Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

“Ny. “M” dengan Sectio Caesarea”

Untuk Memenuhi Tugas Individu Pendidikan Profesi Ners Departemen Maternitas


Ruang 8 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
Annastasia Diah Anggraini
NIM. 150070300011074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN (LP)
“Sectio Caesarea+Hipertensi Kronis+MOW”

DEPARTEMEN MATERNITAS
RUANG 8 OBSTETRI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas


Pendidikan Profesi Departemen Maternitas

Oleh :
Annastasia Diah Anggraini
NIM. 150070300011074

Telah diperiksa kelengkapannya pada:


Hari :
Tanggal :

Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Ns. Fransisca Imavike F,M.Nurs


NIP. 197902242006042001

Mengetahui,
Kepala Ruangan
A. SECTIO CAESARIA
1. Definisi
Sectio caesaria (SC) adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi per abdominal
dengan melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus interior, biasanya yang
sering dilakukan insisi segmen bawah tranversal (Farrer, 2001).
SC adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparotomi)
dan dinding uterus (histeretomi). Indikasi SC antara lain : disproporsi janin-panggul,
gawat janin, plasenta previa, riwayat SC, kelainan letak, partus tak maju, kehamilan
dengan resiko tinggi, pre-eklampsia dan hipertensi (Cunningham, 2006).
Sectio caesarea adalah suatu tindakan pembedahan untuk melahirkan janin
dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pada masa sekarang sectio
caesarea jauh lebih aman dari pada dulu dengan adanya antibiotika, tranfusi darah,
teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik, karena itu terjadi
kecenderungan untuk melakukan sectio caesarea tanpa dasar yang cukup kuat, dalam
hubungan ini perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan sectio
caesarea pasti akan mendapat parut uterus dan tiap kehamilan serta persalinan
berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat berhubungan dengan bahayanya
ruptur uteri (Wiknjosastro, 2005).
Sectio cesarea adalah suatu cara yang dilakukan untuk melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, dengan
kata lain sectio caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim
(Mochtar,1998).
Menurut Wiknjosastro (2002) sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk
melahirkan bayi dengan berat diatas 500 gr melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh. Berdasarkan teori di atas penulis menyimpulkan bahwa sectio caesarea adalah
suatu proses pembedahan dinding perut dan uterus untuk melahirkan janin, yang
dilakukan bila terdapat komplikasi atau kasus patologi yang menyertai kehamilan yang
bertujuan untuk mengurangi mobiditas dan mortalitas.

2. Klasifikasi
a. Abdomen (Sectio Caesarea Abdominalis)
1) Sectio Caesarea Klasik atau Korporal
Dengan insisi memanjang pada korpus uteri. Dilakukan dengan membuat
sayatan memanjang pada korpus uteri kurang lebih sepanjang 10 cm.
Kelebihan - Mengeluarkan janin lebih cepat
- Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih
- Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan - Infeksi mudah menyebar
- Sering mengakibatkan ruptur uteri pada persalinan berikutnya
Prosedur Pembedahan :
- Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus
uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai
sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari
operator
- Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut
- Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut
- Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
- Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2

Lapisan II lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal ( lambert)


dengan benang yang sama

Lapisan III Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur
menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2

- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

2) Sectio Caesarea Ismika atau Profunda atau Low Cervical


Dengan insisi pada segmen bawah rahim. Dilakukan dengan membuat
sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim kurang leih 10 cm.
Kelebihan - Penjahitan dan penutupan luka lebih mudah
- Mencegah isi uterus ke rongga peritoneum
- Kemungkinan ruptura uteri lebih kecil
Kekurangan - Luka dapat melebar
- Keluhan kandung kemih postoperatif tinggi
Prosedur Pembedahan :
- Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang,
kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping
- Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih 1
cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan gunting
sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan
dua jari operator
- Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan dengan
cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut
- Janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya
- Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem (dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut
- Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena
- Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2

Lapisan II lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)


dengan benang yang sama

Lapisan III Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan


benang plain catgut no.1 dan 2

- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban\
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

3) Sectio Caesarea Ekstraperitonealis


Sectio caesarea yang dilakukan tanpa membuka peritoneum parietalis,
dengan demikian tidak membuka kavum abdominal.
- Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia digeser
kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria
- Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar transperitoneal
profunda demikian juga cara menutupnya.
b. Vagina (Sectio Caesarea Vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai
berikut :
- Sayatan memanjang (vertikal) menurut Kronig
- Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
- Insisi Klasik
- Sayatan huruf T terbalik (T-incision).

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Indikasi
Berdasarkan waktu dan pentingnya dilakukan sectio caesarea, maka dikelompokkan
4 kategori (Edmonds, 2007) :
Kategori 1 atau Dilakukan sesegera mungkin untuk menyelamatkan ibu atau janin.
Emergency Contohnya abrupsio plasenta, atau penyakit parah janin lainnya

Kategori 2 atau Dilakukan segera karena adanya penyulit namun tidak terlalu mengancam
Urgent jiwa ibu ataupun janinnya. Contohnya distosia

Kategori 3 atau Tidak terdapat penyulit


Scheduled

Kategori 4 atau Dilakukan sesuai keinginan dan kesiapan tim operasi


Elective

Dari literatur lainnya, yaitu Impey dan Child (2008), hanya mengelompokkan 2
kategori, yaitu emergency dan elective Caesarean section. Disebut emergency apabila
adanya abnormalitas pada power atau tidak adekuatnya kontraksi uterus. ‘Passenger’ bila
malaposisi ataupun malapresentasi. Serta ‘Passage’ bila ukuran panggul sempit atau
adanya kelainan anatomi.

Indikasi Ibu
a. Panggul Sempit Absolut
Pada panggul ukuran normal, apapun jenisnya, yaitu panggul ginekoid,
anthropoid, android, dan platipelloid. Kelahiran pervaginam janin dengan berat badan
normal tidak akan mengalami gangguan. Panggul sempit absolut adalah ukuran
konjungata vera kurang dari 10 cm dan diameter transversa kurang dari 12 cm. Oleh
karena panggul sempit, kemungkinan kepala tertahan di pintu atas panggul lebih besar,
maka dalam hal ini serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat
mengakibatkan inersia uteri serta lambatnya pembukaan serviks (Prawirohardjo, 2009).

b. Tumor yang dapat mengakibatkan Obstruksi


Tumor dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam. Tumor yang
dapat dijumpai berupa mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim. Adanya tumor
bisa juga menyebabkan resiko persalinan pervaginam menjadi lebih besar. Tergantung
dari jenis dan besarnya tumor, perlu dipertimbangkan apakah persalinan dapat
berlangsung melalui vagina atau harus dilakukan tindakan sectio caesarea. Pada
kasus mioma uteri, dapat bertambah besar karena pengaruh hormon estrogen yang
meningkat dalam kehamilan. Dapat pula terjadi gangguan sirkulasi dan menyebabkan
perdarahan. Mioma subserosum yang bertangkai dapat terjadi torsi atau terpelintir
sehingga menyebabkan rasa nyeri hebat pada ibu hamil (abdomen akut). Selain itu,
distosia tumor juga dapat menghalangi jalan lahir. Tumor ovarium mempunyai arti
obstetrik yang lebih penting. Ovarium merupakan tempat yang paling banyak ditumbuhi
tumor. Tumor yang besar dapat menghambat pertumbuhan janin sehingga
menyebabkan abortus dan bayi prematur, selain itu juga dapat terjadi torsi. Tumor
seperti ini harus diangkat pada usia kehamilan 16-20 minggu. Adapun kanker rahim,
terbagi menjadi dua; kanker leher rahim dan kanker korpus rahim. Pengaruh kanker
rahim pada persalinan antara lain dapat menyebabkan abortus, menghambat
pertumbuhan janin, serta perdarahan dan infeksi. (Mochtar,1998).

c. Plasenta Previa
Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan yang terjadi
setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan jika
tidak mendapat penanganan yang cepat bisa mengakibatkan syok yang fatal. Salah
satu penyebabnya adalah plasenta previa.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.
Pada keadaan normal plasenta terdapat di bagian atas uterus. Sejalan dengan
bertambah besarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah proksimal
memungkinkan plasenta mengikuti perluasan segmen bawah rahim. Klasifikasi
plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan
lahir. Disebut plasenta previa komplit apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan
plasenta. Plasenta previa parsialis apabila sebagian permukaan tertutup oleh jaringan.
Dan disebut plasenta previa marginalis apabila pinggir plasenta berada tepat pada
pinggir pembukaan (Decherney, 2007).

d. Ruptura Uteri
Ruptura uteri baik yang terjadi dalam masa hamil atau dalam proses persalinan
merupakan suatu malapetaka besar bagi wanita dan janin yang dikandungnya. Dalam
kejadian ini boleh dikatakan sejumlah besar janin atau bahkan hampir tidak ada janin
yang dapat diselamatkan, dan sebagian besar dari wanita tersebut meninggal akibat
perdarahan, infeksi, atau menderita kecacatan dan tidak mungkin bisa menjadi hamil
kembali karena terpaksa harus menjalani histerektomi. (Prawirohardjo, 2009).
Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan
langsung antara rongga amnion dengan rongga peritoneum (Mansjoer, 1999). Kausa
tersering ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan parut bekas sectio caesarea
sebelumnya. (Lydon,2001).Selain itu, ruptur uteri juga dapat disebabkan trauma atau
operasi traumatik, serta stimulus berlebihan. Namun kejadiannya relatif lebih kecil
(Cunningham, 2005).

e. Disfungsi Uterus
Mencakup kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan tidak adanya
kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim. Dan ini membuat kemajuan
persalinan terhenti sehingga perlu penanganan dengan sectio caesarea (Prawirohardjo,
2009).

f. Solutio Plasenta
Disebut juga abrupsio plasenta, adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
plasenta sebelum janin lahir. Ketika plasenta terpisah, akan diikuti pendarahan maternal
yang parah. Bahkan dapat menyebabkan kematian janin. Plasenta yang terlepas
seluruhnya disebut solutio plasenta totalis, bila hanya sebagian disebut solutio plasenta
parsialis, dan jika hanya sebagian kecil pinggiran plasenta yang terpisah disebut ruptura
sinus marginalis (Impey, 2008). Frekuensi terjadinya solutio plasenta di Amerika Serikat
sekitar 1% dan solutio plasenta yang berat mengarah pada kematian janin dengan
angka kejadian sekitar 0,12% kehamilan atau 1:830 (Deering,2008).

Indikasi Janin
a. Kelainan Letak
1) Letak Lintang
Pada letak lintang, biasanya bahu berada di atas pintu atas panggul sedangkan
kepala berada di salah satu fossa iliaka dan bokong pada sisi yang lain. Pada
pemeriksaan inspeksi dan palpasi didapati abdomen biasanya melebar dan fundus uteri
membentang hingga sedikit di atas umbilikus. Tidak ditemukan bagian bayi di fundus,
dan balotemen kepala teraba pada salah satu fossa iliaka. Penyebab utama presentasi
ini adalah relaksasi berlebihan dinding abdomen akibat multiparitas yang tinggi. Selain
itu bisa juga disebabkan janin prematur, plasenta previa, uterus abnormal, cairan
amnion berlebih, dan panggul sempit. (Cunningham, 2005).

2) Presentasi Bokong
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dengan bagian terendahnya
bokong, kaki, atau kombinasi keduanya. Dengan insidensi 3-4% dari seluruh persalinan
aterm. Presentasi bokong adalah malpresentasi yang paling sering ditemui. Sebelum
usia kehamilan 28 minggu, kejadian presentasi bokong berkisar antara 25-30%.
(Decherney,2007). Faktor resiko terjadinya presentasi bokong ini antara lain
prematuritas, abnormalitas uterus, polihidamnion, plasenta previa, multiparitas, dan
riwayat presentasi bokong sebelumnya. (Fischer,2006).
3) Presentasi Ganda atau Majemuk
Presentasi ini disebabkan terjadinya prolaps satu atau lebih ekstremitas pada
presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki panggul bersamaan dengan kaki
dan atau tangan. Faktor yang meningkatkan kejadian presentasi ini antara lain
prematuritas, multiparitas, panggul sempit, kehamilan ganda (Prawirohardjo, 2009).
b. Gawat Janin
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ) dan
memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam cairan amnion. Untuk keperluan
klinik perlu ditetapkan kriteria yang termasuk keadaan gawat janin. Disebut gawat
janin, bila ditemukan denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit,
denyut jantung tak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.
(Prawirohardjo, 2009).
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan memungkinkan dokter memutuskan
untuk melakukan operasi. Terlebih apabila ditunjang kondisi ibu yang kurang
mendukung. Sebagai contoh, bila ibu menderita hipertensi atau kejang pada rahim yang
dapat mengakibatkan gangguan pada plasenta dan tali pusar. Sehingga aliran darah
dan oksigen kepada janin menjadi terganggu. Kondisi ini dapat mengakibatkan janin
mengalami gangguan seperti kerusakan otak. Bila tidak segera ditanggulangi, maka
dapat menyebabkan kematian janin. (Oxorn, 2003).
c. Ukuran Janin
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit
keluar dari jalan lahir. Umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan disebabkan sang
ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Bayi yang lahir dengan ukuran yang
besar dapat mengalami kemungkinan komplikasi persalinan 4 kali lebih besar daripada
bayi dengan ukuran normal. (Oxorn, 2003).
Menentukan apakah bayi besar atau tidak terkadang sulit. Hal ini dapat
diperkirakan dengan cara :
- Adanya riwayat melahirkan bayi dengan ukuran besar, sulit dilahirkan atau ada
riwayat diabetes melitus
- Kenaikan berat badan yang berlebihan tidak oleh sebab lainnya (edema, dll).
- Pemeriksaan disproporsi sefalo atau feto-pelvik.
Indikasi Ibu dan Janin
a. Gemelli atau Bayi Kembar
Kehamilan kembar atau multipel adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau
lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan ganda (2 janin), triplet (3 janin),
kuadruplet (4 janin), quintuplet (5 janin) dan seterusnya sesuai dengan hukum Hellin.
Morbiditas dan mortalitas mengalami peningkatan yang nyata pada kehamilan dengan
janin ganda. Oleh karena itu, mempertimbangkan kehamilan ganda sebagai kehamilan
dengan komplikasi bukanlah hal yang berlebihan. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain anemia pada ibu, durasi kehamilan yang memendek, abortus atau kematian janin
baik salah satu atau keduanya, gawat janin, dan komplikasi lainnya. Demi mencegah
komplikasi – komplikasi tersebut, perlu penanganan persalinan dengan sectio
caesarea untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi – bayinya (Prawirohardjo, 2009).
b. Riwayat Sectio Caesarea
Sectio caesarea ulangan adalah persalinan dengan sectio caesarea yang
dilakukan pada seorang pasien yang pernah mengalami sectio caesarea pada
persalinan sebelumnya, elektif maupun emergency. Hal ini perlu dilakukan jika ditemui
hal-hal seperti :
- Indikasi yang menetap pada persalinan sebelumnya seperti kasus panggul sempit.
- Adanya kekhawatiran ruptur uteri pada bekas operasi sebelumnya.
c. Preeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan atau edema
setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Bila tekanan darah
mencapai 160/110 atau lebih, disebut preeklampsia berat.Sedangkan eklampsia adalah
kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai
dengan timbulnya kejang (bukan karena kelainan neurologi) dan atau koma dimana
sebelumnya sudah menunjukkan gejala preeklampsia.
Janin yang dikandung ibu dapat mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen
sehingga dapat terjadi gawat janin. Terkadang kasus preeklampsia dan eklampsia
dapat menimbulkan kematian bagi ibu, janin, bahkan keduanya (Decherney,2007).
Indikasi Sosial
Menurut Mackenzie et al (1996) dalam Mukherjee (2006), permintaan ibu merupakan suatu
faktor yang berperan dalam angka kejadian sectio caesarea yaitu mencapai 23%. Selain
itu, selain untuk menghindari sakit, alasan untuk melakukan sectio caesarea adalah untuk
menjaga tonus otot vagina, dan bayi dapat lahir sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Walaupun begitu, menurut FIGO (1999) dalam Mukherjee (2006), pelaksanaan sectio
caesarea tanpa indikasi medis tidak dibenarkan secara etik

4. Manifestasi Klinis
Persalinan dengan Sectio Caesaria, memerlukan perawatan yang lebih koprehensif
yaitu: perawatan post operatif dan perawatan post partum.Manifestasi klinis sectio
caesarea menurut Doenges (2001), antara lain :
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800ml
f. Emosi labil atau perubahan emosional dengan mengekspresikan ketidakmampuan
menghadapi situasi baru
g. Biasanya terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham prosedur
l. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan

5. Pathway
Terlampir.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi
dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit
7. Penatalaksanaan
a. Pemberian Cairan
Karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi,
dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan
biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan
tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan
jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 8 jam pasca operasi, berupa air
putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 8 jam setelah operasi
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
3) Hari pertama post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya
4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri, dan pada hari ke-3
pasca operasi.pasien bisa dipulangkan
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita
e. Pemberian Obat-obatan
1) Antibiotik. Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap
institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
- Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
- Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
- Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
f. Perawatan Luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti
g. Perawatan Rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.

8. Komplikasi
Komplikasi Sectio Caesaria Menurut Farrer (2001) adalah :
a. Nyeri pada daerah insisi
b. Perdarahan primer sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis karena insisi
rahim atau akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa
persalinan
c. Sepsis setelah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini lebih besar bila sectio
caesaria dilaksanakan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam Rahim
d. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam
masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain.
Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala
infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal
sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak
dapat dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya
daripada SC transperitonealis profunda.
d. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih atau embolisme paru-paru
e. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada dinding
uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal
ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik
A. Pengkajian Fokus
1. Pengkajian
Dilakukan pada tanggal……………
a. Identifikasi pasien dan penanggung jawab
b. Keluhan utama
Penderita datang pada tanggal……..jam…….ingin menjadi akseptor KB kontap (
tubektomi )
c. Riwayat KB
Riwayat KB sebelumnya yang digunakan
d. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit keturunan, menular dan berat
e. Riwayat keluarga
Penyakit keturunan, menular, dan berat
f. Riwayat haid
Menarche, lama haid, siklus, banyaknya, dismenorhea, keputihan
g. Riwayat perkawinan
Umur waktu perkawinan, berapa kali, berapa lama
h. Riwayat psikososial
Ketidaktahuan ibu tentang kontrasepsi ( tubektomi )
i. Kebiasaan sehari – hari
Nutrisi, eliminasi, PH, istirahat, tidur, spiritual
j. Pemeriksaan fisik
1) System kardiovaskular : untuk mengetahui tanda – tanda vital, ada tidaknya
distensi vena jugularis, edema, dan kelainan bunyi jantung
2) System hematologi : untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit
yang merupakan tanda adanya infeksi dan perdarahan, mimisan,
splenomegali.
3) System urogenital : ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan
sakit pinggang.
4) System musculoskeletal : untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam
pergerakan, sakit pada tulang sendi, dan terdapat fraktur atau tidak.
B. Fokus Intervensi
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada abdomen bawah post operasi
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak sekunder terhadap
nyeri.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
4. Cemas berhubungan dengan koping individu tidak efektif.
Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada abdomen bawah post operasi Tujuan :
Nyeri berkurang / hilang.
Kriteria hasil : Tampak rileks dan dapat tidur dengan tepat.
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri, lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan
tepat.
Rasional : Mengetahui sejauh mana nyeri yang dirasakan klien
guna untuk menentukan intervensi selanjutnya
2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler.
Rasional : Posisi semi fowler dapat merelaksasikan otot-otot
sehingga sensasi nyeri dapat berkurang
3) Berikan aktivitas hiburan.
Rasional : Meningkatkan relaksasi.
4) Kolaborasi tim dokter dalam pemberian analgetika.
Rasional : Analgetik dapat mengurangi rasa nyeri
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap
nyeri.
Tujuan : Toleransi aktivitas
Kriteria hasil : Klien dapat bergerak tanpa pembatasan, Tidak berhati-hati dalam
bergerak.
Intervensi
1) Catat respon emosi terhadap mobilisasi.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan.
2) Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien.
Rasional : Untuk mengurangi beban klien.
3) Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif.
Rasional : Memperbaiki mekanika tubuh.
4) Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan.
Rasional : Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive tubektomi.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan peradangan
Intervensi :
1) Ukur tanda-tanda vital.
Rasional : Untuk mendeteksi adanya tanda infeksi.
2) Observasi tanda-tanda infeksi.
Rasional : Deteksi dini terhadap infeksi akan mudah.
3) Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik.
Rasional : Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran bakteri.
4) Observasi luka insisi.
Rasional : deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka
4. Cemas berhubungan dengan koping individu tidak efektif.
Tujuan : Mengurangi kecemasan.
Kriteria hasil : tidak terdapat tanda-tanda kecemasan.
Intervensi :
1) Dorong klien untuk mengekspresikan masalah dan rasa khawatir.
Rasional : Komunikasi terbuka, membantu mengembangkan hubungan saling
percaya sehingga mengurangi stress dan anxietas
2) Bantu klien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan anxietas.
Rasional : penurunan anxietas menurunkan sekresi asam klorida
3) Ajarkan strategi penatalaksanaan stress.
Rasional : Stressor diidentifikasi sebelum dapat diselesaikan

Anda mungkin juga menyukai