DI RUANG 13
OLEH:
NIM. 150070300011074
KELOMPOK 9
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
A. Pengertian
Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi pada kepala
yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun non-mekanik.
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara
penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak,
tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner & Suddart, 1987).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnyakontinuitas otak(Arif Muttaqin, 2008).
B. Epidemiologi
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera
kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma.
Distribusi cidera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44
tahun dan lebih didominasi olehkaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk
mengalami cidera kepala(Packard, 1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi
kasus cidera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan
separuh pasien berusia 15-34 tahun. Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di
Jakarta, menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39
tahun (47%), suatu golongan umur yang paling aktifdan produktif. Dalam penelitian
ini didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh
(25%), 11% adalah pelajar dan mahasiswa.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti
nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15%
cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun.
Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%).
Menurut penelitian Amandus (2005)di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370
penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi
pada kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%).
Menurut penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP.
Fatmawati Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan
pada malam hari mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%)
dibandingkan kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih
gelap dan sudah mulai sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara
mengemudikan kenderaannya dengan kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang
waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya kematian dan cidera meningkat
seiring dengan kenaikan kecepatan mengemudi.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di
Instalasi Gawat Darurat (IGD)di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan
jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan
meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio
cerebri10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah
tulang 31.29%.
C. ETIOLOGI
2 Kecelakaan kerja
4. Kejatuhan benda
5. Luka tembak
D. MACAM-MACAM
E. KLASIFIKASI
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 8
c. Morfologi cedera :
1. Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak
2. Lesi kranium terbagi atas lesi fokal dan lesi difus
F. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatandeselerasi adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma
saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus
dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan
syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009).
PATHWAY
G. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama
(Hoffman, dkk, 1996):
1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir
kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Trias klasik :
1. Nyeri kepala karena regangan durameter dan pembuluh darah
2. Pepil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptik
3. Muntah, seringkali proyektil
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring kadar
O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test
diagnostic untuk menentukan status respirasi..
b. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran
jaringan otak.
c. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
e. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
f. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan
subarahnoid
g. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
h. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
i. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
j. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
k. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
I. PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penilaian awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
lepaskangigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat
ditolerir. Jiokacedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus
diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
Jikatidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan,
selidikidan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks,pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semuaperdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan
tekanandarah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur
intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum,elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid.
Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin)
menimbulkaneksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula
berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
Konfusi
Amnesia pasca-trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun,hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologist fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Pengobatan :
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
- Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-
cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa,
PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg.
- Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per
infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek
yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
- Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan
manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini
cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat
pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
- Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.
- Pada 24, 48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000
ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan
dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk
pada keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat
dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi
hanya dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd
100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa
penurunan kesadaran dan depresi pernapasan.
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battles sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel
Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita
cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg
2. Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada
kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung /
tamponade jantung dan tension pneumothorax.
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen
B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau
perburukan pasien.
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresi
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan
di intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam
jiwa dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat
dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
J. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72
jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak
diakibatkan trauma..
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia
(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau
epilepsy.
c. Komplikasi lain secara traumatic :
1) Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
3) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
d. Komplikasi lain:
1) Peningkatan TIK
2) Hemorarghi
3) Kegagalan nafas
4) Diseksi ekstrakranial
2. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
3. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidaldi korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala
adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
4. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
5. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
internadengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinikberupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosisdisertai
hyperemiadan pembengkakan konjungtiva, diplopiadan penurunan visus, nyeri
kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
6. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yangmuncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul
dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat
kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
Umum
a. Airway
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi
untuk mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau
mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation
2) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir)
3) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
4) Monitoring tanda tanda vital
5) Pemberian cairan dan elektrolit
6) Monitoring intake dan output
Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi
Prioritas Keperawatan
a. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
b. Mencegah/meminimalkan komplikasi
c. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
d. Meningkatkan koping individu dan keluarga
e. Memberikan informasi
Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi,
disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstermitas.Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia.
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI : jarang ditemukan
f. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atau
vena terputus,
b. Nyeri akut b.d agen injuri fisik
c. Kerusakan integritas kulit b.d agen injuri
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas peningkatan TIK, muntah
e. Resiko kekurangan volume cairan
g. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan kriteria
No Intervensi
Keperawatan hasil
1 Ketidakefektifan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
perfusi jaringan 1. Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien terhadap
(spesifik serebral) 2. Perfusi jaringan stimulus / rangsangan
b.d aliran arteri dan serebral 2. Monitor TIK klien dan respon neurologis
atau vena terputus. terhadap aktivitas
Setelah dilakukan 3. Monitor intake dan output
tindakan keperawatan4. Pasang restrain, jika perlu
5. Monitor suhu dan angka leukosit
selama .x 24 jam, 6. Kaji adanya kaku kuduk
klien mampu men- 7. Kelola pemberian antibiotik
capai : 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi
1. Status sirkulasi 30-40O dengan leher dalam posisi netral
dengan indikator: 9. Minimalkan stimulus dari lingkungan
Tekanan darah 10. Beri jarak antar tindakan keperawatan
sis-tolik dan diastolik untuk meminimalkan peningkatan TIK
11. Kelola obat obat untuk
dalam rentang yang
mempertahankan TIK dalam batas
diharapkan
spesifik
Tidak ada
ortostatik hipotensi
Monitoring Neurologis (2620)
Tidak ada tanda
1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
tan-da PTIK
dan bentuk pupil
2. Perfusi jaringan
2. Monitor tingkat kesadaran klien
serebral, dengan 3. Monitor tanda-tanda vital
indicator : 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual, dan
Klien mampu muntah
berko-munikasi 5. Monitor respon klien terhadap
dengan je-las dan pengobatan
sesuai ke-mampuan 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
Klien 7. Observasi kondisi fisik klien
menunjukkan
perhatian, konsen- Terapi Oksigen (3320)
trasi, dan orientasi 1. Bersihkan jalan nafas dari secret
Klien mampu 2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
mem-proses informasi
4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen,
Klien mampu
dan humidifier
mem-buat keputusan 5. Beri penjelasan kepada klien tentang
de-ngan benar pentingnya pemberian oksigen
Tingkat 6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
kesadaran klien 7. Monitor respon klien terhadap
membaik pemberian oksigen
8. 8Anjurkan klien untuk tetap memakai
oksigen selama aktivitas dan tidur
kriteria hasil :
NOC : Fluid Balance Fluid Management
Turgor kulit elastic Monitor status hidrasi ( membran
( skala 5 ) mukus, tekanan ortostatik, keadekuatan
Intake dan output denyut nadi )
cairan seimbang ( skala Monitor keakuratan intake dan output
5) cairan
Membrane mucus Monitor vital signs
lembab ( skala 5 ) Monitor pemberian terapi IV
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI,
Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia
Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.Hudak
C.M., 1994, Critical Care Nursing, Lippincort Company, Philadelphia.
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification
(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC,
Jakarta
Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 1728
Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2000). Medical Surgical Mursing ; Assessment and
management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 171624 1630.
Luckman (1996). Core principles and practice of medical-surgical nursing. Philadelphia :
W.B.Sauders Company. p ; 341 354
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC),Mosby Year-Book, St.
Louis
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
ProsesPenyakit.Edisi keempat, Buku Kedua.Jakarta :EGC
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Sari, et al. 2005.Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC