disebabkan dari luar
maupun dari dalam. Stressor yang berasal dari luar dapat berupa serangan fisik,
kehilangan, kematian. Stressor yang berasal dari dalam berupa kehilangan
keluarga atau sahabat dalam dan lain-lain. Selain itu lingkungan yang kurang
kondusif seperti penuh penghinaan, tindak kekerasan, dapat memicu timbulnya
perilaku kekerasan (Sutejo, 2017).
Psikodinamika Gangguan Jiwa Dengan Perilaku Kekerasan

Faktor Faktor presipitasi


predisposisi

Faktor biologi Faktor Faktor sosisal Stresor internal Stresor


psikologi budaya eksternal

1. Genetik
2. Gangguan
otak

Ancaman atau kebutuhan

Stress

Ansietas

Marah

Merasa berkuasa Mengungkapkan Merasa tidak adekuat


kemarahan

Menantang Menyadarkan olra Menantang


akan kebutuhan

Memenuhi Mengingkari
Tidak ada peneyelesaian
kebutuhannya kemarahan
masalah

Marah Tidak
Marah tertasi
berkepanjangan mengekspresikan

Pengembangan kemarahan

Kemarahan yang Bermusuhan Kemarahan yang diarahlkan


diarahkan keluar kepada dirisendiri

Perilaku kekerasan Depresi


2.5 RENTANG RESPON (JIKA ADA)

KET :

ASERTIF FRUSTASI PASIF AGRESIF KEKERASAN

Individu dapat Gagal Tidak dapat Mengekspresik Perasaan


mengungkapkan mencapai mengungkapkan an secara fisik, marah,
marah tanpa tujuan perasaan, tidak tapi masih permusuhan
menyalahkan kepuasan berdaya, dan terkontrol, yang kuat,
orang lain dan saat marah menyerah mendorong hilang kontrol,
memberikan dan tidak orang lain disertai
ketenangan dapat dengan amukan, dan
menemukan ancaman merusak
alternatif lingkungan.
2.6 PEMERIKSAAN DASAR DAN PENUNJANG
Tindakan keperawatan
1) Berteriak, menjerit, memukul Terima kemarahan klien, diam sebentar, arahkan klien
untuk memukul barang yang tidak mudah rusak seperti bantal dan kasur.
2) Cari gara-gara Bantu klien melakukan relaksasi. Misalnya latihan fisik maupun
olahraga. Latihan pernapasan 2kali/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan nafas.
3) Bantu melalui humor Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka
orang yang menjadi sasaran dan diskusikan cara umum yang sesuai Menurut Keliat,
(2009). Dalam Suhron (2017)

2.7 DIAGNOSIS MEDIS YANG TERKAIT


a. Resiko mutilasi diri
b. Perilaku kekerasan
2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS

Tindakan lainnya yang dapat dilakukan : (K and Imelda, 2018)

1) Farmakoterapi : Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan


mempunyai dosis efektif tinggi. contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah.
Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan
transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian
keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi menurut Eko
Prabowo (2014: hal 145) dalam K and Imelda,( 2018).
2) Terapi okupasi : Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu
diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan yaitu bagi
dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya menurut Eko Prabowo (2014: hal 145) dalam K and Imelda,( 2018). .
3) Peran serta keluarga Keluarga : sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah
kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada
anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan
sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan
mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku
maladaptif ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan pasien
dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal menurut Eko Prabowo (2014: hal
145) dalam K and Imelda,( 2018).
4) Terapi somatik : Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi
somatik terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan
tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, terapi adalah perilaku pasien
Menurut Eko Prabowo (2014: hal 145) dalam K and Imelda,( 2018).
5) Terapi kejang listrik Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) :
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali
(seminggu 2 kali) Menurut Eko Prabowo (2014: hal 145) dalam K and Imelda,
( 2018).
2.9 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain dan lingkungan
A. ASUHAN KEPERAWATAN :
1. Pengkajian

a) Data demografi
Perawat mengkaji identitas klien dan melakukan perkenalan dan kontrak
dengan klien tentang nama perawat, nama klien, panggilan perawat, panggilan
klien, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
b) Usia dan nomor rekam medik
c) Perawat menuliskan sumber data yang didapat
2. Alasan masuk
a) Tanyakan pada klien atau keluarga:
b) Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke rumah sakit?
c) Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi masalah ini?
d) Bagaimana hasilnya?
3. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data signifikan
tentang:
a) Kerentanan genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
b) Peristiwa hidup yang menimbulkan stress dan kehilangan yang baru dialami
c) Episode-episode perilaku kekerasan di masa lalu
d) Riwayat pengobatan
e) Penyalahgunaan obat dan alcohol
f) Riwayat pendidikan dan pekerjaan
4. Catat ciri-ciri respon fisiologik, kognitif, emosional dan perilaku dari individu dengan
gangguan mood
5. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan lelalitas perilaku bunuh diri klien
a) Tujuan klien (misal, agar terlepas dari stress solusi masalah yang sulit)
b) Rencana bunuh diri, termasuk apakah klien memiliki rencana tersebut
c) Keadaan jiwa klien (misal, adanya gangguan pikiran, tingkat kegelisahan,
keparahan gangguan mood)
d) Sistem pendukung yang ada
e) Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit lain (baik psikiatrik
maupun medik), kehilangan yang baru dialami, dan riwayat penyalahgunaan zat.
6. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar klien atau keluarga tentang
gejala, medikasi, dan rekomendasi pengobatan, gangguan mood, tanda-tanda
kekambuhan serta tindakan perawatan sendiri.

B. ANALISA DATA
Data Masalah Keperawatan

DS: klien merasa tidak berguna, merasa kosong Gangguan konsep diri:
DO: kehilangan minat melakukan aktivitas harga diri rendah
DS: klien merasa minder kepada kedua adiknya, sedih
yang berlebihan
DO: klien menghindar dan mengurung diri Isolasi sosial: menarik diri
DS: Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
DO : Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi perilaku kekerasan
dan keras,pandangan tajam. terhadap orang lain
DS : Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
DO : Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi Risiko tinggi mencederai
dan keras,pandangan tajam. orang lain
C. POHON MASALAH

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN, RENCANA TINDAKAN,


IMPLEMENTASI

Diagnosis Perencanaan Implementasi


NO Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil

1.1 1.1 Klien mau membalas


salam
1.2 1.2 KLien mau menjabat
1.1.1 1.1.1 Beri salam atau anggil nama
tangan 1.1.2 1.1.2 Sebutkan nama perawat
1.3 1.3 Klien mau sambil jabat tangan
TUM: menyebutkan nama 1.1.3 1.1.3 Jelaskan maksud hubungan
Klien tidak 1.4 1.4 Klien mau interaksi
mencederai diri tersenyum 1.1.4 1.1.4 Jelaskan tentang kontrak
Resiko sendiri 1.5 1.5 Klien mau kontak yang akan dibuat
mencederai TUK: mata 1.1.5 1.1.5 Beri rasa aman dan sikap
diri b.d 1. 1. Klien dapat 1.6 1.6 Klien mau empati
perilaku membina hubungan mengetahui nama 1.1.6 1.1.6 Lakukan kontak singkat
1 kekerasan saling percaya perawat tapi sering
2.1 Klien
mengungkapkan
perasaannya 2.1.1 Beri kesempatan untuk
2. 2. Klien dapat 2.2 Klien dapat mengungkapkan perasaannya
mengidentifikasi mengungkapkan 2.1.2 Bantu klien
penyebab perilaku perasaan jengkel mengungkapkan penyebab
kekerasan ataupun kesal perasaan jengkel atau kesal
3.1.1 Anjurkan klien
3.1 Klien dapat mengungkapkan apa yang
mengungkapkan dialami dan dirasakannya saat
perasaan saat marah jengkel atau marah
atau jengkel 3.1.2 Observasi tanda dan gejala
3. 3. Klien dapat 3.2 Klien dapat perilaku kekerasan pada klien
mengidentifikasi menyimpulkan tanda 3.2.1 Simpulkan bersama klien
tanda dan gejala dan gejala jengkel atau yanda dan gejala jengkel atau
perilaku kekerasan kesal yang dialaminya kesal yang dialami klien
4.1 Klien dapat
mengungkapkan
perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan 4.1.1 Anjurkan klien untuk
4.2 Klien mengungkapkan perilaku
dapatbermain peran kekeraan yang biasa dilakukan
sesuai perilaku klien
kekerasan yang biasa 4.2.1 Bantu klien bermain peran
4. 4. Klien dapat dilakukan sesuai perilaku kekerasan yang
mengidentifikasi 4.3 Klien dapat biasa dilakukan
perilaku kekerasan menngetahui cara yang 4.3.1 Bicarakan dengan klien
yang biasa biasa dilakukan untuk apakah dengan cara klien lakukan
dilakukan menyelesaikan masalah masalahnya selesai
5.1.1 Bicarakan akibat atau
kerugian dari cara yang
5.1 Klien dapat dilakukan klien
menjelaskan akibat dari 5.1.2 bersama klien
cara yang digunakan menyimpulkan akibat dari cara
5. 5. Klien dapat klien: akibat pada klien yang dilakukan klien
mengidentifikasi sendiri, akibat pada 5.1.3 Tanyakan pada klien
akibat perilaku orang lain, dan akibat apakah dia ingin mempelajari
kekerasan pada lingkungan cara baru yang sehat
6.1 klien dapat
menyebutkan contoh 6.1.1 diskusikan kegiatan fisik
pencegahan perilaku yang biasa dilakukan klien
kekerasan secara fisik: 6.1.2 beri pujian atas kegiatan
tarik napas dalam, pukul fisik yang biasa dilakukan klien
kasur, dan bantal 6.1.3 diskusikan dua cara fisik
6.2 klien dapat yang paling mudah untuk
mendemonstrasikan cara mencegah perilaku kekerasan
fisik untuk mencegah 6.2.1 Diskusikan cara melakukan
perilaku kekerasan tarik napas dalam dengan klien
6.3 Klien mempunyai 6.2.2 Beri contoh klien cara
jadwak untuk melatih menarik napas dalam
cara pencegahan fisik 6.2.3 Minta klien untuk
yang telah dipelajari mengikuti contoh yang diberikan
sebelumnya sebanyak 5 kali
6.4 Klien 6.2.4 Beri pujian positif atas
6. 6. Klien dapat mengevaluasi kemampuan klien
mendemonstrasikan kemampuannya dalam mendemonstrasikan cara menarik
cara fisik untuk melakukan cara fisik napas dalam
mencegah perilaku sesuai jadwal yang 6.2.5 Tanyakan perasaan klien
kekerasan disusun setelah selesai
6.3.1 diskusikan dengan klien
mengenai frekuensi latihan yang
akan dilakukan sendiri oleh klien
6.3.2 susun jadwal kegiatan
untuk melatih cara yang
dipelajari
6.4.1 klien mengevaluasi
peaksanaan latihan
6.4.2 validasi kemampuan klien
dalam melaksanakan latihan
6.4.3 beikan pujian atas
keberhasilan klien
6.4.4 Tanyakan pada klien
apakah kegiatan cara pencegahan
perilaku kekerasan dapat
mengurangi perasaan marah
7.1 Klien dapat 7.1.1. diskusikan cara bicara yang
menyebutkan cara baik dengan klien
bicara yang baik dalam 7.1.2. Beri contoh cara bicara
mencegah perilaku yang baik :
kekerasan · Meminta dengan baik
· Meminta dengan baik· Menolak dengan baik
· Menolak dengan baik· Mengungkapkan perasaan
7. 7. Klien dapat · Mengungkapkan dengan baik
mendemonstrasikan perasaan dengan baik 7.2.1. Minta klien mengikuti
cara social untuk 7.2 Klien dapat contoh cara bicara yang baik
mencegah perilaku mendemonstrasikan cara
· Meminta dengan baik : “Saya
kekerasan verbal yang baik minta uang untuk beli makanan”
7.3 Klien mumpunyai· Menolak dengan baik : “ Maaf,
jadwal untuk melatih saya tidak dapat melakukannya
cara bicara yang baik karena ada kegiatan lain.
7.4 Klien melakukan · Mengungkapkan perasaan
evaluasi terhadap dengan baik : “Saya kesal karena
kemampuan cara bicara permintaan saya tidak
yang sesuai dengan dikabulkan” disertai nada suara
jadwal yang telah yang rendah.
disusun 7.2.2. Minta klien mengulang
sendiri
7.2.3. Beri pujian atas
keberhasilan klien
7.3.1. Diskusikan dengan klien
tentang waktu dan kondisi cara
bicara yang dapat dilatih di
ruangan, misalnya : meminta
obat, baju, dll, menolak ajakan
merokok, tidur tidak pada
waktunya; menceritakan
kekesalan pada perawat
7.3.2. Susun jadwaj kegiatan
untuk melatih cara yang telah
dipelajari.
7.4.1. Klien mengevaluasi
pelaksanaa latihan cara bicara
yang baik dengan mengisi
dengan kegiatan jadwal kegiatan
( self-evaluation )
7.4.2. Validasi kemampuan klien
dalam melaksanakan latihan
7.4.3 Berikan pujian atas
keberhasilan klien
7.4.4 Tanyakan kepada klien : “
Bagaimana perasaan Budi setelah
latihan bicara yang baik? Apakah
keinginan marah berkurang?”
8.1.1. Diskusikan dengan klien
kegiatan ibadah yang pernah
dilakukan
8.2.1. Bantu klien menilai
kegiatan ibadah yang dapat
dilakukan di ruang rawat
8.2.2. Bantu klien memilih
kegiatan ibadah yang akan
dilakukan
8.2.3. Minta klien
8.1 Klien dapat mendemonstrasikan kegiatan
menyebutkan kegiatan ibadah yang dipilih
yang biasa dilakukan 8.2.4. Beri pujian atas
8.2 Klien dapat keberhasilan klien
mendemonstrasikan cara
8.3.1 Diskusikan dengan klien tentang
ibadah yang dipilih waktu pelaksanaan kegiatan
8.3 Klien mempunyai ibadah
jadwal untuk melatih 8.3.2. Susun jadwal kegiatan
8. 8. Klien dapat kegiatan ibadah untuk melatih kegiatan ibadah
mendemonstrasikan 8.4 Klien melakukan 8.4.1. Klien mengevaluasi
cara spiritual untuk evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan ibadah
mencegah perilaku kemampuan melakukan dengan mengisi jadwal kegiatan
kekerasan kegiatan ibadah harian (self-evaluation)
8.4.2. Validasi kemampuan klien
dalam melaksanakan latihan
8.4.3. Berikan pujian atas
keberhasilan klien
8.4.4 Tanyakan kepada klien :
“Bagaimana perasaan Budi
setelah teratur melakukan
ibadah? Apakah keinginan marah
berkurang
9.1.1 Diskusikan dengan klien
tentang jenis obat yang
diminumnya (nama, warna,
besarnya); waktu minum obat
9.1 Klien dapat (jika 3x : pukul 07.00, 13.00,
menyebutkan jenis, 19.00); cara minum obat.
dosis, dan waktu minum 9.1.2 Diskusikan dengan klien
obat serta manfaat dari tentang manfaat minum obat
obat itu (prinsip 5 benar: secara teratur :
benar orang, obat, dosis,· Beda perasaan sebelum minum
waktu dan cara obat dan sesudah minum obat
pemberian) · Jelaskan bahwa dosis hanya
9.2 Klien boleh diubah oleh dokter
mendemonstrasikan · Jelaskan mengenai akibat
kepatuhan minum obat minum obat yang tidak teratur,
9. 9. Klien dapat sesuai jadwal yang misalnya, penyakit kambuh
mendemonstrasikan ditetapkan 9.2.1 Diskusikan tentang proses
kepatuhan minum 9.3 Klien minum obat :
obat untuk mengevaluasi · Klien meminat obat kepada
mencegah perilaku kemampuannya dalam perawat ( jika di rumah sakit),
kekerasan mematuhi minum obat kepada keluarga (jika di rumah)
· Klien memeriksa obat susuai
dosis
· Klien meminum obat pada
waktu yang tepat.
9.2.2. Susun jadwal minum obat
bersama klien
9.3.1 Klien mengevaluasi
pelaksanaan minum obat dengan
mengisi jadwal kegiatan harian
(self-evaluation)
9.3.2 Validasi pelaksanaan
minum obat klien
9.3.3 Beri pujian atas
keberhasilan klien
9.3.4 Tanyakan kepada klien :
“Bagaiman perasaan Budi setelah
minum obat secara teratur?
Apakah keinginan untuk marah
berkurang?”
10. Klien dapat 10.1 Klien mengikuti
mengikuti TAK : TAK : stimulasi 10.1.1 Anjurkan klien untuk
stimulasi persepsi persepsi pencegahan mengikuti TAK : stimulasi
pencegahan perilaku kekerasan persepsi pencegahan perilaku
perilaku kekerasan 10.2 Klien mempunyai kekerasan
jadwal TAK : stimulasi 10.1.2 Klien mengikuti TAK :
persepsi pencegahan stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan perilaku kekerasan (kegiatan
10.3 Klien melakukan tersendiri)
evaluasi terhadap 10.1.3 Diskusikan dengan klien
pelaksanaan TAK tentang kegiatan selama TAK
10.1.4 Fasilitasi klien untuk
mempraktikan hasil kegiatan
TAK da beri pujian atas
keberhasilannya
10.2.1 Diskusikan dengan klien
tentang jadwal TAK
10.2.2 Masukkan jadwak TAK ke
dalam jadwal kegiatan harian
(self- evaluation).
10.3.2 Validasi kemampuan klien
dalam mengikuti TAK
10.3.3 Beri pujian atas
kemampuan mengikuti TAK
10.3.4 Tanyakan pada klien:
“Bagaimana perasaan Ibu setelah
mengikuti TAK?”
11.1.1 Identifikasi kemampuan
keluarga dalam merawat klien
sesuai dengan yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien
selama ini
11.1.2 Jelaskan keuntungan peran
serta keluarga dalam merawat
klien
11.1.3 Jelaskan cara- cara
11. Klien mendapatkan merawat klien :
dukungan keluarga · Terkait dengan cara
dalam melakukan 11.1 Keluarga dapat mengontrol perilaku marah
cara pencegahan mendemonstrasikan cara secara konstruktif
perilaku kekerasan merawat klien · Sikap dan cara bicara
· Membantu klien mengenal
penyebab marah dan pelaksanaan
cara pencegahan perilaku
kekerasan
11.1.4 Bantu keluarga
mendemonstrasikan cara
merawat klien
11.1.5 Bantu keluarga
mengngkapkan perasaannya
setelah melakukan demonstrasi
11.1.6 Anjurkan keluarga
mempraktikannya pada klien
selama di rumah sakit dan
melanjutkannya setelah
pulang ke rumah.

E. EVALUASI
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien terlindung dari perilaku mencederai diri
3. Klien dapat mengarahkan moodnya lebih baik
4. Klien mampu dan berupaya untuk memenuhi personal hygiene
5. Klien dapat meningkatkan harga diri
6. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
7. Klien dapat menggunakan koping adaptif dan meilhat sisi positif dari masalahnya
8. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
9. Klien mampu meningkatkan produktifitas dan membuat jadwal harian
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Ana Budi. Dkk. 2009. Model Praktik Keperawatan professional Jiwa, Jakarta; EGC
Keliat, Ana Budi. Dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta; EGC
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung; Refika Aditama
Stuart GW, Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC
Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC
Stuart GW, Sundeen. 1998.Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year
Book
Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan Psikiatri, edisi 3. Jakarta:
EGC.
Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV Andi Offset,Yogyakarta

Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperwatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika

Wijayaningsih, Kartika sari. 2015. Praktik klinik keperawatan jiwa; Penerbit CV.Trans Info
Media,Jakarta.

Anna, L.K. 2012. Penyebab Kambuhnya Pasien Gangguan Jiwa. Diakses dalam https://nasional.kompas.com pada
21 Oktober 2018

Pemerintan Indonesia, 2014, Undang-undang no.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, diakses pada tanggal 22
Februari 2019 pukul 09.21. http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-
dukungkesehatan-jiwa-masyarakat.htm

Yosep, Iyus & Titin Sutini. 2016, Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Refika

Anda mungkin juga menyukai