Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN KASUS ATRESIA ANI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Via Daring Dapartemen Keperawatan Anak

yang Diampu oleh Ns. Rani Diana Balqis, S.Kep

Oleh

Aprilinda Safitri
2020.04.052

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

PROFESI NERS BANYUWANGI

TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan Anak dengan Kasus Atresia

Ani, sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktek profesi ners via daring

yang dilaksanakan pada 16 November 2020, disusun oleh

Nama : Aprilinda Safitri

Nim : 2020.04.052

Prodi : Kelompok B Keperawatan Anak Profesi Ners

Telah disetujui pada

Mengetahui

Pembimbing Praktek Profesi Ners

Ns. Rani Diana Balqis, S.Kep


Laporan Pendahuluan

Atresia Ani

1.1 Definisi

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak

ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,

atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang

normal.

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus

imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau

saluran anus (Donna, 2004). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan

embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).

Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang

memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang

tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang

berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Parker dan

Wampler, 2013).

1.2 Klasifikasi

Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :

1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses

tidak dapat keluar.

2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.


3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum

dengan anus

4. Rektal atresia adalah tidak memiliki recktum.

1.3 Etiologi

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada

sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

1. Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan

pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir

tanpa lubang anus.

3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada

kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau

3 bulan.

4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan

otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal

mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang

terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.

Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin

yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan

mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom

genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko

untuk menderita atresia ani (Donna, 2004).


1.4 Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara

komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan

embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian

belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang

merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal

karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena

tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu

dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan

dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada

pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal

tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya

saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa

lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:

a. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.

puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum

lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran

kencing atau saluran genital.

b. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak

menembusnya.

c. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit

dan ujung rektum paling jauh 1 cm.


1.5 Manifestasi Klinis

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat

defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.

Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering

ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses

keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang

pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung

kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :

1. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.

2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

4. Perut kembung.

5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam (Ngastiyah, 2005).

1.6 Komplikasi

1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.

2. Obstruksi intestinal

3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.

4. Komplikasi jangka panjang :

a. Eversi mukosa anal

b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.


f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi (Betz,

2002)

1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Preventif

Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu :

a. Diberikan nasehat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk

berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan

dan alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani.

b. Pemeriksaan lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting

dilakukan sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai

tiga hari diketahui bayi menderita atresia ani jiwa bayi akan terancam

karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ

yang lain.

2. Pasca bayi lahir

Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), bagi pengidap kelainan tipe 1

dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan

tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis yang

berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, atau

speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat melakukan

dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa

kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak

dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari


dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi

yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti

pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anusslama 23 bulan.

Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di

rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di

rumah sampai tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila

jarak antara ujung rektum yang buntu kelekukan anus kurang dari 1,5 cm,

pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada

masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan

pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan.

Kolostomi bermanfaat untuk:

a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif

dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.

b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan

lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta

menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada

kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode

pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi

abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital

posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode

Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa

dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh

orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan


jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan

pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian

dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada

megakolon congenital.

1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu setelah

bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus diletakkan dalam

keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi dalam keadaan

sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral

setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus.

2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukann kejelasan

keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung

rektum dari sfingternya.

3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi organ

intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor

reversibel seperti obstruksi massa tumor.

4. CT scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.

5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk

mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.


1.9 Pathway

Kelainan Kongenital

Gagal Pertumbuhan, Fusi dan Pembentukan


Anus

ATRESIA ANI

Intake Nutrisi Evakuasi Feses Tidak Lancar Pembedahan

Muntah Konstipasi
Pre OP Post OP

Defisit Nutrisi Gangguan


Pola Kurang Pembuatan
Inkontinensia Pengetahuan Anus
eliminasi
Fekal

Ansietas Cemas

Gangguan integritas Pemasangan Trauma


kulit kolostomi
jaringan

Resiko Perawatan tidak


kerusakan adekuat

Nyeri Akut Resiko Infeksi


Konsep Asuhan Keperawatan

2.1 Identitas Pasien

A. Pengkajian

a. No Rekam Medis : sesuai dengan No pasien yang didapat dari rumah

sakit.

b. Nama Pasien : menggunakan inisial dan sesuai dengan jenis kelamin

serta usia (Ny, Tn, Nn, An).

c. Agama : agama apapun dapat terserang atresia ani.

d. Pekerjaan : tidak ada jenis pekerjaan tertentu yang menyebabkan

terjadinya atresia ani.

e. Alamat : Letak geografis tidak berpengaruhi terjadinya penyakit atresia

ani.

f. Diagnosa Medis : Atresia Ani.

g. Jenis Kelamin : semua jenis kelamin dapat terkena Atresia Ani.

h. Umur : Atresia ani menyerang usia balita.

i. Status Perkawinan : Atresia ani tidak memandang status perkawinan

j. Pendidikan : pendidikan apapun dapat terkena atresia ani

k. Sumber informasi : sumber informasi didapat dari keluarga atau orang

terdekat pasien dengan atresia ani.

B. Keluhan Utama

Pada pasien yang mengalami atresia ani biasanya ditemukan distensi

abdomen.
C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pada pasien atresia ani biasanya mengalami muntah, perut kembung dan

membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina atau

meconium terdapat dalam urin.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-28 jam pertama kelahiran.

E. Riwayat Kesehatan Keluarga

Atresia ani merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit

menurun sehingga belum tentu dialami oleh anggota keluarga yang lain.

F. Kebutuhan Dasar

a. Pola eliminasi : klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada

meconium.

b. Pola nutrisi : pasien hanya minum ASI atau susu kaleng.

c. Pola tidur : pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya

distensi abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.

d. Pola hygiene : bayi hanya diseka.

e. Pola aktivitas : pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara

mandiri karena masih bayi.

G. Observasi dan Pemeriksaan Fisik

Observasi tanda-tanda vital :

1. Kepala : pada pemeriksaan fisik kepala biasanya ditemukan tanda

normal.

2. Mata : pada pemeriksaan fisik mata biasanya ditemukan tanda normal.


3. Telinga : pada pemeriksaan fisik telinga biasanya ditemukan tanda

normal.

4. Hidung : pada pemeriksaan fisik hidung biasanya ditemukan tanda

normal.

5. Mulut : pada pemeriksan fisik mulut biasanya ditemukan mukosa mulut

dan bibir berawrna merah.

6. Leher : pada pemeriksaan fisik leher biasanya ditemukan tanda normal.

7. Dada : pada pemeriksaan fisik dada biasanya ditemukan tanda normal.

8. Perut : pada pemeriksaan fisik perut biasanya ditemukan adanya distensi

abdomen.

9. Genetalia : pada pemeriksaan genetalia ditemukan tanda normal dan

pada anus terjadi kegagalan pembentukan.

H. Personal Hygiene dan Kebiasaan

Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih

bayi, dan hanya diseka.

2.2 Diagnosa Keperawatan Berdasarkan SDKI

1. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna makanan

(muntah) (D.0019)

2. Inkontinensia Fekal berhubungan dengan gangguan pola eliminasi (D.0041)

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan (D.0080)

4. Nyeri Akut berhubungan dengan trauma jaringan (D.0077)

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan kolostomi

(D.0129)
6. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan pasca operasi, perawatan

tidak adekuat (D.0142)

2.3 Intervensi Keperawatan Berdasarkan SIKI

1) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna makanan


(muntah)
Manajemen Nutrisi (1.03119)
Observasi
a. Monitor asupan makanan
b. Monitor berat badan
Terapeutik
a. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri,
antlemetik), jika perlu
2) Inkontinesia fekal berhubungan dengan gangguan pola eliminasi

Latihan Eliminasi Fekal (1.04150)

Observasi

a. Monitor peristaltic usus secara teratur

Terapeutik

a. Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang meningkatkan proses

defekasi

Edukasi

a. Anjurkan mengkonsumsi makanan tertentu, sesuai program atau hasil

konsultasi.

b. Anjurkan asupan cairan yang adekuat sesuai kebutuhan


3) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

Reduksi Ansietas (1.09314)

Terapeutik

a. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan

b. Pahami situasi yang membuat ansietas dengarkan dengan penuh

perhatian

c. Gunakan pendekatan dengan tenang dan meyakinkan

d. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan

Edukasi

a. Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan

prognosis

4) Nyeri Akut berhubungan dengan trauma jaringan

Manajemen Nyeri (1.08238)

Observasi

a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas

nyeri

b. Identifikasi skala nyeri

c. Identifikasi respon nyeri non verbal

Terapeutik

a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.

TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,

aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi

bermain)
b. Kontrol ruangan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan,

pencahayaan, kebisingan)

c. Fasilitasi istirahat dan tidur\

Edukasi

a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

b. Jelaskan strategi meredakan nyeri

c. Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan kolostomi

Perawatan Integritas Kulit (1.11353)

Observasi

a. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. perubahan

sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu

lingkungan ekstrim, penurunan mobilitas)

Terapeutik

a. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit

sensitive

Edukasi

a. Anjurkan minum air yang cukup

b. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

c. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem


6) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan pasca operasi,

perawatan tidak adekuat

Pencegahan Infeksi (1.14539)

Observasi

a. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik

Terapeutik

a. Batasi jumlah pengunjung

b. Berikan perawatan luka pada area edema

c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan

pasien

d. Pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi

Edukasi

a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

b. Ajarkan mencuci tangan dengan benar

c. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi

d. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

e. Anjurkan meningkatkan asupan cairan

Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu


DAFTAR PUSTAKA

Lynn, Betz Ccily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta. EGC

Nurhayati. 2009.Asuhan Keperawatan dan Penyulit pada Neonatus. Jakarta. Trans

Info Media

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Parker dan Wampler. 2013. Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika

Wong, Dona L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC

Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta.

Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai