Disusun oleh :
Tia Novia
180070300111028
Kelompok 3A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
CEDERA KEPALA
A. Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace &
Neil R. Borlei, 2006)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca,
2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnyakontinuitas otak(Arif Muttaqin, 2008).
B. Epidemiologi
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera
kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih
didominasi olehkaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera
kepala(Packard, 1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi kasus cidera
kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh
pasien berusia 15-34 tahun. Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta,
menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39 tahun
(47%), suatu golongan umur yang paling aktifdan produktif. Dalam penelitian ini
didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh (25%),
11% adalah pelajar dan mahasiswa.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti
nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15%
cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun. Dalam
penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%). Menurut
penelitian Amandus (2005)di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370 penderita
cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi pada
kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%). Menurut
penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP. Fatmawati
Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan pada malam hari
mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%) dibandingkan
kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih gelap dan sudah
mulai sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya
dengan kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko
terjadinya kematian dan cidera meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan
mengemudi.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di
Instalasi Gawat Darurat (IGD)di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan
jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan
meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio
cerebri10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang
31.29%.
C. ETIOLOGI
2 Kecelakaan kerja
4. Kejatuhan benda
5. Luka tembak
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
a) Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CTscan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau
terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada
penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59
mmol/L (Parenrengi, 2004).
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan
dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999). Pasien
mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat
bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi, 2004).
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner
C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala
sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan
(Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan
peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini
mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al., 1986). Penderita cedera kepala
berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c. Morfologi cedera :
1. Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak
2. Lesi kranium terbagi atas lesi fokal dan lesi difus
E. PATOFISIOLOGI
F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama
(Hoffman, dkk, 1996):
1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir
kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Trias klasik :
1. Nyeri kepala karena regangan durameter dan pembuluh darah
2. Pepil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptik
3. Muntah, seringkali proyektil
Pengobatan :
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
- Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-
cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa,
PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg.
- Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per
infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek
yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
- Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya
sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus
cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak.
- Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.
- Pada 24, 48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000
ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan
dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada
keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat
dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya
dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd
100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan
kesadaran dan depresi pernapasan.
Penatalaksanaan Menurut Klasifikasi
Cedera kepala ringan (GCS = 14 – 15 )
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel
Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b.Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit
Cedera kepala sedang ( GCS = 9-13 )
Pada 10 % kasus :
Masih mampu menuruti perintah sederhana
Tampak bingung atau mengantuk
Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 – 20 % kasus :
Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
Tindakan di UGD :
Anamnese singkat
Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
Pemeriksaan CT. scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
Status neulologis membaik
CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2. Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada
kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung /
tamponade jantung dan tension pneumothorax.
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen
B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.
TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresi
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
I. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72
jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan
trauma..
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia
(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau
epilepsy.
c. Komplikasi lain secara traumatic :
1) Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
3) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
d. Komplikasi lain:
1) Peningkatan TIK
2) Hemorarghi
3) Kegagalan nafas
4) Diseksi ekstrakranial
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat
kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
Umum
a. Airway
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit
5) Monitoring intake dan output
Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi
Prioritas Keperawatan
a. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
b. Mencegah/meminimalkan komplikasi
c. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
d. Meningkatkan koping individu dan keluarga
e. Memberikan informasi
Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstermitas.Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia.
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI : jarang ditemukan
g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, spt: pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
i. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena
respirasi)
j. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, spt “raccoon eye”, tanda battle disekitar
telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang ulang,
disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain
f. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atau
vena terputus,
b. Nyeri akut b.d agen injuri fisik
c. Kerusakan integritas kulit b.d agen injuri
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas peningkatan TIK, muntah
e. Resiko kekurangan volume cairan
g. INTERVENSI KEPERAWATAN
Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI,
Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia
Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.Hudak
C.M., 1994, Critical Care Nursing, Lippincort Company, Philadelphia.
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification
(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 – 1728
Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2000). Medical –Surgical Mursing ; Assessment and
management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 – 171624 – 1630.
Luckman (1996). Core principles and practice of medical-surgical nursing. Philadelphia :
W.B.Sauders Company. p ; 341 – 354
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC),Mosby Year-Book, St.
Louis
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
ProsesPenyakit.Edisi keempat, Buku Kedua.Jakarta :EGC
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Sari, et al. 2005.Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC