Anda di halaman 1dari 32

PERILAKU KEKERASAN

A. Konsep perilaku kekerasan


1. Definisi
a. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang
ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba
dkk, 2008).
b. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan
untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif.
2. Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon
kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai
maladaptive (keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi
marah menurut Stuart and Sundeen (1995)

Respon
Maladaptif

Respon
Adaptif

Aserti
Pasif
Keterangan :
f

Frusta
si

Agres
i

Amuk

a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri
dengan pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati
orang lain. Individu yang asertif berbicara dengan jujur dan
jelas. Meraka dapat melihat norma individu lainnya dengan
tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam
berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat
menolak permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan
rasionalnya kepada oang laindan sebaliknya individu juga

dapat

menerima

dan

tidak

merasa

bersalah

bila

permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)


b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari
persepsinya terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang
pasif marah maka dia akan berusaha menutupi kemarahannya
sehingga meningkatkan tekanan pada dirinya. Pola interaksi
seperti ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan
(Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai
tujuan (Stuart & Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan
individe dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi
akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai
memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin, William &
Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu
merasa

harus

bersing

untuk

mendapatkan

apa

yang

diinginkannya. Seseorang yang agresif di dalam hidupnya


selalu mengarah pada kekrasan fisik dan verbal. Perilaku
agresif

pada

dasarnya

disebabkan

karena

menutupi

kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da


Stuart & Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam
dan memusuhi orag lain dan atau lingkungan (Rawlins et
al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat yang disertai kehilangan control diri
sehingga individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991). Menurut Stuart dan LAraia
(2009) perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah ke
tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku agresif dan
kekerasan.

Tinggi

Melukai dalam tingkat serius dan bebahaya


Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya
Mengucapkan

kata-kata

ancaman

dengan

rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
Mengucapkan

kata-kata

ancaman

tanpa

melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan

permusuhan

pada

rendah

Rend
ah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku


kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilaku kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang
terendah yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan
trtinggi yaitu melukai dan tingkat serius dan membahayakan.
3. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori
sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam
Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus.

Neurotransmitter

juga

mempunyai

peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses

tingkat

impuls

agresif.

Sistem

limbik

merupakan

sistem

informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada


gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu

membuat

keputusan,

kerusakan

pada

penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam


komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi
dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai

neurotransmitter

(epinephrine,

norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin)


sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat
impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya
tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik
dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis,
dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat

mengakibatkan

tidak

berkembangnya

ego

dan

membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak


kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang
dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti
dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri.
Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai
orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor
budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada
kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku
kekerasan

sebagai

cara

untuk

menyelesaikan

masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku


tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi
secara konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku

kekerasan.

Adanya

keterbatasan

sosial

dapat

menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.


b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau
simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton
sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan
kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam
keluarga

serta

tidak

membiasakan

dialog

untuk

memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan


dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya
riwayat
perilaku
anti
sosial
meliputi
penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu
mengontrol

emosinya

pada

saat

menghadapi

rasa

frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan,

perubahan

tahap

perkembangan,

atau

perubahan tahap perkembangan keluarga.


4. Tanda dan gejala
Menurut Keliat (1999), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan,
sebagai berikut:
a. Tanda dan Gejala Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Otot tegang
4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan
kehendak
6) Memukul jika tidak senang
b. Tanda dan Gejala Emosional
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan
tindakan terhadap penyakit (misal, rambut botak karena
terapi)

2) Rasa

bersalah

terhaap

diri

sendiri

(mengkritik/menyalahkan diri sendiri)


3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram, mungkin klien akan mengakhiri
kehidupannya)
c. Tanda dan Gejala Sosial
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan
4) Berdebat
5) Kasar
d. Tanda dan Gejala Spiritual
1) Merasa diri kuasa
2) Merasa diri benar
3) Keragu-raguan
4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat
Sedangkan menurut Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda
dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Tangan mengepal
2) Rahang mengatup
3) Postur tubuh kaku
4) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Ketus
6) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri atau orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosional
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman dan nyaman
3) Rasa terganggu
4) Dendam dan jengkel
5) Tidak berdaya
6) Bermusuhan

7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi
9) Menyalahkan dan menuntut
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan
Mengkaji faktor predisposisi dan presipitasi, kondisi klien saat ini,
riwayat keluarga, dan masalah yang dihadapi klien.
a. Faktor predisposisi antara lain :
1) Psikologis
Pengalaman

gagal

kehidupan

yang

mengakibatkan

perasaan frustasi , gagal dan tidak berguna.


2) Biologis
Heriditer, gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.

3) Sosiokultural
Pembelajaran

sosial

yang

membenarkan

perilaku

kekerasan, menjadi korban kekerasan.


b. Faktor presipitasi bisa secara internal (perasaan gagal) dan
eksternal (lingkungan yang tidak mendukung, korban kekerasan
atau bullying)
Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara fisik maupun
verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat
sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku
kekerasan.
c. Fisik
Dapat dilihat dari penampilan luar, ekspresi wajah, dan bahasa
tubuh.
d. Hubungan sosial
Klien biasanya memiliki hubungan sosial yang kurang baik.

e. Status mental
1) Dari pembicaraan klien biasanya kasar, keras.
2) Afektif klien labil (emosi cepat berubah-ubah)
3) Interaksi biasanya Bermusuhan, tidak kooperatif, mudah
tersinggung sudah jelas.
Secara lebih jelas, data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui
observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini :
1) Muka
merah dan PERILAKU
tegang
PENGKAJIAN
KEKERASAN
2) Pandangan tajam
Pelaku/usia
korban/usia
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
1. Aniaya fisik
4) Mengepalkan tangan

saksi/usia

2. Aniaya seksual
5) Jalan mondar-mandir
6) Bicara kasar
3. Penolakan
7) Suara tinggi, menjerit, atau berteriak
4. Kekerasan dalam keluarga
8) Mengancam secara verbal atau fisik
5. Tindakan kriminal
9) Melempar atau memukul benda/orang lain
Beri tanda 10)Merusak
() pada kolom
yangatau
sesuai
dengan data pasien
barang
benda
Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau
6. Aktivitas11)
motorik
mengontrol perilaku kekerasan
( ) Lesu
( ) Tegang
( ) Gelisah
( ) Agitasi
Contoh Form pengkajian Resiko perilaku kekerasan (Keliat, 2011):
( ) Tik
( ) Grimasen
( ) Tremor
( ) Kompulsif
7. Interaksi selama wawancara
( ) Bermusuhan

( ) Tidak kooperatif

( ) Mudah tersinggung

( ) Kontak mata kurang ( ) Defensif

( ) Curiga

8. Alam Perasaan
( ) Sedih ( ) Ketakutan ( ) Putus asa ( ) Khawatir ( ) Gembira
berlebihan
9. Afek
( ) Datar

( ) Tumpul

( ) Labil

( ) Tidak sesuai

10. Persepsi
( ) Pendengaran

( ) Penglihatan

( ) Pengecap

( ) Penghidu

Dan seterusnya

( ) Perabaan

2. Analisa Data
No.

DATA FOKUS

KEPERAWATAN
Perilaku Kekerasan

1. DS :
-

MASALAH

Klien mengatakan saat


mempunyai masalah
dipendam sendiri, tidak mau

bercerita.
Klien mengalami masalah
emosional seperti putus
asa,peningkatan rasa
cemas,panic,
marah,permusuhan

DO :
-

Pasien tidak banyak bicara,


pasien berdiam diri

2. Ds:

Ketidakefektifan

Klien mengatakan jengkel koping


dan marah pada orang lain

Klien

mengatakan

benci

atau kesal pada seseorang


Do:
-

Muka merah dan tegang

Pandangan tajam

Mengatuokan

rahang

dengan kuat
-

Mengepalkan tangan

Jalan mondar-mandir

Bicara kasar

Suara tinggi, menjerit, atau


teriak

Mengancam secara verbal


atau fisik

Melempar

atau

memukul

benda atau orang lain


-

Merusak barang

Tidak
atau

mampu

mencegah

mengontrol

perilaku

kekerasan
3. Intervensi
a. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan
dengan masalah emosional (ketidakberdayaan,putus asa,
-

peningkatan rasa cemas, panik, permusuhan)


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x

24 jam perilaku kekerasan pasien mulai berkurang


Kriteria Hasil : Didapatkan skor 4 pada indicator NOC
NOC : Anger Self Restrain
Indikator


Identifikasi ketika marah
Identifikasi ketika frustasi

Identifikasi

situasi

yang

dapat

menumbulkan kemarahan

Menggunakan

strategi

untuk

mengontrol marah
Monitor gejala perilaku

NIC : Anger Control Assistence


1) Membangun saling percaya dengan pasien
2) Membantu pasien mengidentifikasi kemarahannya
3) Instruksikan menggunakan tindakan yang membuat tenang
4) Mendukung pasien menggunakn strategi yang dapat
mengontrol kemarahan

NIC : Enviromental Management : violence prevention


1) Menghilangkan senjata yang potensial dari lingkungan
(seperti pisau )
2) Batasi pasien menggunakan benda tajam
3) Monitor pasien selama menggunakan benda tajam
4) Tempatkan pasien di kamar dekat dengan nurse stasion

b. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain


- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x
24 jam klien tidak menunjukkan perilaku kekerasan yang

dapat membahayakan orang lain secara fisik, emosional


-

maupun seksual
Kriteria hasil : Didapatkan skor 4 pada indicator NOC
NOC: Aggression self restrain
Indikator

mengidentifikasi ketika marah


mengidentifikasi situasi yang memicu permusuhan
mengidentifikasi ketika merasa agresif
menggunakan keterampilan resolusi konflik yang efektif
menahan diri dari ledakan lisan
menghindari melanggar orang lain ruang pribadi
menahan diri dari merugikan orang lain
menahan diri dari menghancurkan properti
menggunakan aktivitas fisik untuk mengurangi terpendam energi
Menggunakan teknik kontrol marah
-

1 2 3 4

NIC: anger control assistance


1) Jalin hubungan kepercayaan dengan pasien
2) Tenangkan menggunakan pendekatan meyakinkan
3) Tentukan

perilaku

yang

sesuai

ekspektasi

untuk

mengekspresikan marah, berikan level kognitif dan fungsi


fisik
4) Anjurkan pasien mencari perawat atau orang lain selama
periode tekanan yang meningkat
5) Monitor potensial dari serangan yang tak sesuai dan
lakukan tindakan sebelum terjadi ekspresi
6) Cegah perilaku membahayakan fisik jika marah secara
langsung pada diri sendiri atau orang lain
7) Edukasi pasien metode untuk mengatur pengalaman emosi
kuat
8) Anjurkan menggunakan kolaborasi dalam memecahkan
masalah
9) Berikan umpan balik pada perilaku untuk membantu pasien
mengidentifikasi marah
10)Dampingi
kemarahan

pasien

dalam

mengidentifikasi

sumber

11) Identifikasi konsekuensi dari ekspresi marah yang tak


sesuai
12)Dampingi pasien dalam merencanakan strategi untuk
mencegah ekspresi marah yang tak sesuai
13)Identifikasi dengan pasien keuntungan mengekspresikan
marah dalam hal adaptif
14)Tunjukkan

ekspektasi

jika

pasien

dapat

mengontrol

perilakunya
15)Instruksikan menggunakan teknik menenangkan
16)Dampingi pasien mengembangkan metode yang sesuai
dalam mengekspresikan kemarahan
17)Dukung pasien melakukan strategi kontrol kemarahan dan
dalam mengekspresikan kemarahan yang sesuai
4. Evaluasi
a. Pasien:
1) Pasien memahami penyebab, tanda gejala dan akibat dari
perilaku kerasnya tersebut
2) Pasien mampu mengontrol perilaku kerasnya dengan cara
tarik nafas
3) Pasien mampu mengontrol perilaku kerasnya dengan cara
memukul kasur dan bantal
4) Pasien dapat mengontrol

verbalnya

dengan

cara

mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar


5) Pasien telah mampu mandiri
b. Keluarga
1) Keluarga memahami masalah yang dirasakan oleh pasien
2) Keluarga mengerti mengenai pengertian,tanda gejala dan
proses perilaku kekerasan pasien
3) Keluarga mengerti cara merawat pasien dengan cara tarik
nafas

4) Keluarga mengerti cara merawat pasien dengan pukul


kasur atau bantal
5) Keluarga bisa melatih pasien cara berbicara dengan baik
6) Keluarga dapat memfollow up jika ada tanda kambuh atau
rujukan

HALUSINASI
A. Konsep halusinasi
1. Definisi
a. Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang
apapun pada panca indra seorang pasien, yang terjadi dalam
keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik,
fungsional, psikotik ataupun histerik.
b. Halusinasi adalah perubahan persepsi sensori : keadaan
dimana indifidu atau kelompok mengalami atau beresiko
mengalami suatu perubahan dalam jumlah, pola atau
interpretasi stimulus yang datang
c. Halusinasi merupakan salah satu

gejala

yang

sering

ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa, halusinasi


sering diidentifisikasikan dengan skizofrenia. Dari seluruh klien
skizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan
jiwa lain yang disertai dengan gejala halusinasi adalah gejala
panik defensif dan delirium. Berbeda dengan ilusi dimana klien
mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah satu
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus
internal dipersepsikan sebagai suatu yang nyata pada klienklien.
2. Penyebab
Penyebab

dari

halusinasi

mempengaruhi, antara lain:


a. Faktor perkembangan
Pada tahap perkembangan

ada

beberapa

individu

faktor

yang

mempunyai

tugas

perkembangan yang berhubungan dengan pertumbuhan


interpersonal, bila dalam pencapaian tugas perkembangan

tersebut mengalami gangguan akan menyebabkan seseorang


berperilku menarik diri.
b. Faktor biologik
Penilaian pencitraan

otak

sudah

mulai

menuunjukan

keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan


skizofrenia:lesi pada area frontal temporal dan limbic paling
berhubunggan dengan perilaku psikotik,beberapa kimia otak
dikaitkan

dengan

gejala

skizofrenia

antara

lain:dopain,neurotransmitter dan lain lain.


c. Faktor sosiokultural.
Teori sosial budaya atau lingkungan meyakini bahwa oang
yang berasal dari sosial ekonomi rendah atau kondisi orang
tua tunggal dan tidak mempunyai kesempatan mendaptkan
penghargaan dari orang lain yang dapt mempengaruhi
gangguan orientasi realita sehingga memberikan reaksi yang
salah dan tidak mampu berespon terhdap stimulus dari
luar.isolasi

sosial

merupakan

factor

dalam

gangguan

berhubungan.akibat dari dari norma yanfg tuidak mendukung


pendekatan terhadap orang lain atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang tiak produktif seperti lansia,orang
cacat dan berpenyakit kronis.
d. Faktor keluarga.
System keluarga yang terganggu dan Norma keluarga yang
tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain diluar
keluarga

dengan

pihak

lain

diluar

keluarga

dapat

mengembangkan perilaku menarik diri. faktor genetic dapat


mendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial
sehingga menimbulkan perilaku menarik diri sampai dengan
halusinasi.
Faktor presipitasi:
a. Stressor sosio kuktural
1) Menurunnya stabilitasi unit keluarga.

2) Berpisah dari orang yang berarti dalam keluarga


dalam kehidupannya misalnya karena dirawat di
rumah sakit,perceraian.
b. Stresor psikologik.
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya.
c. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon
neurobiologist yang mal adaptif.
d. Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur
proses informasi.
3. Tahapan halusinasi
Halusinasi dapat dibagi menjadi beberapa tahapan (Dalami, et
al, 2009), yaitu:
a. Fase Pertama Disebut sleep disorder adalah fase awal
seseorang sebelum muncul halusinasi. Klien merasa banyak
masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui
orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah semakin
terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya
kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih, utang, drop
out, dll. Masalah terasa menekan karena terakumulasi
sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap
masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung secara terusmenerus sehingga terbiasa mengkhayal. Klien menganggap
lamunan-lamunan

awal

tersebut

sebagai

pemecahan

masalah.
b. Fase Kedua Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase
menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan
nonpsikotik. Karakteristik: klien mengalami stress, cemas,
perasaan

perpisahan,

rasa

bersalah,

kesepian

yang

memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai


melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara
ini hanya menolong sementara. Perilaku klien: tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara,

pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika


sedang asyik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
c. Fase Ketiga Disebut juga fase condemming atau ansietas
berat yaitu halusinasi menjadi menjijikan. Termasuk dalam
psikotik ringan. Karakteristik: pengalaman sensori menjijikan
dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan
berpikir sendiri menjadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan
yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap
dapat mengontrolnya. Perilaku klien: meningkatnya tandatanda system syaraf otonom seperti

peningkatan denyut

jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya


dan tidak bias membedakan realitas.
d. Fase Keempat Adalah fase controlling atau ansietas berat
yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam
gangguan psikotik. Karakteristik: bisiskan, suara, isi halusinasi
semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien
menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik
berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi
perintah.
e. Fase Kelima Adalah fase conquering atau panik yaitu klien
lebur dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat.
Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam,
memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak
berdaya, hilang control, dan tidak dapat berhubungan secara
nyata dengan orang lain di lingkungan. Perilaku klien: perilaku
terror akibat panic, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon
terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu berespon lebih
dari satu orang.
4. Tanda dan gejala

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan


halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Berbicara, senyum dan tertawa sendiri
b. Mengatakan

mendengar

suara,

melihat,

menghirup,

mengecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata


c. Menggerakkan bibir tanpa suara
d. Pergerakan mata cepat
e. Respon verbal lambat
f. Menarik diri dari orang lain
g. Berusaha untuk menghindari orang lain dan sulit berhubungan
dengan orang lain
h. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
i. Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan hal yang tidak
nyata
j. Tidak mampu melakukan perawatan diri secara mandiri
seperti mandi, sikat gigi, memakai pakaian dan berias dengan
rapi
k. Sikap curiga, bermusuhan, menarik diri, sulit membuat
keputusan, ketakutan, mudah tersinggung, jengkel, mudah
marah, ekspresi wajah tegang, pembicaraan kacau dan tidak
masuk akal dan banyak keringat
l. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya
beberapa detik
m. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat
n. Biasa terdapat orientasi waktu, tempat dan orang
Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (1998), seseorang yang
mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang
khas, yaitu:
a. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
b. Diam
c. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang menyakitkan

d. Peningkatan

sistem

saraf

otonom

yang

menunjukkan

ansietas, peningkatan nadi, pernafasan, dan tekanan darah


e. Penyempitan kemampuan konsentrasi
f. Dipenuhi dengan pengalaman sensori
g. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh
halusinasinya daripada menolaknya
h. Tremor
i. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang
lain
j. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk
atau agitasi
k. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
l. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan
menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap
stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki
klien. Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman
pengkajian
keperawatan.

umum,

pada

Pengkajian

formulir

menurut

pengkajian

Keliat

(2006)

proses
meliputi

beberapa faktor antara lain:


a. Identitas klien dan penanggung
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Alasan masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena
keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena
perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah
sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan.
c. Faktor predisposisi

1) Faktor perkembangan terlambat


a) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum
dan rasa aman.
b) Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c) Usia sekolah mengalami peristiwa yang

tidak

terselesaikan.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
a) Komunikasi peran ganda.
b) Tidak ada komunikasi.
c) Tidak ada kehangatan.
d) Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e) Komunikasi tertutup.
f) Orang tua yang membandingkan anak anaknya,
orang tua yang otoritas dan komplik orang tua.
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis,
tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi,
menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas
diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan
koping destruktif.
5) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak,
pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel
korteks dan limbik.
6) Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan
melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson
yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini
sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga
letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam,
dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami
skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar
15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya
mengalami

skizofrenia

berpeluang

15%

mengalami

skizofrenia,

sementara

bila

kedua

orang

tuanya

skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.


d. Faktor presipitasi
Faktor-faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
1) Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan
frontal otak.
2) Mekanisme penghataran listrik di

syaraf terganggu

(mekanisme penerimaan abnormal).


3) Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi,
perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
e. Faktor Pemicu
1) Kesehatan: Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksiembangan
irama sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan
system syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
2) Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam
melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalam
berhubungan dengan orang lain, isoalsi social, kurangnya
dukungan social, tekanan kerja (kurang terampil dalam
bekerja),

stigmasasi,

kemiskinan,

kurangnya

alat

transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.


3) Sikap: Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa
(tidak percaya diri), merasa gagal (kehilangan motivasi
menggunakan keterampilan diri), kehilangan kendali diri
(demoralisasi),

merasa

punya

kekuatan

berlebihan,

merasa malang (tidak mampu memenuhi kebutuhan


spiritual), bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia
maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi,
perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.
4) Perilaku: Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat
berupa curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah,
bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara

sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak


nyata.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung
pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi
adanya

tanda-tanda

dan

perilaku

halusinasi

maka

pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar


mengetahui jenis halusinasi saja.
f. Validasi

informasi

tentang

halusinasi

yang

diperlukan

meliputi:
1) Isi halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang
didengar, apa yang dikatakan suara itu, jika halusinasi
audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien,
jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika
halusinasi
halusinasi

penghidu,

rasa

pengecapan,dan

apa

yang

apa

dikecap

yang

jika

dirasakan

dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.


2) Waktu dan frekuensi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan
pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari,
seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu
muncul.

Informasi

ini

sangat

penting

untuk

mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan


bilamana

klien

perlu

perhatian

saat

mengalami

halusinasi.
3) Situasi pencetus halusinasi.
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami
sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga bias
mengobservasi

apa

yang

dialami

klien

menjelang

munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan


klien.
4) Respon Klien
Untuk menentukan

sejauh

mana

halusinasi

telah

mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang

dilakukan

oleh

klien

saat

mengalami

pengalaman

halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus


halusinasinya

atau

sudah

tidak

berdaya

terhadap

halusinasinya.
g. Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan
dan tekanan darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan
fisik yang dirasakan klien.
h. Status Mental
Pengkajian pada status mental meliputi:
1) Penampilan : tidak rapi, tidak
2)
3)
4)
5)

serasi

dan

cara

berpakaian.
Pembicaraan : terorganisir atau berbelit-belit.
Aktivitas motorik : meningkat atau menurun.
Alam perasaan : suasana hati dan emosi.
Afek
: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar,

labil dan ambivalen


6) Interaksi selama wawancara :
nonverbal.
7) Persepsi :

ketidakmampuan

respon

verbal

dan

menginterpretasikan

stimulus yang ada sesuai dengan Informasi.


8) Proses pikir
: proses informasi yang diterima tidak
berfungsi dengan baik dan dapat mempengaruhi proses
pikir.
9) Isi pikir : berisikan keyakinan berdasarkan penilaian
realistis.
10)Tingkat kesadaran : orientasi waktu, tempat dan orang.
11) Memori
a) Memori jangka panjang: mengingat peristiwa setelah
lebih setahun berlalu.
b) Memori jangka pendek:

mengingat

peristiwa

seminggu yang lalu dan pada saat dikaji.


12)Kemampuan konsentrasi dan berhitung: kemampuan
menyelesaikan tugas dan berhitung sederhana.
13)Kemampuan penilaian: apakah terdapat masalah ringan
sampai berat.
14)Daya tilik diri: kemampuan dalam mengambil keputusan
tentang diri.

i. Kebutuhan persiapan pulang, yaitu pola aktifitas sehari-hari


termasuk makan dan minum, BAB dan BAK, istirahat tidur,
perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan kesehatan
sera aktifitas dalam dan luar ruangan.
j. Mekanisme koping
1) Regresi
: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi
: menjelaskan prubahan suatu persepsi
dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab
kepada orang lain.
3) Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik
dengan stimulus internal.
k. Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan
dengan ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan
atau pemukiman.
l. Aspek medik : diagnosa medik dan terapi medik.
2. Analisa Data

Jenis
halusinasi
Halusinasi
dengar

Data objektif

Data subjektif

1. Bicara atau tertawa

1. Mendengar suara atau

sendiri
2. Marah-marah

kegaduhan
2. Mendengar

tanpa

sebab
3. Menyedengkan
telinga

suara

yang bercakap-cakap
3. Mendengar
suara

kearah

tertentu
4. Menutup telinga

menyuruh melakukan
sesuatu

berbahaya
Melihat
bayangan,

Halusinasi

1. Menunjuk-nunjuk

Penglihatan

kearah tertentu
sinar, bentuk geometris,
2. Ketakutan
pada
bentuk kartoon, melihat
sesuatu
hantu atau monster
3. Yang tidak jelas
1. Menghidu
sepertiMembaui bau-bauan

Halusinasi
penghidu

sedang

yang

membaui sperti

bau-bauan tertentu
2. Menutup hidung
Halusinasi
pengecapan
Halusinasi Perabaan

1. Sering meludah
2. Muntah

bau

darah,

urin,

feces, kadang-kadang bau


-

itu menyenangkan
Merasakan rasa seprti

darah, urin atau feces


Menggaruk-garuk 1. Mengatakan
ada

permukaan kulit

serangga
dipermukaan kulit
2. Merasa
seperti
tersengat listrik

3. Intervensi
No Diagnosa
1
Ganggua

NOC
NIC
Distorted Thought Bina Hubungan Terapeutik Dan Saling

Control

Percaya (Complex Relationship Building)

persepsi

Setelah

sensori:

interaksi selama 3 x

penglihat

24

dilakukan

jam,

klien

1. Perkenalkan diri dengan sopan


2. Tanyakan nama lengkap klien dan nama
panggilan yang disukai klien.
3. Buat kontrak/persetujuan tentang tujuan

an,

mampu

dan cara prtemuan yang saling dapat

pendeng

mengendalikan

aran,

halusinasi

pengeca

indikator/kriteria

p,

hasil :

dengan

dan

menerima secara tepat.


6. Berespon pada pesan non verbal klien

penghidu

1. Klien mampu

b/d stres

mengenal

psikologi

terjadinya

diterima dengan cara yang tepat.


4. Pelihara postur tubuh terbuka.
5. Ciptakan iklim yang hangat

dengan cara yang tepat.


7. Tunjukkan ketertarikan

pada

klien

dengan mempertahankan kontak mata,

halusinasi.
2. Klien mampu
mengungkap
kan

isi

halusinasi.
3. Klien
mengungkap
kan frekuensi
halusinasi.
4. Klien mampu

berhadapan, posisi mata sejajar, saat


berbicara perawat sedikit membungkuk
jika diperlukan.
Manajemen

Halusinasi

(Halusination

Management)
a. Observasi

tingkah

laku

yang

berhubungan dengan halusinasi.


b. Bantu klien mengenal halusinasi :
i. Jika dari hasil observasi
ditemukan tampak klien

mengungkap

mengalami

kan perasaan

tanyakan apakah klien

terkait

mengalami halusinasi.
ii. Jika jawaban klien ada,

dengan
halusinasi.
5. Menjauhkan
diri

halusinasi,

dari

hadirnya
untuk
halusinasi
atau delusi
6. Melaporkan
penurunan
halusinasi
atau delusi
7. Berinteraksi

tanyakan

apa

yang

didengar, dilihat, atau


dirasakan.
iii. Katakana

bahwa

perawat percaya apa


yang dialami klien tetapi
perawat

sendiri

tidak

mendengar/
melihat/merasakan.
iv. Katakana klien lain juga
ada

yang

mengalami

hal yang sama.


v. Katakan bahwa perawat

dengan

akan membantu klien.


c. Diskusikan dengan klien waktu, isi,

orang lain
8. Berpikir

frekuensi,

secara realita

dan

situasi

pencetus

munculnya halusinasi.
d. Diskusikan dengan klien apa yang
dirasakan jika halusinasi muncul.
e. Beri
klien
kesempatan
untuk
mengungkapkan perasaannya.
f. Identifikasi dan diskusikan dengan klien
perilaku yang dilakukan saat halusinasi
muncul.
g. Diskusikan manfaat dan akibat dari cara
atau perilaku yang dilakukan klien.

4. Evaluasi
a. Pasien
1) Pasien mampu mengidentifikas imunculnya halusinasi
terkait

dengan

isi,

frekuensi,

waktu

terjadi,

situasi

pencetus, perasaan, dan respon.


2) Pasien memahami dan mampu mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik saat terjadi halusinasi untuk
mengalihkan kondisi halusinasi yang terjadi.
3) Pasien memahami dan mampu mengontrol halusinasi
dengan obat dengan menerapkan (6 benar: jenis, guna,
dosis, frekuensi dan cara
4) Pasien memahami mampu mengontrol halusinasi dengan
bercakap-cakap saat terjadi halusinasi untuk mengalihkan
kondisi halusinasi yang terjadi.
5) Pasien memahami mampu mengontrol halusinasi dengan
melakukan kegiatan harian (mulai dari 2 kegiatan) untuk
mengalihkan kondisi halusinasi yang terjadi.
6) Pasien memahami mampu mengontrol halusinasi secara
mandiri
b. Keluarga
1) Keluarga memahami dan mampu cara merawat pasien
2) Keluarga memahami dan mampu menjelaskan pengertian,
tanda dan gejala, dan proses terjadinya halusinasi.

3) Keluarga mampu melatih dan membimbing pasien cara


meghardik halusinasi.
4) Keluarga mampu melatih dan membimbing pasien minum
obat.(6 benar: jenis, guna, dosis, frekuensi dancara)
5) Keluarga mampu melatih dan membimbing pasien cara
bercakap-cakap untuk mengalihkan kondisi halusinasi
yang terjadi.
6) Keluarga mampu melatih dan membimbing pasien untuk
melakukan kegiatan untuk mengontrol halusinasi.
7) Keluarga memahami cara mem-follow up ke PKM, tanda
kambuh yang muncul dan rujukan.

DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009.
Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans
Media,Jakarta.
Hamid, Achir Yani. 2000. Buku Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa 1.
Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Depkes
RI
Keliata.B.A. dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC

Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas :


CMHN (basic course). Jakarta : EGC
Kusumawati, F & Hartono, Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta : Salemba Medika
Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3 rd Ed.
St. Louis : Mosby Year
Riadi, Muchlisin. 2013. Pengertian, jenis dan tahapan halusinasi.
Online : http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-jenis-dantahapan-halusinasi.html. diakses pada 5 April 2016
Stuart, G.W &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of psychiatric
nursing.(7th edition). St Louis : Mosby
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta.
EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung. PT Refika
Aditama

MAKALAH PERILAKU KEKERASAN DAN HALUSINASI

Oleh: KELOMPOK 2 REGULER


Dewi Pujiastuti

135070200111004

Angga Dwi Saputra

135070200111005

Minchatul Fitri

135070200111006

Esthi Dwi Yuliawati

135070200111007

Anjang Feronika Putri

135070200111008

Aulia Dian T

135070200111010

Arinda rizky febyantari

135070200111011

Esidianna Uttari

135070201111011

Luluk Wulandari

135070201111012

Zaifullah

135070201111013

Nevi Setyaning Tyas

135070201111014

Rifanny Dyah Irandi

135070207111002

Septin Arianti Merinda

135070207111003

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang, 2016

Anda mungkin juga menyukai