Oleh:
LILIS SARIFAH
NIM: 2214901068
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
klien keluarga dalam merawat klien
2. Berdiskusi dengan klien tentang 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
keuntungan berinteraksi dengan orang lain isolasi sosial yang dialami klien beserta
3. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian proses terjadinya
tidak berinteraksi dengan orang lain 3. Menjelaskan cara - cara merawat klien
4. Mengajarkan klien cara berkenalan dengan isolasi sosial
satu orang
5. Menganjurkan klien memasukkan kegiatan
latihan berbincang-bincang dengan orang
lain dalam kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Memberikan kesempatan kepada klien merawat klien dengan isolasi sosial
mempraktekkan cara berkenalan dengan 2. Melatih keluarga melakukan cara
satu orang merawat langsung kepada klien isolasi
3. Membantu klien memasukkan kegiatan sosial
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Memberikan kesempatan kepada klien aktivitas dirumah termasuk minum obat
berkenalan dengan dua orang atau lebih (Discharge planning)
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadwal kegiatan harian pulang.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, R. K., dkk.(2020). Terapi Kognitif Terhadap Kemampuan
Interaksi Pasien Skizofrenia dengan Isolasi Sosial. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidananan Vol.11 No.2 (2020) 226-235.
Dermawan, R., & Rusdi. (2016). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Ernawati, dkk. (2016) . Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta:
Trans Info Media.
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Faktor
2) Psikologis
b. Faktor Presipitasi
2) Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
4) Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga
diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
1. Respon Adaptif
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
2. Respon Psikososial
b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain.
3. Respon Maladaptif
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hatif d.
Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
d. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
6. DIAGNOSA MEDIS
a. Glaukoma
b. Katarak
c. Gangguan refraksi
d. Trauma okuler
e. Trauma pada saraf kranial
f. Infeksi okuler
g. Presibukusis
h. Malfungsi alat bantu dengar
i. Delirium
j. Demensia
k. Gangguan amnestik
l. Penyakit terminal
m. Gangguan psikotik
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:
1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena
obat dapat membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan
(Pardede, Keliat, Wardani, 2017) :
a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan
hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang
terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
1) Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b. Klorpromazin 2x100 mg per hari
c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari
3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
d. Psikosomatik.
2. Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy)
yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda
yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang
dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung
pada masalah pasien dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama
tindakan. Pada pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya
diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih
sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon
terhadap obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak
mendapatkan pertolongan.
3. Psikoterapi
Membantu waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam
proses teraupetik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan teraupetik,memotivasi klien untuk
dapat mengungkap perasaan secara verbal,bersikap ramah, sopan dan jujur
terhadap klien(Putri et al., 2021).
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang
timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga,
takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari
hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016). Komplikasi yang dapat
terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi,
antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial.
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
Halusinasi Subyektif:
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya
Obyektif:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menutup telinga
Resiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar, atau mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang, melakukan
tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam merawat
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien klien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan dan jenis halusinasi yang dialami
halusinasi klien beserta proses terjadinya
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara merawat
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi klien halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik
halusinasi dalam jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara cara merawat klien dengan
bercakap-cakap dengan oang lain halusinasi
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Melatih keluarga melakukan cara
kegiatan harian merawat langsung kepada klien
halusinasi
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan jadwal aktivitas dirumah termasuk
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Menjelaskan follow up klien setelah
kegiatan harian pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA
2. ETIOLOGI
Menurut Nurhalimah (2018) Proses terjadinyaperilaku kekerasan pada
pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart yang
meliputi faktor prediposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
adaptif maladaptif
5. PEMERIKSAAN PENUNJAG
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang,
tetapi peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neurobioalogis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis (Maramis,
2019).
Menurut Doenges (2020), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala neversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin.
Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofreniz Paranoid
adalah sebagai berikut :
a. Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan skizofreniz berupa abnormalitas
otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio
ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala
yang dapat dilihat.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
(terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal
superior).
c. Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d. Pegional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada darah otak yang bervariasi.
e. Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadaprangsangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan
menurun, kadang-kadang dilobus frontal dan sistem limbik.
f. Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang
mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengidentifikasi
area pengobatan yang diperlukan.
g. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.
6. DIAGNOSIS MEDIS
a. Resiko perilaku kekerasan
b. Waham : kebesaran
c. Harga diri rendah
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2019, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik
adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien,
tetapi target terapi adalah perilaku klien.
2. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsi therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis
klien. Terapi ini adalah awalnya untuk mengenai klien skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah 2-3 kali sekali
(dua minggu sekali)
3. Peran Serta Keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladatif,
menanggulangi perilaku maladaptive, dan memulihkan perilaku maladatif
ke perilaku adatif sehingga derajat kesehatan pasien dapat ditingkatkan
secara optimal.
4. Terapi Farmakologi
Pasien dengan perilaku kekerasan perlu peawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis
efektif tinggi contoh : Clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan spikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif
rendah, contohnya Trifluoperazine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakn Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan
anti agitasi.
5. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini
tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, bermain catur. Terapi ini merupakan langkah awal yang
harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya
seleksi dan ditentukannnya program kegiatannya.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang
lain, dan lingkungan.
Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang di
sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung
Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.
Estika Mei Wulansari, Estika. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan Dirumah Sakit Daerah Dr Arif Zainuddin Surakarta. Diss.
Universitas Kusuma Husada Surakarta, 2021.
Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student
Team Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
2) Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3) Pemicu gejala
merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada
respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2018).
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Prakasa (2020) bahwa tanda dan gejala gangguan proses pikir
waham terbagi menjadi 8 gejala yaitu, menolak makan, perawatan diri, emosi,
gerakan tidak terkontrol, pembicaraan tidak sesuai, menghindar, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar
a. Waham Kebesaran
1) DS : Klien mengatakan bahwa ia adalah presiden, Nabi, Wali, artis
dan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dirinya.
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
3. Klien mudah marah
4. Klien mudah tersinggung
b. Waham curiga
1) DS:
1. Klien curiga dan waspada berlebih pada orang tertentu
2. Klien mengatakan merasa diintai dan akan membahayakan dirinya.
2) DO:
1. Klien tampak waspada
2. Klien tampak menarik diri
3. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
4. Inkoheren (Gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti).
c. Waham agama
1) DS:
1. Klien yakin terhadap suatu agama secara berlebihan,diucapkan
berulang-ulang
2. Tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO:
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Klien tampak bingung karena harus melakukan isi wahamnya
3. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis,tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
d. Waham Somatik
1) DS :
1. Klien mengatakan merasa yakin menderita penyakit fisik
2. Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
3. Klien tampak bingung
4. Klien mengalami perubahan pola tidur
5. Klien kehilangan selera makan
e. Waham Nihilistik
1) DS :
1. Klien mengatakan bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
3. Klien tampak bingung
4. Klien mengalami perubahan pola tidur
5. Klien kehilangan selera makan
f. Waham Bizzare/Sisip Pikir :
1) DS :
1. Klien mengatakan ada ide pikir orang lain yang disisipkan dalam
pikirannya yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
2. Klien mengatakan tidak dapat mengambil keputusan
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Klien tampak bingung
3. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. Klien mengalami perubahan pola tidur
g. Siar Pikir
1) DS :
1. Klien mengatakan bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan yang dinyatakan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
2. Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
3. Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
1. Klien tampak bingung
2. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
3. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. Klien tampak waspada
5. Klien kehilangan selera makan
h. Kontrol Pikir
1) DS :
1. Klien mengatakan pikirannya dikontrol dari luar
2. Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Klien tampak bingung
3. Klien tampak menarik diri
4. Klien mudah tersinggung
5. Klien mudah marah
6. Klien tampak tidak bisa mengontrol diri sendiri
7. Klien mengalami perubahan pola tidur
8. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. MACAM
Waham dapat di klasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja
(2011) yaitu:
Jenis
Pengertian Perilaku Klien
Waham
Keyakinan secara berlebihan bahwa “Saya ini pejabat di kementrian
dirinya memiliki kekuatan khusus atau Semarang!”
Waham “Saya punya perusahaan paling
kelebihan yang berbeda dengan orang
Kebesaran besar lho”.
lain, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah Tuhan yang bisa
Waham secara berlebihan, diucapkan berulang- menguasai dan mengendalikan
Agama ulang tetapi tidak sesuai dengan semua makhluk”.
kenyataan.
Keyakinan seseorang atau sekelompok “ Saya tahu mereka mau
orang yang mau merugikan atau menghancurkan saya, karena iri
Waham
mencederai dirinya, diucapkan dengan kesuksesan saya”.
Curiga
berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau “ Saya menderita kanker”.
Waham sebagian tubuhnya terserang penyakit, Padahal hasil pemeriksaan lab
Somatik diucapkan berulang-ulang tetapi tidak tidak ada sel kanker pada
sesuai dengan kenyataan. tubuhnya.
Keyakinan seseorang bahwa dirinya “ Ini saya berada di alam kubur
Waham sudah meninggal dunia, diucapkan ya, semua yang ada disini
Nihilistik berulang-ulang tetapi tidak sesuai adalah roh-rohnya.
dengan kenyataan.
Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon
maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak
bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
Manurung, J., & Pardede, J. A. (2022). Mental Nursing Care Management with
Delusion of greatness Problems in Schizophrenic Patients: A Case Study.
10.31219/osf.io/74sr5
Syahfitri, M., Syahdi, D., Syafitri, F., & Pardede, J. A. (2022). Penerapan
Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Gangguan Proses Pikir: Waham
Kebesaran Pendekatan Strategi Pelaksanaan (SP) 1-4: Studi Kasu
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
Adaptif Maladaptif
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek 1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan
positif yang dimiliki klien keluarga dalam merawat klien
2. Membantu klien menilai kemampuan klien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala harga
yang masih dapat digunakan diri rendah yang dialami klien beserta proses
3. Membantu klien memilih kegiatan yang terjadinya
akan dilatih sesuai dengan kemampuan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien harga
klien diri rendah
4. Melatih klien sesuai dengan kemampuan
yang dipilih
5. Memberikan pujian yang wajar terhadap
keerhasilan klien
6. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih kemampuan kedua merawat klien dengan harga diri rendah
3. Menganjurkan klien memasukkan kedalam 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
jadwal kegiatan harian langsung kepada klien harga diri rendah
SP 3
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan follow up klien setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA
Kaliat, B. A., Akemat, S., Daulima, N. H. C., & Nurhaeni, H. (2018). Keperwatan
Kesehatan jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC, 1-10
Muhith, A. (2019). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi
Pardede, J. A. 92019). The Effects Acceptance anad Aommitmen Therapy and Health
Education Adherence toSymptoms, Ability to Accept andCommit
toTreatment and Compliance in Hallucinations ClientMental Hospital
ofMedan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud 1, 30-35
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tindakan keperawatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah disusun. Sebelum melaksanakan tindakan
yang telah direncanakan, perawat perlu menvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dengan kebutuhannya saat ini (here and now).
Perawat juga meniali diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan
interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan. Dinilai kembali apakah aman bagi klien, jika aman maka
tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
a. Pada klien dengan percobaaan bunuh diri dengan cara meminum zat kimia
atau intoksikasi
b. Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia
c. Pada klien dengan perdarahan akan mengalami syok hipovolemik yang
jika tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Obyektif:
1. Merusak diri sendiri
2. Merusak orang lain
3. Menarik diri dari hubungan sosial
4. Tampak mudah tersinggung
5. Tidak mau makan dan tidak tidur
Risiko Bunuh Diri Subyektif:
Klien menyatakan ingin bunuh diri/ ingin mati
saja, taka da gunanya hidup
Obyektif:
Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah
mencoba bunuh diri
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain Subyektif:
dan lingkungan Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin
membunuh, ingin membakar, atau mengacak-acak
lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-
barang, melakukan tindakan kekerasan pada
orang-orang disekitarnya
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
membahayakan klien keluarga dalam merawat klien
2. Mengamankan benda-benda yang dapat 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala resiko
membahayakan klien bunuh diri dan jenis prilaku bunuh diri yang
3. Melakukan kontrak treatment dialami klien beserta proses terjadinya
4. Mengajarkan cara mengendalikan menjelaskan cara-cara merawat klien resiko
dorongan bunuh diri bunuh diri
5. Melatih cara mengendalikan dorongan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien resiko
bunuh diri bunuh diri
SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Mendorong apsien untuk berpikir positif merawat klien dengan resiko bunuh diri
terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
3. Mendorong klien untuk menghargai diri langsung kepada klien resiko dunuh diri
sebagai individu yang berharga
SP 3 SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping yang biasa 1. Membantu keliarga membuat jadwal
diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang biasa
3. Mengidentifikasi pola koping yang dijangkau oleh keluarga
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola koping
yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan pola
koping konstruktif dalam kegiatan harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai rencana
masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa depan
yang realistis
DAFTAR PUSTAKA
Sri Puji Astuti. 2013.Upaya Meningkatkan Kreativitas Belajar Bahasa Jawa Melalui
Strategi Pembelajaran Role Playing
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
2. ETIOLOGI
Etiologi Menurut (Suerni & Livana, 2019) Defisit perawatan diri di
sebabkan karena dua faktor yaitu faktor predisposisi dan faktor pretisipasi .
a. Faktor predisposisi
meliputi faktor biologis yang dimana penyakit kronis yang
menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri sendiri. Faktor
perkembangan yaitu keluarga terlalu memanjakan dan melindungi pasien
sehingga perkembangan insiatif pasien menjadi terganggu. Faktor sosial
dimana dukungan dan latihan dalam merawat diri yang kurang situasi
lingkungan yang mempengaruhi latihan dalam kemampuan merawat diri dan
7 Universitas Muhammadiyah Magelang kemapuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau
menurunnya motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah atau
lemah yang dialami individu tidak peduli dengan perawatan diri.
4. RENTANG RESPON
adaptif maladaptif
- Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
- Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
- Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stressor.
5. DIAGNOSA MEDIS YANG TERJADI
a. Kebersihan diri
b. Berdandan
c. Makan
d. BAB/BAK
e. Defisit perawatan diri : ketidakmampuan merawat kebersihan diri
f. Menurunnya motifasi dalam merawat diri
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Meningkatakkan kesadaran dan kepercayaan diri
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
c. Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan
d. Ciptakan lingkungan yag mendukung
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Dampak fisik banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik
yang terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga, gangguan fisik.
1. MASALAH YANG SERING MUNCUL
a. Defisit keperawatan diri
v. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
diri klien keluarga dalam merawat klien
2. Berdiskusi dengan klien tentang pentingnya 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
kebersihan diri defisit perawatan diri, dan jenis defisit
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara menjaga perawatan diri yang dialami klien beserta
kebersihan diri proses terjadinya
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
kegiatan harian defisit perawatan diri
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit perawatan
3. Membantu klien mempraktekkan cara mandi diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal merawat langsung kepada klien defisit
kegiatan harian perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum obat
3. Membantu klien mempraktekkan cara eliminasi (discharge planning)
yang baik dan memasukkan dalam jadual 2. Menjelaskan follow up klien setelah
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal pulang
kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti , M., & Iskandar. (2019). Asuhan keperawatan jiwa (pasien defisit
perawatan diri) . Bandung : Refika Aditama.