Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun untuk memenuhi tugas stase Keperawatan Jiwa Semester 2

Disusun oleh:
DWI MEYLISA
14B021083

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PENDIDIKAN PROFESI NERS
PURWOKERTO
2022
RISIKO PERILAKU KEKERASAN (RPK)

1. Definisi
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling
maladaptif, yaitu amuk. Kemarahan adalah perasaan jengkel yang muncul
sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman oleh
individu. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang baik secara fisik maupun psikolologis. Perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal, diarahkan pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Dermawan dan Rusdi 2013).
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh
diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan
pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau
membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa
perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di
lingkungan (Yusuf, A.H dan , R & Nihayati 2015).

2. Etiologi
Gangguan ini terjadi akibat adanya faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
Berikut ini faktor predisposisi dan faktor presipitasi menurut Dermawan dan
Rusdi (2013):
a. Faktor predisposisi
Faktor faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan:
1) Faktor biologis
a) Teori dorongan naluri
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh
suatu dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
b) Teori psikosomatik
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini
sistem limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan
maupun menghambat rasa marah.
2) Faktor psikologis
a) Teori agresif frustasi
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustasi. Frustasi terjadi jika keinginan individu untuk
mencapai sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut
mendorong indivisu berperilaku agresif karena perasaan frustasi
akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
b) Teori perilaku
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila
tersedia fasilitas/situasi yang mendukung
c) Teori eksistensi
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila
kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui konstruktif, maka
individu akan memenuhinya melalui berperilaku destruktif.
3) Faktor sosiokultural
a) Teori lingkungan sosial
Lingkungan sosial akan memengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk merespon asertif atau agresif.
b) Teori belajar sosial
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun
melalui proses sosialisasi.
b. Faktor presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat
unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik,
kehilangan, kematian dan lain-lain) maupun dari dalam (putus hubungan
dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit
fisik, tidak dapat mengungkapkan perasaan dan lain-lain). Selain itu,
lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu terjadinya perilaku
kekerasan.
3. Proses Terjadinya Masalah

4. Rentang Respon Sosial


Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon yang
adaptif sampai maladaptif. Respon adaptif adalah respon individu dalam
menyelesaikan masalah yang dapat diterima oleh norma norma masyarakat.
Sedangkan respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat. Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) respon adaptif dan
maladaptive tersebut adalah:
RESPON ADAPTIF RESPON MALADAPTIF

Asertif Pasif Perilaku kekerasan

a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan


atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan kelegaan
pada individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/ perilaku kekerasan merupakan hasil dari kemarahan yang sangat
tinggi atau ketakutan (panik).

5. Tanda dan Gejala


Menurut Yusuf, A.H dan , R & Nihayati (2015), tanda dan gejala RPK sosial
meliputi:
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
g. Mengancam secara verbal dan fisik
h. Melempar atau memukul benda/orang lain
i. Merusak barang atau benda
j. Tidak mempunyai kemampuan mencegah/ mengontrol perilaku kekerasan
6. Penanganan
a. Farmakologi
Berikut merupakan terapi farmakologi menurut Septiani (2017):
1) Clorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi -
fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku
yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari -hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan
kegiatan rutin.
Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung), gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia,
sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin,
metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.
2) Haloperidol (HLD)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
netral serta dalam fungsi kehidupan sehari –hari.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi
dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
3) Trihexy phenidyl (THP)
Indikasi: Segala jenis penyakit parkinson, termasuk paska ensepalitis
dan idiopatik, sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan
fenotiazine.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik
(hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, hidung
tersumbat, mata kabur, gangguan irama jantung).
b. Non farmakologi
Terapi non farmakologi menurut Dermawan dan Rusdi (2013) adalah
sebagai berikut:
1) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro convulsif therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi
shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan
untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat
psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2
orang neurologist Italia Ugo Cerlitti dan Lucio Bini pada tahun 1930.
Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap
tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang
dapat memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya
selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana
seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang
mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat
dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian
menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum Brain-
Derived Neurotrophic Factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak
responsif terhadap terapi farmakologi.
2) Terapi individu
Tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP)
pada pasien dapat dilakukan sebagai berikut:
Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien:
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Identifikasi perasaan marah, tanda gejala yang dirasakan, perilaku
kekerasan yang dilakukan dan akibatnya
(3) Mengontrol secara fisik I (relaksasi dengan nafas dalam)
Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien:
(1) Mengevaluasi latihan nafas dalam
(2) Latih cara fisik ke-2: pukul bantal dan kasur
(3) Susun jadwal latihan kegiatan harian cara kedua
Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien:
(1) Evaluasi jadwal harian untuk du acara fisik
(2) Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan
baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
(3) susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal
Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien:
(1) Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
dan sosial/verbal
(2) Latihan sholat/ berdoa
(3) Buat latihan sholat/berdoa
Strategi pelaksanaan pertemuan pada pasien:
(1) Evaluasi jadwal kegiatab harian pasien untuk cara mencegah marah
yang sudah dilatih
(2) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar
(benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar
waktu minum obat dan benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat
dan akibat berhenti minum obat.
(3) Susun jadwal minum obat secara teratur
3) Terapi lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitannya
untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan
berkaitan erat dengan stimulus psikologi seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan
memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis
seseorang.

7. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor
presipitasi, penilaian stressor, suberkoping yang dimiliki klien. Setiap
melakukan pengajian, tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi
pengkajian meliputi:
1) Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan
alamat klien.
2) Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak
interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari – hari,
dependen
3) Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok
sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba
misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah ,
PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan,
tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak
menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
4) Aspek fisik / biologis Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu,
Pernapasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5) Aspek Psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi Konsep diri.
Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi.
Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatip tentang tubuh.
Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus
asaan, mengungkapkan ketakutan.
Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan
tidak mampu mengambil keputusan.
Peran Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri,
dan kurang percaya diri. Klien mempunyai gangguan/hambatan dalam
melakukan hubunga social dengan orang lain terdekat dalam
kehidupan. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah
(spritual)
6) Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata,
kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain, Adanya perasaan
keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
7) Kebutuhan persiapan pulang.
a) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b) Klien mampuBAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,
membersikan dan merapikan pakaian.
c) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas didalam
dan diluar rumah
e) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
8) Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya
pada orang orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri).
9) Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.
10) Masalah Psikososial dan Lingkungan
Biasanya pasien dengan Isolasi Sosial memiliki masalah dengan
psikososial dan lingkungannya, seperti pasien yang tidak dapat
berinteraksi dengan keluarga atau masyarakat karena merasa takut,
tidak berguna dan lain lain.
b. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul antara lain sebagai berikut:
1) Harga diri rendah
2) Koping individu inefektif
3) Risiko perilaku kekerasan
4) Defisit perawatan diri
c. Intervensi
Diagnosa 1 : Risiko Perilaku Kekerasan
TujuanUmum :
§ Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang
dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
b. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
c. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
a. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam
jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal /
tersinggung
d. Secara spiritual : berdoa, sembahyang, memohon kepada Tuhan
untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bantu memilih cara yang paling tepat.
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi.
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
b. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
a. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi,
efek dan efek samping).
b. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama
klien, obat, dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.
10. Latih mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat :
a. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar
(benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat,
benar waktu minum obat, dan benar dosis obat) disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat
b. Susun jadwal minum obat secara teratur
11. Ikut sertakan pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi
Persepsi mengontrol Perilaku Kekerasan

Diagnosa II : Gangguan konsep diri: harga diri rendah


Tujuan Umum :
§ Klien tidak melakukan kekerasan
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
c. Utamakan pemberian pujian yang realitas
3. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri
sendiri dan keluarga
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang
ke rumah
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai
kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan.
b. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
c. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
a. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D. and Rusdi (2013) Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. 1st edn. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Septiani, S. F. (2017) ‘Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Isolasi Sosial’,
Karya Tulis Ilmiah, 1(Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Isolasi
Sosial), p. 65. Available at: file:///E:/keperawatan
jiwa/sri_fahnur_septiani.pdf.
Yusuf, A.H, F. and , R & Nihayati, H. . (2015) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa, Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
doi: ISBN 978-xxx-xxx-xx-x.

Anda mungkin juga menyukai