Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Pendahuluan

Pembangunan di semua bidang, pergeseran pola masyarakat dari masyarakat

agricultural menjadi masyarakat industry dan dari masyarakat tradisional menjadi

masyarakat modern, serta tekanan arus globalisasi/informasi yang dipercepat dengan krisis

ekonomi, sosial dan politik, selain membawa kemajuan dan peningkatan taraf hidup

masyarakat juga telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah yang ditimbulkan antara

lain terjadinya pergesaran nilai moral, kesenjangan keadaan sosial ekonomi, proposi

penduduk miskin yang makin besar, angka penganguran yang makin tinggi, serta berbagai

masalah sosial lain dan politik, sementara pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup

makin sulit dilakukan. Kondisi ini mendukung peningkatan tindakan kekerasan (Hamid,

2008).

Perilaku kekerasan menjadi masalah di banyak negara sepeti Amerika, Australia,

dan negara maju lainnya. Bentuk kekerasan yang sering terjadi seperti perkelahian,

pemukulan, penyerangan dengan senjata, tawuran, perampokkan, perkosaan,

penganiayaan, dan pembunuhan (Evans, 2000 dalam Purba dkk, 2008).

Masalah agresi dan perilaku kekerasan juga terjadi di pusat pelayanan

kesehatan.Perawat dan dokter juga seringkali mendapat pukulan dari pasien yang dirawat

di ruang operasi dan unit-unit psikiatri.Tindakan yang dilakukan oleh pasien tersebut

sangat membahayakan bahkan mengancam kehidupan petugas kesehatan (Breakwell, 2002

dalam Purba dkk, 2008).

22
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku yang ditujukan untuk melukai atau

mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut

(Purba dkk, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998) perilaku kekerasan dapat

dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh),

psikologis (emosional, marah, mudah tersinggug dan menentang), spiritual (merasa dirinya

sangat berkuasa, tidak bermoral).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO menyatakan

paling tidak ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami masalah mental.WHO

memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Data WHO tahun 2016 mengungkapkan bahwa 35 juta orang terkena depresi, 60 juta

orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia dan 47,5 terkena demensia.

Di Indonesia menimbang dari berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial

dengan keanekaragaman penduduk di Indonesia, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus

bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas

manusia untuk jangka panjang. Pada masyarakat umum terdapat 0,2-0,8% penderita

skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang

anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam USU). Berdasarkan hasil

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2013, prevalensi gangguan mental

emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15

tahun keatas mencapai 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan

prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau

sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

23
Peran perawat membantu pasien perilaku kekerasan adalah dengan memberikan

asuhan keperawatan perilaku kekerasan. Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses

terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan pasien, keluarga

dan atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Keliat dkk, 1999).

Berdasarkan standar yang tersedia, asuhan keperawatan pada pasien perilaku kekerasan

dilakukan dalam lima kali pertemuan.Pada setiap pertemuan pasien memasukkan kegiatan

yang telah dilatih untuk mengatasi masalah kedalam jadwal kegiatan. Diharapkan pasien

akan berlatih sesuai jadwal kegiatan yang telah dibuat dan akan dievaluasi oleh perawat

pada pertemuan berikutnya. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan akan dinilai tingkat

kemampuan pasien dalam mengatasi masalahnya yaitu mandiri, bantuan, atau tergantung.

Tingkat kemampuan mandiri, jika pasien melaksanakan kegiatan tanpa dibimbing dan

tanpa disuruh; bantuan, jika pasien sudah melakukan kegiatan tetapi belum sempurna dan

dengan bantuan pasien dapat melaksanakan dengan baik; tergantung, jika pasien sama

sekali belum melaksanakan dan tergantung pada bimbingan perawat (Keliat, 2001).

Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau merupakan satu-satunya unit pelayanan

kesehatan jiwa milik pemerintah yang ada diprovinsi Riau, berdasarkan data laporan

rekam medik RSJ Tampan Provinsi Riau dari Januari-Desember 2015 jumlah kunjungan

pasien gangguan jiwa rawat inap sebanyak 1.028 orang. Diantaranya adalah masalah

keperawatan jiwa gangguan presepsi sensori : halusinasi 73,56%, resiko perilaku

kekerasan 31,49%, deficit perawatan diri 15,8%, isolasi sosial 6,19%, harga diri rendah

18,19%, waham 2,22%, resiko bunuh diri 1,79% (RSJ Tampan, 2015). Berdasarkan data

diatas, Resiko perilaku kekerasan merupakan masalah keperawatan jiwa yang menduduki

5 teratas di RSJ Tampan Pekanbaru. Jumlah kasus resiko perilaku kekerasan di ruangan

24
Sebayang tahun 2019 bulan oktober yaitu sebanyak 28 orang (35,89%) dan Resiko

perilaku kekerasan merupakan kasus terbanyak kedua di ruangan sebayang. Dari

pemaparan diatas kelompok tertarik untuk mengambil judul masalah “Asuhan

Keperawatan Pada Tn. A dengan Masalah Utama Perilaku Kekerasan di Ruang Sebayang

Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau”.

B. Rumusan Masalah

Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. Perilaku kekerasan

adalah tingkah laku yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang

tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut Stuart

dan Laraia (1998) perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri

sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggug

dan menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral).Di Indonesia

menimbang dari berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman

penduduk di Indonesia, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang

berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk

jangka panjang. Data dari RSJ Tampan Pekanbaru di ruangan sebayang menunjukkan

angka resiko perilaku kekerasan yaitu sebanyak 35,89% dengan jumlah pasien 28 orang,

halusinasi sebanyak 40 orang (51,28%), waham sebanyak 4 orang (5,12%), Harga diri

rendah sebanyak 25 orang (32,05%), Menarik diri sebanyak 18 orang (23,07%), Defisit

perawatan diri sebanyak 15 orang (19,23%) dan Resiko bunuh diri yaitu 1 orang (1,28%)

dan termasuk dalam 2 kasus terbesar di ruang sebayang. Maka rumusan masalah makalah

yang disepakati oleh kelompok untuk melakukan Asuhan Keperawatan Jiwa kepada Tn. A

dengan resiko perilaku kekerasan.

25
C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan resiko perilaku

kekerasan.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu mengetahui pengkajian pada pasien resiko perilaku kekerasan.

b. Mampu mengetahui cara menegakkan diagnosa pada pasien dengan resiko perilaku

kekerasan

c. Mampu menyusun intervensi pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.

d. Mampu melakukan implementasi pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.

e. Mampu menyusun evaluasi pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan

Makalah ini dapat menambah pembelajaran dan materi mengenai asuhan keperawatan

jiwa pada pasien perilaku kekerasan remaja serta dapat digunakan untuk

mengembangkan wawasan mahasiswa keperawatan dalam bidang keperawatan jiwa

terkhusus tentang masalah gangguan jiwa perilaku kekerasan.

2. Bagi Institusi Pelayanan

Makalah ini dapat dijadikan sumber informasi bagi perawat dan tenaga kesehatan lain.

3. Bagi Masyarakat

Makalah ini dapat bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat yang memiliki anggota

keluarga penderita masalah gangguan jiwa perilaku kekerasan dalam merawat

penderita di rumah maupun lingkungan masyarakat.

26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Perilaku kekerasan

Kekerasan atau violence merupakan bentuk dari perilaku agresi, yang mana agresi

ini merupakan respon dari kemarahan, perasaan dendam, kekecewaan atau ancaman yang

merangsang rasa marah.Respon untuk melawannya dihasilkan suatu perilaku kekerasan,

dapat berupa tindakan merusak, menyerang sampai membunuh serta melukai psikologis.

Tindakan yang ditimbulkan ini dapat menyakiti diri sendiri, orang lain sampai

menyebabkan penderitaan, dapat juga terjadi pada hewan atau benda-benda

(penyalahgunaan obat) (Muhith, 2010).

Kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai dengan

kehilangan control diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan.Apabila marah tidak terkontrol sampai respon maladaptive (kekerasan) maka

individu dapat menggunakan perilaku kekerasan. Individu merasa perilaku kekerasan

merupakan cara yang dirasakan dapat menyelesaikan. Perilaku kekerasan dapat

dimanifestasikan secara fisik (mencedera diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh),

psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa

dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral) (Stuart & Laria, 1998).

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau

mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.

Ada 4 faktor yang mencakup perilaku tersebut yaitu: tujuan untuk melukai atau

mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan

ketidakinginan korban menerima tingkah laku individu (Purba dkk, 2008). Morrison (1993

dalam Purba dkk, 2008) menambahkan bahwa perilaku kekerasn seperti perilaku
27
mencederai orang lain dapat berupa ancaman melukai diri sendiri; perilaku merusak

lingkungan beupa seperti perabotan rumah tangga, membanting pintu; ancaman verbal

berupa kata-kata kasar, nada suara tinggi dan bermusuhan.

B. Rentang Respon

Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif, seperti

rentang respon kemarahan di bawah ini (Yosep, 2007).

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk / PK


1. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan

tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan

menimbulkan masalah.

2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak

realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini tidak

ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu mengungkapkan

perasaan dan terlihat pasif.

3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak pemalu,

pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.

4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk

bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang tampak dapat

berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.

28
5. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri.

Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.

C. Proses Terjadinya Masalah

Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang harus

dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan

perasaan tidak menyenangkan dan terancam, kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.

Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu : 1)

Mengungkapkan secara verbal, 2) Menekan, 3) Menantang. Dari ketiga cara ini, cara yang

pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri

atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus-

menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan

tampak sebagai depresi psikomatik atau agresi dan ngamuk.

Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau

eksternal.Stressor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor

eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu,

penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau

gangguan pada sistem individu (Disruption & Loss). Hal yang terpenting adalah

bagaimana seorang individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau

menjengkelkan tersebut (Personal meaning).

Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk

istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih

persyarafan telinga (nervus auditorius) maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara

positif (Compensatory act) dan tercapai perasaan lega (Resolution). Bila ia gagal dalam

29
memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu

melakukan kegiatan positif (olah raga, menyapu atau baca puisi saat dia marah dan

sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (Helplessness).

Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (Anger). Kemarahan yang diekpresikan

keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif (Contruktive action) dapat

menyelesaikan masalah.Kemarahan yang diekpresikan keluar (Expressed outward) dengan

kegiatan yang destruktif (Destruktive action) dapat menimbulkan perasaan bersalah dan

menyesal (Guilt). Kemarahan yang dipendam (Expressed inward) akan menimbulkan

gejala psikosomatis (Poinful symptom) (Yosep, 2007).

D. Faktor Predisposisi

Faktor prediposisi merupakan faktor yang jika dialami oleh individu dapat

memungkinkan terjadinya perilaku kekerasan namun bisa juga tidak memungkinkan

terjadinya perilaku kekerasan, beberapa yang termasuk dalam faktor ini yaitu (Keliat, 1996

dalam Muhith, 2010):

a. Faktor psikologis

Dalam faktor ini terdapat 2 teori yaitu psychoanalytical theory dan frustration-

agression theory. Teori psikoanalitik membahas tentang instinctual drives, dimana

perilaku agresif dipengaruhi oleh insting hidup yaitu seksualitas dan insting kematian

yaitu agresivitas. Teori frustasi membahas bahwa perilaku agresif disebabkan karna

individu mempunyai riwayat perilaku agresif sebelumnya.Kedua teori ini ditambah

dengan pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, yang mana

mengatakan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak

merugikan. Contohnya:

30
1. Adanya kerusakan atau retardasi mental

2. Adanya kerusakan hubungan saling percaya dan harga diri yang disebabkan severe

emotional deprivation atau penolakan berlebihan pada masa kanak-kanak atau

seduction parental.

3. Mengalami kekerasan seperti child abuse atau sering terpapar kekerasan dalam

keluarga selama masa perkembangan akan memebentuk koping atau pola

pertahanan.

b. Faktor sosial budaya

Social learning theory menjelaskan bahwa agresi bisa terjadi karena adanya

penguatan atas apa yang dilakukannya atau apa yang dipelajarinya melalui observasi

atau imitasi. Pembelajaran yang didapat dapat berupa interal dan eksternal, contoh

pembelajaran internal yaitu seorang anak marah karena tidak dipenuhi keinginannya,

kemudian sang ibu memberikan apa yang anak inginkan. Anak akan menganggap

ketika dia marah, ia akan mendapatkan apa yang dia mau. Contoh pembelajaran

eksternal yaitu didapat dari lingkungan sekitar anak, misalnya seorang anak yang

melihat orang dewasa memukul dan melakukan tindakan agresif lainnya pada sebuah

boneka.

c. Faktor biologis

Beberapa penelitian mengatakan bahwa adanya pengaruh neurobiologi

terhadap perilaku kekerasan.Pemberian stimulus elektris pada hipotalamus terutama

pada nucleus perifoniks kucing, meyebabkan kucing mengeluarkan cakarnya,

mengangkat ekornya, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, dan hendak

menerkam tikus atau objek yang ada disekitarnya.Kejadian ini menunjukkan terjadinya

31
kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran

rasional).Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif yaitu

serotonin, dopamine, norepinefrin, asetilkolin dan asam amino GABA.Faktor-faktor

yang mendukung untuk terjadinya peningkatan pengaruh neurobiologi yaitu adanya

masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan, sering mengalami kegagalan, kehidupan

yang penuh tindakan agresif, dan lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).

d. Perilaku

Kekerasan dapat terjadi karena adanya reinforcement yang diterima saat

seseorang melakukan kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di

lingkungan luar lainnya.

E. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi disebut juga dengan faktor pencetus.Perilaku kekerasan bisa

timbul karena adanya suatu ancaman pada konsep diri seseorang.Ancaman ini dapat

berupa internal (individu) dan eksternal (lingkungan). Termasuk stressor eksternal yaitu

kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, serangan secara psikis, dan adanya

kritikan dari orang lain. Stressor internal yaitu merasa kehilangan orang yang dicintai,

ketakutan terhadap penyakit yang diderita, merasa gagal dalam bekerja (Muhith, 2010).

1. Individu (klien): kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri

(gagal dalam bekerja, ketakutan karna adanya penyakit kronis).

2. Ligkungan: ribut, kehilangan sesuatu yang berharga, konflik interaksi sosial

(lingkungan yang penuh penghinaan dan kekerasan serta kehilangan pekerjaan).

32
F. Gejala Perilaku Kekerasan

Rentang respon perilaku kekerasan berakhir pada rentang kemarahan.Kemarahan

dapat diungkapkan dalam bentuk pengrusakan atau diam seribu bahasa. Adapun gejala

yang timbul yaitu (Muhith, 2010):

1. Perubahan fisiologis

Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, tonus otot

meningkat, kadang-kadang konstipasi, mual, frekuensi buang air besar meningkat, dan

refleks tendon tinggi.

2. Perubahan emosional

Tidak sabaran, frustasi, bila mengamuk kehilangan kontrol diri, ekspresi wajah

tampak tegang.

3. Perubahan perilaku

Agresif pasif, bermusuhan, menarik diri, curiga, nada suara keras dan kasar,

mengamuk dan sinis.

4. Perilaku

Ada beberapa perilaku yang berkaitan dengan kekerasan yaitu:

a. Menyerang atau menghindar (fight of flight), keadaan ini dipengaruhi oleh

respon fisiologis dari kegiatan sistem saraf otonom yang bereaksi terhadap

sekresi epinephrin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan

darah, wajah memerah, pupil melebar, peristaltik gaster menurun, sekresi

HCL meningkat, konstipasi, pengeluaran urin dan saliva meningkat,

ketegangan otot dan reflek yang cepat.

33
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness), dalam menampilkan

kemarahannya seorang individu mengekspresikannya dengan suatu bentuk

perilaku yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Antara ketiga

perilaku tersebut, perilaku asertif merupakan perilaku yang terbaik untuk

memperlihatkan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain baik fisik

maupun psikologis serta baik untuk pengembangan diri klien.

c. Memberontak (acting out), perilaku ini disebabkan karena adanya perilaku

acting out yang mana digunakan untuk menarik perhatian orang lain.

d. Perilaku kekerasan, perilaku amuk yang ditujukan pada diri sendiri, orang

lain maupun lingkungan.

G. 1. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan/amuk

Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah


(Budiana Keliat, 2010)

34
2. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji
a. Masalah keperawatan:
1). Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2). Perilaku kekerasan / amuk
3). Gangguan harga diri : harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji:
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
 Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jikasedang kesal atau marah.
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
 Mata merah, wajah agak merah.
 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit,
memukul diri sendiri/orang lain.
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
 Merusak dan melempar barang-barang.
2. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
 Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jikasedang kesal atau marah.
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
 Mata merah, wajah agak merah.
 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
 Merusak dan melempar barang-barang.

35
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri
sendiri.

2). Data obyektif:


Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

H. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan yang diakibatakan oleh perilaku
kekerasan.
b. Perilaku kekerasan diakibatkan oleh halusinasi pendengaran,
c. Harga diri rendah diakibatkan oleh perilaku kekerasan

I. Rencana Tindakan
a. Tujuan
1. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
3. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
4. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
5. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontol perilaku kekerasannya
6. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasaannya secara fisik,
spiritual,sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
b. Tindakan
1. Melakukan strategi pelaksanaan 1 :
Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab penyebab perasaan
marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasaan yang dilakukan,
akibatnya serta cara mengontrol secara fisik I.
Tindakan:
a) Mengucapkan salam terapeutik
36
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
e) Latihan menarik nafas dalam.
2. Melakukan strategi pelaksanaan 2 :
Latihan mengontrol perilaku kekerasaan secara fisik ke 2
Tindakan:
a) Evaluasi latihan nafas dalam
b) Latihan cara fisik ke 2 : pukul kasur, bantal atau air
c) Susun jadwal kegiatan harian cara kedua.
3. Melakukan strategi pelaksanaan 3 :
Latihan mengontrol perilaku kekerasan sosial/verbal
Tindakan :
a) Evaluasi jadwal harian untuk dua cara fisik.
b) Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal : menolak dengan baik,
meminta dengan baik, mengucapkan perasaan dengan baik..
c) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
4. Melakukan strategi pelaksanaan 4 :
Latihan mengontol perilaku kekerasaan secara spiritual
Tindakan:
a) Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasaan secara fisik dan
sosial/verbal.
b) Latihan sholat/berdoa.
c) Buat jadwal latihan sholat/berdoa
5. Melakukan strategi pelaksanaan 4 :
Latihan mengontrol perilakukan kekerasaan dengan obat
Tindakan:
a) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien untuk cara mencegah marah yang sudah
dilatih

37
b) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar ( benar nama
pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan
benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.
c) Susun jadwal minum obat secara teratur.

38
BAB III
GAMBARAN KASUS

A. Pengkajian
Tn A masuk ke Rumah Sakit Jiwa Tampan melalui IGD diantar oleh keluarganya
pada tanggal 17 november 2019 pukul 18.50 WIB di IGD kemudian pindah ke ruang
sebayang pada tanggal 22 november 2019. Tn A diantar ke RSJ Tampan untuk yang ke 3
kalinya dengan keluhan pasien mengamuk, mondar-mandir, gelisah, tidak ada
tujuan,marah-marah dan memukul orangtua,merusak pintu, telanjang, tidur (-), dan bicara
sendiri. Pasien pertama kali dirawat pada tanggal 27 Maret 2008 dengan keluhan dirumah
pasien marah-marah, keluyuran, bicara sendiri, tertawa sendiri, dan memukul orang.
Pasien menambahkan awalnya sakit karena dituduh mencuri HP tetangganya secara tiba-
tiba , pasien mengatakan mendengar suara seram untuk memukul, lalu pasien selalu
marah-marah sama semua orang. Terakhir kali pasien dirawat pada tanggal 25 November
2019.
Tn. A masuk ke ruangan sebayang pada tanggal 22 november 2019. Pengkajian
dilakukan 25 tanggal jam 10.00, selain dari pasien informasi didapat dari data rekam
medic dan perawat ruangan sebayang, ditemukan bahwa Tn. A berusia 40 tahun,beragama
islam dengan pendidikan terakhir tidak tamat STM Tn. A mengatakan dia tinggal dirumah
bersama ibunya. Tn A mempunyai 7 saudara yaitu 3 laki-laki dan 6 perempuan. Kakak
pertama laki-laki sudah menikah kakak kedua perempuan sudah menikah, kakak ketiga
perempuan sudah menikah kakak keempat sudah menikah adik kelima perempuan sudah
menikah dan adik terakhir klien sudah menikah.
Hasil pengkajian juga didapatkan bahwa pasien mengatakan beliau diantar ke RSJ
karena marah-marah, pernah berkelahi dengan tetangga karena tetangga tersebut menuduh
mencuri HP. Saat ini TN. A mengeluh merasa pusing dan semalam tidak bisa tidur. Pasien
juga mengatakan sangat suntuk dikurung didalam kamar, sangat kesal karena tidak boleh
keluar dari kamar dan pasien mengatakan ingin keluar dari ruangan berjalan-jalan
menghirup udara segar, dan sangat kesal kepada Tetangganya karena gara-gara di
antarnya ke RSJ.

39
Hasil observasi perawat didapatkan data objektif yaitu pasien tampak komat-
kamit, berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Ketika ditanya oleh perawat, pasien
meninggalkan perawat dan hanya diam. Dilain waktu, ketika diajak bicara, tampak
tatapan pasien tajam, mata pasien terkadang melotot dengan nada suara terdengar tinggi,
tampak mudah tersinggung, berekspresi kesal, marah-marah sendiri, dan memukul-mukul
pintu dengan alasan ingin keluar dari kamarnya. Pasien juga tampak murung dan sering
menyendiri dengan duduk diatas tempat tidur menghadap ke jendela.Tn A juga tampak
sering berbicara dengan topik kekayaan . Pada saat wawancara, pasien kooperatif,
aktifitas motorik tampak tegang, afek labil, raut wajah tampak datar, berbelit-belit saat
berbicara, dan kontak mata positif.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Tn.A mengatakan pasien berasal
dari keluarga kurang mampu, keluarga memotivasi pasien untuk meminum obat secara
teratur terhadap Tn.A bahkan keluarga mau mengantarkan pasien untuk berobat ke RSJ
Tampan untuk kontrol ulang ketika obat habis, dari hasil pengkajian Tn.A putus obat
lebih dari 3 bulan. Hasil Pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan Darah: 130/90 Mmhg,
Nadi: 87 X/Menit, Pernapasan: 17 X/Menit, Suhu: 37,3o C. Pasien Saat Ini Meminum
Obat Chlorpromazine 1x1 (Sore) 100mg, Obat Depakote 1x1 (Pagi), Clozapin 2x1 ( Pagi
Dan Sore) 25 Mg.
B. Masalah Keperawatan
1. Dari data subjektif klien didapatkan mengatakan ingin cepat pulang karena
memiliki 5 rumah yang harus di urus dan memiliki kalung emas yang mahal serta
klien mengatakan bahwa ia memiliki uang yang banyak.
Data objektif dapat dilihat klien tampak kooperatif, sering berbicara dengan topic
agama, berbelit-belit saat berbicara, kontak mata positif serta raut wajah datar.
Masalah keperawatan : Gangguan proses piker : Waham
2. Dari data sebjektif klien didapatkan klien mengatakan pusing dan tadi malam tidak
dapat tidur, pasien juga mengatakan sangat suntuk karena dikurung didalam
kamar, sangat kesal karena tidak boleh keluar dari kamar dan klien mengatakan
kesal sama tetangganya karena mengolok-olokkannya masalah nikah.

40
Data objektif dapat dilihat klien tampak mata klien kadang melotot, mudah
tersinggung, berekspresi kesal marah-marah sendiri dan memukul pintu dengan
alasan ingin keluar dari kamarnya
Masalah keperawatan : Resiko Perilaku Kekerasan
3. Data subjektif bahwa pada hari itu klien hanya diam tidak berkata apapun
Data objektif dapat dilihat klien tampak tertawa sendiri dan komat kamit.
Masalah keperawatan : gangguan sensori persepsi : Halusinasi
4. Dari data subjektif yang di dapatkan klien mengatakan tidak mengkonsumsi obat
secara teratur Pasien mengatakan putus obat lebih dari 6 bulan.
Data objektif yang dadapat dilihat yaitu klien Pasien kunjungan keenam kalinya ke
RSJ Tampan, Provinsi Riau dan Pasien datang diantarkan oleh abang iparnya ke
RSJ, Tampan, Provinsi Riau.
Masalah keperawatan : Regimen Terapi tidak efektif: Putus Obat
5. Dari Data Subjektif Juga Klien Mengatakan Bahwa Klien Mengatakan Menolak
Ajakan Keluarga Untuk Meminum Obat Dan Pasien Juga Mengatakan Keluarga
Tidak Mengantarkan Pasien Ke RSJ Tampan Ketika Obat Habis.
Data Objektif Tampak Pasien Putus Obat Lebih Dari 3 Bulan.
Masalah Keperawatan : Koping Keluarga Tidak Efektif

41
C. Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan

Regimen Terapi tidak efektif

Koping Keluarga Koping Individu tidak efektif Gg. Persepsi


tidak efektif (causa) Sensori: Halusinasi
Pendengaran

D. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas


1. Resiko Perilaku Kekerasan.
2. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran.
3. Koping Individu Tidak Efektif.
4. Regimen Terapi Tidak Efektif: Putus Obat.
5. Koping Keluarga Tidak Efektif.
E. Rencana Asuhan Keperawatan
Lihat Lampiran
F. Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Resiko Perilaku Kekerasan
a. Strategi pelaksanaan (SP 1) Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi
penyebab marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan, akibat dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik
pertama. SP 1 tercapai selama 2 hari terhadap pasien.
Tindakan keperawatan SP 1 dilakukan pada hari sabtu tanggal 23 november
jam 11.05 WIB. Kondisi Tn A saat ini yaitu, pasien mengeluh merasa pusing dan
semalam tidak bisa tidur. Pasien juga mengatakan sangat suntuk dikurung didalam
kamar, sangat kesal karena tidak boleh keluar dari kamar, dan sangat kesal kepada
keluarganya karena sudah mengantarnya ke RSJ dan pasien juga menambahkan
bahwa beliau diantar ke RSJ karena memukul abang iparnya karena dia bepikir

42
abang iparnya akan membunuhnya.. Data objektif didapatkan mata pasien terkadang
melotot, nada suara terdengar tinggi, tampak mudah tersinggung, berekspresi kesal,
marah-marah sendiri, dan memukul-mukul pintu dengan alasan ingin keluar dari
kamarnya.Tanda-tanda vital, tekanan darah: 130/90 mmHg, nadi: 87 x/menit,
pernapasan: 17 x/menit, suhu: 37,3o C.
Tindakan yang dilakukan yaitu mengkaji mengapa Tn.A kesal, mengajarkan SP
1 menarik napas dalam, evaluasi cara yang di ajarkan dan buat kontrak pertemuan
selanjutnya. Rencana tindak lanjut yaitu mengulang SP 1 tarik napas dalam. Hasil
dari tindakan yang dilakukan, Tn A melakukan cara mengendalikan prilaku
kekerasan dengan cara fisik pertama. Perencanaan yang akan dilakukan pada Tn A
selanjutnya yaitu mengendalikan perilaku kekerasan dengan memukul bantal.
b. Strategi pelaksanaan (SP 2): Membantu klien mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik kedua (evaluasi latihan napas dalam, latihan mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara fisik kedua yaitu pukul kasur dan bantal) menyusun
jadwal kegiatan harian cara kedua)
Tindakan keperawatan dilakukan pada hari Senin tanggal 25 november 2019
jam 11.30 WIB. Tindakan yang dilakukan yaitu mengulang SP 1 mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara tarik napas dalam, mengajarkan SP 2
mengendalikan prilaku kekerasan dengan cara memukul bantal atau kasur. Rencana
tindak lanjut yaitu mengulang SP 1 mengendalikan perilaku kekerasan denan cara
tarik napas dalam dan SP 2 mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
memukul bantal atau kasur. Hasil dari tindakan yang dilakukan Sp 1 mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara tarik napas dalam dan SP 2 mengendalikan perilaku
kekerasan dengan cara memukul bantal atau kasur tercapai. Perencanaan yang akan
dilakukan pada Tn.A selanjutnya yaitu membantu pasien latihan mengendalikan
perilaku kekerasan secara sosial/verbal (evaluasi jadwal harian tentang dua cara cara
fisik mengendalikan perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah secara
verbal (menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik) susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.

43
2. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran
a. Strategi pelaksanaan (SP 1 ): Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
Kondisi Tn.A saat ini yaitu didapatkan data pasien tampak komat-kamit,
berbicara sendiri dan tertawa sendiri.Ketika ditanya oleh perawat, pasien
meninggalkan perawat dan hanya diam.
Tindakan keperawatan dilakukan pada hari Senin tanggal 25 november 2019
pukul 12.10, perawat menanyakan berapa macam obat yang dikonsumsi pasien,
apa kegunaannya, apa warnanya, kapan diminumnya, efeknya jika pasien
meminum obat, meminumnya lewat apa, setelah dijawab pasien perawat lalu
menjelaskan kepada pasien. Ketika disuruh menulang pasien mampu menjelaskan
dan mengulang kembali apa sudah dijelaskan pasien.
b. Strategi Pelaksanaan (SP 2): Menghardik halusinasi
Tindakan keperawatan dilakukan pada Selasa 26 november 2019 pukul 08.00
pasien dilatih untuk menghardik halusinasinya, namun pasien menolak dan
meninggalkan perawat, jadi untuk SP menghardik halusinasi tidak tercapai.
a. Strategi Pelaksanaan (SP 2): Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai
dengan kemampuan pasien
Tindakan keperawatan dilakukan pada selasa 27 november 2018 pukul
08.00 pasien diminta melakukan dan melatih kegiatan yang disukai dan sudah
terjadwal dikegiatan harian, kegiatan yang pertama adalah merapikan tempat tidur
pasien di minta merapikan tempat tidur setiap pagi setelah bangun tidur dan
melakukan kegiatan lainnya sesuai jadwal yang sudah dibuat.

44
BAB 1V
PEMBAHASAN

Setelah kelompok melakukan tindakan keperawatan terhadap pasien dengan resiko


perilaku kekerasan di Ruang Sebayang RSJ Tampan Pekanbaru mula dari tanggal 25
November 2019 sampai 28 November 2019, kelompok menemukan banyak kesamaan
antara konsep teoritis dengan studi dilapangan yang dilakukan. Adapun pembahasan dari
pengkajian, diagnosa keperawatan, implementasi dan evaluasi dapat dilihat sebagai
berikut:
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien.
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan kemampuan
koping yang dimiliki pasien (Stuart & Laraia, 2001).
Dalam pengumpulan data kelompok menggunakan metode wawancara dengan
pasien, observasi secara langsung terhadap kemampuan dan perilaku pasien dan data dari
medical record. Data pengkajian yang telah dikumpulkan tentang identitas pasien, kondisi
saat ini, alasan masuk, atau faktor presipitasi, faktor predisposisi, pemeriksaan fisik,
psikososial, status mental, kebutuhan perencanaan pulang, mekanisme koping,
lingkungan, analisa data, pohon masalah, diagnosa keperawatan dan aspek medik. Dari
beberapa point tersebut terdapat beberapa kesamaan.
Pada kasus Tn. A yang menjadi alasan masuk ke RSJ Tampan untuk yang ke 3
kalinya dengan keluhan pasien mengamuk karena di olok-olok kan soal menikah oleh
tetangganya, mondar-mandir tidak ada tujuan, memukul orangtuanya. Menurut Sheila L.
Vedebeck (2008) ketika klien mengalami perilaku kekerasan secara fisik dapat
membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.
Hasil pengkajian juga didapatkan bahwa pasien mengatakan beliau diantar ke RSJ
karena tetangganya mengolok-olok pasien soal menikah sehingga pasien mengamuk dan
memukul orang tuanya . Saat ini Tn. A mengeluh merasa pusing dan semalam tidak bisa

45
tidur. Pasien juga mengatakan sangat suntuk dikurung didalam kamar, sangat kesal karena
tidak boleh keluar dari kamar dan pasien mengatakan ingin keluar dari ruangan berjalan-
jalan menghirup udara segar, dan sangat kesal kepada keluarganya karena sudah
mengantarnya ke RSJ. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Fitria (2009)
perilaku kekerasan merupakan keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.
Hasil observasi perawat didapatkan data objektif yaitu pasien tampak komat-
kamit, berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Ketika ditanya oleh perawat, pasien
meninggalkan perawat dan hanya diam. Dilain waktu, ketika diajak bicara, tampak
tatapan pasien tajam, mata pasien terkadang melotot dengan nada suara terdengar tinggi,
tampak mudah tersinggung, berekspresi kesal, marah-marah sendiri, dan memukul-mukul
pintu dengan alasan ingin keluar dari kamarnya. Pasien juga tampak murung dan sering
menyendiri dengan duduk diatas tempat tidur menghadap ke jendela. Pada saat
wawancara, pasien kooperatif, aktifitas motorik tampak tegang, afek labil, raut wajah
tampak datar, berbelit-belit saat berbicara, dan kontak mata positif.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Tn.A mengatakan pasien berasal
dari keluarga kurang mampu, keluarga memotivasi pasien untuk meminum obat secara
teratur terhadap Tn.A bahkan keluarga mau mengantarkan pasien untuk berobat ke RSJ
Tampan untuk kontrol ulang ketika obat habis, dari hasil pengkajian Tn.A putus obat
lebih dari 3 bulan.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Gordon (2008) diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan
potensial yang mampu diatasi oleh perawat berdasarkan pendidikan dan pengalamannya.
Diagnosa keperawatan utama yang diangkat kelompok adalah resiko perilku kekerasan
yaitu dengan data subjektif. Klien mengatakan ia di antar ke RSJ karena memukul orang
tuanya, klien mengatakan pernah berkelahi dengan tetangga karena tetangganya
mengolok-olok soal menikah. Kemudian dengan data objektif yaitu klien tampak tegang,
mata melotot, kadang berbicara seperti mengomel dan marah, saat diajak berbincang-
bincang klien mudah teralihkan fokusnya dan emosi labil. Hal ini sesuai dengan teori
Purba (2008), Resiko perilaku kekerasan adalah hilangnya kemampuan manusia
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dari luar) dan
46
tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Beberapa neurotransmitter yang
berpenaruh terhadap respon agresivitas adalah serotonin, dopamine, norepineprin,
acetylcholine, dan GABA (Gamma Amino Butyric Acid) (Yusuf, 2015). Rendahnya
kadar serotonin dapat meningkatkan iritabilitas, hipersensitifitas terhadap provokasi, dan
perilaku amuk (Kneisl, 2004 dalam Putri, 2010).
Data yang memperkuat kelompok mengangkat diagnosa pendukung halusinasi
pendengaran yaitu data objektif Pasien tampak komat-kamit, berbicara sendiri dan tertawa
sendiri, pasien meninggalkan perawat dan hanya diam. Halusinasi terjadi apabila
neurotransmitter mengalami gangguan. Neurotransmitter adalah suatu zat kimia yang
berfungsi sebagai perantara impuls saraf dari neuron presinaptikke neuron postsinaptik
melalui daerah sinapsis kimiawi. Neurotransmitter yang mempengaruhi terjadinya
halusinasi terletak pada kategori monoamine, yaitu dopamine dan serotonin. Dalam
keadaan normal, kadar dopamine dan serotonin seimbang. Namun apabila serotonin dan
dopamine tidak seimbang, maka dapat terjadi gangguan, misalnya halusinasi. Fungsi
dopamine menyangkut regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan pemecahan
masalah secaravolunter, dan karena pengaruhya pada kelenjar hipofisis, dopamine
menghambat pelepasan prolactin. transmisi dopamine berimplikasi pada etiologi
gangguan emosi tertentu sepertidepresi, mania, skizofrenia dan penyakit Parkinson.
Serotonin berperan pada tidur dan bangun, libido, nafsu makan, alam perasaan, agresi,
persepsi nyeri, koordinasi, dan kemampuan untuk mencapai perilaku yang terarah. Sistem
serotoninergic berimplikasi pada etiologi kondisi psikopatologik tertentu termasuk status
ansietas dan gangguan alam perasaan.
C. Implementasi keperawatan
Menurut Kusumawati dan Hartono (2011), implementasi keperawatan atau
pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Perawat perlu memvalidasi apakah rencana keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai
dengan kondisi klien saat ini. Adapun diagnosa yang diangkat adalah resiko perilaku
kekerasan yang perencanaan tindakannya dilaksanakan mulai dari tanggal 25 November
2019 sampai 28 November 2019 dapat dilaksanakan dengan baik oleh kelompok saat

47
pasien diajarkan dihadapan perawat pada waktu intervensi. Adapun tindakan keperawatan
untuk resiko perilaku kekerasan sudah dilaksanakan oleh ners muda.
Dalam memberikan SP ke pada klien, terdapat hambatan yang menyebabkan klien
tidak fokus dan tidak konsentrasi terhadap SP yang diajarkan. Hambatan tersebut yaitu
klien mudah teralihkan oleh kondisi lain klien mudah tersinggung kemudian langsung
meninggalkan perawat saat pengkajian.
D. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
pada pasien. Evaluasi dilakukan secara terus-menerus pada respon pasien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Kurniawati, 2004). Menurut Herman
(2011), evaluasi dilakukan terus-menerus pada respon pasien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi yang dilakukan meliputi membina
hubungan saling percaya dengan pasien tercapai dengan ditandai pasien bersedia
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh perawat dan bersedia menceritakan tentang
masalah halusinasi dan resiko prilaku kekerasan yang dialaminya.
Evaluasi untuk masalah Resiko Prilaku Kekerasan. Strategi pelaksanaan (SP 1)
Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah, tanda dan gejala
yang dirasakan, prilaku kekerasan yang dilakukan, akibat dan cara mengendalikan prilaku
kekerasan dengan cara fisik pertama. Strategi pelaksanaan (SP 2) Membantu klien
mengendalikan prilaku kekerasan dengan cara fisik kedua (evaluasi latihan napas dalam,
latihan mengendalikan prilaku kekerasan dengan cara fisik kedua yaitu pukul kasur dan
bantal) menyusun jadwal kegiatan hariancarakedua). Strategi pelaksanaan (SP 3) Meminta
dengan baik, menolak dengan baik, mengungkapkan dengan baik. strategi pelaksanaan
(SP 4) latihan sholat atau membuat jadwal ibadah. Strategi pelaksanaan (SP 5) minum
obat secara teratur.
Dalam memberikan SP kepada klien, terdapat beberapa hambatan yang
menyebabkan klien tidak fokus dan tidak konsentrasi terhadap SP yang diajarkan,
sehingga memperpanjang waktu dalam melatih SP secara mandiri. Hambatan tersebut
antara lain: klien mudah lupa terhadap hal yang telah dilakukannya sehingga terdapat
pelaksanaan SP yang sama pada hari yang berbeda guna mengulang kembali agar klien
ingat.
48
Evaluasi untuk masalah gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran. Strategi
pelaksanaan (SP 1) mengenal halusinasi, cara-cara mengontrol halusinasi, dan
menghardik halusinasi. Strategi pelaksanaan (SP 2) bercakap-cakap dengan orang lain.
Strategi pelaksanaan (SP 3) melaksanakan aktivitas terjadwal. Strategi pelaksanaan (SP 4)
minum obat secara teratur.
Dalam memberikan SP kepada klien, terdapat beberapa hambatan yang
menyebabkan klien tidak fokus dan tidak konsentrasi terhadap SP yang diajarkan, namun
pasien menyangkal mendengar suara-suara. Tanda dan gejala secara objektif
menunjukkan bahwa Tn. A mengalami halusinasi pendengaran.
Dalam memberikan SP kepada klien, terdapat beberapa hambatan. Pasien menolak
untuk menyusun jadwal kegiatan aktivitas dengan alasan mengantuk dan pasien tampak
tertidur dan malas melakukan kegiatan aktivitas lainnya. Namun saat diberikan SP, klien
mampu melakukan kemampuan yang dapat dilakukan.
Dalam memberikan SP kepada klien, terdapat beberapa hambatan. Saat pengkajian
pasien menunjukkan tanda-tanda waham yang kuat. Namun saat dilakukan penyanggahan
pasien dapat menerimanya.

49
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.A dengan
perilaku kekerasan di ruang Sebayang pada tanggal 25 November 2019 sebagai
makalah seminar Asuhan Keperawatan Jiwa pada Tn. A maka kelompok mengambil
beberapa kesimpulan yang sekiranya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi pemberian asuhan keperawatan pada pasien khususnya pasien perilaku kekerasan.
Kesimpulan yang diperoleh penulis setelah melakukan tindakan keperawatan dirumah
Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru Provinsi Riau berdasarkan tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan makalah ini:
a. Mampu mengetahui pengkajian pada pasien resiko perilaku kekerasan
b. Mampu mengetahui cara menegakkan diagnosa pada pasien dengan resiko

perilaku kekerasan

c. Mampu menyusun intervensi pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.

d. Mampu melakukan implementasi pada pasien dengan resiko perilaku

kekerasan.

e. Mampu menyusun evaluasi pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.

B. SARAN
1. Bagi perawat, perlu menyampaikan dan memberi informasi tentang masalah
keperawatan dengan perilaku kekerasan sebab masalah tersebut sangat penting
untuk memandirikan pasien dan keluarga dalam perawatan dirumah.
2. Bagi sarana rumah sakit untuk menunjang keberhasilan perawatan pasien
dengan perilaku kekerasan perlu diingatkan hubungan kerja sama antara pihak
rumah sakit dan keluarga dalam perawatan baik dirumah sakit maupun sesudah
pasien pulang kerumah.

50
3. Bagi keluarga,berperan penting bagi peristiwa terjadinya gangguan jiwa dan
proses penyesuain kembali setiap pasien,oleh karena itu perlu serta keluarga
dalam proses pemulihan dan pencegahan pada pasien gangguan jiwa sangat
diperlukan.
4. Bagi pasien.harus meningkatkan apa yang telah diajarkan selama dirumah sakit
dan harus bisa mempraktekkan apabila pasien sedang marah dan serta tidak
boleh lupa minum obat dan kontrol secara teratur.
5. Bagi masyarakat,berperan pentingdalam kesembuhan pasien karena masyarakat
yang utama dalam kehidupan seharai-hari pasien dirumah,olehsebab itu
masyarakat dianjurkan ikut berpartisipasi dalam kesembuhan pasien agar tidak
terjadi kekambuhan kembali setelah pulang dari rumah sakit

51
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, A.Y. (2008). Bunga rampai asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC.
Keliat Budi Ana. (1999). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.
Keliat Budi Ana. (1999). Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
Muhith, A. (2010). Pendidikan keperawatan jiwa teori dan aplikasi. Yogyakarta: ANDI.
Purba, dkk.(2008). Asuhan keperawatan klien dengan masalah psikososial dan gangguan
jiwa. Medan: USU Press.
Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby
Year Book, 1995.

52

Anda mungkin juga menyukai