Anda di halaman 1dari 27

PENDIDIKAN KESEHATAN, PENCEGAHAN, PELAKSANAAN DAN

PASCA PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LABORATORIUM PADA


GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN

MAKALAH

Diajukan guna memenuhi Tugas Bridging dalam Mata Kuliah: Keperawatan


Medikal Bedah
Dosen Pembimbing : Bangun Wijonarko, SST, M.Kes

Disusun oleh :

Anggun Nita Wati P27906120005


Frengki Eko Wibowo P27906120014
Muhamad Rufiat P27906120021
Novi Winri P27906120025
Rani Dwiputri Utami P27906120029
Yosy Anggelia P27906120037

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat
dan karunia-Nya, kami selaku penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah “Pendidikan Kesehatan, Pencegahan, Pelaksanaan Dan Pasca
Pemeriksaan Diagnostik Laboratorium Pada Gangguan Sistem Persarafan”.
Sholawat serta salam kami curahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW. Yang berkat hadirnya membawa cahaya yang membuat manusia
melangkah keluar dari dunia gelap.
Disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal
Bedah dengan pokok bahasan “Pendidikan Kesehatan, Pencegahan, Pelaksanaan
Dan Pasca Pemeriksaan Diagnostik Laboratorium Pada Gangguan Sistem
Persarafan”. Yang mana dalam pelaksanaan pengerjaan serta penyusunan makalah
ini didapati dari hasil diskusi, buku, serta pencarian di internet terkait artikel-
artikel yang berhubungan dengan Trend Dan Issue Terkait Gangguan Sistem
Persyarafan. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak terkait:
1. Bapak Bangun Wijonarko, SST, M.Kes Selaku Dosen Pembimbing
Keperawatan Medikal Bedah yang telah memberikan bimbingan kepada
kami sehingga tersusunlah makalah ini.
2. Orang tua, yang telah memberikan dukungan dalam segala hal.
3. Penulis buku dan penulis artikel lepas. Dimana tulisannya menjadi sumber
referensi serta bahan penyusunan makalah Trend Dan Issue Terkait
Gangguan Sistem Persyarafan.
4. Rekan kelompok yang telah bersama-sama mengerjakan serta menyusun
makalah ini. Juga rekan Mahasiswa/i Politeknik Kesehatan Kemenkes
Banten, Jurusan Keperawatan Tangerang, khususnya Progam Studi Profesi
Ners.
Seperti tak ada gading yang tak retak, begitupula dengan makalah ini yang
jauh dari kata sempurna. Peribahasa mengatakan ikhtiar menjalani untung
menyudahi, penulis berusaha sebaik mungkin menyusun makalah ini. Namun
dalam berbagai sisi tentu banyak kekuragan yang harus dibenahi. Sekiranya satu
dua kalimat dalam bentuk kritik dan saran yang membangun bisa menjadi tombak
yang akan membuat penulis lebih baik lagi ke depannya. Terimakasih.
Tangerang, September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................... 3
1. Tujuan Umum ................................................................................ 3
2. Tujuan Khusus ............................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Pengertian Sistem Saraf ...................................................................... 4
B. Pengertian Stroke.................................................................................. 4
C. Pendidikan Kesehatan pada Gangguan Sistem Persarafan (Stroke
Hemoragik............................................................................................ 9
D. Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada Gangguan Sistem
Persarafan (Stroke Hemoragik) ........................................................... 10
E. Persiapan, Pelaksanaan, dan Pasca Pemeriksaan Diagnostik, serta
Laboratorium pada Sistem Saraf (Stroke)............................................ 13

BAB III PENUTUP


A. Simpulan............................................................................................... 22
B. Saran..................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 23
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian terkecil dari
organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling kompleks. Susunan
saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan
pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf)
(Bahrudin, 2013).
Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis
menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai
organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang berjalan ke
arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses pengolahan
yang komplek pada SSP (proses pengolahan informasi) dan sebagai hasil
pengolahan, SSP membentuk impuls yang berjalan ke arah perifer (impuls
efferent) dan mempengaruhi respons motorik terhadap stimulus (Bahrudin,
2013).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin,
2008).
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah
di otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke
hemoragik antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri
venosa. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun
bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Tarwoto,
2013).

1
Faktor lain yang meningkatkan stoke adalah usia, jenis kelmain,
riwayat stroke, penyakit penyerta, menurut WHO jumlah penderita sroke
diseluruh dunia berjumlah 20,5 juta lebih dan angka ini akan semakin
bertambah, sedangkan di indonesia menepati urutan pertam di asia dan telah
tercatat menurut Depkes yaitu 11, 5 % yang mengalami stoke.

Pendidikan kesehatan merupakan salah satu upaya atau kegiatan untuk


meningkatkan kemampuan dalam pencegahan stroke, dengan cara
memberikan informasi tentang stroke, sehingga responden mempunyai
pengetahuan yang lebih tentang stroke. Dengan adanya pengetahuan itu
sendiri akan mempengaruhi perilaku dan secara tidak langsung akan
meningkatkan upaya responden dalam pencegahan stroke. Pendidikan
kesehatan memiliki peran yaitu melakukan intervensi atau perlakuan terhadap
faktor perilaku pendidikan kesehatan, sehingga perilaku individu, kelompok
atau masyarakat tersebut sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun
pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah pencegahan primer,
sekunder dan tersier.
Pencegahan primer dapat dilakukan pada pasien yang belum pernah
mengalami stroke yakni dengan melakukan 3M (Dian Nastiti, 2012)
:Menghindari : rokok, stres mental, minum kopi dan alkohol, kegemukan, dan
golongan obat-obatan yang dapat mempengaruhi serebrovaskuler(amfetamin,
kokain, dan sejenisnya). Mengurangi : asupan lemak, kalori, garam, dan
kolesterol berlebih. Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung dan asterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi
makanan seimbang, serta olahraga teratur 3-4 kali seminggu.
Pencegahan sekunder: penguatan internal lines of resistance,
mengurangi reaksi dan meningkatkan faktor-faktor resisten sehingga
melindungi struktur dasar melalui tindakan-tindakan yang tepat sesuai gejala.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kestabilan sistem secara optimal dan
memelihara energi. Jika pencegahan sekunder tidak berhasil dan rekonstitusi
tidak terjadi maka struktur dasar tidak dapat mendukung sistem dan
2
intervensi-intervensinya sehingga bisa menyebabkan kematian (Yulinta,
2017).
Pada pencegahan tersier ini dimana keadaan seseorang sudah
didiagnosa menderita suatu penyakit pada sistem saraf dan simptomatik
(clinically ill), serta telah ditangani dengan strategi-strategi pencegahan
sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada perbaikan kembali ke arah
stabilitas sistem klien secara optimal, dan timbulnya komplikasi dengan
melakukan antisipasi terhadap masalah-masalah yang dijumpai, serta
melakukan rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat resistansi
terhadap stressor untuk mencegah reaksi timbul kembali atau regresi, sehingga
dapat mempertahankan energi dan meningkatkan kualitas hidup dari penderita.
Pencegahan tersier cenderung untuk kembali pada pencegahan primer
(Yulinta, 2017).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Dapat memahmi sistem pendidikan kesehatan pada gangguan
persarafan Stroke Hemoragik
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi anatomi fisiologi sistem persarafan
b. Untuk mengidentifikasi gangguan sitem persarafan stroke
hemoragik
c. Untuk mengetahui pengertian sistem saraf, pengertian stroke,
pengertrian stroke hemoragik, dan mengetahui pencegahan pada
gangguan stroke.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sistem Saraf


Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian terkecil dari
organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling kompleks. Susunan
saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan
pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf)
(Bahrudin, 2013). Menurut Yulinta (2017) sistem saraf adalah suatu struktur
yang terdiri dari komponen-komponen sel saraf (neuron). Sistem saraf
bersama-sama dengan sistem hormon, berfungsi untuk memelihara fungsi
tubuh. Pada umumnya sistem saraf berfungsi untuk mengatur, misalnya
kontraksi otot, perubahan alat-alat tubuh bagian dalam yang berlangsung
dengan cepat, dengan kecepatan sekresi beberapa kelenjar endokrin.
Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis
menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai
organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang berjalan ke
arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses pengolahan
yang komplek pada SSP (proses pengolahan informasi) dan sebagai hasil
pengolahan, SSP membentuk impuls yang berjalan ke arah perifer (impuls
efferent) dan mempengaruhi respons motorik terhadap stimulus (Bahrudin,
2013).

B. Pengertian Stroke
1. Pengertian Stroke
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular (Muttaqin, 2008).

4
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam
suatu daerah di otak dan kemudian merusaknya (Batticaca, 2008).
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di
otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab
stroke hemoragik antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi
arteri venosa. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat
aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya
menurun (Tarwoto, 2013).
Menurut Muttaqin (2008), ada beberapa faktor risiko stroke
hemoragik, yaitu:
a. Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi
yang menekan dinding arteri sampai pecah.
b. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung.
c. Kontasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar
estrogen tinggi).
d. Konsumsi alkohol.
e. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
f. Overdosis narkoba, seperti kokain.

2. Etiologi 
Dilihat dari etiologi stroke dapat dibagi dalam golongan besar yaitu
stroke haemoragik (perdarahan) dan stroke non haemoragik infark
ishkemia.

Faktor yang mempengaruhi aliran darah diotak diantaranya :

a. Keadaan arteri, arteri dapat menyempit oleh prosesatherosclerosis atau


tersumbat oleh thrombus atau embolus. Peredaran darah otak
dipengaruhi oleh beberapa faktor :

5
1) Tekanan darah di kepala (perbedaan antara
tekanan arterial dan venosa pada daerah setinggi otak), tekanan
darah arteri yang penting dan menentukan rata -rata 70 mmHg, dan
dibawah tekananan ini akan terjadi pengurangan sirkulasi darah
yang serius
2) Resistensi cerebrovasculer: Resistensi aliran darah arteri melewati
otak dipengaruhi oleh :
a) Tekanan liquor cerebrospinalis intracranial, peningkatan
resistensi terhadap aliran darah terjadi sejajar dengan
meningginya tekanan liquor cerebrospinalis, pada tekanan
diatas 500 mm air, terjadi suatu restriksi sirkulasi yang ringan
sampai berat.
b) Keadaan darah dapat mempengaruhi aliran darah dan suplai
oksigen di otak. Darah bertambah kental, peningkatan vikositas
darah, peningkatan hematokrit (misalnya pada
penyakit polisitemia) dapat melambatkan aliran darah. Pada
anemia berat suplai oksigen dapat pula menurun. Sirkulasi
dapat menurun lebih dari 50 % pada polycythemia, suatu
peningkatan yang nyata didalam sirkulasi darah otak dapat
terjadi pada anemia berat.
c) Kelainan jantung, bila denyut jantung tidak teratur dan tidak
efisien (misalnya pada fibrilasi, blok jantung) maka curahnya
akan menurun dan mengakibatkan aliran darah di otak
mengurang (iskemia). Jantung yang sakit dapat pula
melepaskan embolus yang kemudian tersangkut dipembuluh
darah/arteri otak dan mengakibatkan iskemia. 
d) Keadaan pembuluh darah cerebral, terutama arteriole : Pada
keadaan patologis, blok ganglion skeletal dapat mengalami
kegagalan untuk mempengaruhi aliran darah otak.

6
b. Adapun faktor-faktor resiko yang  menjadikan seseorang untuk mudah
terserang stroke diantaranya :
1) Umur
Lebih tua lebih mungkin untuk mengidap stroke.
2) Diabetes militus
Orang-orang yang diberi insulin, lebih banyak untuk mengidap
‘stroke’ dari pada mereka yang tidak mempergunakan insulin.
3) Faktor Keturunan

3. Patologi
Secara patologi suatu infark dapat dibagi dalam :

a.    Trombosis serebri,

Gambar 2.3 patologi trombus

b.   Emboli serebri

c.    Artheritis sebagai akibat dari arteritis temporalis.

Iskemik otak adalah kelainan gangguan suplai darah ke otak yang


membahayakan fungsi saraf tanpa memberi perubahan yang
menetap. Infark pada otak timbul karena iskemia otak yang lama dan
parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang  ireversible.

7
Gangguan aliran darah otak akan timbul perbedaan daerah jaringan
otak:

1) Pada daerah yang mengalami hipoksia akan timbul oedema sel


otak dan bila berlangsung lebih lama, kemungkinan besar akan
terjadi infark.
2) Daerah sekitar infark timbul daerah penumbra iskemik dimana sel
masih hidup tetapi tidak berfungsi.
3) Daerah diluar penumbra akan timbul edema lokal
atau hiperemis berarti sel masih hidup dan berfungsi. Orang normal
mempunyai suatu sistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan
darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme
(vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun,
pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi.

4. Tanda dan Gejala Klinis 


a. Tanda kenaikan tekanan intra cranial : pusing, sakit kepala, mual,
muntah, kaku kuduk.
b. Gangguan kesadaran : mulai ringan berupa bingung hingga koma.
c. Tanda-tanda fokal sesuai dengan area otak yang terkena yang
mempunyai fungsi-fungsi tertentu.
1) Motorik: hemiplegia/hemipharase, termasuk otot-otot wajah
dengan segala gejala yang menyertai (gangguan keseimbangan,
koordinasi, kontrol motorik, spastisitas, pola sinergis,dll)
2) Non motorik : gangguan sensorik,
ataxia, gangguan visual, gangguan visuo-spatial, aphasia,
neglect, gangguan kognitif, dyspaghia, dyshartia, dyspraxia,
gangguan emosional & perilaku, pikun, incontinence, impotent dll.
d. Tanda atau gejala penyakit penyerta dan penyulit (komplikasi).
e. Gangguan aktivitas fungsional.

8
5. Prognosis 
Depresi pasca stroke disebabkan karena dua hal. Pertama, peristiwa
stroke sendiri memiliki efek neuropsikologis langsung yang menghasilkan
gejala depresi. Kedua, adanya komponen reaktif yang berhubungan
dengan disabilitas.

Afasia dapat terjadi pada 20% hingga 38% penderita stroke dan


berhubungan dengan prognosis yang buruk. Penderita
dengan afasia mempunyai masalah dengan pemahaman dan produksi
bicara, misalnya pada percakapan, membaca, menulis dan kemampuan
menghitung. Afasia jarang sekali mempunyai pengaruh didalam hubungan
personal, pekerjaan dan kehidupan social.

C. Pendidikan Kesehatan pada Gangguan Sistem Persarafan (Stroke


Hemoragik)
Pendidikan kesehatan merupakan salah satu upaya atau kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan dalam pencegahan stroke, dengan cara
memberikan informasi tentang stroke, sehingga responden mempunyai
pengetahuan yang lebih tentang stroke. Dengan adanya pengetahuan itu
sendiri akan mempengaruhi perilaku dan secara tidak langsung akan
meningkatkan upaya responden dalam pencegahan stroke. Pendidikan
kesehatan memiliki peran yaitu melakukan intervensi atau perlakuan terhadap
faktor perilaku pendidikan kesehatan, sehingga perilaku individu, kelompok
atau masyarakat tersebut sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Penyampaian informasi dan diskusi mengenai stroke dengan metode
ceramah menggunakan slide presentasi dan leaflet pada penderita hipertensi
mengakibatkan penyerapan informasi yang disampaikan pada proses
pendidikan kesehatan tentang stroke lebih mudah diterima dan dipahami. Isi

9
pendidikan kesehatan tersebut meliputi pengertian stroke, tanda dan gejala
stroke, serta penyebab dan pencegahan stroke. Dengan demikian upaya
pencegahan stroke pada responden mengalami peningkatan, karena
pengetahuan mereka tentang stroke sudah lebih jelas, dan dari pengetahuan
itu, perilaku penderita pun menjadi lebih baik dalam melakukan pencegahan
stroke.

D. Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada Gangguan Sistem


Persarafan (Stroke Hemoragik)
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum sistem saraf bereaksi
terhadap stressor, meliputi : promosi kesehatan melalui selfimprovement
dan mempertahankan kesehatan. Pencegahan primer mengutamakan pada
penguatan Hlexible lines of defense dengan cara melakukan identifikasi
dari faktor-faktor resiko sebagai identifikasi keadaan bebas penyakit
(absence of the disease), serta mencegah stress dan mengurangi faktor-
faktor resiko. Intervensi dilakukan jika resiko atau masalah sudah
diidentifikasi tapi sebelum reaksi terjadi. Strateginya mencakup :
immunisasi, pendidikan kesehatan, olah raga dan perubahan gaya hidup,
dan tindakan ini disebut pencegahan tingkat primer (Yulinta, 2017).
Pencegahan primer dapat dilakukan pada pasien yang belum
pernah mengalami stroke yakni dengan melakukan 3M (Dian Nastiti,
2012) :
1) Menghindari : rokok, stres mental, minum kopi dan alkohol,
kegemukan, dan golongan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
serebrovaskuler(amfetamin, kokain, dan sejenisnya).
2) Mengurangi : asupan lemak, kalori, garam, dan kolesterol berlebih.
3) Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung dan asterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi
makanan seimbang, serta olahraga teratur 3-4 kali seminggu.

10
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi berbagai tindakan yang dimulai
setelah ada gejala dari stressor atau keadaan dimana seseorang mempunyai
penyakit tetapi belum menunjukkan gejala secara klinis (asimptomatik),
Early detection melalui skrining perlu dilakukan. Hasil skrining dapat
dilakukan intervensi farmakologis maupun nonfarmakologis pada tahap
awal kasus. Hal ini tentu saja akan memberikan hasil yang lebih
memuaskan daripada kita melakukan intervensi setelah penyakit tersebut
berada pada tahap lanjut (Yulinta, 2017).
Pencegahan sekunder mengutamakan pada penguatan internal
lines of resistance, mengurangi reaksi dan meningkatkan faktor-faktor
resisten sehingga melindungi struktur dasar melalui tindakan-tindakan
yang tepat sesuai gejala. Tujuannya adalah untuk memperoleh kestabilan
sistem secara optimal dan memelihara energi. Jika pencegahan sekunder
tidak berhasil dan rekonstitusi tidak terjadi maka struktur dasar tidak dapat
mendukung sistem dan intervensi-intervensinya sehingga bisa
menyebabkan kematian (Yulinta, 2017).
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah
menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap
penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronik. Tindakan yang
dilakukan adalah (Dian Nastiti, 2012) :
1) Gaya hidup: Mengontrol faktor risiko stroke atau aterosklerosis,
seperti mengobati hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung
dengan obat dan diet, stop merokok dan minum beralkohol, turunkan
berat badan dan rajin berolah raga, serta menghindari stress.
2) Lingkungan: penggantian kerja jika diperlukan, family konseling
3) Biologi : pengobatan yang patuh dan cegah efek samping
4) Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat
mengatasi krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan cara

11
memahami kondisi baru bagi pasien pasca stroke yang bergantung
pada orang lain.
5) Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan
stroke, seperti anti agregasi trombosit dan anti koagulan.
6) Pelayanan kesehatan : pendidikan pasien dan evaluasi penyebab
sekunder

3. Pencegahan Tersier
Pada pencegahan tersier ini dimana keadaan seseorang sudah
didiagnosa menderita suatu penyakit pada sistem saraf dan simptomatik
(clinically ill), serta telah ditangani dengan strategi-strategi pencegahan
sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada perbaikan kembali ke arah
stabilitas sistem klien secara optimal, dan timbulnya komplikasi dengan
melakukan antisipasi terhadap masalah-masalah yang dijumpai, serta
melakukan rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat
resistansi terhadap stressor untuk mencegah reaksi timbul kembali atau
regresi, sehingga dapat mempertahankan energi dan meningkatkan kualitas
hidup dari penderita. Pencegahan tersier cenderung untuk kembali pada
pencegahan primer (Yulinta, 2017).
Mengimplementasikan pencegahan di praktek sehari-hari
dibutuhkan-data riwayat penyakit pasien, data pemeriksaan fisik, prioritas
dalam merancang tindakan, meluangkan waktu untuk edukasi dan
konseling pasien serta menggunakan sebuah sistem kartu/ rekam medis
yang berorientasi pencegahan (prevention-oriented charting system),
sehingga kita perlu berfikir secara sistematis (Yulinta, 2017).
Pencegahan tersier dilakukan kepada pasien yang telah menderita
stroke dan mengalami kelumpuhan pada tubuhnya agar tidak bertambah
berat dan dapat mengalihkan fungsi anggota badan yang lumpuh pada
anggota badan yang masih normal, serta mengurangi ketergantungan pada
orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan

12
dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi yang bertujuan untuk menjaga
atau meningkatkan kemampuan fisik, ekonomi dan kemampuan untuk
bekerja seoptimal mungkin, yaitu dengan cara (Dian Nastiti, 2012) :
1) Gaya hidup : reduksi stres, exercise sedang, dan berhenti merokok.
2) Lingkungan : menjaga keamana dan keselamatan (tinggal di rumah
lantai pertama, menggunakan wheel-chair) dan dukungan penuh
keluarga.
3) Biologi : keptuhan berobat, terapi fisik dan bicara.
4) Pelayanan kesehatan : emergency medical techmic dan asuransi.

E. Persiapan, Pelaksanaan, dan Pasca Pemeriksaan Diagnostik, serta


Laboratorium pada Sistem Saraf (Stroke)
1. Persiapan Pemeriksaan
a. Assessment
Assessment merupakan komponen penting dalam segala
manajemen penatalaksanaan fisioterapi, termasuk dalam kasus stroke.
Pemeriksaan ini menjadi begitu penting karena sedikitnya ada 3 alasan
pokok, yaitu:
1) Dapat mengidentifikasi masalah pasien yang
akan diinterverensi oleh fisioterapis, dengan kata lain
menegakan diagnosis fisioterapi.
2) Dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada pasien dari
waktu ke waktu.
a) Memberikan motivasi kepada pasien
b) Memberikan informasi tentang efektivitas terapi yang berguna
untuk menentukan manajemen penatalaksanaan fisioterapi
selanjutnya.
3) Dapat dipakai sebagai alat ukur untuk menetukan biaya
atau efesiensi terapi, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain :

13
a) Anamnesis
 Data diri
1. Nama
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Agama
5. Pekerjaan
6. Alamat
7. No. CM
 Data data medis Rumah sakit
1. Diagnosis medis
2. Catatan klinis
3. Medika mentosa
4. Hasil lab
5. Foto rontgen

b) Pemeriksaan Subjektif
1) Keluhan utama pasien
Adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien mengenai
penyakit tersebut, meliputi :
 Lokasi keluhan
 Onset
 Penyebab
 Faktor-faktor yang memperberat atau memperingan
 Irritabilitas dan derajat
2) Riwayat penyakit sekarang
Adalah proses perjalanan penyakit dari awal hingga saat
ini, proses pengobatan yang telah dilakukan.
3) Riwayat penyakit dahulu

14
Adalah riwayat penyakit pasien sebelumnya yang membuat
resiko mengidap penyakit sekarang yang diderita.
4) Riwayat keluarga
Adalah riwayat keluarga pasien mengidap penyakit serupa
dengan pasien.
5) Status sosial
Status sosial adalah interaksi sosial pasien dengan
lingkungannya, meliputi :
 Lingkunga kerja
 Lingkungan tempat tinggal
 Aktivitas rekreasi di waktu senggang
 Aktivitas sosial

c) Pemeriksaan objektif
1) Pemeriksaan vital sign
Pemeriksaan ini berfungsi sebagai acuan tanda-tanda
penting dalam tubuh.
 Tekanan darah
 Denyut nadi
 Pernafasan
 Temperatur
 Tinggi badan
 Berat badan
2) Inspeksi
Adalah pemeriksaan meneliti pasien dengan indera
penglihatan, bisa disaat pasien statis maupun dinamis.
3) Palpasi
Adalah pemeriksaan pasien dengan cara meraba atau
menyetuh pasien dengan indra peraba, meliputi :
 Pitting Oedema
15
 Spasme
 Suhu lokal
4) Pemeriksaan gerak dasar
Adalah pemeriksaan gerak pasien, dapat dengan cara aktif,
pasif dan isometric. Dilihat pula tingkat derajat full ROM
dan nyeri yang dirasakan saat digerakan.
5) Pemeriksaan mmt
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui kekuatan
otot dengan tujuan membantu menegakan diagnosa.

Tabel 2.1 tabel nilai Manual Muscle Testing

Nilai Keterangan

0 Otot tidak mampu berkontraksi (lumpuh total)

1 Otot sedikit berkontraksi, tanpa perubahan ROM,


hanya muncul tonusnya saja

2 Otot berkontrasi, tidak mampu melawan tahanan (gaya


gravitasi) tetapi dapat full ROM

3 Mampu melawan tahanan, gaya gravitasi dan full


ROM

4 Mampu melawan tahanan (berupa manual) tetapi tidak


maksimal dan full ROM

5 Normal,otot mampu gerak aktif dengan full ROM dan


mampu melawan tahanan maksimal.

6) Pemeriksaan LGS
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui derajat
gerak dengan tujuan membantu evaluasi terapi. Dan salah
satu alat ukurnya adalah goneometer.
16
7) Pemeriksaan nyeri
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui persepsi
nyeri yang dirasakan pasien. Salah satu alat ukurnya adalah
VAS (Visual Analoque Scale).
8) Pemeriksaan ADL
Pemeriksaan keseimbangan adalah suatu cara pemeriksaan
untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau
pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang
tumpu (base of support). Tujuan pemeriksaan
keseimbangan :
(a) Mengidentifikasi masalah pasien / menegakkan
diagnosa fisioterapi
(b) Mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada pasien
dari waktu ke waktu
(c) Sebagi alat ukur untuk menentukan biaya
atau efesiensi terapi.
(d) Sensitivitas atau responsivitas dari alat ukur
(e) Validitas dan reliabilitas alat ukur
(f) Ceiling effect dan floor effect dari alat ukur.

b. Penetapan Diagnosa
Saat ini penanganan fisioterapi lebih menekankan kepada
pasien. Salah satu metode yang popular untuk mengkategorikan
problem pasien dengan gangguan neurologi adalaha klasifikasi dari
WHO. Klasifikasi ini mulai dikembangkan pada tahun 1980-an dipakai
secara luas di dunia sebagai kesamaan istilah yang dipakai dalam dunia
klinis, pengumpulan data dan penelitian.
1) Impairtment
Merupakan hilangnya atau tidak normalnya aspek psikologis,
fisiologis, struktur anatomis ataupun fungsi. Contohnya adalah

17
kelemahan, gangguan sensasi, penurunan
fungsi propioceptif, gangguan koordinasi, dan gangguan
penglihatan.
2) Activity limitation
Merupakan kesulitan pasien melangsungkan suatu aktivitas
dengan cara atau dengan dikategorikan dalam batas normal.
Biasanya dalam membicarakan activity limitation ini focus ada
dalam hal fungsi atau aktivitas fungsional. Contoh adalah
ketidakmampuan dalam berjalan, perawatan diri sebagainya.

3) Participation restriction
Merupakan problem yang lebih kompleks yang melibatkan
lingkungan pasien, baik lingkungan fisik, non fisik. Biasanya
fisioterapi tidak sampai sejauh ini dalam menegakkan
problematika/diagnose fisioterapi.
Pada pembuatan kasus neurologi, sesuai dengan keterangan-
keterangan diatas, maka yang dituliskan sebagai list of
problem adalah gangguan fungsional pasien sedangkan
gangguan impairment menjadi faktor yang menyebabkan.
Berdasarkan seluruh permasalahan yang ada, maka selanjutnya
dibuatlah prioritas masalah yang dimaksudkan untuk mengarahkan
dan memprioritaskan rencana dan interverensi fisioterapi.

2. Pelaksanaan Pemeriksaan
Pemilihan teknologi interverensi yang digunakan hendaknya
didasari oleh informasi tentang efektivitas dari terapi tersebut. Yang bisa
didapat dari teori yang valid. Terbukti efektif dalam clinical trial, atau
terbukti efektif dalam penelitian. Dalam pemberiannya harus disertai
dengan teknik dan ketrampilan dari fisioterapinya setinggi mungkin.

18
a. Infra Red
Radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang
dari cahaya tampak tetapi lebih pendek dari radiasi gelombang radio.
Panjang gelombang 700 nm dan 1 mm. IR meningkatkan sirkulasi
mikro. Bergetarnya molekul air dan pengaruh inframerah akan
menghasilkan panas yang menyebabkan pembuluh kapiler membesar,
dan meningkatkan temperature kulit memperbaiki sirkulasi darah dan
dapat mengurangi nyeri yang dirasakan.

Indikasi Infra Red kondisi sub akut kontusio


(memar),muscule strain, sprain,sinovitis, rheumatoid artitis,
osteoartitis, myalgia,lbp,neuralgia,neururitis,gangguan srirkulasi
darah (toa,thomboplebitisraynold’s disqase). Kontraindikasi Infra Red
daerah dengan insufiensi pada darah, gangguan sensibilitas kulit,
adanya kecenderungan terjadinya pendarahan.Pemakaian Infra Red
dengan dosis : 15 menit Jarak : 30 cm.

b. Exercise
Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat
dalam menjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan sendi. Jenis
latihan ini dapat diberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya
komplikasi akibat kurang gerak, seperti adanya kontraktur, kekakuan
sendi, dan lain-lain.
Pemberian passive excercise dapat diberikan dalam berbagai
posisi seperti tidur terlentang tisur miring, tidur tengkurap, duduk
berdiri, atau posisi denga alat latihan yang digunakan. Latihan dalam
gerakan pasif tidak akan berdampak terhadap proses pembelajaran
motorik,akan tetapi sangat bermanfaat sebagi tindakan akal sebelum
aplikasi metode untuk latihan pembelajaran mototrik.
Indikasi rasa tebal , kelemahan dan penurunan kekuatan otot,
gangguan fungsi motoris, keterbatasan gerak. Kontraindikasi tidak

19
dianjurkan pasien  dengan tekanan darah tinggi, bila pasien
merasakan fatique yang sangat berat hentikan latihan.

3. Pasca Pemeriksaan
Re-assessment yang dilakukan selama terapi berlangsung adalah
untuk mengamati apakah terapi yang kita berikan sesuai yang kita tuju dan
bagaimanakah respon dari pasien. Jangan mempertahankan interverensi
yang nyata-nyata tidak efektif. Evaluasi terhadap hasil perlu dilakukan
pada beberapa titik, misalnya setelah terapi berakhir, setelah satu paket
terapi selesai, evaluasi ketercapaian tujuan, evaluasi dari kelambatan pada
kemajuan pasien lain-lain.
Kesimpulan yang didapat dari evaluasi ini untuk mengetahui
apakah dalam menentukan problem list dan contributing factor tidak tepat,
apakah terlalu tidak efektif, apakah memang tidak mungkin melakukan
perubahan terhadap impairment dan merubah fokus atau tujuan terapi
kearah kompensasi dan lain-lain. Atau pasien sudah puas terhadap
kemajuan aktivitas fungsionalnya walaupun impairmentnya masih tetap
ada.
Pentingnya evaluasi fisioterapi seharusnya juga dipertimbangkan
sebagai bahan masukan dari team rehabilitasi/medis di rumah sakit untuk
menentukan seseorang pasien sudah/belum diperbolehkan meninggalkan
rumah sakit (discharge planning) dan dalam menentukan tindakan
fisioterapi berikutnya (follow up), terutama bagi pasien dengan impairment
dan activity limitation yang kronik.

4. Laboratorium
Tes darah seperti sedimantation rate dan C-reactive protein yang
dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk
adanya arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang

20
dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah
juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke
yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih
lanjut. Tes darah screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi
ginjal, dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan.

21
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Sistem saraf merupakan suatu struktur yang terdiri dari komponen-
komponen sel saraf (neuron). Sistem saraf bersama-sama dengan sistem
hormon, berfungsi untuk memelihara fungsi tubuh. Pada umumnya sistem
saraf berfungsi untuk mengatur, misalnya kontraksi otot, perubahan alat-alat
tubuh bagian dalam yang berlangsung dengan cepat, dengan kecepatan sekresi
beberapa kelenjar endokrin. Salah satu penyakit gangguan pada sistem
persarafan adalah stroke. Dimana stroke dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
stroke hemoragik dan non hemoragik. Pencegahan yang dapat dilakukan oleh
pasien stroke yaitu berupa pencegahan primer,sekunder dan tersier. Peran
perawat sebagai edukator dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan
kesehatan tentang upaya pencegahan stroke , sehingga pengetahuan pasien
yang mengalami stroke meningkat dan perilaku penderita pun menjadi lebih
baik dalam melakukan pencegahan stroke.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan
sistem persarafan terutama stroke dapat berupa persiapan pemeriksaan
(assessment dan penetapat diagnosa), pelaksanaan pemeriksaan (infra red dan
exercise), pasca pemeriksaan, laboratorium.

B. Saran
Saran ini ditujukan agar masyarakat, keluarga atau pasien dapat
memahami penyakit stroke sehingga dapat melakukan hidup sehat disekitar
lingkungan dan diharapkan juga dapat menambah keluasan ilmu terapan
bidang keperawatan dalam memberikan intervensi terhadap pencegahan
penyakit dan menjelaskan penyakit stroke.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Mochamad. 2011. Pemeriksaan Klinis di Bidang Penyakit Syaraf


(Klinis Neurologi dan Neurobehavior/ Fungsi Luhur). Malang. UMM
Press. Diakses dari http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:_hW71DpuJYAJ:eprints.umm.ac.id/43147/3/jiptummpp-gdl-
amaliachoi-50855-3-
babii.pdf+&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d pada
tanggal 18 September 2020

Luklukaningsih, Zuyina, 2009. Sinopsis Fisioterapi untuk Terapi Latihan. Mitra


Cendikia Press. Yogykarta.

Nastiti, Dian. (2012). Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke pada Pasien
Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika. FKM UI. Diakses
dari http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/kesmas/article/view/962 pada
tanggal 18 September 2020

Yulinta, Riska. (2017). Pencegahan Primer, Sekunder & T ersier (Sistem


Neurobehavior). Diakses dari https://docplayer.info/47647998-
Pencegahan-primer-sekunder-t-ersier-sistem-neurobehavi-dr-riska-
yulinta-v-mmr.html pada tanggal 18 September 2020

23

Anda mungkin juga menyukai