Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh

berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta

terbebas dari stres yang serius (Kusumawati & Hartono, 2011). Seseorang

mengalami gangguan jiwa apabila ditemukan adanya gangguan pada fungsi

mental, yang meliputi: emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi, kemauan,

keinginan, daya tilik diri, dan persepsi sehingga mengganggu dalam proses hidup

di masyarakat. Hal ini dipicu oleh adanya keinginan seseorang untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia dalam mempertahankan hidup sehingga seseorang

dihadapkan untuk berpikir, berkeinginan untuk mencapai cita-cita yang

mengharuskan seseorang berhubungan dengan orang lain (Nasir & Muhith, 2011,

dalam Widyastini, 2014).

World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa gangguan

mental terdiri dari berbagai masalah, dengan gejala yang berbeda. Namun,

umumnya ditandai oleh beberapa kombinasi pikiran abnormal, emosi, perilaku

dan hubungan dengan orang lain. Contohnya adalah skizofrenia, depresi, cacat

intelektual dan kelainan akibat penyalahgunaan obat terlarang. Data terbaru

menunjukkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan mental kronis menyerang

lebih dari 21 juta penduduk di dunia dan lebih sering terjadi pada laki-laki yaitu

sekitar 12 juta orang, sementara pada perempuan adalah sekitar 9 juta orang.

Skizofrenia sangat terkait dengan kecacatan yang cukup besar dan dapat
2

mempengaruhi kinerja pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, masalah yang muncul

adalah adanya stigma, diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia bagi

penderita skizofrenia (WHO, 2016).

Angka kejadian skizofrenia di Indonesia saat ini juga sangat tinggi. Pada

hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (Riskesdas) diketahui bahwa jumlah

penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 1,7 per 1000 penduduk.

Prevalensi tertinggi terjadi di Yogyakarta dan Aceh masing-masing 2,7%,

sedangkan terendah di Kalimantan Barat yaitu sebesar 0,7%. Untuk Provinsi

Lampung jumlah penderita gangguan jiwa didapatkan sebesar 0,8% (BP & PK

Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan data RSJ Daerah Provinsi Lampung diketahui bahwa dalam 3

(tiga) tahun terakhir angka kejadian gangguan jiwa cukup tinggi, hal ini dilihat

dari frekuensi pasien rawat jalan yang mencapai mencapai 55.349 pasien,

demikian juga pada pasien rawat inap yaitu mencapai 2.405 pasien. Jumlah pasien

rawat jalan dengan berbagai masalah gangguan jiwa tahun 2013 ditemukan

sebanyak 15.674 pasien (28,3%), tahun 2014 mengalami peningkatan yaitu

sebanyak 16.371 pasien (29,6%) dan pada tahun 2015 kembali mengalami

peningkatan yang cukup signifikan yaitu terdapat sebanyak 23.304 pasien

(42,1%). Untuk pasien rawat inap tahun 2013 ditemukan sebanyak 740 pasien

(30,8%), tahun 2014 mengalami penurunan yaitu sebanyak 620 pasien (25,8%)

dan tahun 2015 kembali mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu

mencapai 1.045 pasien (43,5%) (RSJ Daerah Provinsi Lampung, 2016).

Skizofrenia sebagai penyakit neurologist yang mempengaruhi persepsi, cara

berpikir, bahasa, emosi dan perilaku sosial merupakan bentuk psikosa yang
3

banyak dijumpai namun faktor penyebabnya belum dapat diidentifikasi secara

jelas (Direja, 2011). Perilaku yang harus segera mendapatkan penanganan pada

pasien skizofrenia diantaranya perilaku kekerasan yang merupakan status rentang

emosi dan ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik.

Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian

pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin

menyampaikan pesan bahwa ia tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap,

merasa tidak diturut atau diremehkan. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan

situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh

seseorang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi

tersebut tidak berakhir dapat menyebabkan perasaan harga diri rendah sehingga

sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan

orang lain ini tidak diatasi akan timbul halusinasi yang menyuruh untuk

melakukan tindakan kekerasan dan ini berdampak terhadap risiko tinggi

menciderai diri, orang lain dan lingkungan (Yosep & Sutini, 2014).

Salah satu tindakan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan adalah

melalui terapi aktivitas kelompok sensori persepsi yang dilaksanakan dengan

melatih klien mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang

pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap

sesi sehingga stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif. Tujuan dari cara ini

adalah agar klien dapat mengenal perilaku kekerasan, mencegah perilaku

kekerasan dengan cara fisik, verbal, spiritual, dan patuh minum obat (Keliat, &

Pawirowiyono, 2015). Penelitian yang dilakukan Widyastini (2014) menunjukkan


4

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara TAK stimulasi persepsi sesi I-V

terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah.

Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik melakukan intervensi

keperawatan tentang “Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi

Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJ Daerah Provinsi Lampung tahun

2017”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah karya tulis ilmiah ini yaitu “Bagaimanakah kemampuan

pasien mengontrol perilaku kekerasan setelah dilakukan penerapan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi di RSJ Daerah Provinsi Lampung tahun 2017?”

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, karya tulis ilmiah ini adalah untuk meningkatkan

kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi di RSJ Daerah Provinsi Lampung tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam karya tulis ilmiah ini adalah untuk:

1. Mengetahui karakteristik klien risiko perilaku kekerasan di RSJ Daerah

Provinsi Lampung tahun 2017.

2. Mengidentifikasi kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebelum

dilakukan penerapan dengan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi di

RSJ Daerah Provinsi Lampung tahun 2017.


5

3. Mengevaluasi kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan setelah

dilakukan penerapan dengan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi di

RSJ Daerah Provinsi Lampung tahun 2017.

1.4 Manfaat

1.4.1 Teoritis

Karya tulis ilmiah ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam

mengembangkan intervensi keperawatan untuk membantu pasien mengontrol

perilaku kekerasan dengan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi serta dapat

menjadi data awal untuk mengembangkan penelitian yang berkaitan dengan klien

risiko perilaku kekerasan.

1.4.2 Praktis

Penerapan cara spiritual ini diharapkan mampu mencegah terjadinya

perilaku kekerasan. Selain itu, karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan

informasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat dalam upaya melakukan

penatalaksanaan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan dengan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi.


6

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Risiko Perilaku Kekerasan

2.1.1 Pengertian

Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi oleh

seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik

pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal,

bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikilogis (Yosep, 2011).

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresif (aggressive

behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan

atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Ada

perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan

agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan,

kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah yang dapat

membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau

menghukum yang berupa tindakan menyerang, merusak hingga membunuh.

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan

untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Muhith, 2015).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

lain maupun lingkungan (Fitria, 2014).

6
7

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri

maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol

(Kusumawati dan Hartono, 2011).

2.1.2 Tahapan Risiko Perilaku Kekerasan

Tahapan perilaku agresif atau resiko perilaku kekerasan menurut Fontaine

(2009 dalam Lelono, dkk, 2015) adalah sebagai berikut:

a. Tahap 1 : Tahap memicu

Perasaan : Kecemasan

Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak

Tindakan Perawat : Mengindentifikasi faktor pemicu, mengurangi

kecemasan, memecahkan masalah bila memungkinkan.

b. Tahap 2 : Tahap transisi

Perasaan : Marah

Perilaku : Agitasi meningkat

Tindakan Perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga

pembicaraan, menetapkan batas dan memberi

pengarahan, mengajak kompromi, mencari dampak

agitasi, meminta bantuan.

c. Tahap 3 : Krisis

Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi

Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang di

sekitar, berkata kotor, berteriak.


8

Tindakan Perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak

pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah

untuk menjaga komunikasi.

d. Tahap 4 : Perilaku merusak

Perasaan : Marah

Perilaku : Menyerang, merusak

Tindakan Perawat : Lindungi klien lain, menghindari, melakukan

pengekangan fisik

e. Tahap 5 : Tahap lanjut

Perasaan : Agresi

Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destruktif,

pengurangan tingkat gairah.

Tindakan Perawat : Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru masih

memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam

f. Tahap 6 : Tahap peralihan

Perasaan : Marah

Perilaku : Agitasi, mondar-mandir

Tindakan Perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama

2.1.3 Etiologi

Etiologi terjadinya perilaku kekerasan terbagi menjadi dua faktor yaitu

faktor pendukung (predisposisi) dan faktor pencetus (presipitasi) seperti

diungkapkan oleh Yosep (2011), yaitu:


9

1. Faktor Predisposisi

a. Teori biologik

1) Neurologic factor, beragam komponen dari sistem syaraf seperti synap,

neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran

memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang

akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam

menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.

2) Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orangtua,

menjadi potensi perilaku agresif. Dalam gen manusia terdapat dormant

(potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi

oleh factor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyo-type XXY,

pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta

orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif.

3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardiatn tubuh), memegang peranan pada

individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia

mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti

menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar

jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi

untuk bersikap agresif.

4) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter di

otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin)

sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem

persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang


10

dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui

impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut

efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepinephrin serta

penurunan serotonin dan GABA (Gama Amino Butirat) pada cairan

cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya

perilaku agresif.

5) Brain Area disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,

sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis,

epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan

tidak kekerasan.

b. Teori Psikologis

a) Teori psikoanalisa

Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh

kembang seseorang (life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa

adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak

tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang

cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan

setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada

lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat

mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri

yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan

pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan

rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.


11

b) Imitation, modeling, and information processing theory

Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam

lingkungan yang menolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan

perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan

individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa

anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka

dengan reward positif (makin keras pukulannya akan diberi coklat),

anak lain menonton tayangan cara mengasihi dan mencium boneka

tersebut dengan reward positif pula (makin baik membelainya

mendapat hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka

ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang

pernah dialaminya.

c) Learning theory

Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap

lingkungan terdekat. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat

menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat

marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar

menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya

eksis dan patut untuk diperhitungkan.

c. Teori sosiokultural

Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rabutan uang receh,

sesaji dan kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung

mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap


12

agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol masyarakat yang rendah dan

kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian

masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya

perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi,

film-film kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan dalam tayangan

televisi.

d. Aspek religiusitas

Dalam tujuan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan

dorongan dan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar

manusia menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan

syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak dan organ vital manusia

lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan

dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal

(ego) dan norma agama (super ego).

2. Faktor Pencetus (Presipitasi)

Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali

berkaitan dengan :

a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solodaritas

separti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,

perkelahian massal dan sebagainya.

b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial

ekonomi.
13

c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak

membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cendarung melakukan

kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan

menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.

e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan

alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat

menghadapi rasa frustasi.

f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,

perubahan tahap perkembangan, atau perubahan perkembangan keluarga.

Kusumawati dan Hartono (2011) menjelaskan bahwa secara umum

seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam baik berupa injury secara

fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku

kekerasan adalah sebagai berikut:

1. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang

penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.

2. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,

merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun

eksternal dari lingkungan.

3. Lingkungan: panas, padat, dan bising.

2.1.4 Tanda dan Gejala

Beberapa tanda dan gejala yang muncul pada seseorang dengan resiko

perilaku kekerasan, seperti halnya dijelaskan oleh Fitria (2014), yaitu:


14

1. Fisik: mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,

wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

2. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan

nada keras, kasar dan ketus.

3. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak

lingkungan, amuk/agresif.

4. Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,

jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan, dan menuntut.

5. Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak

jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

6. Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak

bermoral, dan kreativitas terhambat.

7. Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindirian.

8. Perhatian: bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual

2.1.5 Rentang Respon

Rentang respon neurobiologis bagi pasien yang mengalami perilaku

kekerasan sebagaimana dijelaskan oleh Fitria (2014) adalah sebagai berikut:

Skema 2.1. Rentang Respon Neurobiologis

RENTANG RESPON MARAH


Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


15

Keterangan:

a. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa

menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.

b. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan

tidak dapat menemukan alternatif.

c. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

d. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk

menuntut tetapi masih terkontrol.

e. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta

hilangnya kontrol.

2.1.6 Mekanisme Koping

Muhith (2015) menjelaskan bahwa mekanisme koping adalah tiap upaya

yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah

langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

Beberapa mekanisme koping yang dipakai klien marah untuk melindungi diri

antara lain:

1. Sublimasi

Menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu

dorongan, penyalurannya ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah

melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan,

meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi

ketegangan akibat rasa marah.


16

2. Proyeksi

Menyalahkan orang lain mengenai kesukaannya atau keinginnya yang

tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia

mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekejarnya, berbalik menuduh

bahwa temannya tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.

3. Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke

alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orangtuanya

yang disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya

sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk

oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat

melupakannya.

4. Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan

melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya

sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya,

akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.

5. Displacement

Merupakan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada obyek yang

tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi

itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah karena ia baru saja

mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar dinding kamarnya, mulai

bermain perang-perangan dengan temannya.


17

2.1.7 Sumber Koping

Menurut Lelono, dkk (2015) psikosis atau skizofrenia adalah penyakit

menakutkan dan sangat menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik bagi

klien dan keluarga. Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari empat fase:

1. Disonansi kognitif (psikosis aktif)

2. Pencapaian wawasan

3. Stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan kognitif)

4. Bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan (ordinariness).

Proses multiphase penyesuaian dapat berlangsung 3 sampai 6 tahun.

1. Efikasi/kemanjuan pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala dan

menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan waktu 6

sampai 12 bulan.

2. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan

realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan waktu 6

sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan

yang berkelanjutan.

3. Setelah mencapai pengenalan diri/insight, proses pencapaian kognitif meliputi

keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam

kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja.

Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.

4. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan

kemampuan untuk secara konsisten dan dengan usia lengkap dari kehidupan

sehari-hari mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal


18

2 tahun, sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap

penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi dan kemampuan untuk

menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya

penyesuaian post psychotic.

2.2 Terapi Aktivitas Kelompok

2.2.1 Pengertian

Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi

psikoterapis terhadap sejumlah pasien pada waktu yang sama untuk memantau

dan meningkatkan hubungan antar anggota. Terapi aktivitas kelompok merupakan

salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien

yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai

terapi dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Prabowo, 2014).

Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam

rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu.

Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri (self-awereness), peningkatan

hubungan interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya (Keliat & Akemat,

2013).

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan

yang lain saling bergantung dan memiliki norma yang sama (Keliat &

Pawirowiyono, 2015).

Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok

pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau

diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih.
19

Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk

memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2011).

2.2.2 Tujuan Terapi Kelompok

Yosep, (2012) mengungkapkan bahwa terapi kelompok mempunyai tujuan

theraupetic dan rehabilitasi.

1. Tujuan umum

a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing).

b. Membentuk sosialisasi

c. Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang

hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive

(bertahan terhadap stress) dan adaptasi.

d. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti

kognitif dan afektif.

2. Tujuan khusus

a. Melatih pemahaman identitas diri

b. Penyaluran emosi

c. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari

d. Bersifat rehabilitatif: pasien-pasien rehabilitatif adalah mereka yang telah

sembuh secara medis, tetapi perlu disiapkan fungsi dan kemampuan untuk

persiapan mandiri dan sosial di tengah masyarakat. Dari segi rehabilitasi

terapi kelompok bertujuan meningkatkan kemampuan ekspresi diri,

keterampilan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan


20

meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah kehidupan dan

pemecahan masalah.

Keliat & Akemat (2013) menjelaskan bahwa tujuan kelompok adalah

membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku

yang destruktif dan maladaptive. Kekuatan kelompok ada pada kontribusi dari

setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya. Kelompok berfungsi

sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk

menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan laboratorium

tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta

mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa memiliki,

diakui dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain.

2.2.3 Sasaran Terapi Kelompok

Terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan

reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak

itu. Apabila keanggotaan lebih dari 10, maka komunikasi sulit untuk difokuskan,

sedangkan jika anggota kurang dari 4, maka akanterlalu banyak tekanan yang

dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekpos, lebih cemas, dan

seringkali bertingkah laku irasional (Yosep, 2011).

Pada umumnya yang menjadi sasaran dari terapi kelompok adalah yang

memiliki masalah yang sama. Dalam psikoterapi yang intensif kelompok yang

heterogen lebih menguntungkan dimana anggotanya terdiri dari berbagai macam

kelompok umur, jenis kelamin dan kepribadian. Sedangkan kelompok psikoterapi

yang lain adalah kelompok homogen yang anggotanya mempunyai kebiasaan


21

yang sama, ada kecenderungan setiap anggota mendiskusikan masalah yang sama

atau mendukung anggota lainnya. Keanggotaan sebuah terapi kelompok

mempunyai beberapa persyaratan, yaitu sudah ada diagnosa atau satu hasil

observasi yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah, agresif, incoherent dan waham

yang tidak terlalu berat sehingga dapat kooperatif dan tidak mengganggu

berlangsungnya terapi kelompok (Yosep, 2011).

2.2.4 Tahap Perkembangan Kelompok Berdasarkan Perasaan Peserta

Judith (dalam Yosep, 2011) mengungkapkan bahwa perkembangan

kelompok dibagi menjadi 4 tahap:

1. Tahap ketidakpastian; pada fase ini terdapat banyak keluhan yang dirasakan

oleh anggota kelompok diantaranya keraguan-raguan, perasaan tidak cocok di

antara anggota, rasa permusuhan terhadap pemimpim. Paca fase ini anggota

sering merasa bahwa setiap komentar atau inteprestasi pemimpim adalah

kritikan terhadap meraka, sehingga pemimpin harus sering mengingatkan pada

kelompok bahwa yang dikatakannya hanyalah merupakan suatun komertar

bukan suatu kritikan.

2. Tahap Overagresif; pada fase ini perselisihan sering diabaikan oleh kelompok

dan pemimpin. Rasa tertarik mulai muncul pada anggota kelompok yang

sekaligus merupakan membawa rasa takut kepada mereka. Rasa tertarik ini

mungkin merupakan awal terbentuknya suatu hubungan intim, dan hal ini

merupakan suatu yang dibenci oelh sebagian besar klien dengan terapi

kelompok.
22

3. Tahap Regresi; Regresi tidak muncul dari suatu keinginan untuk

memanipulasi orang lain secara spontan. Pertama anggota merasa cemas dan

ada keinginan untuk meninggalkan anggota yang regres. Sehingga saat ini

penting bagi pemimpin untuk bertindak dan menanyakan pada anggota yang

mengalami regres tentang apa yang dialaminya sehingga memudahkan

pemimpin untuk mengarahkan perilakunya kepada kenyataan.

4. Tahap adaptasi; pada tahap ini anggota kelompok mulai menerima anggota

lain terhadap kelemahan dan kecacatan, sementara tingkah laku kepada yang

lainnya dapat diterima. Hal ini tidak berarti anggota-aggota dalam fase ini

tidak merespon kepada yang lain secara irasional, jika hal ini terjadi,

keefektifan terapi kelompok akan menurun secara drastic, dengan demikian

pemimpin harus mengontrol kelompok tersebut secra terus menerus sehingga

konflik akan terhindar.

2.2.5 Tahapan Dalam Terapi Aktivitas Kelompok

Stuart & Sundeen (dalam Direja, 2011) mengungkapkan bahwa fase-fase

dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai berikut:

1. Pre kelompok

Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi

leader, anggota, tempat dan waktu kegiatan kelompok akan dilaksanakan serta

membuat prosposal lengkap dengan media yang akan digunakan berserta dana

yang dibutuhkan.
23

2. Fase awal

Pada fase ini terhadap 3 tahapan yang terjadi, yaitu: orientasi, konflik

atau kebersamaan.

a. Orientasi:

Anggota mulai mencoba mengembangkan system sosial masing-masing,

leader mulai menunjukkan rencana terapi dan mengambil kontrak dengan

anggota.

b. Konflik:

Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai memikirkan

siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagiamana peran anggota, tugasnya,

dan saling ketergantungan yang akan terjadi.

c. Kebersamaan:

Anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi masalah, anggota mulai

menemukan siapa dirinya.

3. Fase kerja

Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim;

a. Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin dan anggotanya

b. Perasaan positif dan negative dapat dikoreksi dengan hubungan saling

percaya yang telah terbina

c. Semua anggota bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati

d. Tanggung jawab merata, kecemasan menurun, kelompok lebih stabil dan

realitis
24

e. Kelompok mulai mengeksplorasi lebih jauh sesuai dengan tujuan dan

tugas kelompok dalam menyelesaikan tugasnya

f. Fase ini ditandai dengan penyelesaian masalah yang kreatif.

Petunjuk untuk leader pada fase ini:

a. Intervensi leader didasari pada kerangka kerja teoritis, pengalaman,

personality dan kebutuhan kelompok serta anggotanya.

b. Membantu perkembangan keutuhan kelompok dan mempertahankan

batasannya, mendorong kelompok bekerja pada tugasnya.

c. Intervensi langsung ditujukan untuk menolong kelompok mengatasi

masalah khusus.

4. Fase terminasi

Ada 2 jenis terminasi yaitu terminasi akhir dan terminasi sementara.

Anggota kelompok mungkin mengalami terminasi premature, tidak sukses

atau sukses. Terminasi dapat menyebabkan kecemasan, regresi dan kecewa.

Untuk menghindari hal ini, terapis perlu mengevaluasi kegiatan dan

menunjukkan sikap betapa bermaknanya kegiatan tersebut, menganjurkan

anggota untuk member umpan balik pada tiap anggota. Terminasi tidak boleh

disangkal, tetapi harus tuntas didiskusikan. Akhir terapi aktivitas kelompok

harus dievaluasi bisa melalui pre test dan post test.

2.2.6 Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok

Direja (2011) mengungkapkan bahwa peran perawat jiwa profesional dalam

pelaksanaan terapi aktivitas kelompok pada penderita skizofrenia adalah:


25

1. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok

Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih

dahulu membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam

pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun

meliputi: deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan

landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi

ruangan serta uraian tugas terapis.

2. Tugas sebagai leader dan co-leader

Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi

yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari

dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan

tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya

terapi aktivitas kelompok.

3. Tugas sebagai fasilitator

Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai

anggota kelompok dengan tujuan member stimulus pada anggota kelompok

lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.

4. Tugas sebagai observer

Tugas seorang observer meliputi: mencatat serta mengamati respon

penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani

perserta/anggota kelompok yang drop out.


26

5. Tugas dalam mengatasi permasalah yang timbul dalam pelaksanaan terapi

Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub

kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan

adanya anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut

tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang

mendasari terapi aktivitas tersebut.

6. Program antisipasi masalah

Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi

keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat

mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.

2.2.7 TAK Stimulasi Persepsi: Risiko Perilaku Kekerasan

TAK Stimulasi Persepsi dilaksanakan dengan melatih klien

mempersepsikan stimulasi yang disediakan atau stimulasi yang pernah dialami.

Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan

proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan

menjadi adaptif (Keliat & Pawirowiyono, 2015).

Terapi aktivitas kelompok stimulus kognitif/persepsi adalah terapi yang

bertujuan untuk membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi,

menstimulasi persepsi dalam upaya memotivasi proses berpikir dan afektif serta

mengurangi perilaku maladaftif. Tujuan dari jenis terapi ini adalah 1)

meningkatkan kemampuan orientasi realita; 2) meningkatkan kemampuan

memuaskan perhatian; 3) meningkatkan kemampuan intelektual; 4)


27

mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain; 5) mengemukakan

perasaannya (Direja, 2011).

Keliat dan Pawirowiyono (2015) mengungkapkan bahwa terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi: risiko perilaku kekerasan terdiri dari 5 sesi, yaitu

sebagai berikut:

1. Sesi 1: Mengenal Kekerasan yang Biasa Dilakukan

a. Tujuan

1) Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab kemarahan nya.

2) Klien dapat menyebutkan respons yang dirasakan saat marah (tanda

dan gejala marah).

3) Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah (perilaku

kekerasan)

4) Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan

b. Setting

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.

2) Ruangan nyaman dan tenang

c. Alat

1) Papan tulis/flipchart/whiteboard

2) Kapur/spidol

3) Buku catatan dan pulpen

4) Jadwal kegiatan

d. Metode

1) Dinamika kelompok
28

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Bermain peran/stimulasi

e. Langkah Kegiatan

1) Persiapan

a) Memilih klien yang memiliki perilaku kekerasan yang sudah

koopratif.

b) Membuat kontrak dengan klien.

c) Mempersiapakan alat dan tempat pertemuan.

2) Orientasi

a) Salam teraupetik

(1) Salam dari terapetis kepada klien.

(2) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama).

(3) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan

nama).

b) Evaluasi / validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

(2) Menanyakan masalah yang di rasakan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal perilaku

kekerasan yang biasa dilakukan.

(2) Menjelaskan aturan main berikut.

(a) Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus

minta izin kepada terapis.


29

(b) Lama kegiatan 45 menit.

(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3) Tahap kerja

a) Mendiskusikan penyebab marah

(1) Tanyakan pengalaman tiap klien.

(2) Tulis dipapan tulis/flipchart/whiteboard.

b) Mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar

oleh penyebab marah sebelum perilaku kekerasan terjadi.

(1) Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab

(tanda dan gejala).

(2) Tulis dipapan tulis/flipchart/whiteboard.

c) Mendiskusikan perilaku kekerasan yang pernah dilakukan saat

klien (verbal, merusak lingkungan, mencinderai/memukul orang

lain, dan memukul diri sendiri).

(1) Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah

(2) Tulis di papan tulis/flipchart/whitboard.

d) Membantu klien memilih salah satu perilaku kekerasan yang paling

sering di lakukan untuk diperagakan.

e) Melalukan bermain peran/stimulasi untuk perilaku kekerasan yang

tidak berbahaya (terapis sebgai sumber penyebab dan klien yang

melakukan perilaku kekerasan).

f) Menanyakan perasaan klien setelah selesai bermain peran/stimulasi

g) Mendiskusikan dampak/akibat perilaku kekerasan.


30

(1) Tanyakan akibat perilaku kekerasan.

(2) Tuliskan di papan tulis/flipchart/whitboard

Terapis dapat membuat tabel di whiteboard atau flipchart sehingga

masing-masing cerita klien dapat tergambar dan klien dapat

menganalisa runtutan peristiwa dari penyebab, tanda dan gejala,

PK yang dilakukan dan akibat PK,serta menilai dampak PK serta

komitmen perubahan perilaku yang akan diterapkan berikutnya.

Contoh tabel:

Nama Penyebab Tanda dan PK yang Akibat Komitmen


Klien Marah Gejala Dilakukan PK Perubahan
Marah Perilaku
Bapak Tidak Tegang Beteriak- Istri Meminta
Andre Dibuatkan Berdebar teriak, me- Ketaku dengan baik-
kopi Napas ngumpat tan baik Atau
istrinya Cepat istri Istri Buat kopi
Gemetar jengkel sendiri jika
istri sibuk

h) Memberikan reinfercement pada peran serta klien

i) Dalam menjalankan A-H, upayakan semua klien terlibat.

j) Beri kesimpulan penyebab; tanda dan gejala; prilaku kekerasan;

dan akibat prilaku kekerasan.

k) Menanyakan kesediaan klien untuk mempelajari cara baru yang

sehat untuk menghadapi kemarahan.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

(2) Memberikan reinforcement positif terhadap prilaku klien yang

positif
31

5) Tindak lanjut

a) menganjurkan klien menilai dan mengevaluasi jika terjadi

penyebab marah yaitu tanda dan gejala; prilaku kekerasan yang

terjadi; serta akibat prilaku kekerasan

b) Menganjurkan klien mengingat penyebab; tanda dan gejala;

perilaku kekerasan dan akibatnya yang belum diceritakan.

6) Kontrak yang akan datang

a) Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah perilaku

kekerasan.

b) Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.

f. Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang di evaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan

tujuan TAK. Untuk Tak stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 1,

Kemampuan yang di harapkan adalah mengetahui penyebab prilaku,

mengenal tanda dan gejala, prilaku kekerasan yang di lakukan dan akibat

prilaku kekerasan. Formulir evaluasi sebagai berikut.

Tabel 2.1 Sesi 1: TAK Stimulasi persepsi : Kemampuan mengenal


perilaku kekerasan

Memberikan tanggapan tentang


No Nama klien Penyebab PK Tanda & gejala Perilaku
Akibat Pk
PK kekerasan

Petunjuk :
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan mengetahui
penyebab perilaku kekerasan, perilaku kekerasan yang di lakukan dan
akibat perilaku kekerasan. Beri tanda ( ) jika klien mampu dan beri
tanda (-) jika klien tidak mampu.
32

2. Sesi 2 : mencegah perilaku kekerasan secara fisik

a. Tujuan

1) Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang biasa di lakukan klien.

2) Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang dapat mencegah perilaku

kekerasan.

3) Klien dapat mendemonstrasikan dua kegiatan fisik yang dapat

mencegah perilaku kekerasan.

b. Setting

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.

2) Ruangan nyaman dan tenang.

c. Alat

1) Kasur/kantung tinju/gendang

2) Papan tulis/flipchart/whaitboard

3) Buku catatan dan pulpen

4) Jadwal kegiatan

d. Metode

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Bermain peran/simulasi

e. Langkah kegiatan

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikuti sesi .

b) Mempersiapkan alat dan pertemuan.


33

2) Orientasi

a) Salam teraupetik

(1) Salam dari terapis kepada klien.

(2) Klien dan terapis memakai papan nama.

b) Evaluasi/ validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

(2) Menanyakan apakah ada kejadian perilaku kekerasan:

penyebab; tanda dan gejala; perilaku kekerasan serta akibatnya.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu cara fisik untuk mencegah

prilaku kekerasan.

(2) Menjelaskan aturan main.

Jika ada klien yang mau meninggalkan kelompok harus

meminta izin pada terapis. Lama kegiatan 45 menit. Setiap

klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3) Tahap kerja

a) Mendiskusikan kegiatan fisik yang biasa yang di lakukan oleh

klien.

(1) Tanyakan kegiatan; rumah tangga, harian dan olahraga yang

biasa di lakukan klien

(2) Tulis di papan tulis/ flipchart/whiteboard

b) Menjelaskan kegiatan fisik yang dapat di gunakan untuk

menyalurkan kemarahan secara sehat: nafas dalam,


34

menejemur/memukul kasur/bantal, menyikat kamar mandi, main

bola, senam, memukul bantal pasir tinggi, dan memukul gendang.

Meredakan marah dengan nafas dalam :


Jika merasakan tanda-tanda marah lakukan :
1. Duduk tegak boleh juga berbaring.
2. Tarik nafas melalui hidung tahan sambil menghitung dalam hati 1,2,3.
3. Hembuskan nafas melalui mulut sambil dalam hati menghitng mundur dari
angka 10 -0.
4. Ulangi 1-3 sebanyak 5 kali.

Meredakan marah dengan pukul bantal/kasur /bantal/karung pasir/gendang:


Saat ada tanda-tanda marah yang di rasakan pukul bantal/ kasur/ karung pasir/
gendang berulang-ulang hingga marah mereda.

c) Membantu klien dalam memilih kegiatan yang dapat di lakukan.

d) Bersama klien mempraktekan dua kegiatan yang di pilih.

(1) Terapis mempraktekan ( mendemonstrasikan).

(2) Klien mendemonstrasikan ulang.

e) Menanyakan perasaan klien setelah mempraktekan cara penyaluran

kemerahan.

f) Memberikan pujian peran serta klien.

g) Upayakan semua klien berperan aktif.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan setelah mengikuti TAK

(2) Menanyakan ulang cara baru yang sehat untuk mencegah

perilaku kekerasan.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan cara yang telah di pelajari

jika menghadapi (lagi) stimulus penyebab perilaku kekerasan.

(2) Menganjurkan klien melatih secara teratur cara yang telah di

pelajari.
35

(3) Memasukan pada jadwal kegiatan harian klien.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu interaksi

sosial yang asertif.

(2) Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.

f. Evaluasi

Evaluasi di lakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang di evaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan

tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi prilaku kekerasan sesi 2,

kemampuan yang di harapkan adalah 2 kemampuan mencegah perilaku

kekerasan secara fisisk. Formulir evaluasi sebagai berikut.

Tabel 2.2 Sesi 2: stimulasi persepsi : Kemampuan mencegah perilaku


kekerasan secara fisik
Mempraktekan cara fisik yang Mempraktekkan cara fisik yang
No Nama klien
pertama ke dua
1
2
Petunjuk:
Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
Untuk tiap klien, beri penilaian tentang mempraktekan dua cara untuk
mencegah perilaku kekerasan. Beri tanda ( ) jika klien mampu dan (-)
jika klien tidak mampu.

3. Sesi 3: mencegah perilaku kekerasan dengan cara interaksi sosial asertif (cara

verbal)

a. Tujuan

1) Klien dapat mengungkapkan keinginan dan permintaan tanpa

memaksa

2) Klien dapat mengungkapkan penolakan dan rasa sakit hati tanpa

kemarahan.

b. Setting
36

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.

2) Ruangan nyaman dan tenang

c. Alat

1) Papan tulis/flipchrt/whiteboard dan alat tulis

2) Buku catatan dan pulpen

3) Jadwal kegiatan klien.

d. Metode

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Beramain peran/simulasi

e. Langkah kegiatan

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti sesi 2

b) Menyipakan alat dan tempat pertemuan.

2) Orientasi

a) Salam teraupetik

(1) Salam dari terapis pada klien.

(2) Klien dan terapis menggunakan papan nama

b) Evaluasi/ validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

(2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala

marah, serta perilaku kekerasan yang di lakukan klien sebelum

TAK saat ini.


37

(3) Tanyakan apakah kegiatan fisik untuk mencegah perilaku

kekerasan sudah di lakukan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu cara verbal.

(2) Menjelaskan aturan main berikut.

Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus

meminta izin kepada terapis. Lama kegiatan 45 menit. Setiap

klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3) Tahap kerja

a) Mendiskusikan dengan klien cara bicara jika ingin meminta

sesuatu dari orang lain.

b) Menuliskan cara-cara yang disampaikan klien.

c) Terapis mendemonstrasikan cara meminta sesuatu tanpa

paksaan,yaitu “saya perlu/saya ingin/saya minta...,yang akan saya

gunakan untuk...”.

d) Memilih dua orang klien secara bergilir untuk mendemonstrasikan

cara pada poin c.

e) Ulangi poin d sampai semua klien mencoba.

f) Memberikan pujian pada peran serta klien.

g) Terapis mendemonstrasikan cara menolak dan menyampaikan rasa

sakit hati pada orang lain, yaitu “saya tidak dapat melakukan...”

atau ”saya tidak dapat menerima jika dikatakan...” atau “saya kesal

dikatakan seperti...”.
38

h) Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang

pada poin g.

i) Ulangi h sampai semua klien mencoba.

j) Memberikan pujian terkait peran serta klien.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

(2) Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang

telah di pelajari.

(3) Memberikan pujian dan penghargaan untuk jawaban yang

benar.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik dan interaksi

sosial yang asertif (cara verbal), jika stimulus penyebab

perilaku kekerasan terjadi.

(2) Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik dan interaksi sosial

yang asertif (cara verbal) secara teratur.

(3) Memasukkan interaksi sosial yang asertif (cara verbal) pada

jadwal kegiatan harian klien.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu kegiatan

ibadah.

(2) Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.


39

f. Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang di evaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan

tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 3,

kemampuan klien yang diharapkan adalah mencegah perilaku kekerasan

secara sosial (cara verbal). Formulir evaluasi sebagai berikut.

Tabel 2.3 Sesi 3: TAK stimulasi persepsi : Kemampuan mencegah perilaku


kekerasan cara interaksi sosial asertif (cara verbal)

Memperagakan cara
Memperagakan cara Memperagakan cara
No Nama klien mengungkapkan
meminta menolak yang baik
marah yang baik

Petunjuk:
Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
Untuk tiap klien, beri penilaian akan kemampuan memperaktikkan
pencegah perilaku kekerasan secara sosial: meminta tanpa paksa, menolak
dengan baik, mengungkapkan kesalahan dengan baik. Beri tanda () jika
klien mampu dan beri tanda (-) jika klien tidak mampu.

4. Sesi 4: Mencegah Perilaku Kekerasan dengan Cara Spiritual

a. Tujuan

Klien dapat cara melakukan mencegah perilaku kekerasan dengan cara

spiritual

b. Setting

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.

2) Ruangan nyaman dan tenang.

c. Alat

1) Papan tulis/flipchart/whiteboard dan alat tulis.

2) Buku catatan dan pulpen


40

3) Jadwal kegiatan harian klien

d. Metode

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi tanya jawab

3) Bermain peran /stimulasi

e. Langkah kegiatan

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti sesi

sebelumnya.

b) Menyiapkan alat dan tempat

2) Orientasi

a) Salam teraupetik

(1) Salam dari terapis kepada klien.

(2) Klien dan terapis memakai papan nama.

b) Evaluasi / validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

(2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala

marah,serta perilaku kekerasan.

(3) Tanyakan apakah kegiatan fisik dan interaksi sosial yang asertif

untuk mencegah perilaku kekerasan sudah di lakukan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu kegiatan ibadah untuk

mencegah perilaku kekerasan.


41

(2) Menjelaskan aturan main berikut.

Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus

meminta izin kepada terapis. Lama kegiatan 45 menit. Setiap

klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3) Tahap kerja

a) Menanyakan agama dan kepercayaan masing-masing klien.

b) Mendiskusikan kegiatan ibadah yang biasa dilakukan masing-

masing klien.

c) Menuliskan ibadah masing-masing klien.

d) Meminta klien untuk memilih salah satu kegiatan ibadah unuk

meredakan marah.

e) Meminta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah untuk

meredakan kemarahan yang di pilih.

f) Memberikan pujian pada penampilan klien.

Kegiatan ibadah untuk meredakan marah antara lan:


1. Islam:istigfar,berwudhu,sholat
2. Kristen: doa bapa kami
3. Katholik: doa bapa kami,doa novena
4. Hindu dan Budha: meditasi, yoga

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

(2) Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang

telah di pelajari.

(3) Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.


42

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik, interaksi

sosial yang asertif,dan kegiatan ibadah jika stimulus penyebab

perilaku kekerasan terjadi.

(2) Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik, interaksi sosial

yang asertif, dan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan harian

klien.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu minum

obat teratur.

(2) Menyepakati waktu dan tempat pertemuan berikutnya.

f. Evaluasi dan Dokumentasi Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan

tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 4,

kemampuan klien yang di harapkan adalah 2 kegiatan ibadah untuk

mencegah kekerasan. Formulir evaluasi sebagai berikut.

Tabel 2.4 Sesi 4: TAK stimulus persepsi : Kemampuan mencegah


perilaku kekerasan dengan cara spiritual
Mempraktikkan kegiatan Mempraktikkan kegiatan
No Nama klien
ibadah pertama ibadah kedua

Petunjuk:
Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
Untuk tiap klien,beri penilaian tentang kemampuan mempraktikkan dua
kegiatan ibadah pada saat TAK. Beri tand () jika klien mampu dan beri
tanda (-) jika klien tidak mampu.
43

5. Sesi 5: Mencegah Perilaku Kekerasan dengan Patuh Mengonsumsi Obat

a. Tujuan

1) Klien dapat menyebutkan keuntungan patuh minum obat.

2) Klien dapat menyebutkan akibat / kerugian tidak patuh minum obat.

3) Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.

b. Setting

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.

2) Ruangan nyaman dan tenang

c. Alat

1) Papan tulis / flipchart / whiteboard dan alat tulis

2) Buku catatan dan pulpen

3) Jadwal kegiatan klien

4) Beberapa contoh obat

d. Metode

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

e. Langkah kegiatan

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti sesi 4.

b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2) Orientasi

a) Salam teraupetik

Salam dari terapetis kepada klien. Klien dan terapis memakai

papan nama.

b) Evaluasi / validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini.


44

(2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala

marah, serta perilaku kekerasan.

(3) Tanyakan apakah kegiatan fisik, interaksi sosial yang asertif

dan kegiatan ibadah untuk mencegah perilaku kekerasan sudah

dilakukan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu patuh minum obat untuk

mencegah perilaku kekerasan.

(2) Menjelaskan aturan main berikut.

Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus

meminta izin kepada terapis. Lama kegiatan 45 menit. Setiap

klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3) Tahap Kerja

a) Mendiskusikan macam obat yang di minum klien: nama dan warna

(upayakan tiap klien menyampaikan).

b) Mendiskusikan waktu minum obat yang biasa dilakukan klien.

c) Tuliskan di whiteboard hasil a dan b.

d) Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu

minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum

obat, benar dosis obat.

e) Minta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara

bergiliran.

f) Berikan pujian pada klien yang benar.

g) Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di

whiteboard)
45

h) Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di

whiteboard)

i) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara

mencegah perilaku kekerasan/kambuh.

j) Menjelaskan akibat/kerugian jika tidak patuh minum obat, yaitu

kejadian perilaku kekerasan/kambuh.

k) Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat

dan kerugian tidak patuh minum obat

l) Memberi pujian setiap kali klien dapat menyebutkan secara benar.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

(2) Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang

telah di pelajari.

(3) Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik, interaksi

sosial asertif, kegiatan ibadah, dan patuh minum obat untuk

mencegah perilaku kekerasan

(2) Memasukkan minum obat pada jadwal kegiatan harian klien.

c) Kontrak yang akan datang

Mengakhiri pertemuan untuk TAK perilaku kekerasan, dan di

sepakati jika klien perlu TAK yang lain.

f. Evaluasi dan Dokumentasi Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan


46

tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 5,

kemampuan yang di harapkan adalah mengetahui lima benar cara minum

obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat.

Formulir evaluasi sebagai berikut.

Tabel 2.5 Sesi 5:TAK stimulasi persepsi : Kemampuan klien mencegah


perilaku kekerasan dengan pauh minum obat
Menyebutkan
Menyebutkan lima Menyebutkan akibat
No Nama klien keuntungan minum
benar minum obat tidak patuh minum obat
obat

Petunjuk:
Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan menyebutkan lima
benar cara minum obat,keuntungan minum obat,dan akibat tidak patuh
minum obat. Beri tanda () jika klien mampu dan beri tanda (-) jika klien
tidak mampu.

2.3 Penelitian Terkait

Tabel 2.6 Penelitian Terkait

Peneliti Desain, tahun Subjek Tujuan Hasil


Widyastini, Jenis Sampel Penelitian ini Hasil penelitian variabel
Irma, penelitian ini penelitian bertujuan untuk mengontrol marah sebelum
Benita menggunakan sebesar 31 mengetahui pengaruh dan sesudah diberikan
metode responden yang TAK stimulasi sesi I- intervensi dengan p-value
penelitian ditentukan V terhadap 0,000 dan kemampuan
quasy dengan total kemampuan mengekspresikan marah
exsperimental sampling mengontrol dan sebelum dan sesudah
menggunakan mengekspresikan diberikan intervensi dengan p-
one group pre- marah pada pasien value 0,000.
post test risiko perilaku
design kekerasan di RSJD
Dr.Amino
Gondohutomo
Semarang
47

BAB III

METODE KARYA TULIS ILMIAH

3.1 Rancangan

Rancangan karya tulis ilmiah ini menggunakan desain studi kasus (case

study), yaitu dengan cara meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang

terdiri dari unit tunggal. Unit yang menjadi kasus tersebut secara mendalam

dianalisis baik dari segi yang berhubungan dengan keadaan kasus itu sendiri,

faktor-faktor yang mempengaruhi, kejadian-kejadian khusus yang muncul

sehubungan dengan kasus, maupun tindakan dan reaksi kasus terhadap suatu

perlakuan atau pemaparan tertentu (Notoatmodjo, 2012). Pada karya tulis ilmiah

ini penulis ingin melakukan penerapan terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi pada pasien risiko perilaku kekerasan.

3.2 Subjek

Subjek dalam karya tulis ilmiah ini adalah 2 (dua) orang pasien dengan

masalah keperawatan risiko perilaku kekerasan di RSJ Daerah Provinsi Lampung

tahun 2017. Adapun kriteria subjek dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai

berikut:

1. Klien tidak terlalu gelisah

2. Klien kooperatif dan mau mengikuti kegiatan

3. Kondisi fisik sehat

4. Jenis kelamin perempuan

5. Klien dengan risiko perilaku kekerasan

47
48

3.3 Definisi Operasional

Penerapan terapi aktivitas kelompok stimulasi merupakan salah satu terapi

modalitas yang dilakukan perawat pada pasien untuk meningkatkan kemampuan

pasien mengontrol risiko perilaku kekerasan. Alat ukur yang digunakan adalah

lembar observasi. Cara pengukuran dilakukan dengan melakukan evaluasi setelah

tindakan berakhir. Hasil ukur dilihat dari kemampuan klien pada setiap sesi.

3.4 Lokasi dan Waktu

Intervensi karya tulis ilmiah ini akan dilakukan di RSJ Daerah Provinsi

Lampung tahun 2017.

3.5 Instrumen Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada intervensi karya tulis

ilmiah ini yaitu lembar observasi.

3.6 Pengumpulan Data

Langkah-langkah pengumpulan data dalam karya tulis ilmiah penerapan ini

melalui 4 tahap, yaitu sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian untuk mengumpulkan data dalam menegakkan

diagnosa (diagnosing action)

Diagnosa dimaksudkan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang

diderita atau dialami responden. Pada tahap ini, perawat mencari responden

yang sesuai dengan kriteria. Dalam hal ini, masalah keperawatan yang akan

dilakukan intervensi adalah klien risiko perilaku kekerasan.


49

2. Membuat rencana tindakan (planning action)

Setelah melakukan diagnosa, selanjutnya perawat menyusun rencana

tindakan/intervensi untuk memecahkan masalah. Rencana tindakan yang akan

dilakukan adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: risiko perilaku

kekerasan.

3. Melakukan tindakan (taking action)

Penerapan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: risiko perilaku

kekerasan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan,

orientasi, kontrak, tahap kerja dan tahap terminasi.

4. Melakukan evaluasi (evaluating action)

Setelah masa implementasi (taking action), selanjutnya perawat melakukan

evaluasi dengan cara mengukur kemampuan klien sesuai dengan tujuan.

3.7 Analisa Data

Analisa data merupakan kegiatan mengubah data hasil penerapan menjadi

informasi yang dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan. Analisa data

dalam karya tulis ilmiah metode studi kasus ini dilakukan dengan menggunakan

analisis deskriptif yaitu untuk membuat gambaran secara sistematis data yang

faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang

selidiki (Riyanto, 2013). Analisa data dalam penerapan ini adalah dengan

menganalisis perubahan kemampuan pasien mengenal perilaku kekerasan,

mencegah perilaku kekerasan dengan cara fisik, verbal, spiritual, dan patuh

minum obat.
50

3.8 Etika Penerapan

Pada penyusunan karya tulis ilmiah ini, perawat mempertimbangkan

prinsip-prinsip etik sebagai berikut:

1. Prinsip manfaat

Berprinsip pada aspek manfaat, maka segala bentuk penerapan yang

dilakukan memiliki harapan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Prinsip ini dapat ditegakkan dengan membebaskan, tidak memberikan atau

menimbulkan kekerasan pada responden, tidak menjadikan responden untuk

dieksploitasi. Penerapan yang dihasilkan dapat memberikan manfaat dan

mempertimbangkan antara aspek resiko dengan aspek manfaat, bila penerapan

yang dilakukan dapat mengalami dilema dalam etik.

2. Prinsip menghormati manusia

Manusia memiliki hak dan makhluk yang mulia yang harus dihormati,

karena manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan antara mau dan tidak

mau untuk diikutsertakan menjadi subjek intervensi.

3. Prinsip keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia dengan

menghargai hak atau memberikan hak menjaga privasi dan tidak berpihak

dalam perlakuan.

4. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara perawat dengan

responden. Informed consent tersebut diberikan sebelum penerapan dilakukan

dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuannya


51

adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan intervensi, mengetahui

dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar

persetujuan. Jika responden tidak bersedia maka perawat harus menghormati

hak responden.

5. Anonimity (tanpa nama)

Memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara

tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur

dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

intervensi yang akan disajikan.

6. Kerahasiaan (confidentiality)

Memberikan jaminan kerahasiaan hasil intervensi, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan

dijamin kerahasiaan oleh perawat, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil penerapan.


52

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


(2013). Riset Kesehatan Dasar.: http://depkes.go.id/downloads
/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas% 2013.pdf.
Direja, Surya, H.A. (2011) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Nuha
Medika.
Fitria, N. (2014) Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat, A.B & Akemat (2013) Keperawatan Jiwa, terapi aktivitas kelompok.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Keliat, A.B & Pawirowiyono, A (2015) Keperawatan Jiwa, terapi aktivitas
kelompok. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kusumawati dan Hartono. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Salemba Medika.
Lelono, S.K, dkk (2015) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Lampung
Muhith, Abdul. (2015) Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Nawawi, M (2013) Pengalaman Karies Dan Status Periodontal Pada Penderita
Gangguan Jiwa di RSJ Mahoni Medan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Gigi.
Universitas Sumatera Utara.
Notoatmodjo, S. (2012) Metodologi Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.
Prabowo, Eko (2014) Konsep & Aplikasi, Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
WHO (2016) Schizophrenia, lembar fakta. http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs397/en/
Yosep, Iyus & Sutini, Titin (2014) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Rafika Aditama.
53

Yosep, Iyus. ( 2011 ). Keperawatan Jiwa. Bandung: Rafika Aditama.


Widyastini, Irma, Benita (2014) Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok : Stimulasi
Persepsi Sesi I – V Terhadap Kemampuan Mengontrol dan
Mengekspresikan Marah Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD
Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Naskah Publikasi. STIKes
Telogorejo Semarang.

Anda mungkin juga menyukai