Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

DI RUANG 13

RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:

Annastasia Diah Anggraini

NIM. 150070300011074

KELOMPOK 9

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA

A. Pengertian
Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi pada kepala
yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun non-mekanik.
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara
penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak,
tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner & Suddart, 1987).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnyakontinuitas otak(Arif Muttaqin, 2008).

B. Epidemiologi
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera
kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma.
Distribusi cidera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44
tahun dan lebih didominasi olehkaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk
mengalami cidera kepala(Packard, 1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi
kasus cidera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan
separuh pasien berusia 15-34 tahun. Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di
Jakarta, menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39
tahun (47%), suatu golongan umur yang paling aktifdan produktif. Dalam penelitian
ini didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh
(25%), 11% adalah pelajar dan mahasiswa.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti
nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15%
cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun.
Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%).
Menurut penelitian Amandus (2005)di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370
penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi
pada kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%).
Menurut penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP.
Fatmawati Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan
pada malam hari mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%)
dibandingkan kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih
gelap dan sudah mulai sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara
mengemudikan kenderaannya dengan kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang
waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya kematian dan cidera meningkat
seiring dengan kenaikan kecepatan mengemudi.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di
Instalasi Gawat Darurat (IGD)di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan
jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan
meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio
cerebri10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah
tulang 31.29%.

C. ETIOLOGI

1. Kecelakaan lalu lintas

2 Kecelakaan kerja

3. Trauma pada olah raga

4. Kejatuhan benda

5. Luka tembak

Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu


jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan
pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam
(bacok) dan tembakan. Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab
cedera kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaanlalu lintas, 30% akibat
terjatuh,10% kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5%
akibat diserang atau di pukul. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala
serius adalah kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%)
pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi standar.
Pada saat penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah,
akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah dan
melukai kepala.

D. MACAM-MACAM

Macam-macam cedera kepala Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001)


cedera kepala ada 2 macam yaitu:

a. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya


tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga
dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup

Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah


goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak,
kontusio memar, dan laserasi.

E. KLASIFIKASI

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan


morfologi cedera.

a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter.


* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).
- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
b. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis,
gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah;
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 8

a) Trauma Kepala Ringan


Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CTscan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,
2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi
dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena
tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah
cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara
(Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita
cedera kepala ringan 1,59 mmol/L (Parenrengi, 2004).

b) Trauma Kepala Sedang


Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan
dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999). Pasien
mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang
mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi, 2004).

c) Trauma Kepala Berat


Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner
C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera
kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat
terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila
proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan
(Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan
peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS)
ini mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al., 1986). Penderita cedera
kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L
(Parenrengi, 2004).

c. Morfologi cedera :
1. Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak
2. Lesi kranium terbagi atas lesi fokal dan lesi difus

Klasifikasi Cedera Kepala secara umum

a. Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak ,
termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan
cedera pada kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat,
hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan
ganda.
b. Kontusio serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan
perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari
hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah
yangluka dan luasnya lesi:
- Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan
tekanan intracranialyang dapat menyebabkan kematian.
- Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes,
pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalamsikap fleksi)
- Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada,
gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan
kaku dalam sikap ekstensi).
c. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini
terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia,
robeknyasinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini
sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai
adalah adanya suatulucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga
kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadiyang
semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis,
dan terjadi anisokori pupil.
d. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena
robeknyaarakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh
tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguanpsikis,
kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologisseperti
hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis
a. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma.
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul
disekitarnya.
c. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung
pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari
ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala
seperti tumor serebri.
e. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
a. Hemiplegi
b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari
arteri perikalosake sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri
serebri media yang tidak normal.
f. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia
pascatraumatik.Gejala tergantung letak frakturnya :
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes),
rusaknya Nervus Olfactoriussehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan
artericarotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika

F. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatandeselerasi adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma
saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus
dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan
syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009).
PATHWAY

G. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama
(Hoffman, dkk, 1996):
1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir
kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Trias klasik :
1. Nyeri kepala karena regangan durameter dan pembuluh darah
2. Pepil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptik
3. Muntah, seringkali proyektil

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :


1. Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
2. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
3. Respon pupil mungkin lenyap.
4. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.
5. Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.
6. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
7. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan
menandakan dekompensasi otak dan kematian yang mengancam
8. Hipertermia
9. Perubahan bicara
10. Kejang
11. Hipovolemik syok
12. Konvulsi

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring kadar
O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test
diagnostic untuk menentukan status respirasi..
b. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran
jaringan otak.
c. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
e. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
f. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan
subarahnoid
g. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
h. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
i. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
j. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
k. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

I. PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penilaian awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
lepaskangigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat
ditolerir. Jiokacedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus
diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
Jikatidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan,
selidikidan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks,pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semuaperdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan
tekanandarah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur
intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum,elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid.
Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin)
menimbulkaneksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula
berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
Konfusi
Amnesia pasca-trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun,hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologist fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

Pedoman umum penatalaksanaan:


Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
tulang servikal C1-C7 normal.
Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur :
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan
Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler
daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri.
- Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia
darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin
parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

Pengobatan :
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
- Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-
cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa,
PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg.
- Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per
infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek
yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
- Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan
manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini
cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat
pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
- Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.
- Pada 24, 48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000
ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan
dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk
pada keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat
dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi
hanya dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd
100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa
penurunan kesadaran dan depresi pernapasan.

Penatalaksanaan Menurut Klasifikasi


Cedera kepala ringan (GCS = 14 15 )
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama
bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau
sakit kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battles sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel
Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit

Cedera kepala sedang ( GCS = 9 13 )


Pada 10 % kasus :
Masih mampu menuruti perintah sederhana
Tampak bingung atau mengantuk
Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 20 % kasus :
Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
Tindakan di UGD :
Anamnese singkat
Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
Pemeriksaan CT. scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
Status neulologis membaik
CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK.
Berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

Cedera kepala berat ( GCS 3 8 )


Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi

Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita
cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg
2. Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada
kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung /
tamponade jantung dan tension pneumothorax.
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau
perburukan pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera

A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresi
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan
di intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam
jiwa dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat
dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

J. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72
jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak
diakibatkan trauma..
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia
(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau
epilepsy.
c. Komplikasi lain secara traumatic :
1) Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
3) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
d. Komplikasi lain:
1) Peningkatan TIK
2) Hemorarghi
3) Kegagalan nafas
4) Diseksi ekstrakranial

K. AKIBAT JANGKA PANJANG CEDERA KEPALA


1. Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactoriusmenyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.
Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticustimbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertai hematomadi sekitar mata, proptosisakibat adanya
perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan
visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau
hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa
kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosisdan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus
untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saatcedera berupa gangguan pengecapan
pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong,
semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigodan nistagmuskarena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula
dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu
organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.

2. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
3. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidaldi korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala
adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
4. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
5. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
internadengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinikberupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosisdisertai
hyperemiadan pembengkakan konjungtiva, diplopiadan penurunan visus, nyeri
kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
6. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yangmuncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul
dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat
kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

Umum
a. Airway
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi
untuk mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau
mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation
2) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir)
3) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
4) Monitoring tanda tanda vital
5) Pemberian cairan dan elektrolit
6) Monitoring intake dan output

Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi

Prioritas Keperawatan
a. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
b. Mencegah/meminimalkan komplikasi
c. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
d. Meningkatkan koping individu dan keluarga
e. Memberikan informasi

Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi,
disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstermitas.Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia.
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI : jarang ditemukan

g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.


Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, spt: pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
i. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena
respirasi)
j. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, spt raccoon eye, tanda battle
disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan
secara umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang ulang,
disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain

f. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atau
vena terputus,
b. Nyeri akut b.d agen injuri fisik
c. Kerusakan integritas kulit b.d agen injuri
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas peningkatan TIK, muntah
e. Resiko kekurangan volume cairan

g. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan kriteria
No Intervensi
Keperawatan hasil
1 Ketidakefektifan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
perfusi jaringan 1. Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien terhadap
(spesifik serebral) 2. Perfusi jaringan stimulus / rangsangan
b.d aliran arteri dan serebral 2. Monitor TIK klien dan respon neurologis
atau vena terputus. terhadap aktivitas
Setelah dilakukan 3. Monitor intake dan output
tindakan keperawatan4. Pasang restrain, jika perlu
5. Monitor suhu dan angka leukosit
selama .x 24 jam, 6. Kaji adanya kaku kuduk
klien mampu men- 7. Kelola pemberian antibiotik
capai : 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi
1. Status sirkulasi 30-40O dengan leher dalam posisi netral
dengan indikator: 9. Minimalkan stimulus dari lingkungan
Tekanan darah 10. Beri jarak antar tindakan keperawatan
sis-tolik dan diastolik untuk meminimalkan peningkatan TIK
11. Kelola obat obat untuk
dalam rentang yang
mempertahankan TIK dalam batas
diharapkan
spesifik
Tidak ada
ortostatik hipotensi
Monitoring Neurologis (2620)
Tidak ada tanda
1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
tan-da PTIK
dan bentuk pupil
2. Perfusi jaringan
2. Monitor tingkat kesadaran klien
serebral, dengan 3. Monitor tanda-tanda vital
indicator : 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual, dan
Klien mampu muntah
berko-munikasi 5. Monitor respon klien terhadap
dengan je-las dan pengobatan
sesuai ke-mampuan 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
Klien 7. Observasi kondisi fisik klien
menunjukkan
perhatian, konsen- Terapi Oksigen (3320)
trasi, dan orientasi 1. Bersihkan jalan nafas dari secret
Klien mampu 2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
mem-proses informasi
4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen,
Klien mampu
dan humidifier
mem-buat keputusan 5. Beri penjelasan kepada klien tentang
de-ngan benar pentingnya pemberian oksigen
Tingkat 6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
kesadaran klien 7. Monitor respon klien terhadap
membaik pemberian oksigen
8. 8Anjurkan klien untuk tetap memakai
oksigen selama aktivitas dan tidur

2 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri (1400)


dengan agen injuri 1. Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri, lokasi,
fisik. 2. Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
3. Tingkat kualitas, dan beratnya nyeri.
kenyamanan 2. Observasi respon ketidaknyamanan
secara verbal dan non verbal.
Setelah dilakukan 3. Pastikan klien menerima perawatan
asuhan keperawatan analgetik dg tepat.
selama . x 24 jam, 4. Gunakan strategi komunikasi yang
klien dapat : efektif untuk mengetahui respon
1. Mengontrol nyeri, penerimaan klien terhadap nyeri.
de-ngan indikator: 5. Evaluasi keefektifan penggunaan
- Mengenal kontrol nyeri
faktor-faktor penyebab 6. Monitoring perubahan nyeri baik
- Mengenal onset aktual maupun potensial.
nyeri 7. Sediakan lingkungan yang nyaman.
- Tindakan 8. Kurangi faktor-faktor yang dapat
pertolong-an non menambah ungkapan nyeri.
farmakologi 9. Ajarkan penggunaan tehnik
- Menggunakan relaksasi sebelum atau sesudah nyeri
anal-getik berlangsung.
- Melaporkan 10. Kolaborasi dengan tim kesehatan
gejala-gejala nyeri lain untuk memilih tindakan selain obat
kepada tim kesehatan. untuk meringankan nyeri.
- Nyeri terkontrol 11. Tingkatkan istirahat yang adekuat
untuk meringankan nyeri.
2. Menunjukkan
tingkat nyeri, dengan Manajemen pengobatan (2380)
indikator: 1. Tentukan obat yang dibutuhkan klien
- Melaporkan dan cara mengelola sesuai dengan
nyeri anjuran/ dosis.
- Frekuensi nyeri 2. Monitor efek teraupetik dari
- Lamanya pengobatan.
episode nyeri 3. Monitor tanda, gejala dan efek
- Ekspresi nyeri; samping obat.
wa-jah 4. Monitor interaksi obat.
- Perubahan 5. Ajarkan pada klien / keluarga cara
respirasi rate mengatasi efek samping pengobatan.
- Perubahan 6. Jelaskan manfaat pengobatan yg
tekanan darah dapat mempengaruhi gaya hidup klien.
- Kehilangan
nafsu makan Pengelolaan analgetik(2210)
1. Periksa perintah medis tentang
3. Tingkat obat, dosis & frekuensi obat analgetik.
kenyamanan, dengan 2. Periksa riwayat alergi klien.
indicator : 3. Pilih obat berdasarkan tipe dan
- Klien beratnya nyeri.
melaporkan kebutuhan 4. Pilih cara pemberian IV atau IM
tidur dan istirahat untuk pengobatan, jika mungkin.
tercukupi 5. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian analgetik
yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis analgetik,
observasi tanda dan gejala efek
samping, misal depresi pernafasan,
mual dan muntah, mulut kering,
&konstipasi.
8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat,
dosis & cara pemberian yg
diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
kualitas, dan keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak diinginkan
Kerusakan Setelah dilakukan NIC Wound Care
3. integritas jaringan perawatan selama ...X 1. Perawatan area insisi;
diharapkan kerusakan membersihkan, memantau dan
integritas kulit dapat meningkatkan penembuhan luka ang
tertutup dengan jahitan
berkurang
2. Perlindungan infeksi; mencegah dan
NOC : mendeteksi dini pada pasien berisiko
- Integritas jaringan: 3. Pemeliharaan kesehatan mulut;
kulit dan memelihara dan meningkatkan
membrane hygiene oral dan kesehatan gigi
mukosa; keutuhan pada pasien yang berisiko
struktur dan fungsi mengalami lesi mulut atau gigi
fisiologis normal 4. Perawatan ostomi; memelihara
kulit dan eliminasi melalui stoma dan jaringan
membrane sekitar stoma
mukosa 5. Pencegahan ulkus dekubitus;
- Penyembuhan mencegah ulkus dekubitus pada
luka: primer; individu yang berisiko mengalami
tingkat regenerasi ulkus dekubitus
sel dan jaringan 6. Perawatan kulit: terapi topical;
setelah penutupan mengoleskan zat topical atau
yang disengaja manipulasi alat untuk meningkatkan
- Penyembuhan integritas kulit dan meminimalkan
luka: sekunder; kerusakan kulit
tingkat regenerasi 7. Perawatan luka; mencegah
sel dan jaringan komplikasi luka dan meningkatkan
pada luka terbuka penyembuhan luka

Ketidakefektifan Setelah dilakukan NIC Respiratory monitoring


4. bersihan jalan nafas perawatan selama ...X 1. Pantau rate, irama, kedalaman,
diharapkan bersihan dan usaha respirasi
jalan nafas klien bersih 2. Perhatikan gerakan dada, amati
NOC : simetris, penggunaan otot aksesori,
Respiratory status: retraksi otot supraclavicular dan
interkostal
airway patency
3. Monitor suara napas tambahan
4. Monitor pola napas : bradypnea,
Frekuensi tachypnea, hyperventilasi, napas
pernapasan dalam kussmaul, napas cheyne-stokes,
batas normal (16- apnea, napas biots dan pola ataxic
20x/mnt)
Irama NIC Airway Management
pernapasn normal 5. Auskultasi bunyi nafas
Kedalaman tambahan; ronchi, wheezing.
pernapasan 5. Berikan posisi yang nyaman
normal
Klien mampu untuk mengurangi dispnea.
mengeluarkan 5. Bersihkan sekret dari mulut dan
sputum secara trakea; lakukan penghisapan
efektif sesuai keperluan.
Tidak ada 5. Anjurkan asupan cairan adekuat.
akumulasi sputum 5. Ajarkan batuk efektif
5. Kolaborasi pemberian oksigen
5. Kolaborasi pemberian
broncodilator sesuai indikasi.
NIC Airway suctioning
12. Putuskan kapan dibutuhkan oral
dan/atau trakea suction
12. Auskultasi sura nafas sebelum
dan sesudah suction
12. Informasikan kepada keluarga
mengenai tindakan suction
12. Gunakan universal precaution,
sarung tangan, goggle, masker
sesuai kebutuhan
12. Gunakan aliran rendah untuk
menghilangkan sekret (80-100
mmHg pada dewasa)
12. Monitor status oksigen pasien
(SaO2 dan SvO2) dan status
hemodinamik (MAP dan irama
jantung) sebelum, saat, dan
setelah suction
Resiko kekurangan NIC
Setelah diberikan
5. volume cairan
Electrolyte Monitoring
asuhan keperawatan
Identifikasi kemungkinan penyebab
selama .x ketidakseimbangan elektrolit
diharapkan cairan dan Monitor adanya kehilangan cairan dan
elektrolit
elektrolit klien
Monitor adanya mual,muntah dan
seimbang dengan diare

kriteria hasil :
NOC : Fluid Balance Fluid Management
Turgor kulit elastic Monitor status hidrasi ( membran
( skala 5 ) mukus, tekanan ortostatik, keadekuatan
Intake dan output denyut nadi )
cairan seimbang ( skala Monitor keakuratan intake dan output
5) cairan
Membrane mucus Monitor vital signs
lembab ( skala 5 ) Monitor pemberian terapi IV

NOC : Vital sign Vital Signs Monitoring


Vital signs klien Monitor vital sign klien
dalam rentang normal
(BP : 120/80 mmHg,
RR : 15-20 x/menit, HR
: 60-100 x/menit, suhu
o
klien 36,5-37,5 C)

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI,
Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia
Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.Hudak
C.M., 1994, Critical Care Nursing, Lippincort Company, Philadelphia.
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification
(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC,
Jakarta
Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 1728
Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2000). Medical Surgical Mursing ; Assessment and
management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 171624 1630.
Luckman (1996). Core principles and practice of medical-surgical nursing. Philadelphia :
W.B.Sauders Company. p ; 341 354
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC),Mosby Year-Book, St.
Louis
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
ProsesPenyakit.Edisi keempat, Buku Kedua.Jakarta :EGC
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Sari, et al. 2005.Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai