Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Sampai sekarang atresia ani masih dalam perdebatan, baik mengenai
klasifikasi maupun penatalaksanaanya. Beberapa ahli mencoba
mengka=lasifikasikan atresia ani serta memperkenalkan teknik operasi terbaik.
Klasifikasi Wingspread pada pasien atresia ani, yaitu atresia ani letak tinggi,
intermediet, dan rendah saat ini banyak ditinggalkan karena tidak mempunyai
aspek terapeutik dan prognostic.
Klasifikasi Pena yang membagi atresia ani letak tinggi dan rendah lebih
dipakai karena mempunyai aspek terapeutik. Penatalaksanaan atresia ani
tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan
kolostomi sebagai tindakan bedah awal untuk difersi dan dikompresi, pada
tahap berikutnya dilakukan anoplastik. Prosedur abomino perineal Pull
through yang beberapa waktu lalu dikembangkan dengan tujuan untuk
memudahkan identifikasi dan melindungi otot levaktor, saat ini banyak
ditinggalkan karena menimbulkan komplikasi.
Pena dan de vries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi
dengan pendekatan postero sagital anorektoplastik (PSARP) yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levaktor ani untuk
memudahkan mobilisasi kantung rectum dan pemotongan fistel. Keberhasilan
penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang,
melikputi anatomis, fungsi fisiologis, bentuk kosmetik, serta antisipasi trauma
psikis. Sebagai tujuannya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya
baik.

1
Usia pasien saat menjalani operasi PSARP menjadi salah satu faktor
penting dalam keberhasilan penatalaksanaan atresia ani. Pena menyarankan
agar tindakan definitive PSARP dilakukan pada usia 8 – 12 minggu (3 bulan)
setelah dilakukan kolostomi karena dapat dilakukan evaluasi kelainan
penyerta lain yang dapat mempengaruhi tindakan definitive. Leape (1987)
menyarankan untuk melakukan operasi definitive pada usia 3 12 bulan karena
memberikan kesempatan kepada bayi untuk tumbuh dan berkembang.
Sedangkan Fonkalsrud menayatakan usia untuk operasi definitive 6 – 12 bulan
pada saat berat badan pasien telah mencapai 12 – 15 pound.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
pembedahan atersia ani yaitu kolostomi sebagai makalah dalam memenuhi
tugas Keperawatan Instrumen.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Konsep Atresia Ani
2. Jelaskan Konsep Kolostomi
3. Jelaskan Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

C. Tujuan
1. Mengetahui Tentang Konsep Atresia Ani
2. Mengetahui Tentang Konsep Kolostomi
3. Mengetahui Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Atresia Ani


1. Pengertian Atresia Ani
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya
tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang yang normal.
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa
atresia ani adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai
lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan
kloaka yang terjadi saat kehamilan.

2. Klasifikasi Atresia Ani


Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga
feses tidak dapat keluar
b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus
c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus
d. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok
anatomi yaitu :
e. Anomali rendah / infralevator

3
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot
puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang
baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan
saluran genitourinarius.
f. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis,
lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
g. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak
ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius –
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung
buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

3. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun
ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan
oleh :
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia
12 minggu atau 3 bulan.
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter,
dan otot dasar panggul.
Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa
gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak

4
diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang
diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier
saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang
mempunyai. sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Selain itu,
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat
lahir. Berikut faktor predisposisi atresia ani antara lain :
a) Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali
pada gastrointestinal.
b) Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

4. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan
anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan
fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis
sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir
tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga
letak:
a. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.

5
b. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
c. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

6
5. Pathways
Gangg.
Pertumbuhan Kelainan Kongenital
Fusi
Pembentukan anus
dari tonjolan Atresia Ani
embriogenik

Feses tidak keluar Vistel Rektovaginal

Ansietas Fases Menumpuk Feses masuk ke


uretra

Peningkatan Reabsorbsi sisa Mikroorganisme


tekanan metabolisme oleh masuk ke dalam
intraabdominal tubuh saluran kemih

Operasi anoplasti Keracunan Dysuria

Mual , Muntah Gangguan rasa


Perubahan defekasi nyaman
Pengeluaran Tak
Terkontrol Ketidakseimbangan Gangguan eliminasi
Iritasi Mukosa nutrisi kurang dari urine
kebutuhan tubuh Nyeri

Resiko kerusakan Trauma Jaringan Abnormalitas


integritas kulit spingter rektal

Inkontensia
Defekasi

Perawatan tidak Nyeri


adekuat

Gangguan Rasa
Resiko Infeksi Nyaman

7
6. Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar
feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
a. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
b. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
d. Perut kembung.
e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

7. Komplikasi
a. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
b. Obstruksi intestinal
c. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
d. Eversi mukosa anal.
e. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
f. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
g. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
h. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
a.Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
(Betz, 2002)

8
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia
ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa
waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdomino
perineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen
feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada
tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah 2009 memperkenalkan metode
operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani
untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel
(Faradilla, 2009). Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari
fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk
menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum
yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan
pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca
operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak
kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan
anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post
operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda
tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula
(Faradilla, 2009). Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla
menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi
atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan
definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

9
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla,
2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak
lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum,
muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama
penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita
mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita
dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan
antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses
umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada
atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur,
jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat
invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di
posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi
definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit.
Dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak
ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

10
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi
pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan
fistel perineum.
Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke
vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan
memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel
terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin
mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses
tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum
tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel
tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera
dilakukan kolostomi.
Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya
terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya
tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak
ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus,
sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada
fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera
dilakukan pertolongan bedah.

9. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

11
c. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
g. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

B. Konsep Operasi Kolostomi


1. Pengertian Kolostomi
Colostomy adalah pemotongan colon pada bagian proximal dan distal
lalu dikeluarkan sampai luar kulit sehingga membentuk stoma. Stoma
adalah lubang buatan pada abdomen untuk mengalirkan urine atau faeces
keluar dari tubuh (Sajalnsuhidajat- de Jong 2010).
Kolostomi adalah lubang yang dibuat melalui dinding abdomen
kedalam kolon iliaka (assenden) sebagai tempat mengeluarkan feses
(Pearce, 2009 dalam Nainggolan& Asrizal,2013). Pembentukan kolostomi
dapat dilakukan secara permanen atau sementaratergantung tujuan
dilakukan operasidan 10%diantaranyaadalah kolostomi permanen (Vonk-
Klassen,et al, 2015). Lubang kolostomi yang muncul di
permukaan/dinding abdomen yang berwarna kemerahan disebutstoma
Kolostomi adalah prosedur pembedahan untuk memindahkan usus
besar ke dinding abdomen, sehingga feses dapat keluar melalui saluran
usus ke kantong yang menempel pada abdomen. Kolostomi juga

12
didefinisikan sebagai suatu lubang pada usus besar dan aperture (lubang)
pada kulit, sehingga menciptakan anus buatan. Prosedur kolostomi
biasanya dilakukan sesudah reseks usus atau cidera, dilaksanakan untuk
sementara atau menetap.
2. Kolostomi
Perlengkapan kolostomi terdiri atas satu lapis atau dua lapis dengan
barier kulit hipoalergenik untuk mempertahankan integritas kulit
peristomal. Kantong harus cukup besar untuk menampung feses dan flatus
dalam jumlah sedang tetapi tidak terlalu besar agar tidak membebani bayi
atau anak. Perlindungan kulit peristomal adalah aspek penting dari
perawatan stoma. Peralatan yang sesuai ukurannya merupakan hal penting
untuk mencegah kebocoran isi (Wong, 2009). Lokasi kolostomi
menentukan konsistensi tinja baik padat ataupun cair. Pada kolostomi
transversum umumnya menghasilkan feses lebih padat. Lokasi kolostomi
ditentukan oleh masalah medis pasien dan kondisi umum. Ada 3 jenis
kolostomi, yaitu:
a. Kolostomi loop atau loop colostomy, biasanya dilakukan dalam
keadaan darurat .
b. End colostomy, terdiri dari satu stoma dibentuk dari ujung proksimal
usus dengan bagian distal saluran pencernaan. End colostomy adalah
hasil pengobatan bedah kanker kolorektal.
c. Double-Barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda stoma
bagian proksimal dan stoma bagian distal (Perry & Potter, 2005).
3. Jenis kolostomi berdasarkan lokasinya
Jenis kolostomi berdasarkan lokasinya; transversokolostomi
merupakan kolostomi di kolon transversum, sigmoidostomi yaitu
kolostomi di sigmoid, kolostomi desenden yaitu kolostomi di kolon
desenden dan kolostomi asenden, adalah kolostomi di asenden (Suriadi,
2006)

13
4. Indikasi Kolostomi
i. Atresia Ani
Penyakit atresia ani adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembuatan lubang
anus yang tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto,
2001). Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai
anus imperforate meliputi anus, rektum atau keduanya (Betz, 2002).
Menurut Suriadi (2006), Atresi ani atau imperforata anus adalah tidak
komplit perkembangan embrionik pada distal usus (anus) tertutupnya
anus secara abnormal.
ii. Hirschprung
Penyakit Hirschprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna
dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi
(Nelson, 2000). Penyakit Hischprung disebut juga kongenital
aganglionosis atau megacolon yaitu tidak adanya sel ganglion dalam
rectum dan sebagian tidak ada dalam colon (Suriadi, 2006)
iii. Malforasi Anorektum
Istilah Malforasi Anorektum merujuk pada suatu spektrum cacat.
Perhatian utama ditujukan pada pengendalian usus selanjutnya, fungsi
seksual dan saluran kencing. Beberapa kelainan yang memerlukan
pembedahan kolostomi adalah;
1) Fistula Rektovesika
Pada penderita Fistula Rektovesika, rektum berhubungan
dengan saluran kencing pada setinggi leher vesika urinaria.
Mekanisme sfingter sering berkembang sangat jelek. Sakrum
sering tidak terbentuk atau sering kali tidak ada. Perineum
tampak datar. Cacat ini mewakili 10% dari seluruh penderita
laki-laki dengan cacat ini. Prognosis fungsi ususnya biasanya
jelek. Kolostomi diharuskan selama masa neonatus yang
disertai dengan operasi perbaikan korektif (Nelson, 2000).

14
2) Fistula Rektouretra
Pada kasus Fistula Rektouretra, rektum berhubungan
dengan bagian bawah uretra atau bagian atas uretra. Mereka
yang mempunyai Fistula Rektoprostatik mengalami
perkembangan sakrum yang jelek dan sering perineumnya
datar. Penderita ini mengalami kolostomi protektif selama masa
neonatus. Fistula Rektouretra merupakan cacat anorektum yang
paling sering pada penderita laki-laki ( Nelson, 2000).
3) Atresia Rektum
Atresia Rektum adalah cacat yang jarang terjadi, hanya 1%
dari anomali anorektum. Tanda yang unik pada cacat ini adalah
bahwa penderita mempunyai kanal anus dan anus yang normal
( Nelson, 2000).
4) Fistula Vestibular
Fistula Vestibular adalah cacat yang paling sering
ditemukan pada perempuan. Kolostomi proteksi diperlukan
sebelum dilakukan operasi koreksi, walaupun kolostomi ini
tidak perlu dilakukan sebagai suatu tindakan darurat karena
fistulanya sering cukup kompeten untuk dekompresi saluran
cerna ( Nelson, 2000).
5) Kloaka Persisten
Pada kasus Kloaka Persisten, rektum, vagina, dan saluran
kencing bertemu dan menyatu dalam satu saluran bersama.
Perineum mempunyai satu lubang yang terletak sedikit di
belakang klitoris. Kolostomi pengalihan terindikasi pada saat
lahir, lagipula penderita yang menderita kloaka mengalami
keadaan darurat urologi, karena sekitar 90% diserai dengan
cacat urologi. Sebelum kolostomi, diagnosis urologi harus
ditegakkan untuk mengosongkan saluran kencing, jika perlu
pada saat yang bersamaan dilakukan kolostomi ( Nelson,
2000).

15
5. Komplikasi Kolostomi
Insidens komplikasi untuk pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi
dibandingkan pasien ileostomi. Beberapa komplikasi umum adalah prolaps
stoma, perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal dan iritasi kulit. Kebocoran
dari sisi anastomotik dapat terjadi bila sisa segmen usus mengalami sakit
atau lemah. Kebocoran dari anastomotik usus menyebabkan distensi
abdomen dan kekakuan, peningkatan suhu, serta tanda shock. Perbaikan
pembedahan diperlukan (Brunner dan Suddarth, 2000).
a.Perawatan Kolostomi
Fungsi kolostomi akan mulai tampak pada hari ke 3 sampai hari ke
6 pascaoperatif. Perawat menangani kolostomi sampai pasien dapat
mengambil alih perawatan ini. Perawatan kulit harus diajarkan
bersamaan dengan bagaimana menerapkan drainase kantung dan
melaksanakan irigasi. Menurut Brunner dan suddarth (2000), ada
beberapa yang harus diperhatikan dalam menangani kolostomi, antara
lain;
b. Perawatan Kulit
Rabas efluen akan bervariasi sesuai dengan tipe ostomi. Pada
kolostomi transversal, terdapat feses lunak dan berlendir yang
mengiritasi kulit. Pada kolostomi desenden atau kolostomi sigmoid,
feses agak padat dan sedikit mengiritasi kulit. Pasien dianjurkan
melindungi kulit peristoma dengan sering mencuci area tersebut
menggunakan sabun ringan, memberikan barrier kulit protektif di
sekitar stoma, dan mengamankannya dengan meletakan kantung
drainase. Bedak nistatin (Mycostatin) dapat ditebarkan sedikit pada
kulit peristoma bila terdapat iritasi atau pertumbuhan jamur.
Kulit dibersihkan dengan perlahan menggunakan sabun ringan, dan
waslap lembap serta lembut. Adanya kelebihana barier kulit
dibersihkan. Sabun bertindak sebagai agen abrasive ringan untuk
mengangkat residu enzim dari tetesan fekal. Selama kulit dibersihkan,

16
kassa dapat digunakan untuk menutupi stoma atau tampon vagina
dapat dimasukkan dengan perlahan untuk mengabsorpsi kelebihan
drainase. (Smeltzer, 2002).
Pasien diizinkan untuk mandi atau mandi pancuran sebelum
memasang alat yang bersih. Plester mikropor yang dilekatkan pada sisi
kantung akan melindunginya selama mandi. Kulit dikeringkan dengan
seksama menggunakan kassa dan hindari menggososk area tersebut.
Barier kulit (wafer, pasta, atau bedak) digunakan di sekitar stoma
untuk melindungi kulit dari drainase fekal (Smeltzer, 2002)
c.Memasang Kantung
Stoma diukur untuk menentukan ukuran kantung yang tepat.
Lubang kantung harus sekitar 0,3 cm lebih besar dari stoma. Kulit
dibersihkan terlebih dahulu. Barier kulit peristoma dipasang.
Kemudian kantung dipasang dengan cara membuka kertas perekat dan
menekanya di atas stoma. Iritasi kulit ringan memerlukan tebaran
bedak stomahesive sebelum kantung dilekatkan.
d. Mengangkat Alat Drainase
Alat drainase diganti bila isinya telah mencapai sepertiga sampai
seperempat bagian sehingga berat isinya tidak menyebabkan kantung
lepas dari diskus perekatnya dan keluar isinya. Pasien dapat memilih
posisi duduk atau berdiri yang nyaman dan dengan perlahan
mendorong kulit menjauh dari permukaan piringan sambil menarik
kantung ke atas dan menjauh dari stoma. Tekanan perlahan mencegah
kulit dari trauma dan mencegah adanya isi fekal yang tercecer keluar.
e.Mengirigasi Kolostomi
Tujuan pengirigasian kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon
dari gas, mukus, dan feses. Sehingga pasien dapat menjalankan
aktivitas sosial dan bisnis tanpa rasa takut terjadi drainase fekal.
Dengan mengirigasi stoma pada waktu yang teratur, terdapat sedikit
gas dan retensi cairan pengirigasi.

17
6. Peralatan operasi kolostomi
Persiapan alat steril
Meja Mayo :
 Washing and dressing forcep (desinfeksi Klem : 1 buah
 Towel klem(duk klem) : 5 buah
 Dissecting forcep (pinset cirurgis) : 2 buah
 Tissue forcep (pinset anatomis) : 2 buah
 Scalp blade and handle (handvant mess) no 3 : 1 buah
 Delicate hemostatic forcep pean curve : 6 buah
 Delicate hemostatic forcep cocher curve : 4 buah
 Metzenboum scissor curve : 1 buah
 Sugircal scisor ( Gunting kasar jaringan) : 1 buah
 Gunting benang : 1 buah
 Needle holder (nald foeder) : 1 buah
 Miculicz (peritoneum klem) : 4 buah
 Langenbeck kecil : 2 buah
Meja Instrument
 Duk kecil : 4 buah
 Duk besar : 2 buah
 Duk sedang : 2 buah
 Sarung meja mayo : 1 buah
 Schort : 4 buah
 Selang suction : 1 buah
 Bengkok + kom : 1 / 1 buah
 Handuk steril : 4 buah
 Cauter : 1 buah
Bahan habis pakai

18
 Handscoon berbagai ukuran : sesuai
kebutuhan
 Cairan normal saline 0,9% 500 ml : 2 buah
 Mess no 10 : 1 buah
 Kateter no. 16 : 2 buah
 Urobag : 1 buah
 Vicryl no 3-0 : 2 buah
 Mersilk no 2 – 0 : 1 buah
 Kassa sedang : 20 buah
 Watches : sesuai
kebutuhan
 Betadhin 10 % : 100 cc
 Underpad on / steril : 1 / 1 buah
 Sufratule : sesuai
kebutuhan
 Colostomy bag : 1 buah
Persiapan alat non steril
 Mesin suction : 1 buah
 Mesin cauter : 1 buah
 Tempat sampah medis dan non medis : 1 / 1 buah
 Meja instrument : 1 buah
 Meja mayo : 1 buah
 Lampu operasi : 1 buah

7. Teknik Instrumentasi
Sign In ( konfirmasi identitas, informed consent pasien, sign mark
area operasi, kesiapan mesin anastesi dan pulse oksimetri )
a) Membantu mengatur posisi pasien setelah dilakukan pembiusan
b) Perawat sirkuler memasang plate diatermi dan membersihkan area
operasi dengan savlon

19
c) Perawat instrument melakukan surgical scrub ( cuci tangan), gowning
(memakai schort) dan gloving (memakai handscoon steril).
d) Perawat instrument memakaikan schort dan handscoon steril kepada
tim operasi lainnya
e) Desinfeksi area yang akan dioperasi. Perawat instrument memberikan
washing and dressing forcep (desinfeksi klem) dan kassa dalam kom
berisi betadhin 10 % .
f) Untuk mempersempit area steril dilakukan drapping area operasi.
Perawat instrument memberikan 2 duk besar untuk sisi atas dan
bawah, 1 duk kecil untuk sisi kiri. 2 duk sedang untuk sisi kanan dan
kiri. Dan untuk menfiksasi, perawat instrument memberikan 4 towel
clamp (duk klem).
g) Perawat instrument memasang slang suction + kabel cauter dan fiksasi
dengan menggunakan towel klam (duk klem) dan kassa.
h) Perawat instrument mendekatkan meja mayo ke dekat pasien
i) Perawat instrument memberikan kassa basah dan kassa kering untuk
membersihkan area operasi dari bekas betadine
Time Out out ( konfirmasi nama tim operasi, konfirmasi
pemberian antibiotik profilaksis, tindakan darurat di luar standart operasi,
estimasi lama operasi, antisipasi kehilangan darah, perhatian khusus
selama pembiusan, sterilitas alat instrumen bedah, jumlah instrument,
jumlah kasa,jumlah deppers dan jumlah jarum )
Dilanjutkan berdoa dipimpin oleh operator
a) Operator melakukan marker daerah yang akan di insisi. Perawat
instrument memberikan dissecting forcep pada operator ( pincer
chirugis)
b) Instrumen memberikan scalp blade and handle mess no 3 (mess no 10 )
kepada operator. Operator melakukan insisi kulit, fat dan fasie.
Operator melakukan sedikit sayatan pada fasie. Kemudian Operator
melebarkan atau membuka fasie , instrument memberikan 2 desecting

20
forcep (pincet chirugis) dan surgical scissor (gunting kasar) sampai
terlihat otot.
c) Operator memotong otot dengan menggunakan cutting cauter
d) Setelah otot terbuka akan tampak peritoneum, instrument memberikan
double pinset anatomis dan metzenboum kepada operator untuk
membuka peritonium
e) Setelah peritoneum terbuka,berikan double pinset anatomis kepada
operator untuk mencari kolon desenden
f) Kolon desenden dikeluarkan ke dinding abdomen lalu dipasang tegel
dengan kateter no 16 dan dilakukan penjahitan ” spur ” 3 – 4 jahitan.
Berikan operator nalfoeder, pinset anatomis dan benang vicryl 2 – 0
g) Kemudian kolon dijahit ke peritoneum, fasia dan kulit . berikan
operator nalfoeder , pinset sirurgis dan benang vicryl 2 – 0
h) Kolon kemudian dibuka tranversal menggunakan couter
i) Setelah stoma terbentuk, berikan operator watches untuk
membersihkan mukosa kolon dari feces
Sign out ( hitung jumlah kasa, dan jumlah alat, kesesuaian jenis
tindakan ) dengan mencocokan jenis tindakan, kecocokan alat, bahan habis
pakai yang di gunakan, serta perhatian khusus pada pasien setelah
tindakan.
a) Pembuatan stoma selesai, berikan operator kassa basah dan kassa
kering untuk membersihkan sisi stoma
b) Tutup tepi stoma dengan menggunakan sufratulle dan kassa,
kemudian pasang colostomy bag
c) Operasi selesai
d) Pasien dibersihkan dan alat dirapikan

21
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya
tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang yang normal.
Kolostomi adalah prosedur pembedahan untuk memindahkan usus
besar ke dinding abdomen, sehingga feses dapat keluar melalui saluran
usus ke kantong yang menempel pada abdomen. Kolostomi juga
didefinisikan sebagai suatu lubang pada usus besar dan aperture (lubang)
pada kulit, sehingga menciptakan anus buatan. Prosedur kolostomi
biasanya dilakukan sesudah reseks usus atau cidera, dilaksanakan untuk
sementara atau menetap. Indikasi Kolostomi adalah Atresia
Ani,Hirschprung,Malforasi Anorektum.

22
DAFTAR PUSTAKA

Gruendemann, Barbara. J dan Billie Fernsebner. 2005. Buku Ajar Keperawatan


Perioperatif. Vol 2. Editor ahli bahasa Indonesia. Egi Koomara Yudha dan
Alfrina Hany. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2009. Konsep Proses dan Aplikasi Asuhan
Keperawatan Perioperatif. Jakarta : Salemba Medika

Buku Ajar Ilmu Bedah Sjalnsuhidajat- de Jong,2010, Edisi 3- Jakarta : EGC

Mutaqin, Arif & Sari, Kumala,2013. Asuhan Keperawatan Perioperatif, Konsep,


Proses Aplikasi, Jakarta: Salemba Medika

23

Anda mungkin juga menyukai