Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN ANAK
BAYI DENGAN ATRESIA ANI PADA PASIEN By Ny. I
DI RUANG PERINATOLOGI ATAS RSUD KAB.
TANGERANG
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anak
Dosen Pembimbing : Ema Hikmah, Skp., M.Kep.

Disusun Oleh :
ANICAH SOVIANTI
(P27901121056)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2023
A. Konsep Penyakit Atresia Ani
1. Pengertian Atresia Ani
Atresia ani adalah kelainan lahir yang menyebabkan anus tidak terbentuk
dengan sempurna. Akibatnya, penderita atresia ani tidak dapat mengeluarkan tinja
secara normal. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh gangguan perkembangan
saluran cerna janin pada usia kehamilan 5–7 minggu. Atresia ani atau anus
imperforata tergolong jarang terjadi. Kondisi ini hanya terjadi pada 1 dari
5.000 kelahiran dan lebih sering dialami oleh bayi laki-laki. Atresia ani perlu
segera ditangani untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian endokterm mengakibatkan pembentukan
lubang anus tidak sempurna. Anus tampak rata dan sedikit cekung kedalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rektrum (Purwanto, 2011).
2. Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa
penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor
lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan
pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua
menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia
ani, kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak
normal dan kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita
atresia ani.
Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus
urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital
pada minggu ke-5 sampai ke-7 pada usia kehamilan.
3. Manifestasi Klinik
Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi
usus. Tanda berikut merupakan indikasi beberapa abnormalitas:
1. Tidak adanya apertura anal
2. Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal
3. Muntah dengan abdomen yang kembung
4. Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir
harus dilakukan colok anus dengan menggunakan termometer yang
dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau dapat juga dengan
jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka
termometer atau jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan
penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam
24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.

4. Faktor yang Mmepengaruhi Terjadinya Atresia Ani


Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam
kandungan ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya
kelainan ini sangat mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena
kurangnya pemeriksaan pada perineum. Malformasi anorektal lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Dengan angka kejadian rata-rata
malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 pada setiap
kelahiran.

Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada
bayi laki-laki adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling
banyak ditemui adalah anus imperforate kemudian diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal.

Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani
mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30%
Anak dengan kelainan genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital
lain yang juga beresiko untuk menderita atresia ani.

Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia
ani adalah Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0.
Kejadian yang tinggi terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).

Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan


dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian
Boocock dan Donna di Manchester.

5. Komplikasi
Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan
dan infeksi).(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang
buruk.

6. Patofisiologi dan Pathway

Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum


anorektal pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik
bagian belakang. Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal berkembang awalnya dari ujung ekor dari bagian
belakang. Penyempitan pada kanal anorektal menyebabkan terjadinya
stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada kelengkapan
migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan
vagina. Di usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi
dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen,
sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.

Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin


akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi,
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).

Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:


a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini
tatalaksana atresia ani yang paling ideal adalah divided descending
colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya dekompresi
yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek
namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi
definitive. Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan
dibanding dengan kolostomi transversal, karena proses pembersihan
kolon distal pada proses kolostomi menjadi lebih mudah. Loop
colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma proksimal ke
distal, dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan
impaksi feses. Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi
kesalahan karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu
pendek dan sulit untuk dimobilisasi pada proses pull through.

b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)


PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi
kantong rectum dan pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9
sampai 12 bulan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi
untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.

c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani
anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur
pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian
dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai
beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus
diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang menjalankan dan
orang yang paling dekat dengan anak.
Pathway

Kelainan kongengital  Gangguan pertumbuhan Factor lingkungan


 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik

Feses menumpuk Feses tidak Atresia Ani Vistel rektrovaginal


keluar

Feses masuk uretra

Reabsorbsi sisa Peningkatan tekanan


metabolism tubuh intra abdominal
Mikroorganisme masuk ke
Operasi kolostomi saluran kemih
Keracunan

Mual, muntah anxietas Perubahan Dysuria Gangguan eliminasi urin


defekasi:

Ketidakseimbang - pengeluara
an nutrisis n tak Gangguan rasa nyaman
kurang dari terkontrol
- iritasi
kebutuhan tubuh
mukosa
Trauma jaringan Abnormalitas
Resiko kerusakan
spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat
Nyeri

Resiko infeksi
7. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
1. IDENTITAS PASIEN

Nama :-

Demografi : lingkungan yang kumuh dan pemukiman


yang padat dapat mempengaruhi terjadinya atresia ani

Umur : 2 hari

Jenis Kelamin : laki-laki

Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki daripada


perempuan

No. Rm : 321235

Tanggal Masuk RS : 2 Mei 2023

Diagnosa Medis : Atresia Ani

2. RIWAYAT KESEHATAN

a. Keluhan Utama

Pasien tidak memiliki anus sejak lahir

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama


kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air
besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat
dalam urin

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya


kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan
tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada
perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak


memiliki anus sejak lahir.

e. Riwayat Kesehatan Lingkungan

umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara


langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang
kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan
awalan terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih
didalam kandungan.

3. POLA FUNGSI KESEHATAN

a. Pola persepsi terhadap kesehatan

Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang


apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien
merupakan bayi.

b. Pola aktifitas kesehatan/latihan

Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri


karena masih bayi.

c. Pola istirahat/tidur

Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu


istirahatnya. Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga
yang lainnya, ketika saat jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.

d. Pola nutrisi metabolik


Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu
kaleng, namun bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut
terasa penuh, dan akibat terhambatnya melakukan konstipasi.

e. Pola eliminasi

Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
yang seharusnya dikeluarkan melalui anus.

f. Pola kognitif perseptual

Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi


dengan baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga
pasien pun belum terlalu paham mengenai penyakit yang
diderita pasien.

g. Pola konsep diri

1) Identitas diri : belum bisa terkaji

2) Ideal diri : belum bisa terkaji

3) Gambaran diri : belum bisa terkaji

4) Peran diri : belum bisa terkaji

5) Harga diri : belum bisa terkaji

h. Pola seksual Reproduksi

Pasien masih bayi dan belum menikah

i. Pola nilai dan kepercayaan

Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang


kepercayaan.

j. Pola peran hubungan

Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi


dengan orang lain secara mandiri.
k. Pola koping

Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadap adanya suatu masalah.

4.PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik Head to toe

1. Tanda-tanda vital

• Nadi : 110 X/menit.

• Respirasi : 32 X/menit.

• Suhu axila :37º Celsius.

2. Kepala

Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak


ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada
chepal hematom.

3. Mata

Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan


subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.

4. Hidung

Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.

5. Mulut

Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak


macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga

Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago


berbentuk sempurna

7. Leher

Tidak ada webbed neck.

8. Thorak

Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel


shest, pernafasan normal

9. Jantung

Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur

1. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi
feses positif.

Auskultasi : bising usus positif, normal

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.

Perkusi : timpani

11. Genetalia

Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak


ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.

12. Anus

Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,


kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.

13. Ektrimitas atas dan bawah


Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat.

14. Punggung

Tidak ada penonjolan spina gifid

15. Pemeriksaan Reflek

a. Suching +

b. Rooting +

c. Moro +

d. Grip +

e. Plantar +

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa


menggunakan cara sebagai berikut:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin


bila:

a) Jika Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau


anal membran berarti atresia ini termasuk atresia letak
rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi.
b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan
kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian
dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas
meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1
cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum >
1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal


PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau
rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila
fistel (-) maka dilakukan invertrogram. Apabila akhiran < 1
cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti,
apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.

Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila


mekonium didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel
perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan
fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar
usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau
knee chest position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).

Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu


menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan
klinis harus segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan
inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer
melalui anus. (Levitt M, 2007)

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi


dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen
tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan
mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada
bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus
cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi
rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk
menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat


perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang
sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan


atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt
M, 2007).

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diketahui sebagai berikut:

1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan


diagnostik yang umum.
2. Pemeriksaan urin, jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk
memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice)
dapat menunjukkan adanya gas dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah gas sampai keujung kantong
rectal.
4. Ultrasound terhadap abdomen, dapat digunakan untuk
menentukan letak rectal kantong. Digunakan juga untuk melihat
fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan
menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika
mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm
Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
6. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius,
misalnya suatu sistrouretrogram mikturasi akan memperlihatkan
hubungan rektrourinarius dan kelainan urinarius.
7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.
b. Nursing Care Plans
1. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan
abnormalitas organ.
b) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
e) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi

2. Perencanaan dan pelaksanaan


No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Implementasi
Kriteria hasil
1 Gangguan Setelah 1. Monitor tanda 1. Memonitor
pola dilakukan dan gejala tanda dan
eliminasi 3x24 jam pola konstipasi gejala
konstipasi eliminasi 2. Monitor feses: konstipasi
b.d pasien cuku frekuensi, 2. Memonitor
abnormalit baik. konsistensi dan feses:
as organ Kriteria Hasil: volume frekuensi,
Eliminasi 3. Monitor bising konsistensi
konstipasi bayi usus dan volume
bisa, walau 4. Monitor tanda 3. Memonitor
hanya melalui dan gejala bising usus
anus buatan peritonitis(di 4. Memonitor
usus) tanda dan
5. Pantau tanda gejala
dan gejala peritonitis(di
konstipasi usus)
6. Jelaskan 5. Memantau
rasionalisasi dari tanda dan
tindakan yang gejala
dilakukan konstipasi
kepada keluarga 6. Menjelaskan
pasien (bayi) rasionalisasi
7. Dukung intake dari tindakan
cairan yang
dilakukan
kepada
keluarga
pasien (bayi)
7. Mendukung
intake cairan

2 Nyeri akut Setelah 1. Lakukan 1. Melakukan


b.d trauma dilakukan pengkajian nyeri pengkajian
jaringan perawatan secara nyeri secara
1x24 jam nyeri komprehensif, komprehensif,
pasien termasuk lokasi, termasuk
berkurang karakteristik, lokasi,
Kriteria Hasil: durasi, frekuensi, karakteristik,
Nyeri pada kualitasnya. durasi,
pasien(bayi) 2. Observasi reaksi frekuensi,
berkurang nonverbal dari kualitasnya
pada skala ketidaknyamanan 2. Mengobservas
nyeri1 setelah (misalnya: bayi i reaksi
dilakukan menangis) nonverbal dari
penanganan 3. Kontrol ketidaknyama
nyeri yang lingkungan yang nan
tepat serta dapat (misalnya:
didampingi mempengaruhi bayi
dengan nyeri seperti suhu menangis)
lingkungan ruangan, 3. Mengontrol
yang bersih pencahayaan,dll lingkungan
4. Pilih dan yang dapat
lakukan mempengaruh
penanganan i nyeri seperti
nyeri suhu ruangan,
pencahayaan,
dll
4. Memilih dan
melakukan
penanganan
nyeri
3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong
rasa dilakukan keluarga untuk keluarga
nyaman perawatan menemani untuk
b.d gejala 1x24 jam nyeri pasien (bayi) menemani
terkait berkurang 2. Jaga kebersihan pasien (bayi)
penyakit, Kriteria hasil: daerah 2. Menjaga
vistel  Pasien penyakit/trauma kebersihan
retrovagin (bayi) tidak , pantau respon daerah
al, dysuria, lagi rewel pasien penyakit/trau
trauma karena 3. Beri pendidikan ma, pantau
jaringan area/lokasi kesehatan pada respon pasien
post penyakit keluarga pasien 3. Beri
operasi dan trauma (bayi) pendidikan
bersih dan kesehatan
selalu pada keluarga
dipantau pasien (bayi)

4 Ketidaksei Selama 1. Kolaborasi 1. Melakukan


mbangan dilakukan dengan ahli gizi kolaborasi
nutrisi perawatan untuk dengan ahli gizi
kurang 2x24 jam menentukan untuk
dari kebutuhan jumlah nutrisi menentukan
kebutuhan nutrisi pasien yang dibutuhkan jumlah nutrisi
tubuh b.d tercukupi pasien (bayi) yang
ketidakma Kriteria Hasil: 2. Monitor jumlah dibutuhkan
mpuan Nutrisi pasien nutrisi pasien (bayi)
mencerna sedikit demi 3. Kaji kemampuan 2. Memonitor
makanan sedikit pasien untuk jumlah nutrisi
terpenuhi mendapatkan 3. Mengkaji
nutrisi yang kemampuan
dibutuhkan pasien untuk
4. Berikan mendapatkan
informasi tentang nutrisi yang
kebutuhan nutrisi dibutuhkan
kepada keluarga 4. Memberikan
pasien informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien
5 Resiko Selama 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga
kerusakan dilakukan dan pantau kebersihan dan
integritas perawatan didaerah yang di pantau didaerah
kulit b.d selama 3x24 kolostomi pada yang di
kolostomi jam tidak ada pasien (bayi) kolostomi pada
kerusakan 2. Oleskan lotion pasien (bayi)
jaringan pada atau minyak/baby 2. Mengoleskan
kulit. oil pada daerah lotion atau
Criteria hasil: yang beresiko minyak/baby
1. Tidak 3. Monitor status oil pada daerah
ada nutrisi pasien yang beresiko
tanda- 4. Monitor tanda 3. Memonitor
tanda dan gejala infeksi status nutrisi
infeksi pada area insisi pasien
pada 4. Memonitor
kulit tanda dan gejala
2. Ketebal infeksi pada
an dan area insisi
tekstur
jaringa
n
normal

Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan
oleh perawat dan pasien. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan
keperawatan yang berfokus pada pasien dan berorientasi pada tujuan
dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dimana tindakan
dilakukan dan diselesaikan, sebagaimana digambarkan dalam rencana
yang sudah dibuat di atas. Implementasi atau tindakan adalah
pengelolaan dan perwujudan dan rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat sebaiknya
tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua
profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan (Setiadi, 2010)

Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Evaluasi adalah penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan pasien dengan tujuan dan kriteria
hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. (Sumirah dan Budiono,
2016)

DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediarik” Edisi ke-3. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi
ke-6. Jakarta: EGC
Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik.. Edisi ke-4. Jakarta: EGC
Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti
pada kasus malforasi anorektal. Faculty of Medicine – University of
Riau Pekanbaru. [serial online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/
malformasi_anorektal_files_of_drsmed.pdf
Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta:
Salemba Medika
[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/
ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI [diakses pada tanggal 5
Mei 2023]
[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/
bab21.PDF?sequence=6 [diakses pada tanggal 5 Mei 2023]
[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-
5416-2-babii.pdf [diakses pada tanggal 5 Mei 2023]
[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter
%20II.pdf [diakses pada tanggal 5 Mei 2023]

Anda mungkin juga menyukai