Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN TENTANG RESIKO

PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA


KALAWA
ATEI PALANGKA RAYA

DI SUSUN OLEH :
Yoandra Resa veronika

2019.C.11a.1034

YAYASAN EKAHARAP

PALANGKARAYA SEKOLAH TINGGI

ILMU KESEHATAN PRODI SARJANA

KEPERAWATAN TAHUN 2022


BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Resiko Perilaku Kekerasan

1.1.1 Pengertian

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk


melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Jenny, Purba, Mahnum, & Daulay, 2008).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain (Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Farida &
Yudi, 2011).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan
masih terkontrol (Yosep, 2007). Resiko mencederai diri yaitu suatu kegiatan yang
dapat menimbulkan kematian baik secara langsung maupun tidak langsung yang
sebenarnya dapat dicegah (Depkes, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan yaitu ungkapan perasaan marah yang mengakibatkan hilangnya kontrol
diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan
yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

1.1.2 Penyebab

Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan


pada pasien gangguan jiwa antara lain
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga
diri pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh
contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor
predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut
Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor ini
dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif,
dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra
penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi,
dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respon agresif.
b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine,
asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya
dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal)
trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a. Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa
terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal
dari lingkungan.
c. Lingkungan
Panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat menimbulkan
perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut.
a. Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
d. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat
dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi
rasa frustasi.
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

1.1.3 Manifestasi Klinis

Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasanterdiri dari :
1. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.

3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

1.1.4 Akibat

Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi


mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan

1.1.5 Penatalaksanaan

Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis

a) Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.


b) Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c) Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan
hiperaktivitas.
d) ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah
pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan

a) Psikoterapeutik
b) Lingkungan terapieutik
c) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d) Pendidikan kesehatan

1.1.6 Pohon Masalah

Resiko Tinggi Mencederai, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan PPS : Halusinasi

Regimen Terapeutik
Inefektif

Harga Isolasi

Diri Rendah Sosial :

Koping Keluarga
Berduka Disfungsional
Tidak Efektif

Gambar 2.2 Pohon Masalah Perilaku

Kekerasan Sumber : (Fitria, 2010)


1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan

1.2.1 Pengkajian Keperawatan


Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah melalui observasi
atau wawancara tentang perilaku berikut ini:
a. Muk amerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengarupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda /orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.

1.2.2 Daftar Masalah


Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan yaitu :
a. Perilaku Kekerasan.
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
d. Harga diri rendah kronis.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka disfungsional.
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
h. Koping keluarga inefektif.

1.2.3 Rencana Tindakan Keperawatan


Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang digunakan untuk
diagnosa perilaku kekerasan yaitu :
a. Tindakan keperawatan untuk klien
1) Tujuan
a) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
e) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
f) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual,
sosial, dan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus
Saudara lakukan dalam rangka membina hubungan salig percaya adalah
mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi,
serta membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.
b) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa
lalu dan saat ini.
c) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekersan, baik
kekerasan fisik, psikologis, sosial, sosial, spiritual maupun intelektual.
d) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada
saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
e) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.
Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik
(pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obat-obatan, sosial atau
verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual
(salat atau berdoa sesuai keyakinan klien).
b. Tindakan keperawatan untuk keluarga
1) Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
2) Tindakan
a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi
penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari
perilaku tersebut.
b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku
kekerasan.
(1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan
tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila
anggota keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus klien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu
segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul
benda/orang lain.

1.2.4 Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


Menurut Fitria (2010) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan dengan diagnosa
keperawatan perilaku kekerasan
1.3 SP I Pasien
Membina hubungan saling percaya, pengkajian perilaku kekerasan dan
mengajarkan cara menyalurkan rasa marah.
1.4 SP 2 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
1.5 SP 3 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
1.6 SP 4 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
1.7 SP 5 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
1.8 SP 1 Keluarga
Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara merawat klien perilaku
kekerasan di rumah

1.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan
keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan,
evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku kekerasan
antara lain
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan
kemarahan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol perilaku
kekerasan.
j. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang.

Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap


Penurunan Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu
Ilmu Kesehatan , 138-139.

Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan


dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.

Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa. Medan: USU Press.

Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku


Kedokteran EGC.

Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai