Disusun Oleh:
Dinda Ayu Solikhaningsih (1801100477)
Feri Irfan Barnabas (1801100482)
Hana Karunia Putri (1801100484)
Jepri Daus (1801100487)
Margaret Teresa (1801100492)
Ragilia Sekar Merah Saraswati (1801100495)
Ricky Kristian Pradana (1801100496)
Vicky Dwi Kristian (1801100502)
PENDAHULUAN
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa
anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa
anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-anak
yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim, 2006),
bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya melakukan
pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota yang menghamili ABG
(Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun melakukan pelecehan seksual
(Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual
yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh
orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu,
tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya,
pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara,
ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya. Sedangkan
sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenal dan semula
nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya mengantarkan korban
ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak psikologisnya.
Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada
orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang
lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam
pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami
gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang
dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan
suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik
dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui
batas ketahanan orang biasa (Kaplan et al ., 1998).
Gangguan stres pasca trauma sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya
kejadian ‘bencana’ yang telah menimpa kita, PTSD dapat menyerang siapapun yang telah
mengalami kejadian traumatik, tidak memandang usia dan jenis kelamin.
Dari latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang didapatkan adalah:
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah yang didapatkan, tujuan yang ingin dicapai yaitu:
TINJAUAN PUSTAKA
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Anonim, 2006). Pendapat lain
menyebutkan bahwa Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang
berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung dan
sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada
korban. Kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi,
“kekuasaan” jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang
lebih banyak, dan sebagainya.
Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapare yang berarti mencari, mamaksa,
merampas atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk
melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan
dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. (Wigjosubroto dalam
prasetyo, 1997)
Roan menyatakan trauma berarti cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock.
Sementara trauma psikis, dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak
akibat suatu peristiwa di lingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk
bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W., 2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disander (PTSD)) merupakan
suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik
dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui
batas ketahanan orang yang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Insitute of Mental
Health (NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah
seseorang mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.
Peristiwa yang menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang
menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang
seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang
(Hikmat, 2005).
1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan) yang akan menimbulkan
gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya paling
sedikit satu dari hal berikut :
Ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu ;
Mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu ;
Timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik itu
sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan
3. Pengumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar “psychic
numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma,
dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
Berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti ;
Perasaan terlepas atau terasing dari orag lain ;
Afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa)
4. Paling sedikit ada dua hal dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
Kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan ;
Gangguan tidur (disetai mimpi-mimpi yang menggelisahkan) ;
Perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
Hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
Penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatik ;
Peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menimbulkan atau
menyerupai peristiwa traumatik itu
1. Fase akut
A. Respon somatic
Peka rangsangan gastrointestinal (mual, muntah, anoreksia)
Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri)
B. Respon psikologis
Menyangkal
Syok emosional
Marah
Takut akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
Rasa bersalah
Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
C. Respons seksual
Tidak percaya pada laki-laki
Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
A. Respons psikologis
Fobia
Mimpi buruk atau gangguan tidur
Ansietas
Depresi
No Usia Akibat Yang Normal Reaksi ketika sedang Saat perlu ditangani oleh
Korba stress tenaga profesional
n
Hilang minat/konsentrasi
disekolah
2.7 Pengobatan
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversi.
Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepine, litium, camcolit dan zat pemblok beta
seperti propranolol, klonidin dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan
sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang
diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepine conntoh, estazolam 0,5 – 1 mg
per os, Oksanazepam 10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os, Klonazepam
0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1 – 2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan
dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi yang timbul
bersama gangguan stress pasca traumatik tersebut (Kaplan et al, 1997)
2. Psikoterapi
A. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk
membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
Relaxation Training yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan
secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama
Breathing retraining yaitu belajar nafas dengan perut secara perlahan-lahan,
santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan
sakit kepala
Positive thinking dan self-talk yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negative dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang
membuat stress (stressor)
Assertiveness training yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini
dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain
Thought stopping uaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005)
B. Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti
bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian
mengadopsi pikiran lebih realistic untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang (Anonim, 2005)
C. Exposure therapy
Pada ekposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistic dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan
dengan dua cara :
Exposure in the imagination terapis bertanya kepada penderita untuk
mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai
mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya
Exposure in reality terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang
aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat
(misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu
akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat situasi tersebut
disbanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi
lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
(Anonim, 2005)
Play therapy terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan
trauma. Terapis menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat
dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa
nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005)
Support group therapy seluruh peserta dalam support group therapy merupakan
korban perkosaan, yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban
bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling
menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian mereka saling
memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005)
D. Terapi bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagai
pengalaman, korban bisa memperingati beban pikiran dan kejiwaan yang
dipendamnya selama ini. Bertukar cerita dengan sesame penderita membuat mereka
mersa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu
seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan kecemasan
(Anonim, 2005)
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu
sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita
mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan
situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban psikologis
Tidak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respon tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
A. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan. Korban
pemerkosaan dapat beresiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal :
Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka
akan terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka
sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
B. Bunuh diri
Kondisi stress pasca trauma membuat korban pemerkosaan lebih beresiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa
tidak berharga.
C. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat
menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak
hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau
diceraikan (jika telah menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun
dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara
berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban beresiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa
seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus menerus, sering merasa cemas dan
panik, mengalami gangguan tidur dan sering mimpi buruk, sering menangis,
menyendiri, menghindari peretemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau
ditinggal sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru
menjadi pemarah.
2. Efek terhadap fisik korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan
luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan :
A. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat
virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak
atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya belum berbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan
sebaiknya memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit
menular seksual. Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani
dengan post exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh
terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
B. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban pemerkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
Peradangan pada vagina atau vaginitis
Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus
Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD) :
keenganan ekstrem untuk berhubungan seksual atau justru menghindari semua
atau hampir semua kontak seksual.
Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia
Vaginismus : kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkonsentrasi di luar kontrol.
Infeksi kantung kemih
Nyeri panggul kronis
C. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka
harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang
sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat
membuat bayi beresiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun
dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan
terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang
menjadi korban pemerkosaan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan,
mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk,
takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial,
pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan.
Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan
yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok)
ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di
area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus
sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks,
secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi sosial
a. Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik,
penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri.
b. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.
3.3Intervensi Keperawatan
1. TERAPI RELAKSASI
NO INTERVENSI 1.09326
DEFINISI: Menggunakan teknik perengangan untuk mengurangi tanda dan gejala
ketidaknyamanan seperti nyeri, ketegangan otot atau kecemasan
TINDAKAN
Observasi :
Jelaskan tujuan, manfaat , batasan dan jenis relaksasi yang tersedia (mis,
music, meditasi, nafas dalam, relaksasi otot progresif)
Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
Anjurkan mengambil posisi nyaman
Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis, nafas dalam, perengangan,
atau imajinasi terbimbing)
2. REDUKSI ANSIETAS
NO INTERVENSI I.09314
DEFINISI: Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman subyektif terhadap
objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman
TINDAKAN
Observasi
Observasi
Identifikasi budaya ,agama, ras, jenis kelamin, dam usia terhadap harga diri
Monitor verbalisasi yang merendahkan diri sendiri
Monitor tingkat harga diri setiap waktu, sesuai kebutuhan
Terapeutik
Motivasi terlibat dalam verbalisasi positif untuk diri sendiri
Motivasi menerima tantangan atau hal baru
Diskusikan pernyataan tentang harga diri
Diskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri
Diskusikan persepsi negative diri
Diskusikan alasan mengkritik diri atau rasa bersalah
Diskusikan penetapan tujian realistis untuk mencapai harga diri yang lebih
tinggi
Diskusikan bersama keluarga untuk menetapkan harapan dan batasan yang
jelas
Berikan umpan balik positif atas peningkatan mengcapai tujuan
Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang meningkatkan harga diri
Edukasi
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual baik itu secara fisik maupun
psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat mendalam
dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian traumatis
tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada seberapa
parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan
seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa
tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam
menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang
diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
4.2 Saran
Melihat bagaimana kekerasan seksual dapat meninggalkan dampak traumatis yang mendalam
dan kompleks, memberikan gambaran bahwa kekerasan seksual merupakan suatu bentuk
kejahatan kemanusiaan yang serius dan perlu dihapuskan. Namun nyatanya masyarakat di
Indonesia masih memiliki kecendrungan untuk menyalahkan dan menstigma korban
kekerasan seksual. Kita sebagai tenaga kesehatan penting untuk memberikan saran kepada
masyarakat bersama-sama bergerak aktif untuk menyuarakan pentingnya menghapus
kekerasn seksual dan memperjuangkan hak-hak korban, menghilangkan stigma bahwa
“korban adalah salah” dalam kamus kekerasan seksual dan menumpaskan keheningan yang
selama ini tidak disuarakan oleh korban kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati dan Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi 1. Jakarta : EGC.
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Untuk 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta : Salemba Medika.