Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELOMPOK RENTAN

KLIEN KORBAN PEMERKOSAAN

Kelompok 4

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Jiwa II

Dosen Pengampu:

Ns.Duma Lumban Tobing, M. Kep, Sp. Kep. J

Disusun oleh:

Goldameir Florencia 2010711018

Novi Nursifa 2010711021

Muhammad Harits 2010711044

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat membuat dan
menyelesaikan makalah Keperawatan Jiwa II ini. Makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Kelompok Rentan: Klien Korban Pemerkosaan” ini ditulis untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II. Pada kesempatan yang baik ini, kami menyampaikan
rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
kepada kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu semua, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Depok,15 November 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian 3
2.2 Respon Korban Pemerkosaan 3
2.3 Pengkajian 5
2.4 Diagnosa Keperawatan 5
2.5 Tujuan dan Kriteria Evaluasi Akhir 6
2.6 Penilaian Keperawatan untuk Membedakan Kemungkinan Masalah 6
2.7 Strategi Pelaksanaan 8
2.8 Hasil-Hasil Penelitian Askep pada Pasien yang mengalami Resiko Bunuh Diri 9
BAB III TINJAUAN KASUS 11
3.1 Kasus 11
BAB III KESIMPULAN 19
4.1 Kesimpulan 19
4.2 Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika
seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual
dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti
tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Pada sebagian besar kasus, perkosaan dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal
korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara,ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka
agama, atasan, dan sebagainya. Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan
oleh orang-orang yang baru dikenal dansemula nampak sebagai orang baik-baik yang
menawarkan bantuan, misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Sindrom Trauma Pemerkosaan merupakan respon maladptif yang berkelanjutan,
penetrasi seksual yang keras terhadap keinginan dan persetujuan korban. Sindrom trauma
perkosaan mengacu pada periode langsung trauma psikologis yang dialami oleh korban
perkosaan yang mleibatkan gangguan terhadap perilaku fisik, emosional, kognitif, dan
interpersonal yang normal. Setiap korban merespon berbeda terhadap pemerkosaan;
tanggapan paling umum terjadi segera setelah perkosaan, tetapi yang juga dapat terjadi
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sesudahnya.
Berdasarkan fenomena tersebut, kelompok ingin membahas lebih lanjut mengenai peran
perawat dalam menghadapi dan membantu klien yang menjadi korban pemerkosaan
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu pemerkosaan
2. Apa saja respon korban pemerkosaan?
3. Bagaimana pengkajian termasuk penyebab dan masalah psikososial pada korban
pemerkosaan?
4. Apa saja diagnosa keperawatan dari korban pemerkosaan?
5. Apa saja intervensi dari pasien korban pemerkosaan?
6. Apa saja evaluasi dari keberhasilan asuhan keperawatan pada korban pemerkosaan
7. Bagaimana strategi pelaksanaan pada korban pemerkosaan?
8. Apa saja hasil-hasil penelitian asuhan keperawatan pada pasien korban pemerkosaan?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian pemerkosaan
2. Untuk mengetahui apa saja respon korban pemerkosaan
3. Untuk mengetahui pengkajian termasuk penyebab dan masalah psikososial pada
korban pemerkosaan
4. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan dari korban pemerkosaan
5. Untuk mengetahui apa saja intervensi pasien korban pemerkosaan
6. Untuk mengetahui apa saja evaluasi dari keberhasilan asuhan keperawatan pada korban
pemerkosaan
7. Untuk mengetahui bagaimana strategi pelaksanaan pada korban pemerkosaan
8. Untuk mengetahui hasil-hasil penelitian askep pada pasien korban pemerkosaan

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Definisi Pemerkosaan


Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika
seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual
dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti
tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Sindrom Trauma Pemerkosaan merupakan respon maladptif yang berkelanjutan,
penetrasi seksual yang keras terhadap keinginan dan persetujuan korban. Sindrom trauma
perkosaan mengacu pada periode langsung trauma psikologis yang dialami oleh korban
perkosaan yang mleibatkan gangguan terhadap perilaku fisik, emosional, kognitif, dan
interpersonal yang normal. Setiap korban merespon berbeda terhadap pemerkosaan;
tanggapan paling umum terjadi segera setelah perkosaan, tetapi yang juga dapat terjadi
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sesudahnya.
Seseorang, pria atau wanita, yang telah di perkosa pada umumnya akan mengalami
unsur sindrom sebagai respon terhadap tingkat kesedihan yang tinggi secara langsung
setelahnya. Perasaan ini dapat surut seiring berjalannya waktu bagi beberapa korban
penyerangan seksual; namun demikia, masing-masing individu sindrom dapat memiliki
efek merusak yang panjang pada korban perkosaan dan beberapa korban akan bertahan
mengalami beberapa bentuk tekanan psikologis untuk sisa hidup mereka.
Prasangka budaya, bisa social, prasangka tentang korban perkosaan mungkin
membuatnya menyakitkan dan tidak dapat diatur bagi korban untuk berbicara tentang
kejahatan. Telah diketahui juga bahwa korban perkosaan beresiko tinggi untuk
mendapatkan gangguan penggunaan zat, depresi berat, gangguan kecemasan umum,
gangguan obsersif-kompulsif, dan gangguan makan.

1.2 Respon Korban Pemerkosaan


Sindrom trauma perkosaan mengacu pada periode langsung trauma psikologis yang
dialami oleh korban perkosaan yang melibatkan gangguan terhadap perilaku fisik,
emosional, kognitif, dan interpersonal yang normal. Setiap korban merespon berbeda
terhadap pemerkosaan; tanggapan paling umum terjadi segera setelah perkosaan, tetapi
yang juga dapat terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sesudahnya.

3
Seseorang, pria atau wanita, yang telah diperkosa pada umumnya akan mengalami
unsur sindrom sebagai respons terhadap tingkat kesedihan yang tinggi secara langsung
setelahnya. Perasaan ini dapat surut seiring berjalannya waktu bagi beberapa korban
penyerangan seksual; Namun demikian, masing-masing individu sindrom dapat memiliki
efek merusak yang panjang pada korban perkosaan dan beberapa korban akan bertahan
mengalami beberapa bentuk tekanan psikologis untuk sisa hidup mereka.
Prasangka budaya, bisa sosial, prasangka tentang korban perkosaan mungkin
membuatnya menyakitkan dan tidak dapat diatur bagi korban untuk berbicara tentang
kejahatan. Telah diketahui juga bahwa korban perkosaan berisiko tinggi untuk
mendapatkan gangguan penggunaan zat, depresi berat, gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan makan.
Memerangi mitos pemerkosaan, meningkatkan pendidikan tentang dampak
pemerkosaan, memberikan informasi kepada publik tentang kekerasan seksual, dan
melatih penyedia dukungan potensial untuk menarik reaksi negatif dapat membantu
mengurangi trauma serangan dan meningkatkan kemungkinan bahwa korban mendapatkan
bantuan yang mereka cari ketika mereka berpaling kepada orang lain untuk meminta
nasihat, bimbingan, dan kerja sama
1. Respon Emosi: Gawat Darurat
a. Respon Ekspresif
- Ketakutan
- Tegang
- Kemarahan
- Ansietas
- Kegelisahan
- Menangis

b. Respon Terkontrol
- Tenang
- Menyembunyikan
- Tunduk
- Lembut
- Perasaan Tidak Terbuka

2. Respon beberapa minggu setelah perkosaan

4
a. Memar, lecet
b. Sakit kepala, lelah, gangguan tidur
c. Nyeri, mual, muntah
d. Nyeri daerah perineal
e. Geram, marah, malu, terhina
f. Dendam, menyalahkan diri sendiri
g. Takut penyiksaan dan ingin mati

3. Respon / dampak jangka Panjang


a. Gelisah, mimpi buruk, phobia, control diri hilang
b. Depresi, bunuh diri, penyalahgunaan obat, psikotik
c. Tersembunyi, supresi

1.3 Pengkajian
1. Aspek Fisik
a. Kaji daerah Khusus perinela
b. Memar / lecel seluruh tubuh
c. Jaga privacy pasien
2. Aspek Perilaku
a. Apakah klien respon secara verbal?
b. Apakah dapat mengikuti petunjuk / arahan?
c. Apakah yang telah dilakukan klien?
3. Aspek kognitif / psikologis
a. Dapatkan klien menceritakan kejadiannya?
b. Apakah koping klien
c. Bagaimana perasaan klien
4. Aspek sosial budaya
a. Siapa system pendukung?
b. Apakah klien butuh tempat tinggal?
c. Siapa yang sudah dihubungi klien?

1.4 Diagnosa Keperawatan


Masalah Keperawatan sindrom trauma pemerkosaan
1. Sindroma trauma perkosaan

5
2. Ketidakberdayaan
3. Harga diri rendah
4. Keputusaasaan
5. Ketakutan
6. Ansietas
7. Risiko: isolasi social
8. Risiko bunuh diri

1.5 Tujuan dan Kriteria Evaluasi Akhir


1. Tujuan dan Kriteria Hasil
a. Pasien mengalami harapan dan keyakinan untuk terus maju dengan rencana
hidup.
b. Pasien mengatakan bantuan atau pengurangan ketidaknyamanan dari cedera
fisik.
c. Pasien mengadopsi praktik koping yang sehat.
d. Pasien menampilkan resolusi kemarahan, rasa bersalah, takut, depresi, harga
diri rendah.
e. Pasien mengakui hak untuk mengungkapkan dan mendiskusikan situasi yang
menyinggung.
f. Pasien daftar reaksi fisik, emosional, dan sosial umum yang sering mengikuti
serangan seksual sebelum meninggalkan departemen darurat atau pusat krisis.
g. Pasien menyatakan hasil pemeriksaan fisik selesai di departemen darurat atau
pusat krisis.
h. Pasien berbicara kepada advokat korban perkosaan berbasis komunitas di
departemen darurat atau pusat krisis.
i. Pasien mengacu pada diri sendiri sebagai korban atau orang yang selamat tidak
bertanggung jawab atas perkosaan.
j. Pasien mendiskusikan perlunya konseling krisis lanjutan dan dukungan lainnya

1.6 Penilaian Keperawatan untuk Membedakan Kemungkinan Masalah


1. Evaluasi sejauh mana cedera yang diderita selama serangan: lecet; memar;
laserasi; goresan; trauma vagina, mulut, dan dubur; luka pisau; luka tembak;
tanda strangulasi.

6
Rasional: Meskipun cedera berkisar dari kecil hingga melumpuhkan dan mengancam
jiwa, semua cedera memiliki dampak emosional yang kuat pada korban. Pasien
mungkin tidak ingat setiap detail serangan jika dia telah tidak sadar atau secara
psikologis dijaga selama pertemuan tersebut.

2. Periksa respons emosi dan perilaku.


Rasional: Perilaku bertahan bertahan hidup yang mungkin tampak normal setelah
serangan seksual dapat menjadi tidak efektif jika mereka terus dan mengganggu
pemulihan.

3. Tentukan keinginan korban untuk pemeriksaan fisik, genital, dan / atau panggul.
Rasional: Pasien dapat menanggapi intrusifitas pemeriksaan sebagai kelanjutan dari
serangan seksual. Menjelaskan dapat membantu pasien memahami pentingnya
menentukan tingkat trauma fisik.

4. Ketahui mekanisme koping pasien sebelumnya, termasuk keyakinan budaya,


agama, dan pribadi tentang penyerangan.
Rasional: Mekanisme koping sebelumnya mungkin atau mungkin tidak efektif dalam
situasi saat ini. Memahami tentang kekerasan seksual akan memengaruhi kemampuan
pasien untuk memahami situasi dan apakah keluarga dan teman-teman akan menjadi
sistem pendukung yang efektif

5. Amati respons anggota keluarga dan orang lain yang signifikan terhadap pasien.
Rasional: Anggota keluarga dan orang lain yang signifikan mungkin berusaha dengan
persepsi mereka tentang pasien dan serangan itu. Mereka mungkin mengalami perasaan
dan reaksi yang mirip dengan pasien termasuk menyalahkan, kesal, malu, atau
penghinaan. Respons yang berbeda memainkan peran besar dalam pemulihan pasien.

6. Dengarkan bahasa yang digunakan pasien untuk menggambarkan dirinya dan


perasaannya tentang serangan itu.
Rasional: Hal ini dianggap sebagai tanggapan biasa bagi orang yang selamat untuk
menunjukkan perasaan malu atau bersalah tentang serangan itu. Pasien mungkin
menyebut dirinya kotor dan tidak bersih. Pasien mungkin memerlukan pengawasan
antisipatif untuk menyusun ulang persepsi ini dan melihat dirinya sebagai korban dan

7
penyintas dari serangan itu. Ketika perasaan yang sangat negatif berlanjut untuk jangka
waktu yang panjang, mereka memposting ancaman besar untuk pemulihan korban.

1.7 Strategi Pelaksanaan

Klien

Korban pemerkosaan SP I
/ kekerasan seksual ● Bina hubungan saling percaya dengan pasien:
a. Perkenalkan diri
b. Buat kontrak asuhan dengan pasien
c. Jelaskan bahwa perawat akan membantu pasien
d. Jelaskan bahwa perawat akan menjaga kerahasiaan
informasi tentang pasien
e. Dengarkan dengan penuh empati ungkapan perasaan
pasien

SP II
● Diskusikan dengan pasien kejadian traumatis yang
dialaminya:
a. Tanyakan kesiapan pasien untuk bercerita.
b. Apabila pasien mengatakan belum siap maka perawat
tidak boleh memaksa pasien untuk bercerita sampai
kondisinya betul- betul siap
c. Diskusikan kejadian yang dialami oleh pasien: apa jenis
kejadian, kapan terjadinya, di mana kejadian tersebut
berlangsung.
d. Berikan penghargaan (reinforcement) atas kemampuan
pasien menceritakan kejadian traumatis yang dialaminya.

SP III
● Diskusikan dengan pasien keadaan sebelum dan sesudah
kejadian trauma:
a. Kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan spiritual
pasien sebelum terjadi peristiwa traumatis
b. Kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan spiritual
pasien sesudah terjadi peristiwa traumatis
c. Hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa
traumatis yang terjadi

SP IV
● Diskusikan cara-cara mengatasi sindroma pasca trauma:

8
a. Cara verbal (ventilasi perasaan), menceritakan pikiran,
perasaan yang dialami kepada orang yang dipercayai.
b. Cara fisik (nafas dalam, senam, jogging)
c. Cara sosial (sharing atau berbagi rasa dengan orang yang
mengalami peristiwa serupa melalui self-help group)
d. Cara spiritual (berdoa, berserah / tawakal)

SP V
● Diskusikan sumber bantuan yang ada di masyarakat yang
dapat dimanfaatkan oleh pasien:
a. Bantu mengidentifikasi sumber bantuan yang dimiliki:
keluarga terdekat
b. Eksplorasi sistem pendukung yang tersedia
c. Bantu berhubungan dengan sumber bantuan dan sistem
pendukung untuk memenuhi kebutuhan pasien
d. Bantu membuat rangkuman aktivitas lama dan memulai
aktivitas yang baru
e. Bantu pasien menggunakan obat-obatan sesuai aturan
(pada pasien yang mendapat obat)

1.8 Hasil-hasil penelitian askep pada pasien yang mengalami korban pemerkosaan
Judul : ”Asuhan Keperawatan Sexual Abuse”
Correspondensi : Andri Gunawan
a. Hasil Penelitian
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin
banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indikator meningkatnya
jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah yang
terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya
pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan
sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden
membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus
seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa.
Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia
18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam
keluarga (Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.

9
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami
sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan
adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang
mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi
korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan
anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan
hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka
panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan,
ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk

10
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Kasus
Seorang perempuan usia 15 tahun dibawa ke poli jiwa RSU oleh keluarga dengan keluhan
mengurung diri di kamar setelah kejadian pemerkosaan yang dialami 6 bulan yang lalu dan
kasusnya di kepolisian masih berlanjut. Keluarga mengatakan dulu klien adalah anak yang
ceria, mudah bergaul, banyak teman, banyak bermain sampai larut malam. Keluarga
mengakui tidak control pergaulannya karena sibuk bekerja sebagai pedagang. Keluarga
semakin khawatir karena perilaku klien tidak menunjukkan perubahan. Klien tidak mau
keluar rumah dan ngobrol dengan teman-temannya, mengurung diri dan sering menyendiri,
menolak berhubungan dengan orang lain karena mengalami kekerasan sexual lagi dari
tetangganya. Hasil pengkajian, klien banyak melamun, sedikit bicara, wajah murung. Klien
pernah mendapatkan obat antiansietas 3 bulan yang lalu namun tidak minum obat teratur
sehingga pengobatan kurang berhasil. Klien mengatakan pengalaman masa lalu paling
membuatnyan trauma adalah kekerasan seksual oleh pamannya sendiri, ia merasa malu
karena sampai sekarang dia merasa dirinya sudah kotor akibat kejadian waktu itu.

A. PENGKAJIAN
1. Sindrom Respon Pemerkosaan
a. Respon Emosi: Gawat Darurat
● Respon Ekspresif: Melamun dan wajah murung
● Respon Terkontrol: Perasaan tidak terbuka ditandai dengan mengurung diri
dan sering menyendiri
b. Respon Beberapa Minggu Setelah Perkosaan
Tidak ada
c. Respon / Dampak Jangka Panjang
● Trauma berkepanjangan
● Malu dan merasa dirinya kotor

2. Identitas
Pasien seorang perempuan berusia 15 tahun

3. Psikososial
a. Citra tubuh: -

11
b. Identitas: Seorang perempuan berusia 15 tahun
c. Peran: Sebagai seorang anak dan pelajar
d. Ideal diri: Keluarga mengatakan dulu klien adalah anak yang ceria, mudah
bergaul, banyak teman, banyak bermain sampai larut malam
e. Harga diri: Klien mengatakan malu, merasa dirinya sudah kotor, klien tidak
mau keluar rumah dan mengobrol dengan temannya, mengurung diri dan sering
menyendiri dan menolak berhubungan dengan orang lain

4. Faktor Predisposisi
a. Biologis: -
b. Psikologis: 6 bulan yang lalu anak mengalami pemerkosaan
c. Sosiokultural: Seorang perempuan berusia 15 tahun

5. Faktor Presipitasi
Klien mengalami kekerasan sexual lagi dari tetanggannya

6. Penilaian Stressor
a. Kognitif: Klien merasa malu karena sampai sekarang dia merasa dirinya sudah
kotor
b. Afektif: Wajah Murung
c. Sosial budaya: Klien tidak mau keluar rumah dan ngobrol dengan
teman-temannya, mengurung diri dan sering menyendiri, menolak
berhubungan dengan orang lain.
d. Peilaku: Mengurung diri di kamar, klien banyak melamun, sedikit bicara,
sering menyendiri dan mengurung diri
e. Fisiologis: Tidak ada

7. Sumber Koping
Sumber koping yang terlihat adalah dukungan sosial berupa bantuan instrumental
dimana keluarga mengantarkan klien ke poli jiwa RSU

8. Mekanisme Koping
Maladaptif yaitu klien murung dan lebih banyak diam dan merasa dirinya sudah
kotor akibat kejadian korban pemerkosaan

12
B. DATA FOKUS
DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF
a. Keluarga mengatakan anaknya a. Klien tampak banyak melamun,
mengalami pemerkosaan 6 bulan yang sedikit bicara, wajah murung
lalu b. Klien tampak mengurung diri dan
b. Keluarga mengatakan dulu klien sering menyendiri
adalah anak yang ceria, mudah
bergaul, banyak teman, banyak
bermain sampai larut malam.
c. Keluarga semakin khawatir karena
perilaku klien tidak menunjukkan
perubahan
d. Klien mengatakan pengalaman masa
lalu paling membuatnyan trauma
adalah kekerasan seksual oleh
pamannya sendiri
e. Keluarga mengatakan klien menolak
berhubungan dengan orang lain
karena mngalami keekrasan sexual
lagi dari tetangganya.
f. Keluarga mengatakan klien tidak mau
keluar rumah dan ngobrol dengan
teman-temannya.
g. Klien mengatakan merasa malu
karena sampai sekarang dia merasa
dirinya sudah kotor akibat kejadian
waktu itu.
h. Keluarga mengatakan klien menolak
berhubungan dengan orang lain
karena mengalami keekrasan sexual
lagi dari tetangganya.

13
C. ANALISIS DATA
NO. DATA MASALAH ETIOLOGI

1. DS: Sindrom pasca Korban


trauma Kekerasan
a. Keluarga mengatakan anaknya
(D.0104,Hal.226) Seksual
mengalami pemerkosaan 6 bulan yang
lalu
b. Keluarga mengatakan dulu klien
adalah anak yang ceria, mudah
bergaul, banyak teman, banyak
bermain sampai larut malam.
c. Keluarga semakin khawatir karena
perilaku klien tidak menunjukkan
perubahan
d. Klien mengatakan pengalaman masa
lalu paling membuatnyan trauma
adalah kekerasan seksual oleh
pamannya sendiri
e. Keluarga mengatakan klien menolak
berhubungan dengan orang lain karena
mngalami keekrasan sexual lagi dari
tetangganya.
f. Keluarga mengatakan klien tidak mau
keluar rumah dan ngobrol dengan
teman-temannya

DO:

a. Klien tampak banyak melamun,


sedikit bicara, wajah murung
b. Klien tampak mengurung diri dan
sering menyendiri

2. DS: Koping tidak Ketidakpercay

a. Klien mengatakan merasa malu karena aan terhadap

14
sampai sekarang dia merasa dirinya efektif kemampuan
sudah kotor akibat kejadian waktu itu. diri mengatasi
(D.0096, Hal. 210)
b. Keluarga mengatakan klien menolak masalah
berhubungan dengan orang lain karena
mngalami keekrasan sexual lagi dari
tetangganya.
c. Keluarga mengatakan klien tidak mau
keluar rumah dan ngobrol dengan
teman-temannya

DO:

a. Klien tampak banyak melamun,


sedikit bicara, wajah murung
b. Klien tampak mengurung diri dan
sering menyendiri

3. DS: Isolasi Sosial Perubahan

a. Keluarga mengatakan klien menolak Status mental


(D.0121,Hal.268)
berhubungan dengan orang lain karena
mengalami kekerasan sexual lagi dari
tetangganya.
b. Keluarga mengatakan klien tidak mau
keluar rumah dan ngobrol dengan
teman-temannya

DO:

a. klien tampak banyak melamun, sedikit


bicara, wajah murung
b. Klien tampak mengurung diri dan
sering menyendiri

D. POHON MASALAH

15
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Sindrom pasca trauma b.d Korban kekerasan seksual (D.0104,Hal.226)
2. Koping tidak efektif b.d Ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri mengatasi
masalah (D.0096, Hal. 210)
3. Isolasi Sosial b.d perubahan status mental (D.0121,Hal. 268)
F. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi

Sindrom TUM: Setelah dilakukan tindakan 1. Peningkatan Komunikasi:


Trauma Pasien mampu keperawatan 1x24 jam diharapkan Kurang Bicara
Perkosaan untuk menghadapi masalah keperawatan Sindrom ● Monitor kecepatan bicara,
masalah sindrom pasca trauma dapat teratasi dengan tekanan, kecepatan,
trauma perkosaan. kriteria hasil: kuantitas, volume, dan diksi
● Monitor proses kognitif,
1. Sindrom trauma perkosaan
TUK: anatomis dan fisiologi
● Klien dapat mengguna-kan
Pasien memiliki terkait dengan kemampuan
bahasa lisan: vocal
kemampuan untuk bicara (misalnya memori,
● Klien dapat berbicara
menghadapi pendengaran, dan bahasa)
dengan jelas
masalah sindrom ● Sediakan metode alternatif
trauma perkosaan. untuk berkomunikasi dengan
2. Komunikasi: Penerimaan
berbicara
● Klien dapat
menginterpretasi bahasa
2. Mendengar Aktif
lisan
● Dengarkan isi pesan maupun

16
● Klien dapat mengenali perasan yang tidak
pesan diterima terungkap
● Berespon segera sehingga
menunjukan pemahaman
terhadap pesan yang
diterima
● Klarifikasi pemahaman
mengenai pesan yang
diterima dengan umpan
balik

Ketidakefek TUM: Setelah dilakukan tindakan


1. Peningkatan Koping.
tifan keperawatan 1x24 jam diharapkan
Pasien mampu ● Dukung hubungan pasien
Koping masalah keperawatan Koping
untuk menghadapi dengan orang yang
tidak efektif dapat teratasi dengan
masalah memiliki ketertarikan dan
kriteria hasil:
Ketidakefektifan tujuan yang sama.
Koping. ● Berikan suasana
1. Koping
penerimaan.
● Menyatakan penerimaan
● Dukung sikap pasien
TUK:
terhadap situasi di
terkait dengan harapan
Pasien memiliki pertahankan pada skala
realistis sebagai upaya
kemampuan untuk tidak pernah
untuk mengatasi perasan
menghadapi menunjukkan
ketidakberdayaan.
masalah ditingkatkan ke skala
● Dukung kesabaran dalam
Ketidakefektifan kadang-kadang
mengembangkan suatu
Koping. menunjukkan.
hubungan.
● Menggunakan dukungan
sistem personal
dipertahankan pada skala
jarang menunjukan
ditingkatkan ke skala
sering menunjuk-kan.

17
Risiko TUM: Setelah dilakukan tindakan
1. Terapi Aktivitas.
Isolasi Pasien mampu keperawatan 1x24 jam diharapkan
- Pertimbangkan kemampuan
Sosial untuk menghadapi masalah keperawatan Isolasi
klien dalam berpartisipasi
Risiko Isolasi Sosial dapat teratasi dengan
melalui aktivitas spesifik.
Sosial. kriteria hasil:
- Instruksikan pasien dan
keluarga untuk
TUK: 1. Keparahan Kesepian. Rasa
melaksanakan aktivitas yang
Pasien memiliki keputusasaan dipertahankan
diinginkan.
koping dukungan pada skala cukup berat
- Dorong keterlibatan dalam
Risiko Isolasi ditingkatkan ke skala sedang.
aktivitas kelompok maupun
Sosial.
- Rasa kehilangan harapan terapi.
dipertahankan pada skala cukup
berat ditingkatkan ke skala
sedang.

18
BAB IV
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakanganini semakin
banyak muncul dipermukaan. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan
hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual.
Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang
mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuhdengan cara
yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak
untuk kesenangan seksual orang dewasa. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat
mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku
lain.
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasi-memuaskan rasaingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya,
baik dari perlakuanlangsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas
praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak
menjadi pelaku kekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban(Maria, 2008).
Efek psikologis pemerkosaan erhadap anak umumnya berjangkapanjang, antara lain:
kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman,kebingungan, ketakutan, kesedihan,
dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.
3.2 Saran
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak korban pemerkosaan harus
menilai kemungkinan yang terjadi dengan Evaluasi sejauh mana cedera yang diderita
selama serangan, Periksa respons emosi dan perilaku, Tentukan keinginan korban untuk
pemeriksaan fisik, genital, dan / atau panggul, Ketahui mekanisme koping pasien
sebelumnya, termasuk keyakinan budaya, agama, dan pribadi tentang penyerangan, Amati
respons anggota keluarga dan orang lain yang signifikan terhadap pasien, Dengarkan
bahasa yang digunakan pasien untuk menggambarkan dirinya dan perasaannya tentang
serangan itu.
Keluarga atau orang tua juga berperan penting dalam membantu anak korban
pemerkosaan. Mereka harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda
dengan anak yang normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun
kegiatan sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur kegiatan harian,

19
menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan aturan secara
konsisten dan berimbang

.
DAFTAR PUSTAKA

Butcher, K Howard., dkk. (Edisi ke 7). Nursing Interventions Classification (NIC).


Yogyakarta: Mocomedia, Elsevier.
Moorhead, Sue. (Edisi ke 6). Nursing Outcomes Classification (NOC). Yogyakarta:
Mocomedia, Elsevier.
Nanda. (2020). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Tim Dosen Keperawatan Jiwa.2020. Modul Pembelajaran Keperawatan Jiwa Asuhan
Keperawatan Pada Kelompok Rentan. Jakarta. UPN Veteran Jakarta.
Sari, Kausar Rafika. (2013). Dampak Psikologis Pada Remaja Korban Pemerkosaan di
Kabuputen Temanggung. Diakses dari http://lib.unnes.ac.id/18522/1/1550408053.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai