Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

Ruang 19 Rumah Sakit Umum Dr.Saiful Anwar Malang


Disusun untuk Melengkapi Tugas Profesi Ners di Departemen Surgikal

Disusun oleh :
Tia Novia
180070300111028
Kelompok 3A

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019
CEDERA KEPALA

A. Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace &
Neil R. Borlei, 2006)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca,
2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnyakontinuitas otak(Arif Muttaqin, 2008).
B. Epidemiologi
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera
kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih
didominasi olehkaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera
kepala(Packard, 1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi kasus cidera
kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh
pasien berusia 15-34 tahun. Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta,
menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39 tahun
(47%), suatu golongan umur yang paling aktifdan produktif. Dalam penelitian ini
didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh (25%),
11% adalah pelajar dan mahasiswa.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti
nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15%
cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun. Dalam
penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%). Menurut
penelitian Amandus (2005)di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370 penderita
cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi pada
kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%). Menurut
penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP. Fatmawati
Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan pada malam hari
mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%) dibandingkan
kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih gelap dan sudah
mulai sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya
dengan kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko
terjadinya kematian dan cidera meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan
mengemudi.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di
Instalasi Gawat Darurat (IGD)di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan
jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan
meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio
cerebri10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang
31.29%.
C. ETIOLOGI

1. Kecelakaan lalu lintas

2 Kecelakaan kerja

3. Trauma pada olah raga

4. Kejatuhan benda

5. Luka tembak

Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu


jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan
pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok)
dan tembakan. Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera kepala
terbanyak adalah 45% akibat kecelakaanlalu lintas, 30% akibat terjatuh,10%
kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang
atau di pukul. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah
kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) pengendara
sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi standar. Pada saat
penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah, akhirnya
terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah dan melukai
kepala.

D. KLASIFIKASI

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan


morfologi cedera.

a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter.


* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).
- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)


Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis,
gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-
bagian yang dinilai adalah;
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
a) Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CTscan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau
terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada
penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59
mmol/L (Parenrengi, 2004).
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan
dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999). Pasien
mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat
bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi, 2004).
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner
C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala
sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan
(Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan
peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini
mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al., 1986). Penderita cedera kepala
berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c. Morfologi cedera :
1. Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak
2. Lesi kranium terbagi atas lesi fokal dan lesi difus

Klasifikasi Cedera Kepala secara umum

a. Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk
kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada
kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang
ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan
perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari
hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah
yangluka dan luasnya lesi:
- Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranialyang
dapat menyebabkan kematian.
- Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil
mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai
kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalamsikap fleksi)
- Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga
koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan
mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku
dalam sikap ekstensi).
c. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi
karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia,
robeknyasinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini
sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai
adalah adanya suatulucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran
menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadiyang semakin bertambah
tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan
terjadi anisokori pupil.
d. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena
robeknyaarakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang
sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguanpsikis, kesadaran
penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologisseperti hemiparesis,
epilepsy, dan edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis
a. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
c. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung
pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari
ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala
seperti tumor serebri.
e. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
a. Hemiplegi
b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari
arteri perikalosake sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri
serebri media yang tidak normal.
f. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia
pascatraumatik.Gejala tergantung letak frakturnya :
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes),
rusaknya Nervus Olfactoriussehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan
artericarotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita
dapat mati seketika

E. PATOFISIOLOGI

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat


ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatandeselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita
lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba,
cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat
lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi
karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf
kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas
(Brain, 2009).
PATHWAY

F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama
(Hoffman, dkk, 1996):
1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir
kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas

Trias klasik :
1. Nyeri kepala karena regangan durameter dan pembuluh darah
2. Pepil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptik
3. Muntah, seringkali proyektil

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :


1. Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
2. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
3. Respon pupil mungkin lenyap.
4. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.
5. Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.
6. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
7. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan
dekompensasi otak dan kematian yang mengancam
8. Hipertermia
9. Perubahan bicara
10. Kejang
11. Hipovolemik syok
12. Konvulsi
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring kadar
O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test
diagnostic untuk menentukan status respirasi..
b. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran
jaringan otak.
c. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
e. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
f. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarahnoid
g. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
h. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
i. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
j. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
k. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
H. PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penilaian awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskangigi
palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jiokacedera
orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
Jikatidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan,
selidikidan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks,pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semuaperdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan
tekanandarah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena
yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum,elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid.
Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin)
menimbulkaneksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula
berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
 Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
 Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
 Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
 Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
 Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
 Konfusi
 Amnesia pasca-trauma
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun,hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
 Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
 Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologist fokal
 Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Pedoman umum penatalaksanaan:
Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal
C1-C7 normal.
Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur :
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan
Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler
daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri.
- Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia
darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin
parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

Pengobatan :
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
- Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-
cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa,
PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg.
- Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per
infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek
yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
- Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya
sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus
cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak.
- Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.
- Pada 24, 48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000
ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan
dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada
keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat
dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya
dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd
100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan
kesadaran dan depresi pernapasan.
Penatalaksanaan Menurut Klasifikasi
Cedera kepala ringan (GCS = 14 – 15 )
 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

 Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel
 Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b.Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit
Cedera kepala sedang ( GCS = 9-13 )
 Pada 10 % kasus :
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
 Anamnese singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
 Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
 Status neulologis membaik
 CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

Cedera kepala berat ( GCS 3 – 8 )


 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi

Di UGD ditemukan :
 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada
kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung /
tamponade jantung dan tension pneumothorax.
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
 Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
 GCS
 Reflek cahaya pupil
 Gerakan bola mata
 Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresi
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
I. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72
jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan
trauma..
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia
(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau
epilepsy.
c. Komplikasi lain secara traumatic :
1) Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
3) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
d. Komplikasi lain:
1) Peningkatan TIK
2) Hemorarghi
3) Kegagalan nafas
4) Diseksi ekstrakranial

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat
kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
Umum
a. Airway
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit
5) Monitoring intake dan output
Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi
Prioritas Keperawatan
a. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
b. Mencegah/meminimalkan komplikasi
c. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
d. Meningkatkan koping individu dan keluarga
e. Memberikan informasi
Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstermitas.Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia.
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI : jarang ditemukan
g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, spt: pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
i. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena
respirasi)
j. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, spt “raccoon eye”, tanda battle disekitar
telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang ulang,
disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain
f. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atau
vena terputus,
b. Nyeri akut b.d agen injuri fisik
c. Kerusakan integritas kulit b.d agen injuri
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas peningkatan TIK, muntah
e. Resiko kekurangan volume cairan

g. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan dan kriteria


No Intervensi
Keperawatan hasil
1 Ketidakefektifan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
perfusi jaringan 1. Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien
(spesifik serebral) 2. Perfusi jaringan terhadap stimulus / rangsangan
b.d aliran arteri dan serebral 2. Monitor TIK klien dan respon
atau vena terputus. neurologis terhadap aktivitas
Setelah dilakukan 3. Monitor intake dan output
tindakan keperawatan 4. Pasang restrain, jika perlu
selama ….x 24 jam, 5. Monitor suhu dan angka leukosit
klien mampu men- 6. Kaji adanya kaku kuduk
capai : 7. Kelola pemberian antibiotik
1. Status sirkulasi 8. Berikan posisi dengan kepala
dengan indikator: elevasi 30-40O dengan leher dalam
· Tekanan darah posisi netral
sis-tolik dan diastolik 9. Minimalkan stimulus dari
dalam rentang yang lingkungan
diharapkan 10. Beri jarak antar tindakan
· Tidak ada keperawatan untuk meminimalkan
ortostatik hipotensi peningkatan TIK
· Tidak ada tanda 11. Kelola obat obat untuk
tan-da PTIK mempertahankan TIK dalam batas
2. Perfusi jaringan spesifik
serebral, dengan
indicator : Monitoring Neurologis (2620)
· Klien mampu 1. Monitor ukuran, kesimetrisan,
berko-munikasi dengan reaksi dan bentuk pupil
je-las dan sesuai ke- 2. Monitor tingkat kesadaran klien
mampuan 3. Monitor tanda-tanda vital
· Klien 4. Monitor keluhan nyeri kepala,
menunjukkan mual, dan muntah
perhatian, konsen-trasi, 5. Monitor respon klien terhadap
dan orientasi pengobatan
· Klien mampu 6. Hindari aktivitas jika TIK
mem-proses informasi meningkat
· Klien mampu 7. Observasi kondisi fisik klien
mem-buat keputusan
de-ngan benar Terapi Oksigen (3320)
· Tingkat kesadaran 1. Bersihkan jalan nafas dari secret
klien membaik 2. Pertahankan jalan nafas tetap
efektif
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul
oksigen, dan humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien
tentang pentingnya pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor respon klien terhadap
pemberian oksigen
8. 8Anjurkan klien untuk tetap
memakai oksigen selama aktivitas dan
tidur

2 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri (1400)


dengan agen injuri 1. Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri, lokasi,
fisik. 2. Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
3. Tingkat kualitas, dan beratnya nyeri.
kenyamanan 2. Observasi respon ketidaknyamanan
secara verbal dan non verbal.
Setelah dilakukan 3. Pastikan klien menerima perawatan
asuhan keperawatan analgetik dg tepat.
selama …. x 24 jam, 4. Gunakan strategi komunikasi yang
klien dapat : efektif untuk mengetahui respon
1. Mengontrol nyeri, penerimaan klien terhadap nyeri.
de-ngan indikator: 5. Evaluasi keefektifan penggunaan
- Mengenal kontrol nyeri
faktor-faktor penyebab 6. Monitoring perubahan nyeri baik
- Mengenal onset aktual maupun potensial.
nyeri 7. Sediakan lingkungan yang nyaman.
- Tindakan 8. Kurangi faktor-faktor yang dapat
pertolong-an non menambah ungkapan nyeri.
farmakologi 9. Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi
- Menggunakan sebelum atau sesudah nyeri berlangsung.
anal-getik 10. Kolaborasi dengan tim kesehatan
- Melaporkan lain untuk memilih tindakan selain obat
gejala-gejala nyeri untuk meringankan nyeri.
kepada tim kesehatan. 11. Tingkatkan istirahat yang adekuat
- Nyeri terkontrol untuk meringankan nyeri.

2. Menunjukkan Manajemen pengobatan (2380)


tingkat nyeri, dengan 1. Tentukan obat yang dibutuhkan
indikator: klien dan cara mengelola sesuai dengan
- Melaporkan anjuran/ dosis.
nyeri 2. Monitor efek teraupetik dari
- Frekuensi nyeri pengobatan.
- Lamanya 3. Monitor tanda, gejala dan efek
episode nyeri samping obat.
- Ekspresi nyeri; 4. Monitor interaksi obat.
wa-jah 5. Ajarkan pada klien / keluarga cara
- Perubahan mengatasi efek samping pengobatan.
respirasi rate 6. Jelaskan manfaat pengobatan yg
- Perubahan dapat mempengaruhi gaya hidup klien.
tekanan darah
- Kehilangan Pengelolaan analgetik(2210)
nafsu makan 1. Periksa perintah medis tentang obat,
dosis & frekuensi obat analgetik.
3. Tingkat 2. Periksa riwayat alergi klien.
kenyamanan, dengan 3. Pilih obat berdasarkan tipe dan
indicator : beratnya nyeri.
- Klien 4. Pilih cara pemberian IV atau IM
melaporkan kebutuhan untuk pengobatan, jika mungkin.
tidur dan istirahat 5. Monitor vital sign sebelum dan
tercukupi sesudah pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian analgetik
yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis analgetik,
observasi tanda dan gejala efek samping,
misal depresi pernafasan, mual dan
muntah, mulut kering, &konstipasi.
8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat,
dosis & cara pemberian yg
diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
kualitas, dan keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak diinginkan
Kerusakan Setelah dilakukan NIC Wound Care
3. integritas jaringan perawatan selama ...X 1. Perawatan area insisi;
diharapkan kerusakan membersihkan, memantau dan
integritas kulit dapat meningkatkan penembuhan luka ang
tertutup dengan jahitan
berkurang
2. Perlindungan infeksi; mencegah dan
NOC : mendeteksi dini pada pasien berisiko
- Integritas jaringan: 3. Pemeliharaan kesehatan mulut;
kulit dan memelihara dan meningkatkan
membrane hygiene oral dan kesehatan gigi pada
mukosa; keutuhan pasien yang berisiko mengalami lesi
struktur dan fungsi mulut atau gigi
fisiologis normal 4. Perawatan ostomi; memelihara
kulit dan eliminasi melalui stoma dan jaringan
membrane mukosa sekitar stoma
- Penyembuhan 5. Pencegahan ulkus dekubitus;
luka: primer; mencegah ulkus dekubitus pada
tingkat regenerasi individu yang berisiko mengalami
sel dan jaringan ulkus dekubitus
setelah penutupan 6. Perawatan kulit: terapi topical;
yang disengaja mengoleskan zat topical atau
- Penyembuhan manipulasi alat untuk meningkatkan
luka: sekunder; integritas kulit dan meminimalkan
tingkat regenerasi kerusakan kulit
sel dan jaringan 7. Perawatan luka; mencegah
pada luka terbuka komplikasi luka dan meningkatkan
penyembuhan luka

Ketidakefektifan Setelah dilakukan NIC Respiratory monitoring


4. bersihan jalan nafas perawatan selama ...X 1. Pantau rate, irama, kedalaman, dan
diharapkan bersihan usaha respirasi
jalan nafas klien bersih 2. Perhatikan gerakan dada, amati
NOC : simetris, penggunaan otot aksesori,
retraksi otot supraclavicular dan
Respiratory status:
interkostal
airway patency 3. Monitor suara napas tambahan
4. Monitor pola napas : bradypnea,
tachypnea, hyperventilasi, napas
 Frekuensi
kussmaul, napas cheyne-stokes,
pernapasan dalam
apnea, napas biot’s dan pola ataxic
batas normal (16-
20x/mnt)
 Irama pernapasn NIC Airway Management
normal 5. Auskultasi bunyi nafas
 Kedalaman tambahan; ronchi, wheezing.
pernapasan normal 6. Berikan posisi yang nyaman
 Klien mampu untuk mengurangi dispnea.
mengeluarkan 7. Bersihkan sekret dari mulut dan
sputum secara trakea; lakukan penghisapan sesuai
efektif keperluan.
 Tidak ada 8. Anjurkan asupan cairan adekuat.
akumulasi sputum 9. Ajarkan batuk efektif
10. Kolaborasi pemberian oksigen
11. Kolaborasi pemberian
broncodilator sesuai indikasi.
NIC Airway suctioning
12. Putuskan kapan dibutuhkan oral
dan/atau trakea suction
13. Auskultasi sura nafas sebelum
dan sesudah suction
14. Informasikan kepada keluarga
mengenai tindakan suction
15. Gunakan universal precaution,
sarung tangan, goggle, masker sesuai
kebutuhan
16. Gunakan aliran rendah untuk
menghilangkan sekret (80-100
mmHg pada dewasa)
17. Monitor status oksigen pasien
(SaO2 dan SvO2) dan status
hemodinamik (MAP dan irama
jantung) sebelum, saat, dan setelah
suction
Resiko kekurangan NIC
Setelah diberikan
5. volume cairan Electrolyte Monitoring
asuhan keperawatan
 Identifikasi kemungkinan penyebab
selama ….x diharapkan ketidakseimbangan elektrolit
cairan dan elektrolit  Monitor adanya kehilangan cairan
dan elektrolit
klien seimbang dengan  Monitor adanya mual,muntah dan
kriteria hasil : diare
NOC : Fluid Balance
 Turgor kulit elastic (
Fluid Management
skala 5 )  Monitor status hidrasi ( membran
 Intake dan output
mukus, tekanan ortostatik,
cairan seimbang ( keadekuatan denyut nadi )
skala 5 )  Monitor keakuratan intake dan
 Membrane mucus
output cairan
lembab ( skala 5 )  Monitor vital signs
 Monitor pemberian terapi IV
NOC : Vital sign
 Vital signs klien Vital Signs Monitoring
dalam rentang  Monitor vital sign klien
normal (BP : 120/80
mmHg, RR : 15-20
x/menit, HR : 60-
100 x/menit, suhu
klien 36,5-37,5o C)
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI,
Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia
Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.Hudak
C.M., 1994, Critical Care Nursing, Lippincort Company, Philadelphia.
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification
(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 – 1728
Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2000). Medical –Surgical Mursing ; Assessment and
management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 – 171624 – 1630.
Luckman (1996). Core principles and practice of medical-surgical nursing. Philadelphia :
W.B.Sauders Company. p ; 341 – 354
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC),Mosby Year-Book, St.
Louis
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
ProsesPenyakit.Edisi keempat, Buku Kedua.Jakarta :EGC
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Sari, et al. 2005.Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai